• Tidak ada hasil yang ditemukan

189 Hakikat Pendidikan Multikultural

Ellis (1998) mengungkapkan bahwa

pendidikan multikultural dapat dikatakan

sebagai sebuah ide atau konsep, sebuah gerakan perbaikan pendidikan, dan sebuah proses. Pendidikan multikultural dikatakan sebagai sebuah konsep yang menghargai semua anak anak didik dengan tidak membeda-bedakan kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnik, maupun karakteristik budaya tertentu, ataupun anak dengan kebutuhan khusus. Dalam pendidikan

yang multikultur, semua anak memiliki

kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Sebagai sebuah gerakan perbaikan yang nyata, pendidikan multikultur tidak hanya sebuah kurikulum, namun juga meliputi seluruh lingkungan sekolah atau lingkungan pendidikan. Sebagai sebuah proses, pendidikan multikultur merupakan sebuah proses menuju kesamaan hak pendidikan yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Sejalan dengan Ellis, Morrison (2012) menyebut pendidikan multikultural dengan istilah program kesadaran multikultur, yang mencakup penghargaan dan pengertian akan budaya masyarakat, status sosial ekonomi, dan

gender. Kesadaran ini juga meliputi pemahaman

akan budaya sendiri. Program pendidikan

multikultural dari Morrison lebih fokus pada pengenalan budaya lain, disamping pendidik menyadarkan anak-anak akan makna, sifat dan kekayaan budayanya sendiri. Menurutnya, dengan mempelajari budaya lain bersamaan dengan budaya anak sendiri, memberi peluang pada anak untuk menyatukan persamaan dan menghargai perbedaan tanpa merendahkan suatu budaya atau membanggakan (secara berlebihan) budaya yang lain.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengenalkan kepada anak tentang budaya anak dan budaya lain di masyarakat. Dengan mempelajari berbagai budaya, anak memahami persamaan dan

perbedaan setiap budaya. Perilaku yang

diharapkan setelah anak mengenal berbagai perbedaan budaya adalah menerima dan menghargai perbedaan yang ada.

Pendidikan Multikultural Pada Anak Usia Dini

Anak usia dini adalah anak yang berusia 0 sampai 8 tahun (NAEYC, 1992). Kebijakan khusus di Indonesia, lembaga pendidikan anak usia dini melayani anak usia 0 sampai 6 tahun (Undang-undang No.20 / 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional).

Morrison (2012) mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan pandangan anak tentang kehidupan. Oleh karena itu, para pendidik harus memasukkan multikulturalisme dalam program kegiatan dan praktek pendidikan pada anak-anak usia dini. Melihat pentingya pendidikan multikultur pada anak, pendidikan multikultur harus menjadi bahan pertimbangan

dalam merancang kurikulum. Bahkan

pendidikan multikultural sebaiknya dimasukan secara jelas (tertulis) dalam program pendidikan untuk anak usia dini.

Sujiono (2009) mengungkapkan bahwa

pendidikan anak usia dini berbasis pada tiga hal, yaitu:

1. Berbasis pada keholistikan dan keterpaduan

2. Multi disiplin ilmu dan budaya

3. Berbasis pada tingkat perkembangan anak

Pernyataan Morrison sejalan dengan Sujiono, yang mengungkapkan bahwa salah satu basis pendidikan pada anak usia dini adalah budaya atau kultur. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini sebaiknya dilakukan sesuai dengan latar belakang budaya yang dimiliki anak dengan tetap mengenal dan menghargai budaya lain. Dengan demikian akan terbentuk sikap positif sejak dini dalam memandang ragam budaya yang ada.

Menurut NAEYC (1992) pendidikan multikultural pada anak usia dini memiliki empat tujuan utama, yaitu:

1. Mengenal identitas diri dalam rangka

memupuk kepercayaan diri pada anak (namun tidak berlebihan hingga sombong)

2. Mengembangkan kemampuan berempati

dan mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain yang berasal dari kultur yang berbeda. Dalam hal ini juga termasuk kemampuan memahami dan menghargai

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

190

kesamaan maupun perbedaan budaya yang ada

3. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis

tentang perilaku berprasangka negatif terhadap kultur lain. Kemampuan untuk mengidentifikasi prasangka, ucapan, dan perilaku yang tidak benar dan tidak adil terhadap suatu kelompok atau budaya

tertentu. Dalam hal ini juga

mengembangkan kemampuan untuk

berempati, mengetahui bahwa prasangka negatif itu dapat menyakiti orang lain

4. Meningkatkan kemampuan anak dalam

menghadapi prasangka negatif terhadap suatu kultur. Belajar bagaimana berbicara dengan berbagai cara dalam menghadapi prasangka negatif, baik pada saat prasangka negatif dilakukan oleh anak lain terhadap diri anak sendiri, anak lain terhadap anak yang lainnya, maupun ketika prasangka dilakukan oleh orang dewasa.

Dalam rangka mencapai keempat tujuan tersebut, pendidik menentukan perkembangan yang diharapkan dari anak sesuai dengan perkembangannya. Dengan kata lain, pendidik memperhatikan usia anak dalam menentukan tujuan pembelajaran multikultural.

Morrison (2012) mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural harus terwujud dalam kegiatan yang menumbuhkan kesadaran budaya. Praktek pendidikan multikulturmenggunakan materi, tema, dan kegiatan yang sesuai dengan budaya; mengajarkan gaya belajar kepada anak- anak; dan mendorong keterlibatan keluarga dan masyarakat.

Keterlibatan orang tua dalam pendidikan multikultural adalah penting, karena orang tua merupakan model atau contoh bagi anak dalam berperilaku dan mempengaruhi pandangan anak

tentang perbedaan kultur. (Catron dan

Allen,2009)

Sejalan dengan pendapat tersebut, Jensen (2010) mengungkapkan bahwa,

agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar, sebagai guru tidak hanya perlu memahami cara berinteraksi dengan murid, tetapi juga orang tua yang berasal dari berbagai latar belakang kultur.

Menurut Santrock (2008), strategi untuk berhadapan dengan orang-orang yang berasal

dari berbagai kultur adalah dengan

menyesuaikan jenis kultur yang dimiliki guru, dengan orang yang dihadapi. Jika guru cenderung individualistis, maka guru perlu

memberi perhatian lebih banyak pada

keanggotaan kelompok. Kemudian tekankan

kegiatan pada proseskerjasama ketimbang

kompetisi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah guru perlu memupuk hubungan jangka panjang. Hal ini diperlukan karena orang yang berasal dari kultur kolektivistik cenderung lebih suka berurusan dengan orang yang telah dikenal lama secara baik (kawan lama). Untuk menjaga hubungan baik dengan semua kultur, maka ketika guru hendak memberi saran atau kritik usahakan dilakukan secara pribadi, bukan di tempat umum. Hal ini agar orang yang dikritik tetap terjaga harga dirinya.

Adapun jika guru memiliki kultur kolektivistik, maka strategi untuk berinteraksi dengan murid dan orang tua yang individualistik adalah dengan memberikan pujian lebih banyak kepada orang yang berbeda kultur dari pada orang yang memiliki kultur yang sama dengan guru. Jika murid atau orang tua dari kelompok

individualistik bersikap kompetitif, maka

sebaiknya guru tidak merasa terancam. Di sisi lain, guru boleh saja membicarakan prestasi yang dimiliki dan tidak terlalu merendahkan diri, tetapi jangan sombong. Guru juga perlu menyadari bahwa individualis tidak menghargai kesetiaan kepada kelompok.

Selanjutnya Jensen (2010)

mengungkapkan bahwa, untuk dapat

memberikan pendidikan multikultural, guru yang memiliki anak didik yang beragam kultur perlu mencari tahu berbagai hal yang berkaitan dengan budaya anak, misalnya mengenai sejarah, bahasa, dan adat istiadat dari budaya anak didik dikelasnya. Ada baiknya guru mengambil hari khusus di akhir tahun untuk membahas dan menyoroti perbedaan-perbedaan yang ada antar budaya di kelas. Di waktu lain,

guru dapat mengajak anak-anak untuk

mengunjungi suatu tempat yang mengenalkan kepada anak berbagai budaya yang ada di

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

191

lingkungan mereka. Guru juga perlu

mengarahkan dan membimbing anak untuk selalu menghargai teman yang berbeda budaya.

Dalam pelaksanaan pendidikan

multikultural terdapat beberapa strategi. adapun strategi pendidikan multibudaya untuk anak usia dini menurut Hapidin (2011) adalah sebagai berikut :

1. Pengembangan tema multibudaya akan

memberikan gambaran yang nyata dan bermakna bagi anak usia dini dalam memahami pengetahuan dan nilai-nilai multibudaya.

2. Penentuan tujuan multibudaya akan

memandu guru tentang arah pembelajaran

multibudaya sesuai dengan dimensi-

dimensinya

3. Pengembangan konsep pembelajaran

multibudaya dibangun dan ditemukan oleh anak selama pembelajaran berlangsung.

4. Pemilihan metode, media, dan sumber

belajar multibudaya yang digunakan akan membantu anak memahami secara lebih

nyata pengetahuan dan nilai-nilai

multibudaya.

5. Pengembangan langkah-langkah

pembelajaran multibudaya membangun hubungan interaksional antara guru dan anak, anak dengan anak, anak dengan sumber belajar.

Selanjutnya, Morrison (2012) memberikan delapan strategi untuk menerapkan program pendidikan multikultural pada anak usia dini. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Menyapa keluarga dengan menghormati

budaya. Misalnya untuk keluarga Hispanik, ayah disapa terlebih dahulu, kemudian ibu, dan terakhir anak.

2. Menyediakan karya seni inklusif. Misalnya

gambar mural, termasuk anak dengan berbagai warna kulit dan warna rambut yang berbeda.

3. Menggunakan materi yang sesuai secara

bahasa. Misalnya dengan menyediakan buku dengan bahasa Inggris dan spanyol (jika kebanyakan anak didik berasal dari Inggris dan Spanyol).

4. Menyesuaikan gaya interaksi guru-bayi

menurut budaya (untuk lembaga PAUD yang melayani bayi). Misalnya dalam

menenangkan bayi Hispanik berbeda

dengan cara menenangkan bayi Laotian. Bayi Hispanik ditenangkan dengan cara yang agak kasar, cepat, dan diulang-ulang, serta dengan menepuk punggung. Adapun bayi Laotian ditenangkan dengan bicara yang lembut, pelukan, dan ayunan pelan.

5. Memenuhi kebutuhan pribadi maupun

budaya. Ada bayi yang berinteraksi dari orang ke orang, ada juga bayi yang berinteraksi melalui mainan.

6. Menghormati perbedaan pilihan sosial.

Balita Hispanik cenderung berinteraksi dengan teman-teman seusiaya, sedangkan balita Laotian cenderung menyendiri.

7. Menerapkan batasan akomodasi budaya

jika diperlukan. Misalnya, beberapa budaya memperbolehkan bayi memakan makanan yang memungkinkan mereka tersedak. Dalam kasus ini sebaiknya pihak sekolah melakukan kompromi dengan orang tua, menjelaskan bahaya makanan terhadap bayi, dan meminta orang tua untuk membawakan makanan yang lain.

8. Menyadari bahwa semua keluarga memiliki

budaya pribadi, sehingga guru tidak membuat stereotipe berdasakan etnis.

KESIMPULAN

Pendidikan multikultural adalah

pendidikan yang menyadari akan adanya keberagaman budaya, menerima perbedaan antar budaya, dan menghargai semua budaya. Tujuan pendidikan multikultural pada anak usia dini mencakup tiga hal, yaitu : 1) Mengenal ragam budaya yang ada di lingkungan anak; 2) Menerima dan menghargai setiap orang dari berbagai budaya yang berbeda; 3) Mengenal perilaku berprasangka negatif terhadap suatu kultur dan menghadapi prasangka tersebut.

Pendidikan multibudaya pada anak usia dini disesuaikan dengan tingkat perkembagna anak, dan dilaksanakan secara terpadu dengan pengembangan aspek lainnya. Pendidikan multi

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

192

budaya dapat diwujudkan dengan memasukkan nilai-nilai budaya dalam proses pembelajaran. Guru dapat menyiapkan hari-hari tertentu untuk mengenalkan dan membicarakan tentang nilai- nilai budaya pada anak. Misalnya dengan memakai baju adat pada saat perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perencanaan tentang tujuan, tema, materi, media dan sumber belajar serta langkah kegiatan pembelajaran perlu dipersiapkan secara matang.

Sosok guru memiliki peran penting dalam pendidikan multikultural. Sikap guru menjadi contoh yang akan ditiru oleh anak didik. Guru perlu mengarahkan dan menunjukkan sikap menghargai terhadap semua budaya, dan menghargai semua anak dari berbagai budaya. Guru juga perlu memahami beragam kultur yang ada beserta adat istiadatnya, sehingga guru dapat berkomunikasi secara baik dengan orang tua.

DAFTAR PUSTAKA

Catron, Carol E. Dan Jan Allen. Early Childhood

Curriculum A Creative Play Model, Second Edition.United States: Prentice Hall.

Ellis, Arthur K. Teaching And Learning Elementary Social

Studies. Sixth edition. Boston: Allyn And Bacon. 1998

Hapidin. Penggunaan strategi Pembelajaran Multibudaya

Dalam Meningkatkan Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia 5-6 Tahun. Sinopsis Disertasi. Jakarta: UNJ, 2011.

Jensen, Eric. Guru Super dan Super Teaching. Jakarta:

Indeks, 2010

Morrison, George S. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks, 2012.

NAEYC. Reaching Potentials: Appropriate Curriculum and

Assessment for Young Children. Vol.1. USA: NAEYC, 1992.

Santrock. John W. Psikologi Pendidikan, edisi kedua.

Jakarta: Kencana, 2008.

Sujiono, Yuliani Nurani. Konsep Dasar Pendidikan Anak

Usia Dini. Jakarta: Indeks, 2008.

Undang-undang SisDikNas (UU RI No.20 Th.2003).

193

Seminar Nasional

KONSELING BERBASIS MULTIKULTURAL

BIMBINGAN DAN KONSELING FIP UNNES

PERILAKU PROSOSIAL DITINJAU DARI ASPEK BUDAYA JAWA