• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Muria Kudus

Info Artikel

_________________

Keywords:

Bimbingan dan Konseling, Budaya local Samin Surosentiko

____________________

Abstrak

___________________________________________________________________

Sosok fenomenal Samin Surosentiko yang menjadi ikon kota Blora merupakan Tokoh yang sangat luar biasa. Perjuangannya dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari cengkraman penjajah diperjuangkan hingga titik darah penghabisan. Masyarakat samin memang dipandang dengan kacamata buram, Identic dengan segolongan masyarakat yang tidak kooperatif, tidak mau membayar pajak, enggan mengikuti semua peraturan yang dibuat pemerintah. Hal ini dimungkinkan terjadi sebab banyak orang menganggap bahwa “Samin” identic dengan prilaku yang buruk. Identic pula dengan sebuah suku terasing yang pantas dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan. Samin disamakan dengan kebodohan, begitulah yang sering terdengan dari percakapan- percakapan.

Pertanyaanya adalah bagaimana kemudian masyarakat lebih mempercayai gambaran negative ketimbang menggali sisi positifnya? Mengapa tokoh pejuang melawan penjajah kekuasaan belanda tersebut, dapat secepatnya berubah menjadi nama umum bagi orang yang bodoh dan kolot?.

Inilah sapaan buruk yang telah menimpa masyarakat samin. Bahkan tidak sedikit masyarakat Blora yang malu ketika dirinya dianggap sebagai keturunan samin, barangkali saat ini tidak banyak orang yang mempunyai gambaran jernih tentang suku samin dan budaya paham saminisme.

Masalahnya, bagaimanakan konselor bisa memberi gambaran atau pola pikir baru tentang suku samin dan budaya paham saminisme dan mengembangkan dalam bentuk bimbingan dan konseling berbasis budaya lokan samin surosentiko . Oleh sebab itu perlu trobosan dalam membatu menyelesaikan permasalahan manusia sesui dengan budaya local. Adapun alternative trobosan tersebut adalah dengan Model Bimbingan Dan Konseling Berbasis Budaya Lokan Samin Surosentiko.

© 2015 Universitas Negeri Semarang  Alamat korespondensi:

Gedung A2 Lantai 1 FIP Unnes

Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: gud_nanto@yahoo.co.id

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

167

PENDAHULUAN

Sejak diberlakukannya Kurikulum 1975 hingga 2015 profesi bimbingan dan konseling di Indonesia sudah berusia 40 tahun, menurut ukuran teori perkembangan umur 40 tahun merupakan yang sudah matang dan dewasa secara fisik maupun psikis.

Hal tersebut seharusnya sudah tampak pada profesi bimbingan dan konseling yaitu profesi yang mantang dan dewasa. Sehingga masyarakat sudah dapat menikmati pelayanan yang di berikan oleh profesi bimbingan dan konseling.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh para pendiri profesi bimbingan dan konseling.

Kenyataan menunjukkan bahwa sejumlah

perangkat pelayanan BK memang telah semakin tersedia, baik berupa peraturan, panduan, pola

layanan, maupun instrumen, namun

permasalahan yang berkenaan dengan SDM

kiranya lebih sulit untuk dikonsolidasi.

Kelemahan yang berakar dari kondisi untrained, undertrained unccommitted para pelaksana layanan (Pine, 1975, dalam Prayitno, 1990) merupakan penyakit lama yang amat susah diatasi. (prayitno makalah disampaikan dan dibahas pada Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling bandung 8-10 des 2013).

Teori bimbingan konseling yang selama ini

dipergunakan, belum sepenuhnya

memperhatikan keseimbangan antara berbagai issue dalam konseling diantaranya Kualifikasi konselor dipandang segalanya, dan kurang memperhatikan teknik yang digunakan oleh konselor., Materi dan isi konseling dipandang sangat esensial (Williamson) dan kurang memperhatikan proses yang berlangsung dalam konseling., Pendekatan individual dipandang

segalanya dan kurang memperhatikan

pendekatan kelompok (role playing)., Fungsi

pengembangan, penyaluran dan pencegahan,

dipertentanngkan dengan fungsi kuratif

(psikoanalitik)., Keutuhan pribadi dipandang lebih utama (menurut Kaum Gestaltist) dari pada

memperhatikan aspek-aspek unsuriah

(behaviorisme)., Berulang kali bertemu dengan konselor, dipandang lebih berhasil dari pada

pertemuan satu atau dua kali., Mengutamakan pengembangan nalar daripada penyembuhan perasaan klien., Mengutamakan perluasan pengetahuan, dan mengabaikan kemampuan

penyesuaian diri., Mengabaikan tuntutan

normatif dalam menentukan kriteria manusia sehat. ( MD. Dahlan makalah disampaikan dan dibahas pada Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling bandung 8-10 des 2013).

Didasarkan pada berbagai permasalahan pelaksanaan bimbingan konseling tersebut di atas, perlu dicari aspek value yang menjadi sentral pengembangan pelayanan konseling . Pengembangan aspek value ini dapat ditelusuri melalui berbagai upaya salah satunya adalah dengan pengembangan pelayanan bimbingan dan konseling berbasis budaya local samin surosentiko.

BIMBINGAN DAN KONSELING BERBASIS BUDAYA LOKAL SAMIN SUROSENTIKO SEBAGAI MODEL PENDEKATAN DALAM KONSELING.

Perlu diketahui bersama bahwabimbingan

dan konseling berbasis budaya lokal samin surosentiko sebagai model pendekatan dalam konseling baru sebatas rancangan dan masih perlu dikembangkan serta perlu adanya judgment pakar serta kajian yang lebuh mendalam. Namun demikian hal tersebut bukan berarti metode atau model bimbingan tersebut tidak dapat digunakan sama sekali akan tetapi ini merupakan wacana baru agar para konselor tidak hanya berpegang pada model atau metode bimbingan dari barat atau negeri orang yang dianggap lebih efektif dan lebih baik namun konselor lupa atau bahkan tidak tahu dengan budayanya sendiri.

Dalam pelaksanaan pelayanan

bimbingan dan konseling dengan pendekatan apapun konselor memiliki kedudukan sentral oleh sebab itu perlu memiliki kemampuan

professional yang mempuni agar dalam

memberikan bantuan pelayanan tepat sasaran. Penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan

konseling berbasis budaya lokal samin

surosentiko dapat dijadikan alternative

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

168

konselor memahami budaya lokal samin surosentiko dari sisi positifnya. Hal tersebut diwajibkan karena selama ini pemahaman

tentang samin surosentiko dikalangan

masyarakat sangatlah negative.

Nilai-nilai bimbingan dan konseling yang dapat diambil dari budaya local samin surosentiko adalah sabar dan tidak putus asa, relegiusitas, kejujuran, kerja keras, mandiri dan kreatif, semangat pembebasan, kebersamaan dan pesaudaraan, persamaan hak, cinta damai, peduli lingkungan, tanggungjawab. Adapun penjelasan adalah sebagai berikut;

Sabar dan tidak putus asa. Kunci utama untuk menjaga segala tingkah laku manusia adalah lakonana sabar trokal, sabare dieling-eling

trokale dilakoni (kerjakan sikap sabar dan giat,

selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat

dalam kehidupan). Untuk mencapai

kesempurnaan hidup, maka wong urip kudu ngerti

uripe, manusia harus mengetahui hekekat

kehidupan. Selalu membiasakan sifat sabar, mengendalikan emosi, tidak mudah putus asa dalam berusaha adalah bekal untuk megetahui hakekat kehidupan (Mukodi & afid. B. 2015:79). Dari penjelasan tersebut dapat dijadikan rujukan seyogyanya konselor memiki karakter Sabar dan tidak putus asa dalam menjalankan tugas mulia sebagai konselor.

Relegiusitas. Bagi ki samin, menjadi atmajatama atau anak mulia bukan merupakan proses yang singkat dan menyenangkan. Seorang manusia harus mampu menerngi jasmani dan rohaninya atu dalam istilahnya adyatmiko. Dari penjelasan tersebut dapat dijadikan rujukan seyogyanya konselor memiki relegiusitas apapun agama dan keyakinannya dalam menjalankan tugas mulia sebagai konselor.

Kejujuran. Ki samin sangatlah berhati-

hati dalam menjaga ucapanya. Rembuge sing ati-

ati (berhati-hatilah dalam bicara). Dalam

berbicara seseorang harus selalu menjaga pembicaraannya agar tidak menyakiti orang lain.

Ketidak hati-hatian dapat menimbulkan

permusuhan. Hal tersebut seharusnya menjadi keniscayaan bagi konselor dalam menjalankan tugas memberikan bantuan pelayanan konseling.

Kerja keras. Ki samin berpesan, agar

mampu menopang kehidupannya, setiap

manusia harus bekerja. Agar mampu

mendapatkan hasil yang baik dalam bekerja, manusia membutuhkan usaha dan kesabaran. Masyarakat samin sangat kuat memgang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Dengan usaha dan kesabaran tersebut, hambatan yang merintangi jalan kehidupannya tidak akan terjadi. Dari hal tersebut dapat diambil pembelajaran bagi konselor seyogyanya memiliki sifat kerja keras

dalam melaksanakan tugasnya.

Mandiri dan kreatif. Masyarakat samin memiliki prinsip wong urip kudu ngerti uripe(orang hidup harus mengetahui bagaimana cara

hidupnya) dalam hidup setiap orang harus

mengerti bahwa kehidupan membutuhkan proses. Proses kehidupan tidaklah selalu menyenangkan jika saat ini sengsara tidak berarti selamanya sengsara sebaliknya jiak saat hidup enak tak selamanya enak. Manusia perlu berusaha untuk mengantisipasi hal-hal yang diluar dugaan. Dari filosofis tersebut dapat dijadikan rujukan sebagai karakter konselor yang harus dapat memandirikan konseli.

Semangat pembebasan. Kuatnya

pengaruh samin surosentiko menjadikan

landasan bagi pengikutnya untuk melawan ketidakadilan dari penjajah belanda sehingga

menjadikan pemerintah colonial belanda

bingung. Keberanian itu timbul semenjak ki samin menyatakan bahwa tanah jawa adalah milik orang jawa. Motivasi tersebut menjadikan pengikut ki samin menjadi lebih semangat untuk keluar dari penindasan yang dilakukan oleh

bangsa belanda. Dari motivasi tersebut

merupakan bentuk sugesti yang diberikan ki

samin pada pengikutnya. Hal tersebut

seyogyanya bisa dikembangkan oleh konselor dalam memotivasi konseli untuk kembali bangkit dan semangat, jika sedang menghadapi masalah.

Kebersamaan dan pesaudaraan. Ki

samin selalu berpegang pada prinsip sinten mawon

kulo aku sedulur(siapa saja saya anggap saudara).

Prinsip inilah yang pada akhirnya melahirkan rasa persaudaraan yang kuat dikalangan

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

169

pengikutnya. Rasa kebersamaan merupakan ajaran poko yang dikembangkan oleh samin surosentiko. Kaidah yang digunakan adalah sami-sami yang berarti sebagai sesama manusia

harus bertindak sama-sama. Sama-sama

bertindak jujur, sama-sama adil, sama-sama saling menolong demi terciptanya masyarakat yang homogen dan guyub. Seorang konselor hendaknya memiliki sifat kebersamaan dan persaudaraan tanpa adanya rasa curiga terhadap

permasalahan yang dihadapi oleh klien.

Persamaan hak. Penanaman rasa

persamaan dicerminkan ki samin dalam

penggunaan bahasa ngoko(bahasa jawa kasar)

dalam setiap percakapan tanpa mau

menggunakan kromo inggil(jawa halus) yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi misalnya buruh dengan majikannya. Gaya bahasa masyarakat samin merupakan bentuk ekspresi perlawanan tetapi tidak mengingkari sifat dan sikap jujur. Perlawanan masyarakat samin terhadap penguasa pada saat itu menunjukan pola persamaan hak. Seyogyanya konselor dapt mengembangkan karakter seperti yang dilakukan oleh ki samin surosentiko tersebut.

Cinta damai. Orang samin tidak menyukai pertengkaran dan mereka mempunyai prinsip sinten mawon kulo aku sedulur(siapa saja saya anggap saudara) dan selalu menghindari sifat-sifat yang dilarang yaitu aja drengki srei, tukar

padu, mbadog colong, (jangan dengki dan iri,

bertengkar, makan bukan haknya dan mencuri) dan mempunyai sifat lakonana sabar trokal, sabare

dieling-eling trokale dilakoni (kerjakan sikap sabar

dan giat, selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan). Dari hal tersebut Seyogyanya konselor merupakan keniscayaan karakter tersebut harus ada.

Peduli lingkungan. Rutinitas

kehidupan sebagai petani membuat kedekatan samin surosentiko dengan alam tidak dapat dipisahkan lagi. Kepercayaannya terhadap karma menjadikan kehati-hatiannya dalam menjalani kehidupan. Adanya kepercayaan itu

ditunjukan dalam ungkapan sopo kang nandur

mesti bakal ngunduh ( siapa yang menanam pasti

akan memanen ). Adanya ungkapan ini merupakan symbol bahwa masyarakat samin telah mempunyai aturan khusus yng ahrus selalu ditaati, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka akan selalu berhati-hati dalam mengelola lingkungan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.(Mukodi & afid. B. 2015:81). Dalam arti luas ia akan berhati-hati dalam segala tindakan dan perilakunya. Dari kerakter tersebut seyogyanya dapat dijadikan contoh seorang konselor.

Tanggungjawab. Control social yang

dikembangkan pada masyarakat samin

bersumber dari hati nurani dan pengendalian yang sifatnya intern. Rasa tanggung jawab dibangun berdasarkan nilai-nilai diantaranya ojo

nglarani yen ora pingin dilarani(jangan

menyakiti jika tidak ingin disakiti). Wong nandur bakal panen (siapa yang menanam bakal

memetik hasilnya) wong nyileh kudu

mbalekno(orang pnjam wajib mengembalikan). Wong kang utang kudu nyaur(orang yang berhutang harus membayar). Yen dijiwit loro, yo

jo jiwit wong, ojo mbebedano marang

sepodo(jika dicubit sakit ya jangan nyubit orang, jangan membedakan antar sesama) nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai peredam prilaku masyarakat untuk tidak berlaku secara semena- mena(Mukodi & afid. B. 2015:82). hal tersebut seyogyanya dapat menjadi rujukan bagi konselor sebagai karakter pribadi.

TAHAP-TAHAP DALAM KONSELING BERBASIS BUDAYA LOKAL SAMIN SUROSENTIKO.

Merujuk pada ajaran perilaku yang utama dalam peri kehidupan masyarakat samin ada tiga komponen yaitu, angger-angger pratikel (hukum tingkah laku ), angger-angger pangucap( hukum berbicara), angger-angger lakonono( hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan ).dari tiga komponen tersebut dapat dijadikan rujukan pelaksanaan konseling berbasis budaya lokal samin surosentiko.

Tahap pertama angger-angger pratikel memiliki ungkapan atau sifat yang harus dimiliki oleh individu atau konselor yaitu aja drengki srei,

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

170

tukar padu, mbadog colong, (jangan dengki dan iri,

bertengkar, makan bukan haknya dan mencuri). Dari sifat tersebut baik konselor maupun konseli harus benar-benar terpatri dalam sanubari dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehingga menjadi individu yang bijaksana dan dapat menyelesaikan semua permasalahan hidup.

Tahap kedua, angger-angger pangucap mempunyai ungkapan atau sifat yang harus

dimiliki konselor dalam membantu

menyelesaikan masalah konseli yaitu pangucap soko limo bundelane ono pitu lan pangucap soko sanga bundelane ono pitu( ucapan dari sumber yang lima pengendalinya ada tujuh ucapan dari sumber Sembilan pengendalinya juga ada tujuh). Angka-angka ini berarti limo bermakna jumlah panca indra(penglihatan, pendengaran, perasa, pencium, dan pengecap). Songo bermakna jumlah lubang manusia ada Sembilan (2 mata, 2 ditelinga, 2 dihidung, 1 dimulut, 1 lingga/yoni, 1 anus) dan pitu bermakna lima lubang manusia bagian atas(2 di mata, 2 di telinga, 2 dihidung, 1 di mulut).

Dari penjelasan tersebut ada dua sisi yang perlu dikembangkan yaitu sisi konselor dan sisi konseli. Dari sisi konselor seyogyanya bisa menjaga dari pangucap soko limo bundelane ono pitu lan pangucap soko sanga bundelane ono pitu( ucapan dari sumber yang lima pengendalinya ada tujuh ucapan dari sumber Sembilan pengendalinya juga ada tujuh) agar dapat menjadi konselor yang dapat dipercaya. Sedangkan dari sisi konseli juga harus dapat menjga diri dari pangucap soko limo bundelane ono pitu lan pangucap soko sanga bundelane ono pitu( ucapan dari sumber yang lima pengendalinya ada tujuh ucapan dari sumber Sembilan pengendalinya juga ada tujuh) agar dapat terentaskan dari semua permasalahan.

Tahap ketiga, angger-angger lakonono

mempunyai ungkapan lakonana sabar trokal, sabare

dieling-eling trokale dilakoni (kerjakan sikap sabar

dan giat, selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan).

Dari penjelasan tersebut ada dua sisi yang perlu dikembangkan yaitu sisi konselor dan sisi konseli. Dari sisi konselor seyogyanya mimiliki sifat dan karakter seperti tersebut dalam

membantu menyelesaikan masalah klien atau konseli dari sisi konseli seyogyanya jika memiliki masalah hendaknya mengembangkan karakter tersebut.

KONSELING BERBASIS BUDAYA LOCAL SAMIN SUROSENTIKO PELUANG DAN PENERAPANYA DALAM PRAKTIK.

Bimbingan dan Konseling berbasis budya local samin surosentiko sebagai alat, dapat tidaknya diterapkan dalam praktik dapat diprediksikan lewat dampak yang mungkin timbul pada diri klien dari tindakan konselor. Apabila tindakan konselor tindak menimbulkan permasalahan yang baru bagi klien, maka model tersebut dapat dipergunakan.

Peluang Bimbingan dan Konseling

berbasis budya local samin surosentiko untuk dijadikan rujukan dalam praktik sangatlah luas mengingat budaya samin telah mengakar pada masyarakat local terutama di wilayah blora dan sekitarnya, yang perlu disiapkan adalah konselor yang menguasai bidaya local samin.

Penerapan model Bimbingan dan Konseling berbasis budya local samin surosentiko akan berlangsung dengan baik mana kala konselor dan konseli sepaham dengan budaya local samin surosentiko, jika tidak sebudaya dimungkinkan pemberian layanan tidak berjalan dengan efektif.

DAFTAR PUSTAKA.

Afid burhanuddin, 2006 “Nilai-nilai pendidikan samin surosentiko dalam pandangan teori pendidikan modern”. Jurnal pendidikan agama islam volume

III nomer I tahun 2006. Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga

Dahlan. M.D. 2013. “perspektif profesi bimbingan konseling berbasis value pengembangan fitrah manusia” Disampaikan dan dibahas pada: Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung 8 – 10 Desember 2003 G. sijayanto & Mayong S laksono “samin : melawan

penjajah dengan jawa ngoko”.

www.indomedia.com/intisari/2001/juli/warn asamin.html

Gatot Pranoto, 2006. “saminisme: ajaran spiritual unik dari blora” makalah pemateri sarasehan

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

171