• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Studi Bimbingan dan Konseling – Universitas Nusantara PGRI Kediri Info Artikel

DEFINISI MURABB

Murabbi adalah seorang da’i yang membina mad’u dalam halaqah. Ia bertindak sebagai qiyadah (pemimpin), ustadz (guru), walid (orang tua), dan shohabah(sahabat) bagi mad’unya. Peran yang multifungsi itu menyebabkan seorang Murabbiperlu memiliki berbagai keterampilan, antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul. Biasanya, keterampilan tersebut akan berkembang sesuai dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman seseorang sebagai Murabbi.

Peran Murabbi berbeda dengan peran ustadz, muballigh atau penceramah pada tataran dakwah ‘ammah. Jika peran muballigh titik tekannya pada penyampaian materi-materi Islam secara menarik dan menyentuh hati, maka Murabbi memiliki peran yang lebih kompleks dari pada muballigh. Murabbi perlu

melakukan hubungan yang intensif dengan mad’unya. Ia perlu mengenal “luar dalam”mad’unya melalui hubungan yang dekat dan akrab. Ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu permasalahan mad’unya sekaligus bertindak sebagai pembina mental, spritual, dan (bahkan) jasmani mad’unya. Peran ini relatif tidak ada pada diri seorang muballigh. Karena itulah, mencetak Murabbi sukses lebih sulit daripada mencetak muballigh sukses.

Dalam skala makro,

keberadaan Murabbi sangat penting bagi keberlangsungan perjuangan Islam. Dari tangan Murabbilah lahir kader-kader dakwah yang tangguh dan handal memperjuangkan Islam. Jika dari tangan muballigh lahir orang- orang yang “melek’ terhadap pentingnya Islam dalam kehidupan, maka Murabbimelajutkan kondisi melek tersebut menjadi kondisi terlibat dan terikat dalam perjuangan Islam. Urgensi Murabbi dalam perjuangan Islam bukan hanya retorika belaka, tapi sudah dibuktikan dalam sejarah panjang umat Islam. Dimulai oleh Baginda Nabi Muhammad saw sendiri ketika beliau menjadi Murabbi bagi para sahabatnya. Kemudian dilanjutkan dengan para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf(terbelakang), sampai akhirnya dipraktekkan oleh berbagai harakah (gerakan) Islam di seluruh belahan dunia hingga saat ini. Tongkat esatafeta perjuangan Islam tersebut dilakukan oleh para Murabbi yang sukses membina kaderkader dakwah yang tangguh.

Pada intinya, umat Islam tak mungkin mencapai cita-citanya jika dari tubuh umat Islam itu sendiri belum lahir sebanyak- banyaknya Murabbi handal yang ikhlas mengajak umat untuk memperjuangkan Islam. KONSELING DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN

1. Hakikat Manusia

a. Manusia Sebagai Makhluk Pribadi Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Konseling. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut:

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

108

1. Memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup sehat, kreatif, produktif dan efektif.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda- tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”(QS Al- Baqarah: 164)

Ayat diatas sesuai dengan konsep pribadi konseling. Menurut Rogers (dalam Komalasari, dkk: 2011) bahwa manusia memiliki kemampuan untuk merasakan pengalaman, yaitu mengekspresikan daripada menekan pikiran- pikiran yang tidak sesuai dalam kehidupan kea rah yang lebih sesuai.Palmer (2010) individu- individu menanggulangi problem-problem perilaku dan emosi untuk dibawa ke kehidupan yang lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih terpenuhi dengan cara setiap individu berpikir lebih rasional, berperasaan tidak terganggu dan bertindak dengan cara-cara yang dapat mencapai tujuan akhir.

Penjelasandiatas dapat dimaknai bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dan dianugerahi akal untuk berpikir. Bepikir itu ada dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Berpikir positif ibarat seperti lebah menghisap madu sedangkan berpikir negativf itu ibarat seperti lalat menemukan kotoran. Jadi, kalau ingin menjadi pribadi yang kreatif, produktif dan efektif harus berpikir positif. Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi (Kiai)mendidik dan membimbing santrinya agar tetap berpikiran positif dalam kehidupan sehari-hari supaya menjadi pribadi khairah ummah.

2. Memiliki kesadaran diri untuk beraktualisasi.

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS Al- Baqarah:9)

“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah:12)

Ayat diatas sesuai dengan konsep pribadi konseling. Menurut Rogers (dalam Palmer: 2010) bahwa setiap pribadi itu adalah keseluruhan yang utuh, atau organisme, dengan kecenderungan motivasi dasar; kecenderungan untuk beraktualisasi. Kecenderungan beraktualisasi ini bukanlah kekuatan rohami yang memaksa melainkan disposisi dasar yang dipertontonkan dalam mengatur dan mendekati kehidupan. Rogers (1961) bahwa kecenderungan mengaktualisasi sebagai daya dorong (motive force) individu, yang bersifat inherent, karena sudah dimiliki sejak dilahirkan hal ini ditunjukan dengan kemampuan bayi untuk memberikan penilaian apa yang terasa baik (actualizing) dan yang terasa tidak baik (nonactualizing) terhadap peristiwa yang diterimanya.

Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa Allah SWT menciptakanmanusia memiliki kesadaran untuk beraktualisasi. Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Wujud dari aktualisasi diri sangat bermacam-macam. Misalnya aktualisasi denganlingkungan sekitar (masyarakat) dan aktualisasi dalam rangka pengembangan diri. Aktualisasi dengan lingkungan sekitar (masyarakat) wujudnya seperti sosialisasi (srawung) dengan masyarakat dengan cara seperti mengamalkan ilmu, gotong royong ketika ada tetangga sedang hajatan, dll. Aktualisasi dalam rangka pengembangan diri wujudnya seperti pengembangan potensi diri (bakat) untuk dioptimalkan agar bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi (Kiai)mendidik dan

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

109

membimbing santrinya dalam hal beraktualisasi diri. Jika santrinya berhenti belajar di pondok pesantren, Sang Murabbi menyerukan agar tetap mengamalkan ilmu yang didapat di pondok pesantren kepada masyarakat di lingkungan sekitarnya agar bermanfaat. Selain itu, Sang Murabbi (Kiai) menyerukan santrinya untuk terus beraktualisasi diri dalam hal pengembangan diri agar tidak fokus dan belajar hanya pada satu ilmu saja agar nantinya bermanfaat untuk bangsa Indonesia.

3. Memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Fushilat:40)

Ayat diatas sesuai dengan konsep pribadi konseling. Glasser (dalam Corey: 2009) konsep Choice theory yaitu manusia tidak terlahir dalam keadaan bersih yang menunggu untuk dimotivasi secara eksternal oleh kekuatan-kekuatan yang ada di dunia sekitar manusia itu sendiri. Glasser (2000) Choice theory menyakini bahwa kebutuhan untuk mencintai dan memiliki merupakan kebutuhan utama karena kita membutuhkan orang lain untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan lainya.

Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa Allah SWT memberikan kebebasan setiap hambanya dalam menentukan pilihannya. Setiap hambanya pasti ingin menjadi hamba yang baik dan terpuji. Tetapi juga ada yang menyimpang dari apa yang sudah diperintahkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, perlu mentaati setiap apa yang sudah diperintahkan oleh-Nya dan menjauhi segala larangannya agar menjadi pribadi yang tidak merugi. Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi (Kiai) mendidik dan

membimbing santrinya dalam menentukan pilihannya agar tidak tersesat dan menyesal. Misalnya dalam menentukan jodoh, jika masih bingung/ragu-ragu, perlu melaksanakan sholat istikharah supaya pilihannya tepat sesuai dengan apa yang diharapkan.

4. Memiliki tanggung jawab.

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,”. (Al- Muddatsir:38)

Ayat diatas sesuai dengan konsep pribadi konseling. Corey (2009) bahwa choice theory mengubah focus tanggung jawab kepada pilihan dan tindakan memilih. Konselor mengarahkan individu untuk memilih pilihannya untuk memenuhi tanggungjawabnya. Komalasari, dkk (2011) bahwa tanggung jawab adalah kemampuan undividu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.

Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa Allah SWT sudah meng-ultimatum bahwa semua perbuatan manusia di dunia ini nanti pasti akan dipertanggung-jawabkan dihadapan-Nya. Manusia hanya bisa merencakan tetapi semuanya Allah SWT yang menentukan. Perbuatan manusia baik maupun buruk, itu semuanya akan mendapatkan balasannya sesuai apa yang dilakukannya di dunia ini. Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi (Kiai) menyerukan kepada santrinya agar bisa mempertanggung-jawabkan apa yang dia kerjakan di hadapan Allah SWT dan masyarakat. Misalnya dalam hal ilmu, apakah ilmu yang didapatkan saat di pondok pesantren bisa dipertanggung-jawabkan dihadapan Allah SWT kelak nanti? Jika ilmu tersebut didapatkan dengan cara yang salah, maka tidak akan mendapatkan barokah dan akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Untuk itu peran Sang Murabbi (Kiai) sangat penting supaya anak didiknya (santri) mendapatkan ilmu yang barokah demi kemaslahatan bangsa ini.

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

110

Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Konseling. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai berikut:

1. Manusia merupakan agen positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya.

“Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-Ankabut: 7)

Ayat diatas sesuai dengan konsep konseling. Menurut Adler (dalam Corey: 2009) bahwa manusia yang memiliki penilaian positif terhadap dirinya sendiri, orang lain, lingkungannya, kepuasan diri dan merasa diterima oleh masyarakat. Selain itu kepribadian yang sehat merupakan pribadi yang dapat menerima kekurangan diri secara wajar, sadar terhadap perbuatannya dan dilakukan secara bertanggung jawab. Corey (2009) menyatakan bahwa tingkah laku itu dipelajari individu dalam interaksinya dengan lingkungan mereka. Manusia tidak lahir jahat atau baik, tetapi netral, dan bagaimana kepribadian seseorang dikembangkan tergantung pada interaksi dengan lingkungannya

Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan sebaik- baiknya dibandingkan makhluk lain. Disisi lain, manusia tidak ada yang sempurna karena setiap insan dibekali kelebihan dan kelemahan masing- masing. Oleh karena itu, manusia bisa menjadi pribadi yang utuh jika berpengaruh positif terhadap lingkungan sekitar dan menjadi agen perubahan. Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi (Kiai) mendidik dan membimbing santrinya agen bisa menjadi agen perubahan di lingkungan masyarakat. Santridibekali ilmu agar diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari kepada masyarakat supaya manfaat dan barokah.

2. Selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan kekeluargaan

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisa: 1)

Ayat diatas sesuai dengan konsep konseling. Shertzer & Stone (1980) bahwa konseling pada dasarnya adalah helping relationship. Hal tersebut memiliki makna hubungan antara konselor dan konseli pada proses konseling. Hubungan tersebut merupakan hubungan pemberian bantuan yang bersifat profesional dan memiliki keunikan tersendiri.Menjalin hubungan baik dengan orang lain juga merupakan sikap dasar yang dimiliki konselor. Mappiare (2011) sikap dasar konselor merupakan dimensi afektif konselor yang sangat menentukan keberhasilan dan kelancaran proses serta saling-hubungan konseling. Rogers dalam (Corey: 2009) sikap dasar konselor yaitu (1) Congruence or Genuineness, (2) Unconditional Positive Regard and Acceptance dan (3) Accurate Empathic Understanding.

Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa Allah SWT suka terhadap insan yang saling mengasihi satu sama lain. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Untuk itu, sesama manusia wajib saling mengasihi dan membantu sama lain jika mengalami kesulitan hidup tanpa adanya unsur paksaan.Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi(Kiai) mendidik dan membimbing santrinya agar mengasihi satu sama lain tanpa adanya paksaan. Santri didik memiliki akhlakul karimah yang baik dan tidak melalukan

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

111

kekerasan terhadap sesama sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.

3. Manusia Sebagai Makhluk Religius Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius. Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada iman dan takwa dimanapun manusia berada.

“...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum: 30) Ayat diatas sesuai dengan konsep konseling. Sutoyo (2013) bahwa hakikat bimbingan dan konseling islami adalah upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah-iman dan atau kembali kepada fitrah-iman, dengan cara memberdayakan (empowering) fitrah-fitrah (jasmani, rohani, nafs, dan iman mempelajari dan melaksanakan tuntunan Allah dan rasul-Nya, agar fitrah-fitrah yang ada pada individu berkembang dan berfungsi dengan baik dan benar. Hasan (2014) mengenai konseling islami at-tawazun yang menyatakan bahwa fokus konseling at-tawazunadalah pribadi dan masyarakat bukan masalah konseli. Yang dibenahi adalah hati manusianya (pribadi dan masyarakat), bukan masalahnya sehingga hati mereka akan lapang, tenang, damai, dan tentram. Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa Allah SWTmenciptakan manusia dan jin hanya untuk beriman kepada Allah SWT. Manusia yang beriman dan bertaqwa wajib mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangnya. Antara dhohir maupun batin harus sama jika ingin dikatakan sebagai orang yang beriman. Tetapi apalah daya, manusia tidak ada yang sempurna dan masih memiliki kekurangan

serta kekhilafan. Manusia yang mulia dan sempurna hanyalah Baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi (Kiai) mendidik dan membimbing santrinya dengan mengedepankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan menunjukkan semua kebaikan-kebaikan dan sifat yang baik dan membuang/menjauhi segala keburukan. Hal itu dilakukan semata-mata agar menjadi pribadi yang khaira ummah dan menjadi manusia religious pilihan Allah SWT.

4. Manusia Sebagai Pemimpin

Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah ayat 30

Ayat diatas sesuai dengan konsep konseling. Menurut Hasan (2014) bahwa manusia sebagai khalifah mempunyai tugas membangun peradaban manusia dan memakmurkan kehidupan diatas bumi. Untuk mewujudkannya hal tersebut maka manusia harus berjuang dan berdakwah. Manusia sebagai pemimpin itu manusia yang memiliki kepribadian baik serta berdampak bagi kemaslahatan umat. Dalam bimbingan dan konseling islami, Hasan (2014) pribadi khaira ummah merupakan pribadi yang dapat mengemban tugas sebagai abdi Tuhan (beribadah) sekaligus sebagai khalifah Tuhan

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

112

(membangun peradaban dan membuat kemakmuran).

Penjelasan diatas dapat dimaknai bahwa Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai Khalifah Fil Ardh yaitu pemimpin dimuka bumi ini yang mengedepankan akhlakul karimah yang baik. Pemimpin disini maksudnya sebagai penggerak kearah kebaikan dan menumpas segala bentuk kemungkaran. Dalam dunia pondok pesantren, Sang Murabbi (Kiai) mendidik dan membimbing santrinya untuk menjadi uswatun hasanah agar kelak menjadi pemimpin yang amanah bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

2. Perkembangan Tingkah Laku

a.

Struktur kepribadian

Anatomi manusia terdiri dari dua komponen yang saling melengkapi yaitu fisik (raga) dan rohani (jiwa). Jiwa juga dilengkapi dengan akal dan nafsu, yang tidak dimiliki makhluk lain (malaikat hanya memiliki akal, binatang hanya memiliki nafsu, atau makhluk lain yang tidak memiliki akal atau nafsu).

An-Najar (2001) Nafsu secara bahasa berarti ada atau wujud sesuatu. Istilah nafsu menurut kalangan sufi untuk menunjukkan suatu penyakit dari beberapa sifat dan perbuatan tercela. Ulama sufi sepakat, nafsu merupakan faktor terkuat penyebab perilaku keburukan dan kejahatan yang berasal dari dalam diri manusia. Penyakit tersebut terbagi dua, pertama sebagai hasil dari perbuatan seperti kemaksiatan dan kedua akhlak buruk yang bersumber dari nafsu yang tercela. Menurut Al-Ghazali (2006) Kita harus mengarahkan dan mengelola nafsu ke arah yang baik dan benar. Nafsu tidak boleh dikikis habis. Nafsu seumpama kendaraan atau hanya sebuah alat. Sebagai sebuah alat, maka ada harapan nafsu tersebut kita dorong kepada kebaikan, karena tabiat aslinya nafsu tersebut lebih sering mengarahkan orang untuk melupakan Tuhan dan mengajak ke jalan kejahatan.

b.

Pribadi Sehat dan Pribadi Malasuai Pribadi yang sehat merupakan pribadi yang sedapat mungkin mengemban tugas sebagai

abdi Tuhan (beribadah) sekaligus sebagai khalifah Tuhan (membangun peradaban dan membuat kemakmuran). Al-Ghazali mengatakan hidup merupakan cinta dan ibadah (al-hayah mahabbah wa ‘ibadah). Menurut Al- Maliki, manusia sebagai khalifah mempunyai tugas memakmurkan dengan nilai-nilai kebaikan, keutamaan, dan petunjuk.

Muhajir (2009) Berkaitan dengan pemenuhan tugas itu pula syariat Islam diturunkan. Para ulama bersepakat bahwa syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia (al-mashlahah), lahir- batin dan dunia-akhirat.“Al-mashlahah mencakup semua jenis kebaikan, kepentingan dan kemanfaatan yang berada di bawah lima prinsip universal (al-kulliyât al-khams). Yaitu, terpeliharanya agama (hifzh al-dîn), eksistensi akal dan kebebasan berpikir (hifzh al-‘aql), keselamatan jiwa dan seluruh anggota tubuh (hifzh al-nafs), kepemilikan harta benda (hifzh al- mâl), dan keturunan/nasab (hifzh al-nasl). Maka, semua komponen syariat yang dikenal sangat sempurna dan komprehensif sebenarnya tidak lepas dari lima prinsip universal tersebut. Syariat Islam tentang kesehatan bisa disebut sebagai salah satu contohnya. Kesehatan spiritual mengacu kepada prinsip hifzh al-dîn, kesehatan pikiran mengacu kepada hifzh al-‘aql, kesehatan badan mengacu kepada prinsip hifzh al-nafs, kesehatan ekonomi mengacu kepada hifzh al-mâl dan kesehatan sosial mengacu kepada hifzh al- nasl dan hifzh al-‘irdh, menjaga kehormatan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, pribadi yang sehat adalah pribadi yang menyeimbangkan unsur kesalihan ritual dan kesalihan sosial. Kesalihan ritual sebagai cerminan sikap beriman dan sebagai perwujudan hamba Tuhan. Kesalihan sosial sebagai cerminan amar ma’ruf nahi mungkar dan sebagai perwujudan khalifah Tuhan yang bertugas memakmurkan dan membangun peradaban dengan berorientasi kemashlahatan. Itulah hakikat pribadi khaira ummah.

c.

Hakikat Konseling

Fokus konseling adalah pribadi dan masyarakat bukan masalah konseli. Yang

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015

113

dibenahi adalah manusianya (pribadi dan masyarakat), bukan masalahnya. Karena konseling ini berkeyakinan, bila manusianya menjadi pribadi khaira ummah maka masalah tersebut dengan sendirinya mampu teratasi. Misalnya, kalau orang tersebut sudah baik, maka dia akan berhenti dengan sendirinya berjudi.

Titik tolaknya masa sekarang untuk meraih kehidupan di masa depan yang lebih baik, bukan masa lalu konseli. Konselor tidak akan memandang dan mempermasalahkan masa lalu konseli. Masa lalu dalam konseling ini sebagai wahana muhasabah, merenungi diri untuk melakukan pertobatan dan sebagai pijakan bagi konseli. Yang dipentingkan dalam konseling ini adalah niat dan prosesnya bukan sekadar hasil. Sebab konseling ini berkeyakinan tugas konselor dan konseli adalah berusaha sedang yang menentukan hasilnya adalah Tuhan.

Peran konseling adalah upaya memperbaiki nafsu amarah, yang selalu mengajak kepada keburukan (dengan mujahadah, riyadhah, sikap takwa, dan mengacu kepada kemashlahatan) menjadi pribadi khaira ummah. Jika tasawuf lebih bersifat pembersihan jiwa, konseling lebih bersifat lahiriyah dan menggunakan pikiran sehat.

Menurut Al-Ghazali (2006) Kunci untuk mengendalikan nafsu agar menjadi baik dengan sikap takwa. Takwa dapat berupa membersihkan hati dari kemusyrikan, bid’ah, maksiat, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Al-Ghazali mengemukakan metode perbaikan akhlak dengan mujahadah (pelatihan yang berorientasi lahiriyah) dan riyadhah (pelatihan yang berorientasi ruhaniyah). Sebab akhlak menurut Al-Ghazali (2000) Kesesuaian sikap lahiriyah dan batiniyah. Akhlak adalah ungkapan jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa direncanakan dan dipaksakan. Namun pemaksaan diri melalui pelatihan merupakan metode untuk menghasilkan akhlak. Pada tahapan awalnya memang terasa “pemaksaan” tapi akhirnya menjadi tabiat dan kebiasaan. Dari uraian Al-Ghazali tersebut, terdapat “celah” bagi konseling untuk masuk ke dalam pintu mujahadah pada proses memperbaiki konseli sehingga menjadi pribadi khairah ummah.

A. PROSES KONSELING 1. Tujuan Konseling

Tujuan konseling adalah membantu individu memperbaiki nafsu amarah, yang selalu mengajak kepada keburukan menjadi pribadi khaira ummah yaitu pribadi yang selalu