PERANAN BIMBINGAN ROHANI
TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)
PROVINSI JAWA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan KekhususanPendidikanAgamaKatolik
Oleh
Sulis Erna Prawati
NIM: 081124045
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Saya mempersembahkan skripsi ini kepada
Para suster Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus Provinsi Jawa
yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menjalani perutusan studi
di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Program Studi Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Universitas Sanata Dharma
v
MOTTO
Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup,
Dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.
(Yoh10:10)
Kuberikan kebaikan untuk kebaikan itu sendiri
Karena kebaikan selalu melengkapi lingkaran hidup kita.
viii ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.
Pemilihan judul ini didasarkan pada realitas dan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan bimbingan rohani yang sudah diupayakan dan diberikan oleh pemimpin komunitas bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa belum sepenuhnya membantu mereka menjadi pribadi yang matang rohani dan emosi. Itu terjadi karena pelaksanaan bimbingan rohani belum maksimal. Ada beberapa faktor yang manjadi kendala sehingga bimbingan rohani bagi para suster yunior menjadi terhambat. Salah satunya adalah faktor pemimpin komunitas yang kurang profesional dan bahkan kurang matang emosinya. Faktor dari dalam suster yunior sendiri bisa juga menghambat dalam bimbingan, misalnya pribadi yunior yang tertutup tidak mau terbuka, adanya keterpaksaan, dan kurang disiplin diri dalam mengolah batin. Semuanya itu sangat mempengaruhi proses bimbingan rohani mereka sendiri. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pemimpin komunitas dalam usaha meningkatkan kualitas bimbingan rohani bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para pemimpin komunitas akan pentingnya bimbingan rohani untuk kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, penulis mengkaji dengan metode deskriptif analisis. Artinya penulis menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang ada sehingga ditemukan jalan pemecahannya. Data ini diperoleh melalui pengisian Skala Likert
kepada para suster yunior itu. Selain itu penulis menggunakan refleksi pribadi selama menjadi yunior SSpS dan studi pustaka untuk mendapatkan gagasan dari para ahli yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan dalam pelaksanaan bimbingan rohani dalam komunitas-komunitas Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa bagi kematangan emosi para suster yunior.
ix
ABSTRACT
The title of this small thesis is ”The Role of the Spiritual Direction for the Emotional Maturity of Junior Sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit Sisters (SSpS) of the Java Province.”
This title was chosen based on the author’s concern on the practice of the spiritual direction that has been given by the superior of the community for the SSpS junior sisters of the Java Province. The spiritual direction has not totally helped the junior sisters to become spiritually and mentally mature. There are several factors that may have caused this to happen. One of them is the role of the superior of the community that is not competent and emotionally immature. The second one is the role of the personality of the junior sisters themselves. The personality of junior sisters that is not quit open to the spiritual director, the feeling of being forced to go for spiritual direction, and the lack of discipline in making spiritual reflection can be obstacles in the process of spiritual direction. Based on this kind of concern, this small thesis wants to help the superior of the community of SSpS Sisters of the Java Province to intensify the quality of spiritual direction for the junior sisters.
The main problem of this thesis is to discuss how far the role of spiritual guidance is, for the emotional maturity of junior sisters and what efforts to be done to improve the awareness of the community leaders, to see how important the spiritual guidance is for emotional maturity of the junior sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit (SSpS) of the Java Province. To analyze this matter, the writer uses analysis descriptive method, which means the writer reflects and analyses the problems in order to solve them. These data were collected with the Likert Scale by the junior sisters. In addition, the writer uses her personal reflections of her own experiences as junior sister, and some literature studies to get more ideas from experts that help communities of the Mission Congregation of the Servants of the Holy Spirit Sisters, in the efforts of spiritual direction for the emotional maturity of the junior sisters.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan limpah terima kasih kepada Allah Tritunggal Mahakudus
yang telah menyertai, membimbing, menuntun, dan menerangi penulis dengan
rahmat serta kasih setia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA.
Skripsi ini disusun oleh penulis berdasarkan penemuan bahwa bimbingan
rohani merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan dalam kematangan
emosi para suter yunior. Melalui bimbingan rohani, para suster yunior mampu
melihat kembali kesatuan hidupnya yang utuh dengan Allah, sesama manusia dan
kesatuan dengan ciptaan.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para suster yunior untuk
setia melaksanakan bimbingan rohani guna mencapai kematangan emosi. Selain itu
skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menempuh
ujian Program Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan
Pendidikan Agama Katolik.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat selesai pada
waktunya berkat bantuan dari berbagai pihak baik yang secara langsung maupun
tidak langsung telah mendampingi, membimbing dengan penuh kerelaan, kesabaran
dan kesetiaan serta mendukung lewat doa-doa sehinga memotivasi penulis untuk
setia dan bertekun menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis
xi
1. Suster Ines Setiono, SSpS beserta Tim Pimpinan Provinsi Kongregasi Misi
Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa yang telah memberikan perutusan studi
di Prodi IPPAK-JIP, Fakultas dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, serta setiap suster SSpS di Provinsi Jawa yang telah mendukung
lewat cinta, doa-doa, dan perhatiannya sehingga dapat menyelesaikan tugas
studi ini dengan baik.
2. Seluruh suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa
yang telah memberikan banyak bantuan dalam pengumpulan data penelitian.
3. Para suster komunitas Biara Roh Suci Yogyakarta yang telah memberikan
dukungan, doa, perhatian khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen pembimbing utama yang telah
menyediakan diri dan meluangkan waktu untuk mendampingi, membimbing
penulis dengan kesabaran serta kesetiaan, memberi masukan dan kritikan
sehingga penulis termotivasi untuk menuangkan ide dan gagasan dalam seluruh
proses penulisan skripsi ini.
5. Dr. C. Putranta, SJ, selaku dosen penguji II dan sekaligus dosen wali yang
telah menyediakan diri untuk membimbing dan memberikan peneguhan pada
penulisan skripsi ini.
6. Dra. Yulia Supriati, M.Pd, selaku dosen III yang telah memberikan perhatian,
bimbingan dalam penelitian, serta memberikan semangat dalam penulisan
skripsi ini.
7. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing, mendukung
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN………... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv
MOTTO……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN………... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK………. vii
ABSTRAK………. viii
ABSTRACT……….. ix
KATA PENGANTAR………... x
DAFTAR ISI……….. xiii
DAFTAR SINGKATAN………... xvii
BAB I. PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Identifikasi Masalah……… 5
C. Pembatasan Masalah……….. 6
D. Rumusan Masalah………... 6
E. Manfaat Penulisan……….. 7
F. Metode Penulisan………... 8
G. Sistematika Penulisan………. 8
BAB II. BIMBINGAN ROHANI DAN KEMATANGAN EMOSI... 10
A. Tahap Pembinaan Religius………. 10
1. Pembinaan Postulat………... 11
2. Pembinaan Novisiat……….. 11
3. Pembinaan Yuniorat………. 12
B. Bimbingan Rohani……….. 14
1. Pengertian Bimbingan Rohani……….. 14
xiv
a. Pembimbing Rohani………... 17
b. Bimbingan Rohani……….. 23
c. Waktu Bimbingan Rohani……….. 24
3. Dampak dari Bimbingan Rohani……….. 26
C. Kematangan Emosi………. 29
1. Pengertian Emosi……….. 29
2. Kematangan Emosi………... 30
3. Faktor yang Mempengaruhi Emosi……….. 32
4. Dampak dari Kematangan Emosi………. 34
5. Kedewasaan Pribadi……….. 35
D. Kerangka Pikir………... 38
BAB III. PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA……… 40
A. Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus………. 40
1. Identitas Kongregasi SSpS………... 40
2. Spiritualitas dan Kharisma Kongregasi SSpS………... 42
a. Spiritualitas Kongregasi SSpS……… 42
b. Kharisma Kongregasi SSpS……… 43
B. Metodologi Penelitian………. 46
1. Jenis Penelitian………. 46
2. Metode Penelitian………. 47
3. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 47
4. Responden Penelitian………... 47
5. Instrumen Penelitian………. 48
6. Variabel Penelitian………... 49
C. Hasil Penelitian………... 50
1. Proses Bimbingan Rohani………. 50
a. Pengetahuan dan Pengenalan akan Tuhan……….. 50
b. Kepercayaan, Relasi dan Menghargai Pembimbing…... 51
xv
d. Metode dalam Bimbingan………... 54
2. Proses Kematangan Emosi……… 55
a. Penilaian, Pengenalan dan Percaya Diri………. 55
b. Pengelolaan Emosi………. 56
c. Motivasi Diri………... 57
d. Pengenalan Emosi……….. 57
e. Membina Hubungan………... 58
D. Pembahasan Hasil Penelitian……….. 59
1. Proses Bimbingan Rohani………... 59
a. Pengetahuan dan Pengenalan akan Tuhan………. 59
b. Kepercayaan, Relasi dan Menghargai Pembimbing…... 60
c. Suasana dalam Melaksanakan Bimbingan……….. 61
d. Metode dalam Bimbingan………... 62
2. Proses Kematangan Emosi……… 64
a. Penilaian, Pengenalan dan Percaya Diri………. 64
b. Pengelolaan Emosi……….. 65
c. Motivasi Diri………... 65
d. Pengenalan Emosi………... 66
e. Membina Hubungan………... 67
3. Rerata Proses Bimbingan Rohani terhadap Proses Kematangan Emosi para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa……… 68
E. Kesimpulan………. 71
F. Keterbatasan Penelitian………... 72
xvi
A. Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para
Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS)
Provinsi Jawa………... 73
B. Usaha Meningkatkan Proses Pelaksanaan Bimbingan Rohani……… 74
1. Latar Belakang Usaha Meningkatkan Pelaksanaan Proses Bimbingan Rohani………... 74
2. Profil Pembimbing Rohani……….. 76
3. Alternatif dan Pilihan Pendekatan Pembinaan Bagi Para Pemimpin Komunitas……….. 77
BAB V. PENUTUP……… 79
A. Kesimpulan………. 79
B. Saran………... 81
DAFTAR PUSTAKA……… 85
LAMPIRAN………... (1)
Lampiran 1: Skala Likert Penelitian………... (1)
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A.Singkatan Dokumen Resmi Gereja
PC : Perfectae Caritatis
B.Singkatan Lain
Art : Artikel
Kan : Kanon
SVD : Societas Verbi Divini
SSpS : Servae Spiritus Sancti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bimbingan rohani sangat diperlukan untuk mendewasakan iman religius
supaya tangguh dalam menanggapi tantangan zaman saat ini.
Para suster yunior perlu memiliki kematangan emosi supaya dapat menanggapi
tantangan zaman ini. Perkembangan zaman yang semakin pesat mulai dari
teknologi alat-alat canggih, mode sampai dengan makanan cepat saji menimbulkan
begitu banyak tawaran duniawi yang menggiurkan. Dalam kehidupan sehari-hari
mau tidak mau orang dihadapkan pada banyaknya pilihan tersebut. Gaya hidup
zaman sekarang sangat mempengaruhi watak dan pola hidup kaum muda.
Gambaran penerus zaman sekarang dapat digambarkan sebagai generasi instan
yang ingin cepat-cepat menerima hasil tanpa harus berusaha.
Menghadapi begitu pesatnya perkembangan zaman, para yunior
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar semakin bertumbuh dan
berkembang dalam iman dan kematangan emosinya. Dalam hal ini Konstitusi SSpS
mengatakan:
Bagi seorang yunior, untuk mencapai kematangan emosi dan religius tidaklah
mudah. Banyak hal yang turut mewarnai cita-cita dan harapan mereka. Dinamika
perjalanan hidup untuk menuju tingkat kematangan emosi dan religius sangat
kompleks. Ada benturan idealisme (cita-cita/harapan kongregasi) dan harapan
pribadi serta situasi nyata yang dihadapi dapat mengaburkan tujuan. Ada banyak
faktor yang menjadi penghambat baik dari luar maupun dari dalam diri yunior itu
sendiri. Hambatan dari luar yang sering dijumpai oleh yunior misalnya kesibukan
studi, tuntutan kerja yang terlalu banyak, situasi dari komunitas yang kurang
mendukung misalnya, sesama suster yang kurang memberi sapaan atau teguran,
pemimpin yang terlalu banyak menuntut dan kurang peka dengan keadaan dan
situasi yang sedang dihadapi oleh yunior. Selain itu tidak adanya keteladanan dan
kesungguhan dari suster yang lebih senior, hal itu jelas berpengaruh dalam
pembentukan kepribadian dan kematangan emosi seorang religius muda tersebut.
Bagaimanapun juga seorang yunior yang tinggal di dalam komunitas akan
menyerap nilai-nilai yang ada di komunitasnya. Kemajuan teknologi yang semakin
canggih kadang-kadang juga membawa hambatan bagi suster muda tersebut, bila
pribadi itu kurang dewasa dan matang emosinya, sehingga mereka menjadi orang
yang labil dan mudah terbawa arus, tidak mempunyai prinsip, emosional, dan tidak
jelas dimana dia akan berpijak.
Sedangkan hambatan dari dalam diri yunior misalnya: tidak disiplin dalam
membuat jurnal harian dan merefleksikan, malas membaca dan merenungkan Kitab
Suci dan Konstitusi, enggan untuk mengolah perasaan, hidup doa yang dangkal dan
terlalu terlena dengan dunianya sendiri. Keadaan seperti itu tidak jarang bagi yunior
akan mengalami kelesuan hidup, kehilangan arah hidup, jiwa menjadi terbebani,
dirinya. Bila keadaannya ini dibiarkan terus-menerus akan menggerogoti dan
mengakibatkan yunior tidak krasan dan tidak at home dengan hidup panggilannya
yang efeknya yunior akan menanggalkan jubahnya atau keluar dari biara.
Menanggapi masalah-masalah yang terjadi dalam diri para suster yunior
tersebut, Kongregasi berusaha membantu meningkatkan pembinaan pribadi yang
dapat mendukung dan mengembangkan iman para suster yunior dalam proses
kematangan rohani dan pribadi. Pembinaan pribadi tersebut diupayakan melalui:
pembinaan spiritualitas, pembinaan misioner (formasi SSpS berusaha
mempersiapkan anggotanya agar mampu melaksanakan tugas dalam sikap apostolis
dan semangat pengabdian. Hal ini diusahakan salah satunya dengan cara melatih
setiap suster khususnya para postulant, novis dan yunior untuk mengalami live-in
dengan tujuan agar mereka bisa berdialog dengan masyarakat sekitarnya. Selain itu
saling berbagi tentang pengalaman misi berserta suka dukanya dan
tantangan-tantangannya sangat membantu para suster untuk menambah wawasan tentang misi,
dilatih keberanian untuk berdialog dengan semua orang dengan hati dan pikiran
terbuka dan dengan orang-orang dari agama dan kebudayaan lain), pembinaan
komunitas, pembinaan afeksi, pembinaan sosial, pembinaan hidup dalam
pilihan-pilihan hidup, dan bimbingan rohani (manuale untuk pembinaan Kongregasi SSpS,
2001: 54-63). Tujuan dari bimbingan rohani itu sendiri agar para suster yunior
semakin mengenal dirinya baik dalam segi positif dan negatif.
Dalam formasi lembaga religius, tugas pembinaan tersebut dipercayakan
kepada para pemimpin komunitas atau pembina khusus. Adanya pembina khusus
bagi yunior adalah untuk membantu para suster yunior mencapai kematangan
pribadi dan emosional. Menanggapi pentingnya seorang pembina bagi yunior, maka
mendampingi para yunior tersebut. Pembinaan para suster yunior ini diharapkan
menjawab kebutuhan mereka dan mengena. Konsili Vatikan II dalam Dekrit
Perfectae Caritatis mengatakan:
….penyesuaian hidup religius dengan tuntutan-tuntutan zaman sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Hendaknya dilakukan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang sesuai sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota untuk mencapai keutuhan hidup. (PC art. 18).
Ini suatu tantangan bagi para pembina maupun yunior itu sendiri yang
menuntut bagaimana seorang religius hidup di tengah-tengah dunia dan dalam
pelayanannya dapat membawa Kabar Sukacita Kristus. Di sinilah dapat dilihat
pentingnya pembinaan lewat bimbingan rohani agar para suster yunior semakin
memiliki kepribadian yang dewasa dan matang emosinya. Istilah “bimbingan”
dapat diartikan sebagai bantuan, pertolongan dan petunjuk. Dengan kata lain,
bantuan atau pertolongan yang diberikan seseorang terhadap orang tertentu.
Sedangkan istilah”rohani” berasal dari kata Roh yang berarti nafas hidup atau hidup
yang dijiwai oleh roh.
Melalui bimbingan rohani, seseorang semakin mengenal dirinya. Baik dalam
segi postif dan negatif. Dengan mengenal potensi yang dimilikinya maka seseorang
juga mampu untuk mengolah emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Semakin
mereka tekun dan setia dalam bimbingan rohani semakin ditumbuh kembangkan
dalam hidup rohaninya dan kematangan emosinya. Dalam Kongregasi SSpS,
bimbingan rohani adalah: “Wawanhati” dengan pendamping untuk melihat sejauh
mana perkembangan hidup rohani para suster yunior. Setiap yunior wajib untuk
bimbingan rohani dengan pemimpin rumah secara bergilir. Mereka mengadakan
Seorang pemimpin rumah wajib memberi bimbingan kepada para suster
yunior agar mereka dapat memupuk kerelaan hati dan kepekaan terhadap karya Roh
Kudus (Konst. SSpS. art. 520). Wawanhati juga dimaksudkan untuk membantu para
suster yunior agar semakin berkembang dalam hidup bersama, hidup misi, hidup
rohani dan kematangan emosi.
Kembali kepada pemimpin komunitas atau pembina yunior. Persoalan yang
dihadapi adalah tidak semua pemimpin komunitas berpotensi sebagai pembina
profesional dimana mereka sungguh mampu mendampingi para yunior sampai
mereka dewasa dalam kepribadian dan matang dalam emosinya.
Berdasarkan keprihatinan dan realitas yang ada dalam diri para suster yunior
SSpS di Provinsi Jawa ini, yang masih membutuhkan bimbingan rohani supaya
mereka dapat berkembang dalam iman serta dapat mencapai kedewasaan pribadi
serta kematangan dalam emosi, penulis memilih judul skripsi PERANAN
BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER
YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA.
Pemilihan judul ini didasarkan pada pemikiran bahwa para yunior masih
membutuhkan bimbingan rohani yang terus menerus untuk semakin dewasa dalam
iman dan matang dalam emosi agar dapat menjadi seorang religius misionaris yang
tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.
B. Identifikasi Masalah
Atas dasar latar belakang penelitian tersebut, diidentifikasikan
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah para suster yunior SSpS Provinsi Jawa menggunakan waktu
2. Bagaimanakah sikap para suster yunior SSpS Provinsi Jawa pada saat
melaksanakan bimbingan rohani?
3. Apakah para suster yunior SSpS Provinsi Jawa mempunyai kesetiaan dalam
melaksanakan bimbingan rohani?
4. Sejauh mana para suster yunior SSpS Provinsi Jawa matang emosinya selama
melaksanakan bimbingan rohani?
5. Seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para
suster yunior SSpS Provinsi Jawa?
C. Pembatasan Masalah
Mengingat waktu yang terbatas dan penelitian yang dilakukan dapat
mendalam penulis membatasi permasalahan pada “Peranan Bimbingan Rohani
Terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh
Kudus (SSpS) Provinsi Jawa”.
D. Rumusan Masalah
Berdasar pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses bimbingan rohani dalam komunitas khususnya Kongregasi
SSpS Provinsi Jawa?
2. Bagaimana proses kematangan emosi para suster yunior dalam komunitas
khususnya Kongregasi SSpS Provinsi Jawa?
3. Seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi bagi para
E. Tujuan Penulisan
Dengan melihat beberapa rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan
dicapai dalam penulisan ini ialah:
1. Menguraikan proses bimbingan rohani dalam komunitas khususnya Kongregasi
SSpS Provinsi Jawa.
2. Memaparkan proses kematangan emosi dalam komunitas khususnya Kongregasi
SSpS Provinsi Jawa.
3. Untuk mengetahui seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap
kematangan emosi para Suster Yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.
F. Manfaat Penulisan
1. Bagi para yunior
Memberikan sumbangan berupa informasi, pengetahuan dan pemahaman
akan pentingnya mengupayakan bimbingan rohani dalam hidup religius yang dapat
memberikan peranan terhadap kematangan emosi bagi para suster yunior.
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan mendorong para suster yunior
Kongregasi SSpS Provinsi Jawa untuk membina diri dengan setia melaksanakan
bimbingan rohani untuk mencapai kematangan emosi. Dengan demikian dapat
menjadi seorang suster misionaris Abdi Roh Kudus yang tangguh dalam tugas
perutusan yang dipercayakan Kongregasi.
2. Bagi Para Pendamping/Pembimbing
Memberikan wawasan yang dapat membantu para pendamping/pembimbing
yunior dalam usaha memberikan bimbingan rohani kepada para suster yunior yang
3. Bagi Kongregasi SSpS Provinsi Jawa
Semakin meneguhkan Kongregasi untuk terus berupaya memberikan
dukungan dan pembinaan kepada para pendamping/pembimbing yunior untuk
mengambil bagian dalam karya kongregasi.
4. Bagi penulis
Menambah pemahaman akan pentingnya mengusahakan bimbingan rohani
dalam hidup religius yang berperan bagi kematangan emosi para suster yunior.
5. Bagi Ilmu Kateketik
Memberikan sumbangan berupa pengetahuan dan pemahaman akan
pentingnya peranan bimbingan rohani sebagai landasan utama dalam kematangan
emosi para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.
G. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini penulis akan menggunakan metode deskriptif analitis
yaitu menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta serta
sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 1983: 75), sehingga ditemukan jalan
pemecahan yang tepat dalam membantu para suster yunior untuk mencapai
kematangan emosi.
H. Sistematika Penulisan
Supaya memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis
akan menyampaikan pokok-pokok gagasan dalam penulisan ini.
BAB I berisi pendahuluan, yang meliputi latar belakang penulisan,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
BAB II berisi Bimbingan Rohani dan Kematangan Emosi yang meliputi:
tahap pembinaan religius, bimbingan rohani, kematangan emosi dan kerangka
berpikir. Tahap pembinaan religius terdiri dari: pembinaan postulant, pembinaan
novisiat dan pembinaan yuniorat. Bimbingan rohani terdiri dari: pengertiaan
bimbingan rohani, faktor-faktor yang mempengaruhi bimbingan rohani dan dampak
dari bimbingan rohani. Kematangan emosi terdiri dari: pengertian emosi,
kematangan emosi, faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, dampak
dari kematangan emosi dan kedewasaan pribadi, dan kempat menerangkan
kerangka berpikir.
BAB III mengenai Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi
Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa yang
meliputi sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus dan metodologi penelitian.
Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus yang meliputi identitas Kongregasi
SSpS, spiritualitas dan kharisma Kongregasi SSpS. Metodologi penelitian yang
meliputi jenis penelitian, metode penelitian, tempat dan waktu penelitian,
responden penelitian, instrumen penelitian dan variabel penelitian. Tahap
berikutnya penulis akan mengkaji hasil penelitian dan membahas hasil penelitian.
BAB IV Meningkatkan Peranan Bimbingan Rohani Terhadap Kematangan
Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa
BAB V penulis ingin menegaskan kembali intisari dari skripsi ini dengan
BAB II
BIMBINGAN ROHANI DAN KEMATANGAN EMOSI
Pada bab ini akan diuraikan tentang peranan bimbingan rohani terhadap
kematangan emosi para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa. Bagian
pertama menerangkan dinamika pembinaan yuniorat. Bagian kedua membahas
bimbingan rohani, yang terdiri dari: pengertian bimbingan rohani, faktor-faktor
yang mempengaruhi bimbingan rohani, dan dampak bimbingan rohani. Bagian
ketiga menguraikan tentang kematangan emosi yang terdiri dari: pengertian emosi,
kematangan emosi, faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, dampak
dari kematangan emosi, dan kedewasaan pribadi. Bagian keempat mengenai
kerangka pikir.
Para anggota muda Kongregasi SSpS Provinsi Jawa adalah kaum muda yang
lahir dalam arus jaman globalisasi. Kaum muda ini banyak dipengaruhi oleh situasi
jaman dan berdampak pula dalam kehidupan bersama. Berhadapan dengan
pembinaan hidup religius itu sendiri, Kongregasi SSpS juga berupaya untuk
memberikan pembinaan bagi para yuniornya. Karena pembinaan itu merupakan
proses yang terjadi seumur hidup, maka pendampingan bagi para religius muda
perlu mendapat perhatian.
A. Tahap Pembinaan Religius
Setiap calon yang masuk dalam salah satu Lembaga Hidup Bakti tertentu
harus memasuki melalui beberapa tahap pembinaan. Mereka ditempa dalam proses
dalam salah satu Lembaga Hidup Bakti juga melewati tahap-tahap secara umum
dari pembinaan di Postulat, Novisiat, Yuniorat maupun yang sudah berkaul kekal
(OnGoing Formation). Berikut ini akan diuraikan secara singkat tahap-tahap
pembinaan religius untuk:
1. Pembinaan Postulat:
Kata “Postulat” berasal dari kata “Postulare” yang berarti “mengajukan
permohonan”, juga mempunyai dua arti, yaitu tempat pembinaan calon dalam suatu
kongregasi dan masa pembinaan. Tujuan khusus dari masa pembinaan di postulant
menurut Konstitusi SSpS adalah:
Hendaknya mereka mencapai kematangan manusiawi dan rohani yang memadai untuk mampu menjawab panggilan Tuhan dengan bebas. Dibawah bimbingan pemimpin, mereka berusaha mengembangkan hidup doa, pengajaran, studi dan membantu mereka untuk memperdalam pengetahuan. Melalui kehidupan bersama mereka dibantu untuk lebih mengenal dan menerima diri (Konst. SSpS. art. 514).
Masa postulat merupakan masa peralihan dan perkenalan bagi si calon agar
dapat berorientasi dan mengenal kehidupan membiara melalui kongregasi yang
dimasukinya (Mardi Prasetya, 1992: 292). Selama masa postulan ini, calon dibantu
oleh pemimpin postulan untuk mencapai kematangan manusiawi dan kristiani.
2. Pembinaan Novisiat:
Novisiat adalah suatu masa dimana seorang belajar untuk mengalami
kehidupan religius yang sesungguhnya. Kata “Novis” menurut kamus bahasa Latin
sendiri berasal dari bahasa latin “novicius” yang berarti “orang yang belum
berpengalaman” (Verhoeven:1969).
Dalam masa novisiat ini seorang novis diajak untuk menjajaki kesungguhan
magister/magistranya. Pada masa ini mereka sudah melibatkan diri untuk
menjalankan hidup berkomunitas dan belajar untuk memulai melaksanakan
nasihat-nasihat Injil (Mardi Prasetya seri 2, 2001: 43).
Tentang novisiat ini Konstitusi SSpS mengatakan:
Dalam latihan menghayati hidup religius, para novis dipersiapkan untuk penyerahan total kepada Allah dalam kaul-kaul. Mereka dibimbing untuk belajar hidup sesuai dengan nasihat-nasihat Injil dan Konstitusi kita dan semakin berkembang pengertian mereka tentang hidup religius. Pada waktu yang sama mereka tumbuh dalam semangat Kongregasi dan mengenal tradisi-tradisi kita. (Konst. SSpS. art. 528).
Lama masa novisiat adalah dua tahun. Tahun pertama dinamakan tahun
kanonik, dalam tahun ini yang menjadi penekanan ialah melatih seorang novis
untuk menghayati cara hidup kongregasi yang masih dirasa baru bagi si calon.
Sedangkan masa novisiat tahun kedua merupakan masa untuk mengalami
kenyataan hidup religius secara realistis. Dalam tahun kedua ini calon dilibatkan
dalam kegiatan kerasulan kongregasi.
3. Pembinaan Yuniorat
Tahap berikutnya adalah masa yuniorat. Setelah melewati masa postulat dan
novisiat, seseorang memasuki masa yunior. Mengenai yuniorat ini Kitab Hukum
Kanonik menegaskan:
“Dalam masing-masing tarekat, hendaknya pendidikan semua anggota diteruskan sesudah profesi pertama, agar dapat menghayati hidup khas tarekat secara lebih penuh serta dapat melaksanakan perutusan mereka secara lebih baik” (Kan. 659 - § 1).
Pada Kan. 573 - § 1 dikatakan sebagai berikut:
pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.
Bertitik tolak dari kita Kitab Hukum Kanonik di atas, diharapkan suster
yunior SSpS dapat menemukan dan merasakan suasana rohani dengan
meningkatkan kematangan emosinya dalam mempertanggungjawabkan terhadap
tugas yang dipercayakan kepadanya.
Konstitusi SSpS tentang yuniorat menuliskan:
Yuniorat berlangsung dari kaul pertama sampai kaul kekal.Selama waktu ini, suster mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Kongregasi. Selama tahun yuniorat para suster melanjutkan perkembangan dalam iman, kesediaan untuk pengabdian misioner kesetiaan pada Kongregasi. Mereka diharapkan berkembang dalam tingkat kematangan manusiawi dan religius yang memampukan mereka untuk mengambil keputusan dalam penyerahan diri kepada Kristus lewat kaul kekal (Konst. SSpS. art. 528).
Pendampingan untuk para yunior tetap didampingi oleh pemimpin komunitas
dan pembimbing khusus yunior serta diusahakan secara integral dan intensif untuk
membantu mereka dalam meningkatkan kematangan emosi dalam
bertanggungjawab sebagai anggota SSpS dan semakin siap melibatkan diri dalam
tugas perutusan lainnya yang dipercayakan oleh Kongregasi. Pendampingan para
suster yunior hendaknya dilakukan dengan empati dan integral agar yunior mampu
membina diri dan meleburkan dirinya serta menerima, menghayati kharisma dan
hidup kerohanian kongregasinya, sehingga semakin menjadi religius yang matang
B. Bimbingan Rohani
1. Pengertian Bimbingan Rohani
Dewasa ini, istilah bimbingan rohani masih tetap digunakan meskipun zaman
terus berkembang dan mengalami kemajuan yang cepat, sebab bimbingan rohani itu
sendiri digunakan untuk menunjukkan isi dari sebuah pengalaman hidup manusia
dalam menghayati hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta.
Penghayatan tersebut merupakan sebuah usaha menuju pada sebuah kepenuhan
hidup.
Dalam konteks bimbingan rohani dalam Gereja, kerohanian Kristiani selalu
berkaitan erat dengan peranan Roh Kudus. Roh Kudus hadir dalam setiap diri orang
kristiani. Maka setiap orang kristiani diharapkan mengikuti bimbingan Roh Kudus
dalam dirinya. Ia diharapkan semakin mampu berelasi dengan Allah. Bimbingan
rohani merupakan sarana yang memungkinkan agar orang semakin memperdalam
relasinya dengan Allah dalam Roh Kudus (Darminta, 2006: 33).
Bimbingan rohani merupakan usaha untuk menyadari dan menghayati
bimbingan roh dalam hidup seseorang. Usaha tersebut akan tampak ketika
seseorang mencari pribadi lain yang dimintai bantuan untuk membimbingnya
dalam mengikuti bimbingan Roh dalam hidupnya (Darminta, 2006: 16).
Dengan demikian, bimbingan rohani merupakan usaha untuk menumbuhkan
hidup iman, sebab dasarnya hidup merupakan penyerahan diri secara penuh pada
Allah. Adapun arah bimbingan rohani adalah hidup sesuai dengan bimbingan Roh
dalam menghayati hidup panggilan sehari-hari. Istilah bimbingan rohani juga
biasanya merupakan suatu usaha untuk menghayati hidup sesuai dengan bimbingan
Proses menyadari bimbingan Roh tersebut dapat terjadi dengan
mendengarkan panggilan Allah secara konkret. Proses ini sedikit demi sedikit
memberikan sebuah jawaban atas panggilan untuk melakukan suatu tindakan atau
tingkah laku yang konkret. Bimbingan rohani lebih mengarah pada usaha untuk
memahami bagaimana bimbingan Roh bekerja dalam diri seseorang dan bagaimana
bimbingan Roh itu hidup dalam diri orang tersebut (Darminta, 2006: 17).
Banyak orang yang mendalami hidup rohani mencoba merumuskan
pengertian bimbingan rohani. Beberapa rumusan akan dikemukakan di bawah ini
antara lain:
Menurut St. Ignatius Loyola (1993: 215), seperti yang diungkapkan oleh
Darminta, SJ., dalam bukunya Latihan Rohani, merumuskan bimbingan rohani
sebagai berikut: “Bimbingan rohani merupakan usaha untuk membantu sesama
masuk dalam pengalaman rohani yaitu pengalaman akan anugerah rahmat dalam
peristiwa hidup konkret. Fokus bimbingan rohani adalah mengalami kehadiran
Allah dalam segala peristiwa hidup yang tidak lain dan tidak bukan menyadari
secara mendalam arah hidup sesuai dengan kehadiran Allah yang dinamis.
Bimbingan rohani bergerak dalam hidup manusia seutuhnya, pikiran,
kecenderungan, perasaan dan emosi, peristiwa hidup dalam menjawab kehadiran
Allah. Bimbingan rohani merupakan usaha untuk mengarahkan hidup konkret dan
aktual sesuai dengan orientasi hidup kristiani yaitu kesempurnaan”.
Menurut Frans Harjawiyata (1993: 138-141) bimbingan rohani adalah
hubungan antara seorang Bapa rohani (guru, pembimbing) yang berilmu dan
berpengalaman dalam hidup rohani dan seorang murid yang ingin memanfaatkan
alat Roh Kudus. Inisiatif biasanya datang dari pihak murid. Karena dorongan Roh
Kudus, ia mencari seorang bapa rohani untuk minta bimbingan.
Menurut Barry dan Connoly (1982: 8) bimbingan rohani adalah bantuan yang
diberikan oleh sesama orang beriman kristiani pada yang lain agar ia
memperhatikan komunikasi pribadi dengan Tuhan, dan menjawab secara pribadi,
menumbuhkan kedekatan relasi dengan Tuhan serta menghayati
konsekuensi-konsekuensi dari relasi dengan Tuhan tersebut.
Ketiga rumusan di atas mempunyai unsur-unsur yang sama yaitu segi
pelayanan, pembimbing, orang yang dibimbing, hubungan, proses dan tujuan
bimbingan. Dari ketiga pendapat di atas dapat dikatakan bimbingan rohani adalah
hubungan antara seorang pembimbing dengan orang yang dibimbing dalam rangka
pelayanan pastoral agar orang yang dibimbing berkembang menuju kedewasaan
hidup rohani. Dengan melakukan bimbingan rohani diharapkan seseorang dapat
juga menyadari dan mengalami bahwa Allah hadir dalam peristiwa hidup
sehari-hari. Sebagai seorang religius bimbingan rohani merupakan suatu hal yang tidak
asing, karena setiap pribadi pasti punya dan pernah melakukan bimbingan rohani.
Dalam melakukan bimbingan rohani tersebut juga diharapkan bahwa seorang
religius dapat menghayati hidup panggilan dan membentuk emosinya baik dalam
hidup bersama, hidup rohani, kerasulan, maupun dalam hidup berkaul.
2. Faktor yang Mempengaruhi Bimbingan Rohani
Perlu disadari bahwa keberhasilan dalam bimbingan rohani sangat ditentukan
oleh beberapa faktor, yaitu Tuhan, terbimbing dan pembimbing, metode pendekatan
serta beberapa hal lain yang mendukung keberhasilan dalam bimbingan rohani,
relasi terbimbing dengan Tuhan demikian juga sebaliknya, serta lingkungan yang
kondusif (Barry dan Connoly, 1982: 31). Beberapa faktor yang mempengaruhi
bimbingan rohani akan diuraikan di bawah ini:
a. Pembimbing Rohani
1) Pengertian Pembimbing Rohani
Pembimbing Rohani adalah orang yang mendampingi orang yang dibimbing
dalam pertumbuhan dan perkembangan hidup rohaninya. Ia menghantar dan
membantu orang tersebut agar semakin mampu berelasi dengan Allah. Tugasnya
adalah menciptakan kemungkinan dan situasi agar relasi tersebut berjalan lancar
(Darminta, 2006: 17-18).
Seorang pembimbing rohani harus memenuhi syarat tertentu agar dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Secara khusus, pembimbing rohani
para suster yunior harus sesuai dengan kebutuhan para suster yunior.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi menyangkut aspek spiritualitas,
kepribadian, pengetahuan dan ketrampilan sebagai pembimbing rohani.
Menurut Darminta (2006: 68-71), ada beberapa aspek spiritualitas
pembimbing rohani, yaitu:
a) Relasi pribadi dengan Yesus Kristus
Pembimbing rohani harus mempunyai relasi dengan Yesus Kristus dalam
melaksanakan tugasnya. Dengan mempunyai relasi dengan Yesus Kristus, hidupnya
juga akan berpusat kepada Allah. Dengan demikian seorang pembimbing
diharapkan dapat menjadi penopang orang yang dibimbing dan tetap mampu
b) Hidup dalam bimbingan Roh
Pembimbing harus menyadari bahwa pembimbing utama adalah Roh Kudus.
Pembimbing adalah “alat” Roh Kudus dalam mendampingi orang yang dibimbing.
Jelas seorang pembimbing rohani haruslah seorang yang cukup mempunyai
pengalaman dalam penghayatan konkrit iman, dekat bergaul dengan Allah, kenal
dengan gerakan Roh dan seorang pendoa sejati. Untuk itu pembimbing rohani perlu
mengadakan pembedaan roh atau discernment untuk melihat dorongan dalam
proses bimbingan rohani.
c) Pribadi yang beriman dewasa
Seorang pembimbing rohani haruslah orang yang mempunyai iman yang kuat
dan dalam. Artinya, ia mampu mengambil tindakan berdasarkan pertimbangan
imannya, ia mampu menyerahkan diri dan memercayakan diri kepada Allah,
sekaligus mampu menyerahkan dan memercayakan orang yang dibimbingnya
kepada bimbingan Roh. Dia menjadi orang yang diharapkan mempermudah
pertemuan orang yang dibimbing dengan Allah dalam hidupnya yang konkrit
sehari-hari.
d) Bersemangat mendalami dan menghidupi firman Allah dalam Kitab Suci
Seorang pembimbing rohani dapat mengetahui kehendak Allah, jika ia setia
merenungkan firman dalam Kitab Suci. Sabda itu juga merupakan sumber inspirasi
dan kekuatan baginya untuk mendampingi orang yang dibimbingnya.
e) Bersemangat doa
Seorang pembimbing rohani adalah seorang pendoa. Artinya, ia adalah orang
yang bergaul akrab dengan Allah, kenal akan gerakan-gerakan roh, mempunyai
hidup manusia, penuh pengertian dan pemahamam atas lika-liku dan kesukaran
dalam hidup rohani.
Beberapa aspek spiritualitas di atas sangat penting dan merupakan dasar
dalam bimbingan rohani. Keberhasilan bimbingan rohani sangat ditentukan oleh
keadaan spiritualitas pembimbing. Bimbingan rohani hanya dapat berlangsung
dengan baik kalau pembimbing mempunyai kepercayaan yang kuat kepada
penyelenggaraan Allah. Spiritualitas pembimbing akan tampak dalam proses
bimbingan rohani, apakah pembimbing mengandalkan Allah atau mengandalkan
dirinya.
2) Kepribadian Pembimbing Rohani
Kepribadian adalah sifat-sifat, sikap-sikap yang tercermin dalam
tindak-tanduk seseorang. Seorang pembimbing rohani diharapkan mempunyai kepribadian
yang sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pembimbing rohani. Aspek ini
juga menentukan keberhasilan bimbingan rohani. Beberapa aspek kepribadian
pembimbing rohani yang diharapkan adalah:
a) Pribadi yang dewasa
Seorang disebut dewasa bila mencapai kematangan rohani dan emosinya.
Menurut Mardi Prasetya (1992: 100-104), pribadi yang dewasa adalah: ia mampu
menerima kenyataan, menerima dan menghayati apa yang bernilai, mengarahkan
daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakan
dalam hidup, tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu
pragmatisme, memiliki cinta yang tidak egois dan bersikap realistis, mampu
sendiri. Ia telah mengenal dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ia
tidak lagi bersikap kekanak-kanakan.
b) Kesesuaian antara perkataan dan tindakan
Seorang pembimbing rohani harus mampu menyesuaikan perkataan dan
tindakannya. Artinya apa yang dikatakan juga terwujud dalam tingkah lakunya
sehari-hari. Misalnya seorang pembimbing memberi nasihat kepada orang yang
dibimbingnya agar bersikap sabar dalam meningkatkan hidup doa, diandaikan
bahwa dia sendiri telah menghidupi dan mempraktekkan kesabaran dan hidup doa
dalam kehidupannya sehari-hari.
c) Sikap Sabar
Seorang pembimbing rohani harus mempunyai sikap sabar. Dalam proses
bimbingan rohani tidak selalu menyenangkan tetapi bisa sangat membosankan dan
menyakitkan. Ada kalanya orang yang dibimbing memberontak terhadap Allah,
terhadap dirinya, orang lain atau lingkungannya. Orang itu mungkin merasa
kesepian dan kekosongan dalam hidupnya. Untuk itu pembimbing perlu memiliki
sikap sabar dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam melaksanakan
bimbingan rohani.
d) Sikap rendah hati dan optimis
Bimbingan rohani tidak selalu berhasil sesuai dengan rencana, adakalanya
gagal dan orang yang dibimbing tidak pernah kembali lagi. Pembimbing merasa
bahwa orang yang dibimbing tidak menemukan apa yang menjadi harapannya dan
tidak mengalami perubahan dalam hidupnya. Keadaan seperti itu menuntut sikap
rendah hati dari para pembimbing. Sikap rendah hati itu juga diperlukan apabila
dirasa bimbingan berhasil. Demikian juga dalam menghadapi orang yang
segingga orang yang dibimbing merasa optimis. Seorang pembimbing yang pesimis
akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan orang yang dibimbingnya. Kita
perlu rendah hati dan optimis bahwa keberhasilan dalam membimbing itu adalah
semat-mata adalah bantuan dan rahmat Allah. Pembimbing adalah “alat” Allah.
Maka keberhasilan pembimbing adalah keberhasilan Allah.
e) Sikap percaya diri dan kejujuran
Seorang pembimbing rohani harus memiliki sikap kepercayaan diri dan
kejujuran. Percaya diri dan kejujuran yang dimiliki orang pembimbing akan
menimbulkan sikap percaya diri pada orang yang dibimbing serta mampu
mengungkapkan diri yang sesungguhnya tanpa menutup-nutupinya.
3) Pengetahuan dan Ketrampilan Pembimbing Rohani
Seorang pembimbing rohani rohani harus mempunyai pengetahuan dan
ketrampilan yang memadai. Pengetahuan dan ketrampilan yang memadai akan
memudahkan pembimbing untuk mendayagunakan bimbingan rohani. Pengetahuan
ini harus meliputi beberapa bidang yang menyangkut hidup rohani (Verbeek, 1981:
116-117). Orang yang kurang pengetahuannya dan tidak trampil akan mengalami
kesulitan bila menjadi seorang pembimbing rohani. Beberapa pengetahuan dan
ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang pembimbing rohani adalah:
a) Pengetahuan tentang bimbingan rohani
Pembimbing rohani harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
bimbingan rohani, tidak harus sangat “ahli” tetapi mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi bimbingan rohani. Keberhasilan bimbingan rohani juga dipengaruhi
b) Pengetahuan tentang kematangan rohani dan emosi
Kematangan rohani dan emosi merupakan faktor pokok yang digeluti dalam
bimbingan rohani. Maka pembimbing rohani harus memiliki pengetahuan yang
memadai tentang kematangan rohani dan emosi. Orang yang kurang memahami
proses kematangan rohani dan emosi tidak cocok untuk menjadi pembimbing
rohani. Pengetahuan yang minim tentang proses kematangan rohani dan emosi akan
berpengaruh buruk terhadap perkembangan hidup rohani orang yang dibimbing.
c) Pengetahuan tentang biarawan-biarawati muda
Banyak pembimbing yang tidak mengetahui secara pasti persoalan yang
dihadapi oleh para biarawan-biarawati muda, salah satunya adalah kurangnya
pengetahuan dan pemahaman pembimbing tentang realitas yang dihadapi oleh para
biarawan-biarawati muda, maka kita perlu mempunyai pengetahuan dan
pemahaman tentang realitas hidup yang dihadapi oleh para biarawan-biarawati
muda. Pengetahuan yang memadai itu akan membantu pembimbing untuk
mengetahui kebutuhan, permasalahan, harapan-harapan para biarawan-biarawati
muda. Setelah pembimbing mengetahui kebutuhan dan permasalahan yang
sesungguhnya, pembimbing bisa memberikan bantuan yang tepat.
d) Ketrampilan dalam praktek bimbingan rohani
Pengetahuan tentang bimbingan rohani belum pasti menjamin keberhasilan
dalam memberikan bimbingan rohani. Pengetahuan tentang bimbingan rohani perlu
diimbangi dengan ketrampilan dalam praktek bimbingan rohani seperti ketrampilan
berwawancara rohani, ketrampilan memilih tempat dan menentukan waktu untuk
b. Bimbingan Rohani
Keberhasilan dalam bimbingan rohani sangat ditentukan oleh beberapa faktor
yang telah disebutkan di atas, serta beberapa hal lain yang mendukung keberhasilan
dalam bimbingan rohani, seperti halnya.
1) Metode Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani terjadi melalui kehadiran personal antara dua pribadi.
Kehadiran personal ini terjadi melalui dialog atau wawancara. Wawancara ini
mempunyai ciri khasnya, yaitu wawancara dalam Roh, atau yang biasa disebut
wawancara rohani.
Wawancara rohani berarti tanya jawab antara pembimbing dengan orang yang
dibimbing dalam rangka bimbingan rohani. Fungsi wawancara rohani adalah untuk
menggali dan mengangkat pengalaman orang yang dibimbing kemudian
merefleksikan dari sudut pandang kristiani.Tujuannya adalah untuk menghantar
orang yang dibimbing masuk ke dalam pengalaman rohaninya dan kemudian
mengambil langkah-langkah dan tindakan baru untuk memperbaiki dan
meningkatkan kehidupannya (Darminta, 2006: 39-43).
2) Tempat Bimbingan Rohani
Tempat merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan
bimbingan rohani. Situasi tempat akan mempengaruhi suasana bimbingan rohani.
Dengan tersedianya tempat yang baik, niscaya akan mendukung kelancaran
komunikasi antara pembimbing dengan orang yang dibimbing.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan tempat:
a) Tempat harus diatur sedemikian rupa sehingga orang yang dibimbing merasa
nyaman dan aman. Suasana tempat yang teratur dan rapi membuat orang
b) Tempat harus memungkinkan pembimbing dan orang yang dibimbing untuk
berkomunikasi dengan bebas. Hal ini berarti bahwa hasil pembicaraan mereka
tidak boleh didengar oleh orang lain. Maka sebagai contoh, bimbingan rohani
tidak bijaksana dilakukan di dekat orang lain karena hasil pembicaraan akan
didengarkan.
c) Tempat harus memungkinkan orang yang dibimbing dapat mengungkapkan
emosinya dengan bebas. Contohnya orang yang dibimbing dapat menangis
dengan bebas tanpa kuatir disaksikan oleh orang banyak.
d) Tempat harus diusahakan agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain.
Misalnya bimbingan rohani tidak bijaksana dilakukan di kamar yang tertutup
rapat atau di kamar tidur. Khususnya jika pembimbing lawan jenis, perlu
dihindari tempat-tempat yang bisa mengundang kecurigaan orang lain.
Di atas telah diungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan tempat bimbingan rohani. Tentu saja masih banyak hal yang perlu
diperhatikan di samping hal yang telah disebutkan di atas. Untuk itu pembimbing
perlu bijaksana dalam menentukan tempat bimbingan rohani.
c. Waktu Bimbingan Rohani
Sebelum melaksanakan bimbingan rohani, hendaknya pembimbing dan orang
yang dibimbing menentukan kapan waktu bimbingan rohani diadakan. Pada
prinsipnya, bimbingan rohani dapat dilaksanakan setiap saat. Namun pemilihan
waktu yang tepat tentu saja berpengaruh terhadap proses bimbingan rohani.
Penetapan waktu bimbingan rohani secara tepat dapat membantu proses bimbingan
rohani. Untuk itu pembimbing dan orang yang dibimbing perlu mencari dan
Selain pengetahuan dan ketrampilan yang telah disebutkan di atas, seorang
pembimbing harus mempunyai:
1) Pengetahuan yang cukup mengenai kelemahan-kelemahan manusia yang
menjadi penghambat bagi karya Roh, pembimbing harus tahu tentang cacat cela
dan keutamaan dan apa yang menjadi akibatnya dsb.
2) Kemampuan membedakan roh-roh secara praktis, supaya lebih mudah dapat
menolong orang yang dibimbingnya di jalan yang penting itu.
3) Pengetahuan arti ketiga tahap hidup rohani (permulaan, kemajuan,
kesempurnaan), apa yang menjadi tanda dan gejala khusus untuk tahap
masing-masing.
4) Pengetahuaan cukup tentang doa dan tingkat-tingkatnya. Karena lebih-lebih di
situ pembimbing tidak boleh mengganti Allah yang membimbing orang dengan
Roh-Nya.
Tidak jarang bimbingan rohani mengalami kemacetan karena faktor-faktor
yang disebut di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari pihak yunior,
bimbingan rohani dirasa tidak penting/perlu, banyak kegiatan yang menyita banyak
waktu, merasa terpaksa karena diwajibkan, kurang adanya keterbukaan dan
konsisten, kurang sabar dalam berproses, individualisme, egoisme (sebagai akibat
dari arus globalisasi), permasalahan luka-luka batin yang menghambat hidup rohani
dan emosi, sulit untuk masuk ke dalam diri, sehingga mereka kurang mampu
melihat kehadiran Allah dalam hidup mereka.
Permasalahan yang lain adalah para suster yunior yang masuk Kongregasi
SSpS adalah remaja yang sangat dekat dengan dunia teknologi. Mereka mudah
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Budaya instan, budaya individualisme,
pertimbangan dalam memberi bimbingan rohani. Bimbingan rohani perlu melihat
situasi awal, latar belakang para yunior dan perkembangan zaman.
Dari pihak pembimbing, adanya tugas yang rangkap sehingga mengakibatkan
bimbingan rohani merupakan tugas sampingan, pembimbing kurang mengenal
secara mendalam dengan yang dibimbing, pembimbing tidak profesional terutama
untuk mendampingi pribadi-pribadi yang mempunyai kesulitan dan hambatan
psikologis, traumatis dll.
3. Dampak dari Bimbingan Rohani
Soenarja (1984: 88-104) menegaskan bahwa dampak dari bimbingan rohani
ialah “Hidup dalam Roh” dan penerusan kabar gembira. Orang dewasa menerima
tanggung jawab atas hidupnya secara penuh. Kedewasaan rohani mengandaikan
tanggungjawab yang sama di bidang rohani, dengan kata lain tidak melarang orang
minta nasihat atau bimbingan kepada orang lain, tetapi tanggungjawab pribadi yang
dilakukan dengan kemantapan dan penuh percaya.
Kemantapan dan kepercayaan ini diperoleh karena dengan bimbingan yang
akhirnya orang sudah langsung dapat menemukan dan mengalami perjumpaan
dengan Allah dalam setiap waktu. Seorang pribadi yang mengalami perjumpaan
dengan Allah dalam setiap waktu tentu ia juga mampu menemukan dan senantiasa
melakukan kehendak Allah dalam hidupnya, hal ini tampak dalam sikapnya,
misalnya saja: (1) ia mampu mengubah cara pandang lama menjadi cara pandang
baru; (2) mampu bergaul dan berkomunikasi dengan siapa saja tanpa memandang
status; (3) memiliki emosi yang matang dan stabil sehingga bisa menghadapi
konflik dengan bijaksana; (4) memiliki kebebasan dan kemandirian dalam hidup;
kepadanya; (6) memiliki diskresi dalam menentukan pilihan hidup. Orang yang
sering melakukan bimbingan rohani akan menjadi orang yang peka dan hidupnya
senantiasa mencari kehendak Allah.
Bimbingan rohani perlu dilaksanakan terus menerus karena dengan
bimbingan manusia mampu membawa gerak perubahan hidup ke arah yang lebih
baik. Hidup yang dijiwai oleh semangat “Roh” tentu saja berdampak pada
sikap-sikap yang sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki Allah. Dengan demikian
hidupnya menjadi bagian dari perpanjangan kasih Tuhan dan menjadi kekuatan,
sehingga ia mampu melaksanakan kehendak Allah dalam hidup bersama dengan
orang lain maupun dalam tugas yang dipercayakan kepadanya. Hal ini tampak
dalam sikap hidupnya yang membawa dan menghidupi nilai-nilai: (1) melihat
sesama secara positif; (2) mempunyai kemauan untuk maju dan mengembangkan
diri; (3) memiliki kerendahan hati; (4) mempunyai semangat berbagi (Darminta,
2006: 90-91).
Bimbingan rohani merupakan sebuah sarana yang digunakan oleh para kaum
religius dalam menumbuh kembangkan hidup penghayatannya sebagai seorang
yang secara khusus di panggil Allah untuk mengikuti-Nya secara radikal.
Konstitusi SSpS mengatakan:
Roh Kuduslah yang selalu menyanggupkan kita untuk hidup terarah kepada Allah. Di bawah bimbingan-Nya kita mengenal semakin jelas kehendak Bapa dalam hidup kita sehari-hari dan semakin rela menjawabnya, mengangkat salib dan mengikuti Kristus secara radikal. Hal ini menuntut dari kita usaha terus-menerus untuk menanggalkan manusia lama dan membaharui diri dalam roh dan pikiran…… (Konst. SSpS. art. 414).
Melalui beberapa penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa dampak
dari bimbingan rohani ialah mengantar orang kepada kesadaran perlunya mengenali
membedakan mana roh baik dan roh jahat, mana penghiburan mana penghiburan
yang semu, mana kehendak Tuhan dan mana kepentingan diri sendiri. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kesatuan antara alam batin dan realitas yang
dihadirkan dalam hidup kesehariannya atau buah-buahnya. Pengalaman rohani
yang benar itu semakin menyatukan orang dengan sesamanya dan membuat orang
menjadi rendah hati untuk mendengarkan suara orang lain selain diri kita. Orang
yang hidupnya senantiasa melakukan bimbingan rohani dengan demikian akan
merasa hidup dan pengabdiannya merupakan hidup di hadirat Allah.
Keadaan tersebut berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukan
bimbingan rohani dalam hidupnya. Bagi orang yang jarang melaksanakan
bimbingan rohani, segala yang dilakukan hanya berdasar pada kesenangan sesaat
dan tidak mempunyai orientasi hidup yang jelas sehingga tidak bisa memaknai
setiap peristiwa dalam hidupnya, memandang segala sesuatu dengan negatif serta
senantiasa menyalahkan Tuhan. Hal ini disebabkan hidupnya tidak dijiwai oleh Roh
Allah, melainkan roh dirinya sendiri. Dampak yang nyata adalah tindakan-tindakan
yang tidak sesuai dengan kehendak Allah atau tindakan-tindakan yang sesuai
dengan kehendaknya sendiri. Dengan demikian ia tidak pernah berkembang dalam
hidup rohani dan hanya dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Bimbingan rohani merupakan bagian dari pembinaan para yunior. Fungsi dari
pembinaan ini, adalah untuk membantu para yunior agar semakin mampu
menghayati nilai-nilai hidup religius. Pada dasarnya pembinaan selalu menuju
kepada kematangan rohani dan kematangan emosi yang lebih dalam dan utuh.
Untuk mencapai kematangan rohani dan kematangan emosi tersebut, orang perlu
terus-menerus berproses untuk mengintegrasikan hidup rohaninya agar semakin
C. Kematangan Emosi
1. Pengertian Emosi
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 368) Emosi adalah: 1) luapan perasaan
yang berkembang dan surut di waktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis
fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang
bersifat subjektif.
Albin (1986: 11) memahami emosi sebagai perasaan yang kita alami seperti
sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, benci, cinta. Perasaan-perasaan tersebut
berpengaruh terhadap pikiran dan tindakan seseorang. Misalnya tingkah laku
seorang ibu dalam keadaan sedih berbeda dengan tingkah laku pada saat ia dalam
keadaan gembira.
Goleman (1997: 411) memahami emosi dalam konteks yang lebih luas yang
merujuk pada perasaan dan pikiran-pikiran yang khas sekaligus mencakup keadaan
biologis dan psikologis dengan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak dan bereaksi terhadap setiap
stimulus dari luar diri individu, seperti halnya emosi gembira mendorong seseorang
untuk tertawa sehingga terjadi perubahan suasana hati, emosi sedih mendorong
seseorang untuk menangis.
Dari ketiga rumusan di atas dapat penulis rumuskan emosi merupakan
dorongan seseorang untuk bertindak dan bereaksi terhadap rangsangan yang datang
baik dari dalam maupun dari luar karena pengaruh situasi lingkungan sekitar.
Perubahan situasi dalam diri seseorang menimbulkan bermacam-macam reaksi baik
2. Kematangan Emosi
Sebelum banyak orang mengenal kecerdasan emosional, sebagian besar
berpendapat bahwa kesuksesan sangat ditentukan oleh kecerdasan intelektual yang
dimiliki oleh seseorang. Ternyata pendapat itu tidak selalu benar. Suparno (2004)
berpendapat ada banyak orang yang berinteligensi tinggi karena tidak stabil
emosinya dan mudah marah, seringkali keliru dalam menentukan dan memecahkan
persoalan hidup. Keadaan semacam itu dapat menimbulkan konflik dan kegagalan
dalam hidupnya.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegence menjelaskan bahwa
selain kecerdasan inteligensi kita semua mempunyai kecerdasan lain yaitu
kecerdasan emosional. Secara menyakinkan Goleman mengemukakan bahwa dalam
kehidupan kecerdasan emosional lebih penting daripada kecerdasan intelektual
(Goleman, 1997: 38).
Istilah kecerdasan emosional pertama kalinya dipelopori oleh seorang
psikolog Israel, Reuven Bar-On pada tahun 1980 dan dilontarkan kembali pada
tahun 1990 oleh psikolog Pater Salovey dari Harvard University dan Jonh Mayer
dari University of New Hamsphire. Salove dan Mayer mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang
lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan”. Yang dimaksud dengan himpunan bagian kecerdasan sosial
tersebut adalah kualitas-kualitas emosional dalam diri seseorang. Kualitas-kualitas
ini antara lain: empati, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan
menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi,
Kecerdasan emosi ditandai dengan adanya kematangan emosi. Kematangan
emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian diri, semangat dan
ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri (Goleman, 1977: xiii).
Menurut Goleman (1997: 58-59) kematangan emosi mencakup banyak kecerdasan
kemampuan dalam mengelola emosi, yaitu:
1) Mengenal emosi diri yaitu kesadaran diri mengenali perasaannya sendiri pada
saat perasaan itu sedang terjadi, dan memahami penyebab perasaan yang timbul,
serta mengenali perbedaan perasaan dan emosi yang sedang bergejolak di dalam
dirinya tanpa diingkari atau ditutupi.
2) Mengelola emosi yaitu orang mampu untuk mengendalikan dan mengelola
emosi-emosi (yang merusak) agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Toleransi lebih tinggi terhadap frustasi, berkurangnya ungkapan emosi dalam
bentuk kata-kata ejekan, emosi terungkap dengan pas, mampu mengungkapkan
amarah dengan tepat tanpa berkelahi, tidak berperilaku agresif, perasaan lebih
positif terhadap diri, sesama, keluarga, mengatasi ketegangan jiwa, dan mengurangi
kesepian, kecemasan dalam pergaulan.
3) Memotivasi diri sendiri yaitu menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan
adalah hal yang sangat penting untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri dan
menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Lebih bertanggungjawab, dan mampu
memusatkan perhatian pada tugas, lebih produktif dan efektif dalam hidup.
4) Kemampuan berempati yaitu mampu menerima sudut pandang orang lain,
memperbaiki rasa empati pada orang lain, dan lebih bisa mendengarkan orang lain.
5) Mengenali emosi orang lain yaitu orang yang empatik adalah orang yang mampu
dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Atau orang yang mampu untuk mengerti
dan memahami perasaan-perasaan ataupun emosi-emosi orang lain.
6) Membina hubungan yaitu membina relasi dengan orang lain, terampil dalam
mengelola emosi orang lain dan memahami orang lain, berkomunikasi dengan baik,
membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain.
Kematangan emosi merupakan dasar dari semua tindakan dan perilaku
seseorang. Kematangan emosi mencakup aspek perkembangan pribadi dan peranan
seseorang dalam lingkungan sosial. Kematangan emosi adalah kecerdasan
seseorang dalam mengatur, mengendalikan dan menata emosi yang ada dalam
dirinya. Emosi yang matang dapat dilihat dan dirasakan dari kemampuan seseorang
menguasai, dan mengatur emosi sesuai dengan kebutuhan.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Emosi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan seseorang. Kehidupan
menjadi berarti karena adanya emosi. Emosi seseorang berkembang selama
individu mulai mengalami suatu perubahan dalam dirinya. Maka dari itu dapat
dimengerti bahwa keadaaan yang mempengaruhi seseorang memberikan corak
dalam perkembangan emosinya, misalnya keadaan keluarga, tempat tinggal,
lingkungan sosial, pergaulan, sekolah, jabatan, bahkan cita-cita dan
harapan-harapannya.
Pengaruh emosi terhadap sikap manusia: emosi memberi arah sikap yang
akan dilakukan oleh pribadi. Dalam perkembangan anak emosi lebih ditujukan
kepada orang dewasa yang ada di sekitarnya, sehingga sikap orang dewasa turut
menentukan perkembangan emosi anak selanjutnya. Sikap emosi dari orang dewasa
Banyak anak yang bertingkah nakal, bersikap brutal, liar dan susah diatur
disebabkan oleh situasi emosi pada saat itu. Pengaruh emosi sangat besar sekali
terhadap perkembangan pribadi, dan penyembuhan yang disertai dengan suasana
yang menyenangkan akan mempercepat proses penyembuhan perkembangan
pribadi.
Menurut Goleman (1997: 371-374), pendidikan emosi membantu seseorang
untuk melatih dan menyalurkan emosi dengan baik atau yang disebut dengan
pengendalian emosi, serta membiasakan bereaksi dengan emosi yang positif yaitu
melalui sikap hidup yang wajar atau sesuai dengan sikap hidupnya.
Bila seseorang mampu mengolah emosinya dan sadar siapa dirinya dengan
segala kelebihan dan kekurangannya dihadapan Allah dan sesamanya, orang
tersebut akan bertumbuh dalam hidup rohaninya dan kepribadiannya.
Menjadi pribadi yang matang rohani dan matang emosi merupakan harapan
dari semua orang. Hal ini mengandaikan seseorang berani menghadapi
pergulatan-pergulatan batin yang ada dalam dirinya. Sebagaimana dikatakan dalam Konst.
SSpS. art. 503: “bahwa untuk menjadi pribadi yang utuh dan integral perlu orang
tersebut mengusahakan tercapainya kematangan manusiawi, mampu
mengintegrasikan antara hidup iman dan karya”. Untuk mencapai kematangan
pribadi, orang dituntut untuk mengenal diri sebaik-baiknya, mampu
mengembangkan bakat-bakatnya, sehingga sanggup menerima keterbatasan dirinya
serta sanggup mengatasi konflik dan tabah dalam menghadapi
kesulitan-kesulitannya. Dengan demikian dia akan mencapai kebebasan batin yang
membantunya untuk mampu mengambil keputusan-keputusan yang dapat
4. Dampak dari Kematangan Emosi
Dari uraian di atas, emosi adalah suatu reaksi batin yang wajar dan
manusiawi. Emosi adalah perasaan yang muncul secara spontan sebagai reaksi atas
adanya suatu hal yang menyentuh atau merangsang batin kita, hal itu bisa
menimbulkan reaksi positif maupun negatif. Mengalami dua keadaan yang berbeda
ini Goleman mengatakan (1997: 78) penderitaan maupun kebahagiaan adalah
bumbu kehidupan. Dalam perasaan, rasio antara emosi positif dan negatif yang
menentukan sebuah rasa sejahtera. Menderita atau bahagia semuanya menentukan
nilai hidup manusia. Tanpa emosi kita tidak akan pernah memahami arti hidup yang
sesungguhnya. Emosi dengan segala kualitasnya memperkaya eksistensi manusia
sebagai pribadi.
Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan kematangan emosi adalah
kemampuan seseorang dalam mengelola emosi yang ada dalam dirinya baik emosi
yang positif (syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll), maupun emosi
negatif (jengkel, marah, sedih, tersinggung, dll). Kematangan emosi menyebabkan
seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan dirinya secara optimal
dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu seseorang memiliki
keberanian untuk mengalami dan menerima rasa perasaan yang muncul dalam
dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau sikap batin untuk
mengakui keberadaan diri secara bebas.
Sedangkan orang yang tidak matang dalam emosinya akan menjadi pribadi
yang senantiasa labil, pribadi yang sering bertindak seturut perasaan saja tanpa
memakai akal budi, pribadi yang tertutup dan sulit untuk berelasi dengan sesama,
pribadi yang tidak mampu untuk menerima diri apa adanya/pribadi yang “unik”
kesalahan orang lain. Dengan kata lain orang yang tidak mampu mengolah
emosinya dengan baik akan menjadi pribadi yang sangat sulit untuk bekerja sama
baik dengan sesama maupun bersama rahmat Tuhan. Ia memiliki fisik yang lemah,
mudah jatuh dalam kegagalan yang mengakibatkan frustasi yang berkepanjangan,
depresi yang berdampak pada gangguan jiwanya. Dengan demikian ia merugikan
diri sendiri.
Bimbingan rohani dalam hidup religius pada zaman ini merupakan suatu
tuntutan, karena setiap orang yang masuk dalam Lembaga Hidup Bakti tertentu
diharapkan memiliki kematangan emosi dan kematangan rohani. Tentunya ini
merupakan proses seumur hidup. Untuk mencapai kematangan emosi dan
kematangan rohani, bimbingan rohani merupakan salah satu sarana untuk mencapai
kematangan tersebut.
Bimbingan rohani membantu para yunior untuk mengenali emosi-emosi yang
tidak teratur yang membuat orang tidak konsisten. Dengan bimbingan rohani
diharapkan orang bisa mengenali siapa dirinya dihadapan Allah dan sesama dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Bimbingan rohani hendaknya dijadikan satu
kebutuhan bagi para yunior demi perkembangan pribadinya. Dengan demikian ia
menjadi orang yang memiliki pribadi yang utuh dan integral.
5. Kedewasaan Pribadi
Kematangan emosi menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang
bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang dilakukan sebagai manusia. Seperti
yang diharapkan oleh Kongregasi SSpS dan ditegaskan dalam Konstitusi
Kongregasi.