• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa - USD Repository"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN BIMBINGAN ROHANI

TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

PROVINSI JAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan KekhususanPendidikanAgamaKatolik

Oleh

Sulis Erna Prawati

NIM: 081124045

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Saya mempersembahkan skripsi ini kepada

Para suster Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus Provinsi Jawa

yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menjalani perutusan studi

di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Program Studi Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Universitas Sanata Dharma

(5)

v

MOTTO

Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup,

Dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.

(Yoh10:10)

Kuberikan kebaikan untuk kebaikan itu sendiri

Karena kebaikan selalu melengkapi lingkaran hidup kita.

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.

Pemilihan judul ini didasarkan pada realitas dan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan bimbingan rohani yang sudah diupayakan dan diberikan oleh pemimpin komunitas bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa belum sepenuhnya membantu mereka menjadi pribadi yang matang rohani dan emosi. Itu terjadi karena pelaksanaan bimbingan rohani belum maksimal. Ada beberapa faktor yang manjadi kendala sehingga bimbingan rohani bagi para suster yunior menjadi terhambat. Salah satunya adalah faktor pemimpin komunitas yang kurang profesional dan bahkan kurang matang emosinya. Faktor dari dalam suster yunior sendiri bisa juga menghambat dalam bimbingan, misalnya pribadi yunior yang tertutup tidak mau terbuka, adanya keterpaksaan, dan kurang disiplin diri dalam mengolah batin. Semuanya itu sangat mempengaruhi proses bimbingan rohani mereka sendiri. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pemimpin komunitas dalam usaha meningkatkan kualitas bimbingan rohani bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para pemimpin komunitas akan pentingnya bimbingan rohani untuk kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, penulis mengkaji dengan metode deskriptif analisis. Artinya penulis menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang ada sehingga ditemukan jalan pemecahannya. Data ini diperoleh melalui pengisian Skala Likert

kepada para suster yunior itu. Selain itu penulis menggunakan refleksi pribadi selama menjadi yunior SSpS dan studi pustaka untuk mendapatkan gagasan dari para ahli yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan dalam pelaksanaan bimbingan rohani dalam komunitas-komunitas Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa bagi kematangan emosi para suster yunior.

(9)

ix

ABSTRACT

The title of this small thesis is ”The Role of the Spiritual Direction for the Emotional Maturity of Junior Sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit Sisters (SSpS) of the Java Province.”

This title was chosen based on the author’s concern on the practice of the spiritual direction that has been given by the superior of the community for the SSpS junior sisters of the Java Province. The spiritual direction has not totally helped the junior sisters to become spiritually and mentally mature. There are several factors that may have caused this to happen. One of them is the role of the superior of the community that is not competent and emotionally immature. The second one is the role of the personality of the junior sisters themselves. The personality of junior sisters that is not quit open to the spiritual director, the feeling of being forced to go for spiritual direction, and the lack of discipline in making spiritual reflection can be obstacles in the process of spiritual direction. Based on this kind of concern, this small thesis wants to help the superior of the community of SSpS Sisters of the Java Province to intensify the quality of spiritual direction for the junior sisters.

The main problem of this thesis is to discuss how far the role of spiritual guidance is, for the emotional maturity of junior sisters and what efforts to be done to improve the awareness of the community leaders, to see how important the spiritual guidance is for emotional maturity of the junior sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit (SSpS) of the Java Province. To analyze this matter, the writer uses analysis descriptive method, which means the writer reflects and analyses the problems in order to solve them. These data were collected with the Likert Scale by the junior sisters. In addition, the writer uses her personal reflections of her own experiences as junior sister, and some literature studies to get more ideas from experts that help communities of the Mission Congregation of the Servants of the Holy Spirit Sisters, in the efforts of spiritual direction for the emotional maturity of the junior sisters.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan limpah terima kasih kepada Allah Tritunggal Mahakudus

yang telah menyertai, membimbing, menuntun, dan menerangi penulis dengan

rahmat serta kasih setia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA.

Skripsi ini disusun oleh penulis berdasarkan penemuan bahwa bimbingan

rohani merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan dalam kematangan

emosi para suter yunior. Melalui bimbingan rohani, para suster yunior mampu

melihat kembali kesatuan hidupnya yang utuh dengan Allah, sesama manusia dan

kesatuan dengan ciptaan.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para suster yunior untuk

setia melaksanakan bimbingan rohani guna mencapai kematangan emosi. Selain itu

skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menempuh

ujian Program Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan

Pendidikan Agama Katolik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat selesai pada

waktunya berkat bantuan dari berbagai pihak baik yang secara langsung maupun

tidak langsung telah mendampingi, membimbing dengan penuh kerelaan, kesabaran

dan kesetiaan serta mendukung lewat doa-doa sehinga memotivasi penulis untuk

setia dan bertekun menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis

(11)

xi

1. Suster Ines Setiono, SSpS beserta Tim Pimpinan Provinsi Kongregasi Misi

Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa yang telah memberikan perutusan studi

di Prodi IPPAK-JIP, Fakultas dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, serta setiap suster SSpS di Provinsi Jawa yang telah mendukung

lewat cinta, doa-doa, dan perhatiannya sehingga dapat menyelesaikan tugas

studi ini dengan baik.

2. Seluruh suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa

yang telah memberikan banyak bantuan dalam pengumpulan data penelitian.

3. Para suster komunitas Biara Roh Suci Yogyakarta yang telah memberikan

dukungan, doa, perhatian khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen pembimbing utama yang telah

menyediakan diri dan meluangkan waktu untuk mendampingi, membimbing

penulis dengan kesabaran serta kesetiaan, memberi masukan dan kritikan

sehingga penulis termotivasi untuk menuangkan ide dan gagasan dalam seluruh

proses penulisan skripsi ini.

5. Dr. C. Putranta, SJ, selaku dosen penguji II dan sekaligus dosen wali yang

telah menyediakan diri untuk membimbing dan memberikan peneguhan pada

penulisan skripsi ini.

6. Dra. Yulia Supriati, M.Pd, selaku dosen III yang telah memberikan perhatian,

bimbingan dalam penelitian, serta memberikan semangat dalam penulisan

skripsi ini.

7. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing, mendukung

(12)
(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

MOTTO……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN………... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK………. vii

ABSTRAK………. viii

ABSTRACT……….. ix

KATA PENGANTAR………... x

DAFTAR ISI……….. xiii

DAFTAR SINGKATAN………... xvii

BAB I. PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 5

C. Pembatasan Masalah……….. 6

D. Rumusan Masalah………... 6

E. Manfaat Penulisan……….. 7

F. Metode Penulisan………... 8

G. Sistematika Penulisan………. 8

BAB II. BIMBINGAN ROHANI DAN KEMATANGAN EMOSI... 10

A. Tahap Pembinaan Religius………. 10

1. Pembinaan Postulat………... 11

2. Pembinaan Novisiat……….. 11

3. Pembinaan Yuniorat………. 12

B. Bimbingan Rohani……….. 14

1. Pengertian Bimbingan Rohani……….. 14

(14)

xiv

a. Pembimbing Rohani………... 17

b. Bimbingan Rohani……….. 23

c. Waktu Bimbingan Rohani……….. 24

3. Dampak dari Bimbingan Rohani……….. 26

C. Kematangan Emosi………. 29

1. Pengertian Emosi……….. 29

2. Kematangan Emosi………... 30

3. Faktor yang Mempengaruhi Emosi……….. 32

4. Dampak dari Kematangan Emosi………. 34

5. Kedewasaan Pribadi……….. 35

D. Kerangka Pikir………... 38

BAB III. PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA……… 40

A. Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus………. 40

1. Identitas Kongregasi SSpS………... 40

2. Spiritualitas dan Kharisma Kongregasi SSpS………... 42

a. Spiritualitas Kongregasi SSpS……… 42

b. Kharisma Kongregasi SSpS……… 43

B. Metodologi Penelitian………. 46

1. Jenis Penelitian………. 46

2. Metode Penelitian………. 47

3. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 47

4. Responden Penelitian………... 47

5. Instrumen Penelitian………. 48

6. Variabel Penelitian………... 49

C. Hasil Penelitian………... 50

1. Proses Bimbingan Rohani………. 50

a. Pengetahuan dan Pengenalan akan Tuhan……….. 50

b. Kepercayaan, Relasi dan Menghargai Pembimbing…... 51

(15)

xv

d. Metode dalam Bimbingan………... 54

2. Proses Kematangan Emosi……… 55

a. Penilaian, Pengenalan dan Percaya Diri………. 55

b. Pengelolaan Emosi………. 56

c. Motivasi Diri………... 57

d. Pengenalan Emosi……….. 57

e. Membina Hubungan………... 58

D. Pembahasan Hasil Penelitian……….. 59

1. Proses Bimbingan Rohani………... 59

a. Pengetahuan dan Pengenalan akan Tuhan………. 59

b. Kepercayaan, Relasi dan Menghargai Pembimbing…... 60

c. Suasana dalam Melaksanakan Bimbingan……….. 61

d. Metode dalam Bimbingan………... 62

2. Proses Kematangan Emosi……… 64

a. Penilaian, Pengenalan dan Percaya Diri………. 64

b. Pengelolaan Emosi……….. 65

c. Motivasi Diri………... 65

d. Pengenalan Emosi………... 66

e. Membina Hubungan………... 67

3. Rerata Proses Bimbingan Rohani terhadap Proses Kematangan Emosi para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa……… 68

E. Kesimpulan………. 71

F. Keterbatasan Penelitian………... 72

(16)

xvi

A. Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para

Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS)

Provinsi Jawa………... 73

B. Usaha Meningkatkan Proses Pelaksanaan Bimbingan Rohani……… 74

1. Latar Belakang Usaha Meningkatkan Pelaksanaan Proses Bimbingan Rohani………... 74

2. Profil Pembimbing Rohani……….. 76

3. Alternatif dan Pilihan Pendekatan Pembinaan Bagi Para Pemimpin Komunitas……….. 77

BAB V. PENUTUP……… 79

A. Kesimpulan………. 79

B. Saran………... 81

DAFTAR PUSTAKA……… 85

LAMPIRAN………... (1)

Lampiran 1: Skala Likert Penelitian………... (1)

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Dokumen Resmi Gereja

PC : Perfectae Caritatis

B.Singkatan Lain

Art : Artikel

Kan : Kanon

SVD : Societas Verbi Divini

SSpS : Servae Spiritus Sancti

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bimbingan rohani sangat diperlukan untuk mendewasakan iman religius

supaya tangguh dalam menanggapi tantangan zaman saat ini.

Para suster yunior perlu memiliki kematangan emosi supaya dapat menanggapi

tantangan zaman ini. Perkembangan zaman yang semakin pesat mulai dari

teknologi alat-alat canggih, mode sampai dengan makanan cepat saji menimbulkan

begitu banyak tawaran duniawi yang menggiurkan. Dalam kehidupan sehari-hari

mau tidak mau orang dihadapkan pada banyaknya pilihan tersebut. Gaya hidup

zaman sekarang sangat mempengaruhi watak dan pola hidup kaum muda.

Gambaran penerus zaman sekarang dapat digambarkan sebagai generasi instan

yang ingin cepat-cepat menerima hasil tanpa harus berusaha.

Menghadapi begitu pesatnya perkembangan zaman, para yunior

membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar semakin bertumbuh dan

berkembang dalam iman dan kematangan emosinya. Dalam hal ini Konstitusi SSpS

mengatakan:

(19)

Bagi seorang yunior, untuk mencapai kematangan emosi dan religius tidaklah

mudah. Banyak hal yang turut mewarnai cita-cita dan harapan mereka. Dinamika

perjalanan hidup untuk menuju tingkat kematangan emosi dan religius sangat

kompleks. Ada benturan idealisme (cita-cita/harapan kongregasi) dan harapan

pribadi serta situasi nyata yang dihadapi dapat mengaburkan tujuan. Ada banyak

faktor yang menjadi penghambat baik dari luar maupun dari dalam diri yunior itu

sendiri. Hambatan dari luar yang sering dijumpai oleh yunior misalnya kesibukan

studi, tuntutan kerja yang terlalu banyak, situasi dari komunitas yang kurang

mendukung misalnya, sesama suster yang kurang memberi sapaan atau teguran,

pemimpin yang terlalu banyak menuntut dan kurang peka dengan keadaan dan

situasi yang sedang dihadapi oleh yunior. Selain itu tidak adanya keteladanan dan

kesungguhan dari suster yang lebih senior, hal itu jelas berpengaruh dalam

pembentukan kepribadian dan kematangan emosi seorang religius muda tersebut.

Bagaimanapun juga seorang yunior yang tinggal di dalam komunitas akan

menyerap nilai-nilai yang ada di komunitasnya. Kemajuan teknologi yang semakin

canggih kadang-kadang juga membawa hambatan bagi suster muda tersebut, bila

pribadi itu kurang dewasa dan matang emosinya, sehingga mereka menjadi orang

yang labil dan mudah terbawa arus, tidak mempunyai prinsip, emosional, dan tidak

jelas dimana dia akan berpijak.

Sedangkan hambatan dari dalam diri yunior misalnya: tidak disiplin dalam

membuat jurnal harian dan merefleksikan, malas membaca dan merenungkan Kitab

Suci dan Konstitusi, enggan untuk mengolah perasaan, hidup doa yang dangkal dan

terlalu terlena dengan dunianya sendiri. Keadaan seperti itu tidak jarang bagi yunior

akan mengalami kelesuan hidup, kehilangan arah hidup, jiwa menjadi terbebani,

(20)

dirinya. Bila keadaannya ini dibiarkan terus-menerus akan menggerogoti dan

mengakibatkan yunior tidak krasan dan tidak at home dengan hidup panggilannya

yang efeknya yunior akan menanggalkan jubahnya atau keluar dari biara.

Menanggapi masalah-masalah yang terjadi dalam diri para suster yunior

tersebut, Kongregasi berusaha membantu meningkatkan pembinaan pribadi yang

dapat mendukung dan mengembangkan iman para suster yunior dalam proses

kematangan rohani dan pribadi. Pembinaan pribadi tersebut diupayakan melalui:

pembinaan spiritualitas, pembinaan misioner (formasi SSpS berusaha

mempersiapkan anggotanya agar mampu melaksanakan tugas dalam sikap apostolis

dan semangat pengabdian. Hal ini diusahakan salah satunya dengan cara melatih

setiap suster khususnya para postulant, novis dan yunior untuk mengalami live-in

dengan tujuan agar mereka bisa berdialog dengan masyarakat sekitarnya. Selain itu

saling berbagi tentang pengalaman misi berserta suka dukanya dan

tantangan-tantangannya sangat membantu para suster untuk menambah wawasan tentang misi,

dilatih keberanian untuk berdialog dengan semua orang dengan hati dan pikiran

terbuka dan dengan orang-orang dari agama dan kebudayaan lain), pembinaan

komunitas, pembinaan afeksi, pembinaan sosial, pembinaan hidup dalam

pilihan-pilihan hidup, dan bimbingan rohani (manuale untuk pembinaan Kongregasi SSpS,

2001: 54-63). Tujuan dari bimbingan rohani itu sendiri agar para suster yunior

semakin mengenal dirinya baik dalam segi positif dan negatif.

Dalam formasi lembaga religius, tugas pembinaan tersebut dipercayakan

kepada para pemimpin komunitas atau pembina khusus. Adanya pembina khusus

bagi yunior adalah untuk membantu para suster yunior mencapai kematangan

pribadi dan emosional. Menanggapi pentingnya seorang pembina bagi yunior, maka

(21)

mendampingi para yunior tersebut. Pembinaan para suster yunior ini diharapkan

menjawab kebutuhan mereka dan mengena. Konsili Vatikan II dalam Dekrit

Perfectae Caritatis mengatakan:

….penyesuaian hidup religius dengan tuntutan-tuntutan zaman sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Hendaknya dilakukan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang sesuai sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota untuk mencapai keutuhan hidup. (PC art. 18).

Ini suatu tantangan bagi para pembina maupun yunior itu sendiri yang

menuntut bagaimana seorang religius hidup di tengah-tengah dunia dan dalam

pelayanannya dapat membawa Kabar Sukacita Kristus. Di sinilah dapat dilihat

pentingnya pembinaan lewat bimbingan rohani agar para suster yunior semakin

memiliki kepribadian yang dewasa dan matang emosinya. Istilah “bimbingan”

dapat diartikan sebagai bantuan, pertolongan dan petunjuk. Dengan kata lain,

bantuan atau pertolongan yang diberikan seseorang terhadap orang tertentu.

Sedangkan istilah”rohani” berasal dari kata Roh yang berarti nafas hidup atau hidup

yang dijiwai oleh roh.

Melalui bimbingan rohani, seseorang semakin mengenal dirinya. Baik dalam

segi postif dan negatif. Dengan mengenal potensi yang dimilikinya maka seseorang

juga mampu untuk mengolah emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Semakin

mereka tekun dan setia dalam bimbingan rohani semakin ditumbuh kembangkan

dalam hidup rohaninya dan kematangan emosinya. Dalam Kongregasi SSpS,

bimbingan rohani adalah: “Wawanhati” dengan pendamping untuk melihat sejauh

mana perkembangan hidup rohani para suster yunior. Setiap yunior wajib untuk

bimbingan rohani dengan pemimpin rumah secara bergilir. Mereka mengadakan

(22)

Seorang pemimpin rumah wajib memberi bimbingan kepada para suster

yunior agar mereka dapat memupuk kerelaan hati dan kepekaan terhadap karya Roh

Kudus (Konst. SSpS. art. 520). Wawanhati juga dimaksudkan untuk membantu para

suster yunior agar semakin berkembang dalam hidup bersama, hidup misi, hidup

rohani dan kematangan emosi.

Kembali kepada pemimpin komunitas atau pembina yunior. Persoalan yang

dihadapi adalah tidak semua pemimpin komunitas berpotensi sebagai pembina

profesional dimana mereka sungguh mampu mendampingi para yunior sampai

mereka dewasa dalam kepribadian dan matang dalam emosinya.

Berdasarkan keprihatinan dan realitas yang ada dalam diri para suster yunior

SSpS di Provinsi Jawa ini, yang masih membutuhkan bimbingan rohani supaya

mereka dapat berkembang dalam iman serta dapat mencapai kedewasaan pribadi

serta kematangan dalam emosi, penulis memilih judul skripsi PERANAN

BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER

YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA.

Pemilihan judul ini didasarkan pada pemikiran bahwa para yunior masih

membutuhkan bimbingan rohani yang terus menerus untuk semakin dewasa dalam

iman dan matang dalam emosi agar dapat menjadi seorang religius misionaris yang

tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.

B. Identifikasi Masalah

Atas dasar latar belakang penelitian tersebut, diidentifikasikan

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah para suster yunior SSpS Provinsi Jawa menggunakan waktu

(23)

2. Bagaimanakah sikap para suster yunior SSpS Provinsi Jawa pada saat

melaksanakan bimbingan rohani?

3. Apakah para suster yunior SSpS Provinsi Jawa mempunyai kesetiaan dalam

melaksanakan bimbingan rohani?

4. Sejauh mana para suster yunior SSpS Provinsi Jawa matang emosinya selama

melaksanakan bimbingan rohani?

5. Seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para

suster yunior SSpS Provinsi Jawa?

C. Pembatasan Masalah

Mengingat waktu yang terbatas dan penelitian yang dilakukan dapat

mendalam penulis membatasi permasalahan pada “Peranan Bimbingan Rohani

Terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh

Kudus (SSpS) Provinsi Jawa”.

D. Rumusan Masalah

Berdasar pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana proses bimbingan rohani dalam komunitas khususnya Kongregasi

SSpS Provinsi Jawa?

2. Bagaimana proses kematangan emosi para suster yunior dalam komunitas

khususnya Kongregasi SSpS Provinsi Jawa?

3. Seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi bagi para

(24)

E. Tujuan Penulisan

Dengan melihat beberapa rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan

dicapai dalam penulisan ini ialah:

1. Menguraikan proses bimbingan rohani dalam komunitas khususnya Kongregasi

SSpS Provinsi Jawa.

2. Memaparkan proses kematangan emosi dalam komunitas khususnya Kongregasi

SSpS Provinsi Jawa.

3. Untuk mengetahui seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap

kematangan emosi para Suster Yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.

F. Manfaat Penulisan

1. Bagi para yunior

Memberikan sumbangan berupa informasi, pengetahuan dan pemahaman

akan pentingnya mengupayakan bimbingan rohani dalam hidup religius yang dapat

memberikan peranan terhadap kematangan emosi bagi para suster yunior.

Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan mendorong para suster yunior

Kongregasi SSpS Provinsi Jawa untuk membina diri dengan setia melaksanakan

bimbingan rohani untuk mencapai kematangan emosi. Dengan demikian dapat

menjadi seorang suster misionaris Abdi Roh Kudus yang tangguh dalam tugas

perutusan yang dipercayakan Kongregasi.

2. Bagi Para Pendamping/Pembimbing

Memberikan wawasan yang dapat membantu para pendamping/pembimbing

yunior dalam usaha memberikan bimbingan rohani kepada para suster yunior yang

(25)

3. Bagi Kongregasi SSpS Provinsi Jawa

Semakin meneguhkan Kongregasi untuk terus berupaya memberikan

dukungan dan pembinaan kepada para pendamping/pembimbing yunior untuk

mengambil bagian dalam karya kongregasi.

4. Bagi penulis

Menambah pemahaman akan pentingnya mengusahakan bimbingan rohani

dalam hidup religius yang berperan bagi kematangan emosi para suster yunior.

5. Bagi Ilmu Kateketik

Memberikan sumbangan berupa pengetahuan dan pemahaman akan

pentingnya peranan bimbingan rohani sebagai landasan utama dalam kematangan

emosi para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.

G. Metode Penulisan

Dalam penulisan ini penulis akan menggunakan metode deskriptif analitis

yaitu menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta serta

sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 1983: 75), sehingga ditemukan jalan

pemecahan yang tepat dalam membantu para suster yunior untuk mencapai

kematangan emosi.

H. Sistematika Penulisan

Supaya memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis

akan menyampaikan pokok-pokok gagasan dalam penulisan ini.

BAB I berisi pendahuluan, yang meliputi latar belakang penulisan,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,

(26)

BAB II berisi Bimbingan Rohani dan Kematangan Emosi yang meliputi:

tahap pembinaan religius, bimbingan rohani, kematangan emosi dan kerangka

berpikir. Tahap pembinaan religius terdiri dari: pembinaan postulant, pembinaan

novisiat dan pembinaan yuniorat. Bimbingan rohani terdiri dari: pengertiaan

bimbingan rohani, faktor-faktor yang mempengaruhi bimbingan rohani dan dampak

dari bimbingan rohani. Kematangan emosi terdiri dari: pengertian emosi,

kematangan emosi, faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, dampak

dari kematangan emosi dan kedewasaan pribadi, dan kempat menerangkan

kerangka berpikir.

BAB III mengenai Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi

Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa yang

meliputi sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus dan metodologi penelitian.

Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus yang meliputi identitas Kongregasi

SSpS, spiritualitas dan kharisma Kongregasi SSpS. Metodologi penelitian yang

meliputi jenis penelitian, metode penelitian, tempat dan waktu penelitian,

responden penelitian, instrumen penelitian dan variabel penelitian. Tahap

berikutnya penulis akan mengkaji hasil penelitian dan membahas hasil penelitian.

BAB IV Meningkatkan Peranan Bimbingan Rohani Terhadap Kematangan

Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa

BAB V penulis ingin menegaskan kembali intisari dari skripsi ini dengan

(27)

BAB II

BIMBINGAN ROHANI DAN KEMATANGAN EMOSI

Pada bab ini akan diuraikan tentang peranan bimbingan rohani terhadap

kematangan emosi para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa. Bagian

pertama menerangkan dinamika pembinaan yuniorat. Bagian kedua membahas

bimbingan rohani, yang terdiri dari: pengertian bimbingan rohani, faktor-faktor

yang mempengaruhi bimbingan rohani, dan dampak bimbingan rohani. Bagian

ketiga menguraikan tentang kematangan emosi yang terdiri dari: pengertian emosi,

kematangan emosi, faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, dampak

dari kematangan emosi, dan kedewasaan pribadi. Bagian keempat mengenai

kerangka pikir.

Para anggota muda Kongregasi SSpS Provinsi Jawa adalah kaum muda yang

lahir dalam arus jaman globalisasi. Kaum muda ini banyak dipengaruhi oleh situasi

jaman dan berdampak pula dalam kehidupan bersama. Berhadapan dengan

pembinaan hidup religius itu sendiri, Kongregasi SSpS juga berupaya untuk

memberikan pembinaan bagi para yuniornya. Karena pembinaan itu merupakan

proses yang terjadi seumur hidup, maka pendampingan bagi para religius muda

perlu mendapat perhatian.

A. Tahap Pembinaan Religius

Setiap calon yang masuk dalam salah satu Lembaga Hidup Bakti tertentu

harus memasuki melalui beberapa tahap pembinaan. Mereka ditempa dalam proses

(28)

dalam salah satu Lembaga Hidup Bakti juga melewati tahap-tahap secara umum

dari pembinaan di Postulat, Novisiat, Yuniorat maupun yang sudah berkaul kekal

(OnGoing Formation). Berikut ini akan diuraikan secara singkat tahap-tahap

pembinaan religius untuk:

1. Pembinaan Postulat:

Kata “Postulat” berasal dari kata “Postulare” yang berarti “mengajukan

permohonan”, juga mempunyai dua arti, yaitu tempat pembinaan calon dalam suatu

kongregasi dan masa pembinaan. Tujuan khusus dari masa pembinaan di postulant

menurut Konstitusi SSpS adalah:

Hendaknya mereka mencapai kematangan manusiawi dan rohani yang memadai untuk mampu menjawab panggilan Tuhan dengan bebas. Dibawah bimbingan pemimpin, mereka berusaha mengembangkan hidup doa, pengajaran, studi dan membantu mereka untuk memperdalam pengetahuan. Melalui kehidupan bersama mereka dibantu untuk lebih mengenal dan menerima diri (Konst. SSpS. art. 514).

Masa postulat merupakan masa peralihan dan perkenalan bagi si calon agar

dapat berorientasi dan mengenal kehidupan membiara melalui kongregasi yang

dimasukinya (Mardi Prasetya, 1992: 292). Selama masa postulan ini, calon dibantu

oleh pemimpin postulan untuk mencapai kematangan manusiawi dan kristiani.

2. Pembinaan Novisiat:

Novisiat adalah suatu masa dimana seorang belajar untuk mengalami

kehidupan religius yang sesungguhnya. Kata “Novis” menurut kamus bahasa Latin

sendiri berasal dari bahasa latin “novicius” yang berarti “orang yang belum

berpengalaman” (Verhoeven:1969).

Dalam masa novisiat ini seorang novis diajak untuk menjajaki kesungguhan

(29)

magister/magistranya. Pada masa ini mereka sudah melibatkan diri untuk

menjalankan hidup berkomunitas dan belajar untuk memulai melaksanakan

nasihat-nasihat Injil (Mardi Prasetya seri 2, 2001: 43).

Tentang novisiat ini Konstitusi SSpS mengatakan:

Dalam latihan menghayati hidup religius, para novis dipersiapkan untuk penyerahan total kepada Allah dalam kaul-kaul. Mereka dibimbing untuk belajar hidup sesuai dengan nasihat-nasihat Injil dan Konstitusi kita dan semakin berkembang pengertian mereka tentang hidup religius. Pada waktu yang sama mereka tumbuh dalam semangat Kongregasi dan mengenal tradisi-tradisi kita. (Konst. SSpS. art. 528).

Lama masa novisiat adalah dua tahun. Tahun pertama dinamakan tahun

kanonik, dalam tahun ini yang menjadi penekanan ialah melatih seorang novis

untuk menghayati cara hidup kongregasi yang masih dirasa baru bagi si calon.

Sedangkan masa novisiat tahun kedua merupakan masa untuk mengalami

kenyataan hidup religius secara realistis. Dalam tahun kedua ini calon dilibatkan

dalam kegiatan kerasulan kongregasi.

3. Pembinaan Yuniorat

Tahap berikutnya adalah masa yuniorat. Setelah melewati masa postulat dan

novisiat, seseorang memasuki masa yunior. Mengenai yuniorat ini Kitab Hukum

Kanonik menegaskan:

“Dalam masing-masing tarekat, hendaknya pendidikan semua anggota diteruskan sesudah profesi pertama, agar dapat menghayati hidup khas tarekat secara lebih penuh serta dapat melaksanakan perutusan mereka secara lebih baik” (Kan. 659 - § 1).

Pada Kan. 573 - § 1 dikatakan sebagai berikut:

(30)

pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.

Bertitik tolak dari kita Kitab Hukum Kanonik di atas, diharapkan suster

yunior SSpS dapat menemukan dan merasakan suasana rohani dengan

meningkatkan kematangan emosinya dalam mempertanggungjawabkan terhadap

tugas yang dipercayakan kepadanya.

Konstitusi SSpS tentang yuniorat menuliskan:

Yuniorat berlangsung dari kaul pertama sampai kaul kekal.Selama waktu ini, suster mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Kongregasi. Selama tahun yuniorat para suster melanjutkan perkembangan dalam iman, kesediaan untuk pengabdian misioner kesetiaan pada Kongregasi. Mereka diharapkan berkembang dalam tingkat kematangan manusiawi dan religius yang memampukan mereka untuk mengambil keputusan dalam penyerahan diri kepada Kristus lewat kaul kekal (Konst. SSpS. art. 528).

Pendampingan untuk para yunior tetap didampingi oleh pemimpin komunitas

dan pembimbing khusus yunior serta diusahakan secara integral dan intensif untuk

membantu mereka dalam meningkatkan kematangan emosi dalam

bertanggungjawab sebagai anggota SSpS dan semakin siap melibatkan diri dalam

tugas perutusan lainnya yang dipercayakan oleh Kongregasi. Pendampingan para

suster yunior hendaknya dilakukan dengan empati dan integral agar yunior mampu

membina diri dan meleburkan dirinya serta menerima, menghayati kharisma dan

hidup kerohanian kongregasinya, sehingga semakin menjadi religius yang matang

(31)

B. Bimbingan Rohani

1. Pengertian Bimbingan Rohani

Dewasa ini, istilah bimbingan rohani masih tetap digunakan meskipun zaman

terus berkembang dan mengalami kemajuan yang cepat, sebab bimbingan rohani itu

sendiri digunakan untuk menunjukkan isi dari sebuah pengalaman hidup manusia

dalam menghayati hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta.

Penghayatan tersebut merupakan sebuah usaha menuju pada sebuah kepenuhan

hidup.

Dalam konteks bimbingan rohani dalam Gereja, kerohanian Kristiani selalu

berkaitan erat dengan peranan Roh Kudus. Roh Kudus hadir dalam setiap diri orang

kristiani. Maka setiap orang kristiani diharapkan mengikuti bimbingan Roh Kudus

dalam dirinya. Ia diharapkan semakin mampu berelasi dengan Allah. Bimbingan

rohani merupakan sarana yang memungkinkan agar orang semakin memperdalam

relasinya dengan Allah dalam Roh Kudus (Darminta, 2006: 33).

Bimbingan rohani merupakan usaha untuk menyadari dan menghayati

bimbingan roh dalam hidup seseorang. Usaha tersebut akan tampak ketika

seseorang mencari pribadi lain yang dimintai bantuan untuk membimbingnya

dalam mengikuti bimbingan Roh dalam hidupnya (Darminta, 2006: 16).

Dengan demikian, bimbingan rohani merupakan usaha untuk menumbuhkan

hidup iman, sebab dasarnya hidup merupakan penyerahan diri secara penuh pada

Allah. Adapun arah bimbingan rohani adalah hidup sesuai dengan bimbingan Roh

dalam menghayati hidup panggilan sehari-hari. Istilah bimbingan rohani juga

biasanya merupakan suatu usaha untuk menghayati hidup sesuai dengan bimbingan

(32)

Proses menyadari bimbingan Roh tersebut dapat terjadi dengan

mendengarkan panggilan Allah secara konkret. Proses ini sedikit demi sedikit

memberikan sebuah jawaban atas panggilan untuk melakukan suatu tindakan atau

tingkah laku yang konkret. Bimbingan rohani lebih mengarah pada usaha untuk

memahami bagaimana bimbingan Roh bekerja dalam diri seseorang dan bagaimana

bimbingan Roh itu hidup dalam diri orang tersebut (Darminta, 2006: 17).

Banyak orang yang mendalami hidup rohani mencoba merumuskan

pengertian bimbingan rohani. Beberapa rumusan akan dikemukakan di bawah ini

antara lain:

Menurut St. Ignatius Loyola (1993: 215), seperti yang diungkapkan oleh

Darminta, SJ., dalam bukunya Latihan Rohani, merumuskan bimbingan rohani

sebagai berikut: “Bimbingan rohani merupakan usaha untuk membantu sesama

masuk dalam pengalaman rohani yaitu pengalaman akan anugerah rahmat dalam

peristiwa hidup konkret. Fokus bimbingan rohani adalah mengalami kehadiran

Allah dalam segala peristiwa hidup yang tidak lain dan tidak bukan menyadari

secara mendalam arah hidup sesuai dengan kehadiran Allah yang dinamis.

Bimbingan rohani bergerak dalam hidup manusia seutuhnya, pikiran,

kecenderungan, perasaan dan emosi, peristiwa hidup dalam menjawab kehadiran

Allah. Bimbingan rohani merupakan usaha untuk mengarahkan hidup konkret dan

aktual sesuai dengan orientasi hidup kristiani yaitu kesempurnaan”.

Menurut Frans Harjawiyata (1993: 138-141) bimbingan rohani adalah

hubungan antara seorang Bapa rohani (guru, pembimbing) yang berilmu dan

berpengalaman dalam hidup rohani dan seorang murid yang ingin memanfaatkan

(33)

alat Roh Kudus. Inisiatif biasanya datang dari pihak murid. Karena dorongan Roh

Kudus, ia mencari seorang bapa rohani untuk minta bimbingan.

Menurut Barry dan Connoly (1982: 8) bimbingan rohani adalah bantuan yang

diberikan oleh sesama orang beriman kristiani pada yang lain agar ia

memperhatikan komunikasi pribadi dengan Tuhan, dan menjawab secara pribadi,

menumbuhkan kedekatan relasi dengan Tuhan serta menghayati

konsekuensi-konsekuensi dari relasi dengan Tuhan tersebut.

Ketiga rumusan di atas mempunyai unsur-unsur yang sama yaitu segi

pelayanan, pembimbing, orang yang dibimbing, hubungan, proses dan tujuan

bimbingan. Dari ketiga pendapat di atas dapat dikatakan bimbingan rohani adalah

hubungan antara seorang pembimbing dengan orang yang dibimbing dalam rangka

pelayanan pastoral agar orang yang dibimbing berkembang menuju kedewasaan

hidup rohani. Dengan melakukan bimbingan rohani diharapkan seseorang dapat

juga menyadari dan mengalami bahwa Allah hadir dalam peristiwa hidup

sehari-hari. Sebagai seorang religius bimbingan rohani merupakan suatu hal yang tidak

asing, karena setiap pribadi pasti punya dan pernah melakukan bimbingan rohani.

Dalam melakukan bimbingan rohani tersebut juga diharapkan bahwa seorang

religius dapat menghayati hidup panggilan dan membentuk emosinya baik dalam

hidup bersama, hidup rohani, kerasulan, maupun dalam hidup berkaul.

2. Faktor yang Mempengaruhi Bimbingan Rohani

Perlu disadari bahwa keberhasilan dalam bimbingan rohani sangat ditentukan

oleh beberapa faktor, yaitu Tuhan, terbimbing dan pembimbing, metode pendekatan

serta beberapa hal lain yang mendukung keberhasilan dalam bimbingan rohani,

(34)

relasi terbimbing dengan Tuhan demikian juga sebaliknya, serta lingkungan yang

kondusif (Barry dan Connoly, 1982: 31). Beberapa faktor yang mempengaruhi

bimbingan rohani akan diuraikan di bawah ini:

a. Pembimbing Rohani

1) Pengertian Pembimbing Rohani

Pembimbing Rohani adalah orang yang mendampingi orang yang dibimbing

dalam pertumbuhan dan perkembangan hidup rohaninya. Ia menghantar dan

membantu orang tersebut agar semakin mampu berelasi dengan Allah. Tugasnya

adalah menciptakan kemungkinan dan situasi agar relasi tersebut berjalan lancar

(Darminta, 2006: 17-18).

Seorang pembimbing rohani harus memenuhi syarat tertentu agar dapat

melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Secara khusus, pembimbing rohani

para suster yunior harus sesuai dengan kebutuhan para suster yunior.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi menyangkut aspek spiritualitas,

kepribadian, pengetahuan dan ketrampilan sebagai pembimbing rohani.

Menurut Darminta (2006: 68-71), ada beberapa aspek spiritualitas

pembimbing rohani, yaitu:

a) Relasi pribadi dengan Yesus Kristus

Pembimbing rohani harus mempunyai relasi dengan Yesus Kristus dalam

melaksanakan tugasnya. Dengan mempunyai relasi dengan Yesus Kristus, hidupnya

juga akan berpusat kepada Allah. Dengan demikian seorang pembimbing

diharapkan dapat menjadi penopang orang yang dibimbing dan tetap mampu

(35)

b) Hidup dalam bimbingan Roh

Pembimbing harus menyadari bahwa pembimbing utama adalah Roh Kudus.

Pembimbing adalah “alat” Roh Kudus dalam mendampingi orang yang dibimbing.

Jelas seorang pembimbing rohani haruslah seorang yang cukup mempunyai

pengalaman dalam penghayatan konkrit iman, dekat bergaul dengan Allah, kenal

dengan gerakan Roh dan seorang pendoa sejati. Untuk itu pembimbing rohani perlu

mengadakan pembedaan roh atau discernment untuk melihat dorongan dalam

proses bimbingan rohani.

c) Pribadi yang beriman dewasa

Seorang pembimbing rohani haruslah orang yang mempunyai iman yang kuat

dan dalam. Artinya, ia mampu mengambil tindakan berdasarkan pertimbangan

imannya, ia mampu menyerahkan diri dan memercayakan diri kepada Allah,

sekaligus mampu menyerahkan dan memercayakan orang yang dibimbingnya

kepada bimbingan Roh. Dia menjadi orang yang diharapkan mempermudah

pertemuan orang yang dibimbing dengan Allah dalam hidupnya yang konkrit

sehari-hari.

d) Bersemangat mendalami dan menghidupi firman Allah dalam Kitab Suci

Seorang pembimbing rohani dapat mengetahui kehendak Allah, jika ia setia

merenungkan firman dalam Kitab Suci. Sabda itu juga merupakan sumber inspirasi

dan kekuatan baginya untuk mendampingi orang yang dibimbingnya.

e) Bersemangat doa

Seorang pembimbing rohani adalah seorang pendoa. Artinya, ia adalah orang

yang bergaul akrab dengan Allah, kenal akan gerakan-gerakan roh, mempunyai

(36)

hidup manusia, penuh pengertian dan pemahamam atas lika-liku dan kesukaran

dalam hidup rohani.

Beberapa aspek spiritualitas di atas sangat penting dan merupakan dasar

dalam bimbingan rohani. Keberhasilan bimbingan rohani sangat ditentukan oleh

keadaan spiritualitas pembimbing. Bimbingan rohani hanya dapat berlangsung

dengan baik kalau pembimbing mempunyai kepercayaan yang kuat kepada

penyelenggaraan Allah. Spiritualitas pembimbing akan tampak dalam proses

bimbingan rohani, apakah pembimbing mengandalkan Allah atau mengandalkan

dirinya.

2) Kepribadian Pembimbing Rohani

Kepribadian adalah sifat-sifat, sikap-sikap yang tercermin dalam

tindak-tanduk seseorang. Seorang pembimbing rohani diharapkan mempunyai kepribadian

yang sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pembimbing rohani. Aspek ini

juga menentukan keberhasilan bimbingan rohani. Beberapa aspek kepribadian

pembimbing rohani yang diharapkan adalah:

a) Pribadi yang dewasa

Seorang disebut dewasa bila mencapai kematangan rohani dan emosinya.

Menurut Mardi Prasetya (1992: 100-104), pribadi yang dewasa adalah: ia mampu

menerima kenyataan, menerima dan menghayati apa yang bernilai, mengarahkan

daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakan

dalam hidup, tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu

pragmatisme, memiliki cinta yang tidak egois dan bersikap realistis, mampu

(37)

sendiri. Ia telah mengenal dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ia

tidak lagi bersikap kekanak-kanakan.

b) Kesesuaian antara perkataan dan tindakan

Seorang pembimbing rohani harus mampu menyesuaikan perkataan dan

tindakannya. Artinya apa yang dikatakan juga terwujud dalam tingkah lakunya

sehari-hari. Misalnya seorang pembimbing memberi nasihat kepada orang yang

dibimbingnya agar bersikap sabar dalam meningkatkan hidup doa, diandaikan

bahwa dia sendiri telah menghidupi dan mempraktekkan kesabaran dan hidup doa

dalam kehidupannya sehari-hari.

c) Sikap Sabar

Seorang pembimbing rohani harus mempunyai sikap sabar. Dalam proses

bimbingan rohani tidak selalu menyenangkan tetapi bisa sangat membosankan dan

menyakitkan. Ada kalanya orang yang dibimbing memberontak terhadap Allah,

terhadap dirinya, orang lain atau lingkungannya. Orang itu mungkin merasa

kesepian dan kekosongan dalam hidupnya. Untuk itu pembimbing perlu memiliki

sikap sabar dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam melaksanakan

bimbingan rohani.

d) Sikap rendah hati dan optimis

Bimbingan rohani tidak selalu berhasil sesuai dengan rencana, adakalanya

gagal dan orang yang dibimbing tidak pernah kembali lagi. Pembimbing merasa

bahwa orang yang dibimbing tidak menemukan apa yang menjadi harapannya dan

tidak mengalami perubahan dalam hidupnya. Keadaan seperti itu menuntut sikap

rendah hati dari para pembimbing. Sikap rendah hati itu juga diperlukan apabila

dirasa bimbingan berhasil. Demikian juga dalam menghadapi orang yang

(38)

segingga orang yang dibimbing merasa optimis. Seorang pembimbing yang pesimis

akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan orang yang dibimbingnya. Kita

perlu rendah hati dan optimis bahwa keberhasilan dalam membimbing itu adalah

semat-mata adalah bantuan dan rahmat Allah. Pembimbing adalah “alat” Allah.

Maka keberhasilan pembimbing adalah keberhasilan Allah.

e) Sikap percaya diri dan kejujuran

Seorang pembimbing rohani harus memiliki sikap kepercayaan diri dan

kejujuran. Percaya diri dan kejujuran yang dimiliki orang pembimbing akan

menimbulkan sikap percaya diri pada orang yang dibimbing serta mampu

mengungkapkan diri yang sesungguhnya tanpa menutup-nutupinya.

3) Pengetahuan dan Ketrampilan Pembimbing Rohani

Seorang pembimbing rohani rohani harus mempunyai pengetahuan dan

ketrampilan yang memadai. Pengetahuan dan ketrampilan yang memadai akan

memudahkan pembimbing untuk mendayagunakan bimbingan rohani. Pengetahuan

ini harus meliputi beberapa bidang yang menyangkut hidup rohani (Verbeek, 1981:

116-117). Orang yang kurang pengetahuannya dan tidak trampil akan mengalami

kesulitan bila menjadi seorang pembimbing rohani. Beberapa pengetahuan dan

ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang pembimbing rohani adalah:

a) Pengetahuan tentang bimbingan rohani

Pembimbing rohani harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang

bimbingan rohani, tidak harus sangat “ahli” tetapi mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi bimbingan rohani. Keberhasilan bimbingan rohani juga dipengaruhi

(39)

b) Pengetahuan tentang kematangan rohani dan emosi

Kematangan rohani dan emosi merupakan faktor pokok yang digeluti dalam

bimbingan rohani. Maka pembimbing rohani harus memiliki pengetahuan yang

memadai tentang kematangan rohani dan emosi. Orang yang kurang memahami

proses kematangan rohani dan emosi tidak cocok untuk menjadi pembimbing

rohani. Pengetahuan yang minim tentang proses kematangan rohani dan emosi akan

berpengaruh buruk terhadap perkembangan hidup rohani orang yang dibimbing.

c) Pengetahuan tentang biarawan-biarawati muda

Banyak pembimbing yang tidak mengetahui secara pasti persoalan yang

dihadapi oleh para biarawan-biarawati muda, salah satunya adalah kurangnya

pengetahuan dan pemahaman pembimbing tentang realitas yang dihadapi oleh para

biarawan-biarawati muda, maka kita perlu mempunyai pengetahuan dan

pemahaman tentang realitas hidup yang dihadapi oleh para biarawan-biarawati

muda. Pengetahuan yang memadai itu akan membantu pembimbing untuk

mengetahui kebutuhan, permasalahan, harapan-harapan para biarawan-biarawati

muda. Setelah pembimbing mengetahui kebutuhan dan permasalahan yang

sesungguhnya, pembimbing bisa memberikan bantuan yang tepat.

d) Ketrampilan dalam praktek bimbingan rohani

Pengetahuan tentang bimbingan rohani belum pasti menjamin keberhasilan

dalam memberikan bimbingan rohani. Pengetahuan tentang bimbingan rohani perlu

diimbangi dengan ketrampilan dalam praktek bimbingan rohani seperti ketrampilan

berwawancara rohani, ketrampilan memilih tempat dan menentukan waktu untuk

(40)

b. Bimbingan Rohani

Keberhasilan dalam bimbingan rohani sangat ditentukan oleh beberapa faktor

yang telah disebutkan di atas, serta beberapa hal lain yang mendukung keberhasilan

dalam bimbingan rohani, seperti halnya.

1) Metode Bimbingan Rohani

Bimbingan rohani terjadi melalui kehadiran personal antara dua pribadi.

Kehadiran personal ini terjadi melalui dialog atau wawancara. Wawancara ini

mempunyai ciri khasnya, yaitu wawancara dalam Roh, atau yang biasa disebut

wawancara rohani.

Wawancara rohani berarti tanya jawab antara pembimbing dengan orang yang

dibimbing dalam rangka bimbingan rohani. Fungsi wawancara rohani adalah untuk

menggali dan mengangkat pengalaman orang yang dibimbing kemudian

merefleksikan dari sudut pandang kristiani.Tujuannya adalah untuk menghantar

orang yang dibimbing masuk ke dalam pengalaman rohaninya dan kemudian

mengambil langkah-langkah dan tindakan baru untuk memperbaiki dan

meningkatkan kehidupannya (Darminta, 2006: 39-43).

2) Tempat Bimbingan Rohani

Tempat merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan

bimbingan rohani. Situasi tempat akan mempengaruhi suasana bimbingan rohani.

Dengan tersedianya tempat yang baik, niscaya akan mendukung kelancaran

komunikasi antara pembimbing dengan orang yang dibimbing.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan tempat:

a) Tempat harus diatur sedemikian rupa sehingga orang yang dibimbing merasa

nyaman dan aman. Suasana tempat yang teratur dan rapi membuat orang

(41)

b) Tempat harus memungkinkan pembimbing dan orang yang dibimbing untuk

berkomunikasi dengan bebas. Hal ini berarti bahwa hasil pembicaraan mereka

tidak boleh didengar oleh orang lain. Maka sebagai contoh, bimbingan rohani

tidak bijaksana dilakukan di dekat orang lain karena hasil pembicaraan akan

didengarkan.

c) Tempat harus memungkinkan orang yang dibimbing dapat mengungkapkan

emosinya dengan bebas. Contohnya orang yang dibimbing dapat menangis

dengan bebas tanpa kuatir disaksikan oleh orang banyak.

d) Tempat harus diusahakan agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain.

Misalnya bimbingan rohani tidak bijaksana dilakukan di kamar yang tertutup

rapat atau di kamar tidur. Khususnya jika pembimbing lawan jenis, perlu

dihindari tempat-tempat yang bisa mengundang kecurigaan orang lain.

Di atas telah diungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

menentukan tempat bimbingan rohani. Tentu saja masih banyak hal yang perlu

diperhatikan di samping hal yang telah disebutkan di atas. Untuk itu pembimbing

perlu bijaksana dalam menentukan tempat bimbingan rohani.

c. Waktu Bimbingan Rohani

Sebelum melaksanakan bimbingan rohani, hendaknya pembimbing dan orang

yang dibimbing menentukan kapan waktu bimbingan rohani diadakan. Pada

prinsipnya, bimbingan rohani dapat dilaksanakan setiap saat. Namun pemilihan

waktu yang tepat tentu saja berpengaruh terhadap proses bimbingan rohani.

Penetapan waktu bimbingan rohani secara tepat dapat membantu proses bimbingan

rohani. Untuk itu pembimbing dan orang yang dibimbing perlu mencari dan

(42)

Selain pengetahuan dan ketrampilan yang telah disebutkan di atas, seorang

pembimbing harus mempunyai:

1) Pengetahuan yang cukup mengenai kelemahan-kelemahan manusia yang

menjadi penghambat bagi karya Roh, pembimbing harus tahu tentang cacat cela

dan keutamaan dan apa yang menjadi akibatnya dsb.

2) Kemampuan membedakan roh-roh secara praktis, supaya lebih mudah dapat

menolong orang yang dibimbingnya di jalan yang penting itu.

3) Pengetahuan arti ketiga tahap hidup rohani (permulaan, kemajuan,

kesempurnaan), apa yang menjadi tanda dan gejala khusus untuk tahap

masing-masing.

4) Pengetahuaan cukup tentang doa dan tingkat-tingkatnya. Karena lebih-lebih di

situ pembimbing tidak boleh mengganti Allah yang membimbing orang dengan

Roh-Nya.

Tidak jarang bimbingan rohani mengalami kemacetan karena faktor-faktor

yang disebut di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari pihak yunior,

bimbingan rohani dirasa tidak penting/perlu, banyak kegiatan yang menyita banyak

waktu, merasa terpaksa karena diwajibkan, kurang adanya keterbukaan dan

konsisten, kurang sabar dalam berproses, individualisme, egoisme (sebagai akibat

dari arus globalisasi), permasalahan luka-luka batin yang menghambat hidup rohani

dan emosi, sulit untuk masuk ke dalam diri, sehingga mereka kurang mampu

melihat kehadiran Allah dalam hidup mereka.

Permasalahan yang lain adalah para suster yunior yang masuk Kongregasi

SSpS adalah remaja yang sangat dekat dengan dunia teknologi. Mereka mudah

dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Budaya instan, budaya individualisme,

(43)

pertimbangan dalam memberi bimbingan rohani. Bimbingan rohani perlu melihat

situasi awal, latar belakang para yunior dan perkembangan zaman.

Dari pihak pembimbing, adanya tugas yang rangkap sehingga mengakibatkan

bimbingan rohani merupakan tugas sampingan, pembimbing kurang mengenal

secara mendalam dengan yang dibimbing, pembimbing tidak profesional terutama

untuk mendampingi pribadi-pribadi yang mempunyai kesulitan dan hambatan

psikologis, traumatis dll.

3. Dampak dari Bimbingan Rohani

Soenarja (1984: 88-104) menegaskan bahwa dampak dari bimbingan rohani

ialah “Hidup dalam Roh” dan penerusan kabar gembira. Orang dewasa menerima

tanggung jawab atas hidupnya secara penuh. Kedewasaan rohani mengandaikan

tanggungjawab yang sama di bidang rohani, dengan kata lain tidak melarang orang

minta nasihat atau bimbingan kepada orang lain, tetapi tanggungjawab pribadi yang

dilakukan dengan kemantapan dan penuh percaya.

Kemantapan dan kepercayaan ini diperoleh karena dengan bimbingan yang

akhirnya orang sudah langsung dapat menemukan dan mengalami perjumpaan

dengan Allah dalam setiap waktu. Seorang pribadi yang mengalami perjumpaan

dengan Allah dalam setiap waktu tentu ia juga mampu menemukan dan senantiasa

melakukan kehendak Allah dalam hidupnya, hal ini tampak dalam sikapnya,

misalnya saja: (1) ia mampu mengubah cara pandang lama menjadi cara pandang

baru; (2) mampu bergaul dan berkomunikasi dengan siapa saja tanpa memandang

status; (3) memiliki emosi yang matang dan stabil sehingga bisa menghadapi

konflik dengan bijaksana; (4) memiliki kebebasan dan kemandirian dalam hidup;

(44)

kepadanya; (6) memiliki diskresi dalam menentukan pilihan hidup. Orang yang

sering melakukan bimbingan rohani akan menjadi orang yang peka dan hidupnya

senantiasa mencari kehendak Allah.

Bimbingan rohani perlu dilaksanakan terus menerus karena dengan

bimbingan manusia mampu membawa gerak perubahan hidup ke arah yang lebih

baik. Hidup yang dijiwai oleh semangat “Roh” tentu saja berdampak pada

sikap-sikap yang sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki Allah. Dengan demikian

hidupnya menjadi bagian dari perpanjangan kasih Tuhan dan menjadi kekuatan,

sehingga ia mampu melaksanakan kehendak Allah dalam hidup bersama dengan

orang lain maupun dalam tugas yang dipercayakan kepadanya. Hal ini tampak

dalam sikap hidupnya yang membawa dan menghidupi nilai-nilai: (1) melihat

sesama secara positif; (2) mempunyai kemauan untuk maju dan mengembangkan

diri; (3) memiliki kerendahan hati; (4) mempunyai semangat berbagi (Darminta,

2006: 90-91).

Bimbingan rohani merupakan sebuah sarana yang digunakan oleh para kaum

religius dalam menumbuh kembangkan hidup penghayatannya sebagai seorang

yang secara khusus di panggil Allah untuk mengikuti-Nya secara radikal.

Konstitusi SSpS mengatakan:

Roh Kuduslah yang selalu menyanggupkan kita untuk hidup terarah kepada Allah. Di bawah bimbingan-Nya kita mengenal semakin jelas kehendak Bapa dalam hidup kita sehari-hari dan semakin rela menjawabnya, mengangkat salib dan mengikuti Kristus secara radikal. Hal ini menuntut dari kita usaha terus-menerus untuk menanggalkan manusia lama dan membaharui diri dalam roh dan pikiran…… (Konst. SSpS. art. 414).

Melalui beberapa penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa dampak

dari bimbingan rohani ialah mengantar orang kepada kesadaran perlunya mengenali

(45)

membedakan mana roh baik dan roh jahat, mana penghiburan mana penghiburan

yang semu, mana kehendak Tuhan dan mana kepentingan diri sendiri. Hal ini

menunjukkan betapa pentingnya kesatuan antara alam batin dan realitas yang

dihadirkan dalam hidup kesehariannya atau buah-buahnya. Pengalaman rohani

yang benar itu semakin menyatukan orang dengan sesamanya dan membuat orang

menjadi rendah hati untuk mendengarkan suara orang lain selain diri kita. Orang

yang hidupnya senantiasa melakukan bimbingan rohani dengan demikian akan

merasa hidup dan pengabdiannya merupakan hidup di hadirat Allah.

Keadaan tersebut berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukan

bimbingan rohani dalam hidupnya. Bagi orang yang jarang melaksanakan

bimbingan rohani, segala yang dilakukan hanya berdasar pada kesenangan sesaat

dan tidak mempunyai orientasi hidup yang jelas sehingga tidak bisa memaknai

setiap peristiwa dalam hidupnya, memandang segala sesuatu dengan negatif serta

senantiasa menyalahkan Tuhan. Hal ini disebabkan hidupnya tidak dijiwai oleh Roh

Allah, melainkan roh dirinya sendiri. Dampak yang nyata adalah tindakan-tindakan

yang tidak sesuai dengan kehendak Allah atau tindakan-tindakan yang sesuai

dengan kehendaknya sendiri. Dengan demikian ia tidak pernah berkembang dalam

hidup rohani dan hanya dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Bimbingan rohani merupakan bagian dari pembinaan para yunior. Fungsi dari

pembinaan ini, adalah untuk membantu para yunior agar semakin mampu

menghayati nilai-nilai hidup religius. Pada dasarnya pembinaan selalu menuju

kepada kematangan rohani dan kematangan emosi yang lebih dalam dan utuh.

Untuk mencapai kematangan rohani dan kematangan emosi tersebut, orang perlu

terus-menerus berproses untuk mengintegrasikan hidup rohaninya agar semakin

(46)

C. Kematangan Emosi

1. Pengertian Emosi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 368) Emosi adalah: 1) luapan perasaan

yang berkembang dan surut di waktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis

fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang

bersifat subjektif.

Albin (1986: 11) memahami emosi sebagai perasaan yang kita alami seperti

sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, benci, cinta. Perasaan-perasaan tersebut

berpengaruh terhadap pikiran dan tindakan seseorang. Misalnya tingkah laku

seorang ibu dalam keadaan sedih berbeda dengan tingkah laku pada saat ia dalam

keadaan gembira.

Goleman (1997: 411) memahami emosi dalam konteks yang lebih luas yang

merujuk pada perasaan dan pikiran-pikiran yang khas sekaligus mencakup keadaan

biologis dan psikologis dengan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi

pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak dan bereaksi terhadap setiap

stimulus dari luar diri individu, seperti halnya emosi gembira mendorong seseorang

untuk tertawa sehingga terjadi perubahan suasana hati, emosi sedih mendorong

seseorang untuk menangis.

Dari ketiga rumusan di atas dapat penulis rumuskan emosi merupakan

dorongan seseorang untuk bertindak dan bereaksi terhadap rangsangan yang datang

baik dari dalam maupun dari luar karena pengaruh situasi lingkungan sekitar.

Perubahan situasi dalam diri seseorang menimbulkan bermacam-macam reaksi baik

(47)

2. Kematangan Emosi

Sebelum banyak orang mengenal kecerdasan emosional, sebagian besar

berpendapat bahwa kesuksesan sangat ditentukan oleh kecerdasan intelektual yang

dimiliki oleh seseorang. Ternyata pendapat itu tidak selalu benar. Suparno (2004)

berpendapat ada banyak orang yang berinteligensi tinggi karena tidak stabil

emosinya dan mudah marah, seringkali keliru dalam menentukan dan memecahkan

persoalan hidup. Keadaan semacam itu dapat menimbulkan konflik dan kegagalan

dalam hidupnya.

Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegence menjelaskan bahwa

selain kecerdasan inteligensi kita semua mempunyai kecerdasan lain yaitu

kecerdasan emosional. Secara menyakinkan Goleman mengemukakan bahwa dalam

kehidupan kecerdasan emosional lebih penting daripada kecerdasan intelektual

(Goleman, 1997: 38).

Istilah kecerdasan emosional pertama kalinya dipelopori oleh seorang

psikolog Israel, Reuven Bar-On pada tahun 1980 dan dilontarkan kembali pada

tahun 1990 oleh psikolog Pater Salovey dari Harvard University dan Jonh Mayer

dari University of New Hamsphire. Salove dan Mayer mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan

kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang

lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing

pikiran dan tindakan”. Yang dimaksud dengan himpunan bagian kecerdasan sosial

tersebut adalah kualitas-kualitas emosional dalam diri seseorang. Kualitas-kualitas

ini antara lain: empati, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan

menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi,

(48)

Kecerdasan emosi ditandai dengan adanya kematangan emosi. Kematangan

emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian diri, semangat dan

ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri (Goleman, 1977: xiii).

Menurut Goleman (1997: 58-59) kematangan emosi mencakup banyak kecerdasan

kemampuan dalam mengelola emosi, yaitu:

1) Mengenal emosi diri yaitu kesadaran diri mengenali perasaannya sendiri pada

saat perasaan itu sedang terjadi, dan memahami penyebab perasaan yang timbul,

serta mengenali perbedaan perasaan dan emosi yang sedang bergejolak di dalam

dirinya tanpa diingkari atau ditutupi.

2) Mengelola emosi yaitu orang mampu untuk mengendalikan dan mengelola

emosi-emosi (yang merusak) agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Toleransi lebih tinggi terhadap frustasi, berkurangnya ungkapan emosi dalam

bentuk kata-kata ejekan, emosi terungkap dengan pas, mampu mengungkapkan

amarah dengan tepat tanpa berkelahi, tidak berperilaku agresif, perasaan lebih

positif terhadap diri, sesama, keluarga, mengatasi ketegangan jiwa, dan mengurangi

kesepian, kecemasan dalam pergaulan.

3) Memotivasi diri sendiri yaitu menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan

adalah hal yang sangat penting untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri dan

menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Lebih bertanggungjawab, dan mampu

memusatkan perhatian pada tugas, lebih produktif dan efektif dalam hidup.

4) Kemampuan berempati yaitu mampu menerima sudut pandang orang lain,

memperbaiki rasa empati pada orang lain, dan lebih bisa mendengarkan orang lain.

5) Mengenali emosi orang lain yaitu orang yang empatik adalah orang yang mampu

(49)

dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Atau orang yang mampu untuk mengerti

dan memahami perasaan-perasaan ataupun emosi-emosi orang lain.

6) Membina hubungan yaitu membina relasi dengan orang lain, terampil dalam

mengelola emosi orang lain dan memahami orang lain, berkomunikasi dengan baik,

membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain.

Kematangan emosi merupakan dasar dari semua tindakan dan perilaku

seseorang. Kematangan emosi mencakup aspek perkembangan pribadi dan peranan

seseorang dalam lingkungan sosial. Kematangan emosi adalah kecerdasan

seseorang dalam mengatur, mengendalikan dan menata emosi yang ada dalam

dirinya. Emosi yang matang dapat dilihat dan dirasakan dari kemampuan seseorang

menguasai, dan mengatur emosi sesuai dengan kebutuhan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi

Emosi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan seseorang. Kehidupan

menjadi berarti karena adanya emosi. Emosi seseorang berkembang selama

individu mulai mengalami suatu perubahan dalam dirinya. Maka dari itu dapat

dimengerti bahwa keadaaan yang mempengaruhi seseorang memberikan corak

dalam perkembangan emosinya, misalnya keadaan keluarga, tempat tinggal,

lingkungan sosial, pergaulan, sekolah, jabatan, bahkan cita-cita dan

harapan-harapannya.

Pengaruh emosi terhadap sikap manusia: emosi memberi arah sikap yang

akan dilakukan oleh pribadi. Dalam perkembangan anak emosi lebih ditujukan

kepada orang dewasa yang ada di sekitarnya, sehingga sikap orang dewasa turut

menentukan perkembangan emosi anak selanjutnya. Sikap emosi dari orang dewasa

(50)

Banyak anak yang bertingkah nakal, bersikap brutal, liar dan susah diatur

disebabkan oleh situasi emosi pada saat itu. Pengaruh emosi sangat besar sekali

terhadap perkembangan pribadi, dan penyembuhan yang disertai dengan suasana

yang menyenangkan akan mempercepat proses penyembuhan perkembangan

pribadi.

Menurut Goleman (1997: 371-374), pendidikan emosi membantu seseorang

untuk melatih dan menyalurkan emosi dengan baik atau yang disebut dengan

pengendalian emosi, serta membiasakan bereaksi dengan emosi yang positif yaitu

melalui sikap hidup yang wajar atau sesuai dengan sikap hidupnya.

Bila seseorang mampu mengolah emosinya dan sadar siapa dirinya dengan

segala kelebihan dan kekurangannya dihadapan Allah dan sesamanya, orang

tersebut akan bertumbuh dalam hidup rohaninya dan kepribadiannya.

Menjadi pribadi yang matang rohani dan matang emosi merupakan harapan

dari semua orang. Hal ini mengandaikan seseorang berani menghadapi

pergulatan-pergulatan batin yang ada dalam dirinya. Sebagaimana dikatakan dalam Konst.

SSpS. art. 503: “bahwa untuk menjadi pribadi yang utuh dan integral perlu orang

tersebut mengusahakan tercapainya kematangan manusiawi, mampu

mengintegrasikan antara hidup iman dan karya”. Untuk mencapai kematangan

pribadi, orang dituntut untuk mengenal diri sebaik-baiknya, mampu

mengembangkan bakat-bakatnya, sehingga sanggup menerima keterbatasan dirinya

serta sanggup mengatasi konflik dan tabah dalam menghadapi

kesulitan-kesulitannya. Dengan demikian dia akan mencapai kebebasan batin yang

membantunya untuk mampu mengambil keputusan-keputusan yang dapat

(51)

4. Dampak dari Kematangan Emosi

Dari uraian di atas, emosi adalah suatu reaksi batin yang wajar dan

manusiawi. Emosi adalah perasaan yang muncul secara spontan sebagai reaksi atas

adanya suatu hal yang menyentuh atau merangsang batin kita, hal itu bisa

menimbulkan reaksi positif maupun negatif. Mengalami dua keadaan yang berbeda

ini Goleman mengatakan (1997: 78) penderitaan maupun kebahagiaan adalah

bumbu kehidupan. Dalam perasaan, rasio antara emosi positif dan negatif yang

menentukan sebuah rasa sejahtera. Menderita atau bahagia semuanya menentukan

nilai hidup manusia. Tanpa emosi kita tidak akan pernah memahami arti hidup yang

sesungguhnya. Emosi dengan segala kualitasnya memperkaya eksistensi manusia

sebagai pribadi.

Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan kematangan emosi adalah

kemampuan seseorang dalam mengelola emosi yang ada dalam dirinya baik emosi

yang positif (syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll), maupun emosi

negatif (jengkel, marah, sedih, tersinggung, dll). Kematangan emosi menyebabkan

seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan dirinya secara optimal

dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu seseorang memiliki

keberanian untuk mengalami dan menerima rasa perasaan yang muncul dalam

dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau sikap batin untuk

mengakui keberadaan diri secara bebas.

Sedangkan orang yang tidak matang dalam emosinya akan menjadi pribadi

yang senantiasa labil, pribadi yang sering bertindak seturut perasaan saja tanpa

memakai akal budi, pribadi yang tertutup dan sulit untuk berelasi dengan sesama,

pribadi yang tidak mampu untuk menerima diri apa adanya/pribadi yang “unik”

(52)

kesalahan orang lain. Dengan kata lain orang yang tidak mampu mengolah

emosinya dengan baik akan menjadi pribadi yang sangat sulit untuk bekerja sama

baik dengan sesama maupun bersama rahmat Tuhan. Ia memiliki fisik yang lemah,

mudah jatuh dalam kegagalan yang mengakibatkan frustasi yang berkepanjangan,

depresi yang berdampak pada gangguan jiwanya. Dengan demikian ia merugikan

diri sendiri.

Bimbingan rohani dalam hidup religius pada zaman ini merupakan suatu

tuntutan, karena setiap orang yang masuk dalam Lembaga Hidup Bakti tertentu

diharapkan memiliki kematangan emosi dan kematangan rohani. Tentunya ini

merupakan proses seumur hidup. Untuk mencapai kematangan emosi dan

kematangan rohani, bimbingan rohani merupakan salah satu sarana untuk mencapai

kematangan tersebut.

Bimbingan rohani membantu para yunior untuk mengenali emosi-emosi yang

tidak teratur yang membuat orang tidak konsisten. Dengan bimbingan rohani

diharapkan orang bisa mengenali siapa dirinya dihadapan Allah dan sesama dengan

segala kelebihan dan kekurangannya. Bimbingan rohani hendaknya dijadikan satu

kebutuhan bagi para yunior demi perkembangan pribadinya. Dengan demikian ia

menjadi orang yang memiliki pribadi yang utuh dan integral.

5. Kedewasaan Pribadi

Kematangan emosi menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang

bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang dilakukan sebagai manusia. Seperti

yang diharapkan oleh Kongregasi SSpS dan ditegaskan dalam Konstitusi

Kongregasi.

Gambar

Tabel 1. Variabel Penelitian Proses Bimbingan Rohani
Tabel 3: Pengetahuan dan pengenalan akan Tuhan (N=42)
Tabel 4:  Kepercayaan, relasi dan menghargai pembimbing (N= 42)
Tabel 5:  Suasana dalam melaksanakan bimbingan (N= 42)
+7

Referensi

Dokumen terkait