• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. “Know Your Audience”

Dalam dokumen Buku Etika dan Filsafat Komunikasi pdf (Halaman 154-161)

gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme kelompok atau tim kita.

e. Humble

Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan un- sur yang terkait dengan hukum pertama untuk memba- ngun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki.

Sikap rendah hati antara lain: sikap yang penuh melayani, sikap menghargai, mau mendengar dan me- ne rima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, le mah lembut dan penuh pengendalian diri, serta me ng- uta makan kepentingan yang lebih besar.

Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini, maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal dan pada gilirannya dapat membangun jaringan hubung- an dengan orang lain yang penuh dengan penghargaan (respect), karena inilah yang dapat membangun hubung- an jangka panjang yang saling menguntungkan dan sa- ling menguatkan.

baik pada pasangan kita, maka ditunggu saat yang tepat misalnya ketika pasangan kita pulang dari kan- tor atau tempat beraktivitas, maka pastikan ia telah makan dan sudah beristirahat secukupnya, barulah kita menyampaikan pesan tersebut.

Faktor timing sangat menentukan keberhasilan ko- munikasi, tidak hanya dalam konteks komunikasi interpersonal tapi juga dalam konteks komunikasi lainnya. Maka tak heran misalnya, jika menjelang pemilu biasanya pemerintah tidak akan menyampai- kan kebijakan yang meniscayakan menuai protes se- perti menaikkan harga BBM atau mengurangi sub- sidi, walaupun memang dalam kenyataannya kedua hal tersebut mendesak dilakukan. Faktor timing lagi- lagi menjadi pertimbangan komunikasi.

Bahasa yang harus digunakan agar pesan dapat di- mengerti.

Contoh sangat baik dari point ini ditulis oleh Jalalud- din Rahmat dalam bukunya yang berjudul “Psikolo- gi Komunikasi” (2001: 57), bahwa suatu kali di Me- sir dilancarkan kampanye Keluarga Berencana yang dilakukan oleh Unesco. Agar pesan sampai kepada kelompok buta huruf, kampanye dilakukan melalui poster gambar. Salah satu poster digambarkan dalam dua kolom dengan dua baris sehingga membentuk em- pat kotak. Pada kotak pertama digambarkan seorang ibu tengah menggendong satu orang anak. Sang ibu digambarkan berdiri dengan tegak. Pada kotak kedua (pojok kanan atas) digambarkan seorang ibu tengah menggendong dua orang anak. Sang ibu digambarkan mulai jongkok. Pada kotak ketiga (pojok kiri bawah) digambarkan seorang ibu tengah menggendong tiga

orang anak. Sang ibu digambar dalam posisi jongkok empat puluh lima derajat (seperti orang sujud). Pada kotak terakhir digambarkan seorang ibu menggen- dong empat orang anak. Sang ibu digambarkan re- bah terkapar.

Gambar itu dimaksudkan untuk menunjukkan bah- wa beban kehidupan akan makin bertambah berat bila jumlah anak bertambah banyak. Tetapi menge- jutkan sekali, orang-orang Mesir tidak menafsirkan- nya seperti itu. Ketika dilakukan survei pendapat res- ponden, mereka menunjukkan keheranan mengapa orang dalam gambar itu tiba-tiba roboh. Rupanya me reka membaca gambar itu dari arah kanan ke kiri, seperti mereka membaca huruf Arab.

Sikap dan nilai yang harus ditampilkan agar efektif.

Orang-orang yang memiliki kesamaan dalam nilai, sikap, keyakinan, tingkat sosioekonomis, agama, dan ideologi cenderung saling menyukai. Reader &

English mengukur kepribadian subjek-subjeknya da- lam rangkaian tes kepribadian. Ditemukan bahwa mereka yang bersahabat menunjukkan korelasi yang erat dalam kepribadiannya. Penelitian tentang peng- aruh kesamaan ini banyak dilakukan dengan berba- gai kerangka teori (Jalaluddin Rahmat, 2001: 111).

Jalaluddin menunjukkan bahwa menurut teori cog- nitive consistency dari Frits Heider, manusia selalu berusaha mencapai konsistensi dalam sikap dan pri- lakunya. Kita cenderung menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita, dan jika menyukai orang, maka kita ingin mereka memi- lih sikap yang sama dengan kita. Kita ingin memiliki

sikap yang sama dengan orang yang kita sukai, su- paya seluruh unsur kongnitif kita konsisten.

Semakin sama sikap dan nilai yang ditampilkan oleh komunikator dengan apa yang terdapat dalam diri komunikan, maka semakin memudahkan penerimaan suatu pesan.

Jenis kelompok di mana komunikasi akan dilaksana- kan.

Contoh dari poin ini adalah trend penunjukan berba- gai duta atau goodwill ambassador dari kalangan artis dari berbagai organisasi baik swasta maupun instan- si pemerintah merupakan bagian dari upaya me ng- efektifkan komunikasi, sehingga pesan yang disampai- kan dapat diterima dengan lebih baik dan oleh lebih banyak audiens. Hal ini tentu tidak berlebihan karena memang masyarakat kita masih bersifat patriakis, di mana masyarakat masih menjadikan panutan (dalam hal ini artis) sebagai opinion leader dalam menerima atau menolak suatu pesan. Maka komunikasi efektif, harus memperhatikan kondisi dan jenis kelompok yang hendak menjadi receiver pe san, dalam hal ini masyarakat kita yang patriarkis.

4. Faktor pada Komunikator

Sedangkan pada sisi komunikator ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni source credibility dan source attractiveness.

Source credibility, yaitu sumber kepercayaan sehing- ga apa yang disampaikan akan dipercaya oleh orang lain.

Kepercayaan ini bersumber pada keahlian, track record bisa dipercaya atau tidak, dan objektivitas ketika kita memberi penilaian.

Source attractiveness, yakni hal-hal yang bisa men- datangkan ketertarikan sehingga komunikan akan mem- perhatikan pesan yang kita sampaikan. Hal ini bisa ber- sumber pada:

Ada kesamaan antara komunikator dan komunikan.

Kesamaan ideologi lebih kuat dibandingkan kesama- an demografi.

Komunikator harus bisa menyamakan diri dengan ko munikan agar timbul simpati.

5. Hambatan Komunikasi

Untuk maksimalisasi efektivitas komunikasi, maka se jumlah hambatan harus diperhatikan, yakni:

a. Gangguan komunikasi, baik yang bersifat mekanis- tik seperti alat pengerah suara yang mati maupun gangguan semantik seperti penggunaan kiasan yang tidak tepat.

b. Kepentingan (interest), menyebabkan kita selektif dalam menanggapi suatu pesan/rangsangan, yakni selektif dalam bentuk sikap, pikiran, dan tingkah laku. Karenanya komunikan harus dibangkitkan ter- lebih dahulu interest yang sa ma dengan komunika- tor.

c. Motivasi terpendam, motivasi mendorong seseoran g berbuat sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan ke ku rang annya. Semakin sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang, maka semakin besar keberhasi- lan komunikasi.

d. Prasangka, komunikasi belum dilakukan orang su- dah curiga terlebih dahulu.

6. Evasi Komunikasi

Evasi komunikasi adalah pembelokan komunikasi, baik disengaja maupun tidak. Bila dibiarkan, maka tu- juan komunikasi pasti tidak akan tercapai. Evasi komu- nikasi meliputi:

a. Menyesatkan pengertian

Seperti dalam konflik antara Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa wak- tu lalu tentang biaya perkara. MA mengatakan bah- wa, pungutan biaya perkara adalah “titipan pihak ke- tiga”, bukan “penerimaan negara”. Sedangkan BPK berkeyakinan bahwa biaya perkara merupakan pe- nerimaan negara, karena didapat dengan mengguna- kan fasilitas negara. Sejatinya, apa yang dilakukan MA dalam kacamata komunikasi (entah disengaja atau tidak) merupakan tindakan evasi komunikasi, yakni menyesatkan pengertian dengan mengatakan bahwa biaya perkara bukan penerimaan negara. Ka- rena bukan penerimaan negara, maka dana tersebut tidak wajib disetor ke kas negara sehingga pengelo- laannya menjadi urusan internal MA serta tidak per- lu diaudit oleh BPK.

b. Mencacatkan pesan komunikasi

Seperti dalam pesan berantai, pesan akan berubah- ubah. Maka, komunikasi yang efektif akan memini- malisir rantai pesan.

c. Mengubah kerangka referensi

Seperti dalam media massa yang masing-masing me- nulis sesuai dengan visi dan misi yang dianut. Bisa jadi surat kabar A menyebut bom bunuh diri di Irak

dilakukan oleh “kelompok gerilyawan”, sementara koran B menyebutnya sebagai “kelompok pengacau keamanan”.

A. PENGERTIAN SIMBOLIS INTERAKSIONISME

Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Peng- gambaran diri manusia melalui pepatah pendek ini cu- kup substansial sifatnya. Dikatakan demikian, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang berin- teraksi. Bahkan interaksi itu tidak melulu eksklusif antar manusia, tetapi juga inklusif dengan seluruh mikrokos- mos. Termasuk interaksi manusia dengan seluruh alam.

Singkatnya, manusia selalu mengadakan interaksi. Setiap interaksi mutlak membutuhkan sarana tertentu. Sarana menjadi medium simbolisasi dari apa yang dimaksudkan dalam sebuah interaksi. Oleh sebab itu, tidaklah jauh dari benar manakala para filsuf merumuskan diri manu- sia dalam konsep animal simbolicum (makhluk simbolis) selain animal sociosus (makhluk berteman, berelasi), dan konsep tentang manusia lainnya. Fokus tulisan ini ialah diri manusia seturut perspektif teori interaksi simbolis.

Teori interaksionisme-simbolis dikembangkan oleh ke lompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya se perti Goerge Herbert Mead dan George Herbert

BAB 6

Dalam dokumen Buku Etika dan Filsafat Komunikasi pdf (Halaman 154-161)