• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ambivalensi Teknologi Komunikasi

Dalam dokumen Buku Etika dan Filsafat Komunikasi pdf (Halaman 128-132)

TEMA POKOK DALAM ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

B. TEKNOLOGI KOMUNIKASI

1. Ambivalensi Teknologi Komunikasi

“Just a minute! Something’s happening! Ladies and gentlemen, this is terrific. The end of the thing is be- ginning to flake off! The top is beginning to rotate like a screw! The thing must be metal! This is the most terrifying thing I have ever witnessed! Wait a minute. Someone is crawling out of the hollow top.

Someone or... something. I can see peering out of that black two luminous discs ... are they eyes? It might be a face. It might be ...”

Petikan di atas adalah bagian dari naskah drama radio yang dimainkan oleh Orson Welles dan Mercury Theater pada 30 Oktober 1938 yang disiarkan oleh CBS Radio Studio One di New York. Secara keseluruhan, drama yang bertema invasi dari Mars tersebut menggam- barkan adanya sebuah makhluk luar angkasa, tepatnya dari Mars, ke bumi.

Bagi kita tentu saja cerita tersebut tidak ada yang aneh, karena memang kita sudah sangat sering melahap ber bagai tayangan fiksi seputar makhluk luar angkasa.

Ta pi tidak bagi masyarakat New York ketika itu.

Drama Orson yang berdurasi satu jam tersebu t ternya- ta ketika itu membawa efek jauh dari yang di ba yang- kan. Segera setelah drama selesai, berbondong-bon dong masyarakat mengungsi ke stasiun CBS dengan membawa berbagai perabot. Jalan-jalan dipenuhi suasana histeris.

Ge reja penuh dengan orang yang mendadak me ngadakan kebaktian. Semuanya mengira bahwa cerita dra ma terse- but adalah sungguhan. Baru setelah Orson dan pihak stu- dio menjelaskan duduk perkara sebenarnya, ma syarakat kembali tenang. Tak pelak, kejadian tersebut menyadar- kan il muwan tentang betapa besar pengaruh penyiaran terha dap pembentukan masyarakat.

Penyiaran, pada hakikatnya adalah salah satu kete- ram pilan dasar manusia ketika berada pada posisi tidak mampu untuk menciptakan dan menggunakan pesan se- cara efektif untuk berkomunikasi. Penyiaran dalam kon- teks ini adalah alat untuk mendongkrak kapasitas dan efek tivitas komunikasi massa.

Dalam teori teknologi media dan masyarakat mas- sa (lihat Barran & Davis, 2000: 48) misalnya dikatakan bah wa teknologi media memiliki sejumlah asumsi untuk mem bentuk masyarakat.

Teknologi media massa memiliki efek yang berba- haya sekaligus menular bagi masyarakat. Untuk memi- nimalisir efek ini di Eropa pada masa 1920-an, penyi- aran dikendalikan oleh pemerintah, walaupun ternyata kebijakan ini justru berdampak buruk di Jerman dengan digunakannya penyiaran untuk propaganda Nazi.

Teknologi media massa memiliki kekuatan untuk mem pengaruhi pola pikir rata-rata audiensnya. Bahkan pada asumsi berikutnya dalam teori ini dikatakan bahw a ketika pola pikir seseorang sudah terpengaruh oleh me- dia, maka semakin lama pengaruh tersebut semakin besar.

Rata-rata orang yang terpengaruh oleh media, di ka- re na kan ia mengalami keterputusan dengan institusi so- sial yang sebelumnya justru melindungi dari efek negatif media. Relevan dengan hal tersebut John Dewey, seorang pemikir pendidikan, misalnya pernah berkata bahwa efek negatif teknologi mediadapat disaring melalui pendi- dikan.

Penggunaan teknologi media sebagai wahana komu- nikasi sudah dilakukan oleh manusia sejak tahun 20000 SM dalam bentuk pahatan di dinding gua atau asap api sebagai simbol komunikasi. Revolusi teknologi media se- makin pesat ketika pada tahun 1500 M, Johannes Guten- berg memperkenalkan mesin cetak. Revolusi komunikasi pada puncaknya menciptakan masyarakat informasi (in- formation society).

Di Indonesia, radio merupakan alat komunikasi pen- ting sejak negara ini baru berdiri. Kepemilikan pesawat radio naik dengan pesat, hingga mencapai setengah juta yang berlisensi pada pertengahan 1950-an. Radio digu- nakan secara luas di bidang pendidikan, terutama pen- didikan politik, seperti mempersiapkan para calon pemi- lih untuk pemilu pertama pada 1955. Indonesia yang merdeka mengikuti kebijakan pemerintah Jepang dalam hal monopoli siaran. Sampai terbentuknya Orde Baru, terdapat 39 stasiun RRI di seluruh Indonesia, menyiar-

kan kepada lebih dari satu juta radio berlisensi. Kota-ko- ta besar menerima program regional dan nasional RRI.

Pengaruh RRI sudah jelas bagi semua pihak dalam ku deta dan counter kudeta tahun 1965 (Sen & Hill, 2000: 95). Gedung publik pertama yang dikuasai oleh pasukan Letkol Untung pada 1 Oktober adalah RRI dan sejumlah pusat telekomunikasi di Jakarta Pusat, Medan Merdeka. Tindakan publik Untung yang pertama adalah melakukan siaran melalui radio, mengumumkan bahwa sebuah rencana oleh ‘Dewan Jenderal’ untuk mengguling- kan pre-siden telah digagalkan. Setelah pasukan Mayjen Soeharto merebut kembali studio-studio RRI di Jakarta malam itu, Soeharto menyiarkan kepemimpinannya atas Angkatan Bersenjata.

Pada kesempatan yang sama, Sen dan Hill (200: 97) juga mengatakan bahwa secara umum radio juga signifi- kan dalam melegitimasi kenaikan Soeharto ke tumpuk ke- kuasaan pada 1965. Instabilitas politik dan stasiun radio sebagai hobi di awal 1960-an. Pada masa itu, tak se dikit orang mengoprasikan radio dari rumah secara pri badi. Se- bagian di antaranya menjadi lebih bersifat po li tik setelah insiden 1 oktober 1965, dan memiliki staf yang terdiri dari sekelompok aktivis mahasiswa yang menentanng Presiden Soekarno. Mereka bekerja secara bergantian sepanjang waktu.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka tak salah jika sa lah satu aspek komunikasi dalam rumusan Lasswell adalah adanya channel, yakni saluran penyampaian pe- san. Aspek ini merujuk pada adanya alat komunikasi yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari persoalan teknologi-teknologi komunikasi. Dalam kajian etika dan

filsafat, persoalan filosofis berikutnya yang mesti dibahas terkait teknologi adalah netralitas teknologi itu sendiri.

Dalam dokumen Buku Etika dan Filsafat Komunikasi pdf (Halaman 128-132)