TEMA POKOK DALAM ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI
3. Kritik Eksistensialisme Terhadap Idealisme
Jika materialisme memandang manusia sebagi ma- teri saja, sesuatu yang ada tanpa menjadi subjek, maka idea lis me menganggap manusia adalah sesuatu yang ber- pikir, suatu pikiran saja. Dan pikiran ini merupakan sua- tu aspek, aspek mana dilupakan oleh materialisme, dan se baliknya dilebih-lebihkan oleh idealisme. Suatu aspek yang dianggap sebagai keseluruhan manusia.
Menurut aliran eksistensialisme, kesalahan ideal- isme ialah bahwa idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan akhirnya sebagai kesadaran semata- mata. Idealisme lupa bahwa manusia hanya berdiri seba- gai manusia karena bersatu dengan realitas sekitarnya.
Sebalik nya materialisme hanya mau melihat manusia se- bagai ob jek. Materialisme lupa bahwa benda di dunia ini hanya lah menjadi objek, kerena ada subjek.
Jadi, menurut paham eksistensialisme, manusia bu- kan lah hanya objek sebagaimana menjadi pandangan aja r an materialisme, tetapi juga bukan hanya subjek atau kesadaran, seperti menjadi anggapan kaum idealisme. Ma- nusia adalah eksistensi.
Eksistensi bukan hanya berarti “ada” atau “berada”
se perti “ada” atau “beradanya” barang lain, akan tetapi ek sistensi sebagai pengertian khusus hanya untuk manu- sia, yakni berada secara khusus manusia. Manusia yang dalam keberadaannya itu sadar akan dirinya sedang ber- ada, berada di dunia dan menghadapi dunia, sebagai sub jek yang menghadapi objek, bersatu dengan realitas se kitarnya.
Kesadaranlah yang merupakan aspek yang menye- bab kan keistimewaan manusia, yang tidak terdapat pada makhluk dari barang lain. Bukan saja ia ada, tetapi ia me- ngerti, bahwa ia ada. Bila ia bergerak atau berbuat se sua- tu, maka ia sendirilah yang menjadi subjek yang ber ge rak atau berbuat itu. Dia mengerti, mengalami, dan me rasa.
Aku lah yang berbuat itu. Dalam tiap perbuatan ma nusia mengalami dirinya sendiri.
Jelaslah, bahwa manusia bukan hanya materi saja, bu- kan hanya “apa” saja, tetapi “siapa”. Dan kesiapaan ini- lah yang terpenting pada manusia. Manusia bukan hanya
benda jasmani, tetapi perpaduan jasmani dan rohani.
Ma nusia itu adalah kesatuan jasmani dan rohani yang tidak mungkin dipisahkan. Istilah “siapa” bagi ma nusia di sebabkan faktor rohaninya. Hanya manusia makhluk yang dapat berkata “aku” dengan sadar. Itulah persona atau pribadi yang terdapat pada manusia, dan kepribadi- an ini didasarkan kerohaniannya. Adapun persona itu ter bina dalam kehidupan bersama dan dengan kehidup- an ber sama dengan orang lain. Bagi persona sudah men- jadi ke butuhan pokok untuk mengadakan komuni ka si de ngan sesama manusia.
Dalam dunia materi, barang merupakan barang yang tertutup yang berdiri sendiri, terpisah dari satu sama lain- nya. Hubungan antara barang yang satu dengan barang lain nya melulu merupakan hubungan menurut tempat, di sebelah kiri atau sebelah kanan, di belakang atau di mu ka, tidak campur dengan barang lain, tidak ada inter- komunikasi.
Adalah berlainan hubungan antara persona denga n persona lain. Sebagai persona, seseorang dapat mema suki orang lain, dan sebaliknya. Memang badan kita mem batasi komunikasi ini, sehingga interkomunikasi itu tidak sem- purna. Untuk sebagian (yaitu, selaku makhluk jasmani), seorang mahasiswa, misalnya, hanya berdampingan saja dengan orang yang dicintainya. Tetapi sebagai makhluk, rohani si mahasiswa tadi memasukinya. Lihat pula hu- bu ng an antara ibu dan anak. Bila anak sakit, ibu juga merasa sakit. Jika anak gembira, ibu juga merasa gembira.
Dalam interkomunikasi itu, persona juga meminta dari ba- dan untuk melambungkan perasaannya melalui kata atau gerak-gerik, apakah itu kata-kata manis menyenangkan, lambaian tangan, atau yang lainnya.
Persona berkembang menuju kesempurnaan berda- sarkan pengalaman berkomunikasi antara manusia. Dan ia selalu dalam perjalanan untuk menjadi persona yang sempurna, untuk berkomunikasi yang lebih sempurna.
Personalah yang merupakan faktor yang membeda- ka n manusia dengan makhluk infra-human. Hanyalah manusia yang mampu mengadakan self-reflection, “ke- luar” dari dirinya sendiri, lalu menengok ke belakang un tuk meninjau dirinya sendiri. Hanyalah manusia yang mam pu mengadakan koreksi terhadap perbuatannya, mengubah perbuatannya, mengadakan kombinasi baru, menggantikan iramanya, memperlambat atau memperce- pat, menyempurnakan kegiatannya. Makhluk infra-hu- man seperti benda, tumbuh-tumbuhan, ataupun bina- tang, tidak mampu berbuat seperti itu.
Pada pokoknya sifat spiritual atau rohaniahlah yang menyebabkan manusia berbeda dengan alam infra-hu- man, karena manusia pada hakikatnya adalah seorang per sona, sedangkan makhluk lainnya bukan.
Berdasarkan hal di atas itulah pentingnya menelaah manusia sebagai faktor hakiki dari komunikasi. Kamu- nikasi sosial lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah.
Pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan adalah “isi kesadaran” atau ”gambaran dalam be nak”
(picture in our head). Sehingga komunikasi akan ber- langsung ji ka komunikan mengerti pesan tersebut. Dalam konteks ini, Schramm menekankan komunikasi adalah proses yang memiliki tujuan untuk membangun kesamaan antara sum ber dan penerima pesan.
Jadi, ketika seseorang ingin berkomunikasi, maka ia harus bisa menerjemahkan pikiran dan perasaan yang akan disampaikan ke penerima dalam suatu bentuk yang
dapat ditransmisikan. Gambar dalam pikiran kita mi-sal- nya, tentu tidak akan dapat ditransmisikan kecua li gam- bar tersebut diterjemahkan ke dalam deskripsi ka ta.
Proses penerjemahan ini disebut encoder, sedangkan rangkaian kata yang mewakili penerjemahan disebut si nyal. Sedangkan dari sisi penerima pesan, kata-kata yang didengar kemudian disusun sedemikian rupa untuk memperoleh gambar utuh yang dimaksud oleh pengi ri m.
Dalam model ini memang Schramm mengabaikan apa- kah terjadi penyimpangan (distorsi) pada penerima atau tidak, sehingga tidak masalah apakah gambar yang di- kirim oleh sumber sama dengan penerima atau tidak.
Setelah pesan sampai ke tujuan, menurut Schramm, kemudian akan terjadi tanggapan balik (feedback). Me- nurut Schramm feedback diperlukan untuk mengurangi hambatan noise (gangguan). “Seorang komunikator yang baik akan secara aktif menggunakan feedback untu k menginterpretasikan sekaligus memodifikasi pesan” ka- ta Schramm (dalam Ruben, 2002: 28). Dengan adanya feed back, Schramm mengatakan bahwa antara sumber (source) dan penerima pesan (destination) sebenarnya ti- dak dapat dibedakan, karena memang terjadi secara bo- lak-balik.