• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Barat a. Zaman Kuno

Dalam dokumen Buku Etika dan Filsafat Komunikasi pdf (Halaman 33-39)

PENGERTIAN, PERKEMBANGAN, DAN MASALAH DASAR FILSAFAT

B. PERKEMBANGAN FILSAFAT

4. Filsafat Barat a. Zaman Kuno

Filsafat Barat kuno dimula i dar i filsafat pra-sokra tes di Yunani. Seja rah filsafat Barat mulai Milete, di Asia ke- cil, sekitar tahun 600 SM. Pada waktu itu, Milete meru-

pakan kota yang penting, di mana banyak jalur perda- gangan bertemu di Mesir, Italia, Yunani, dan Asia. Juga ba nyak ide bertemu di sini, sehingga Milete juga menjadi suatu pusat intelektual (pembahasan lebih lanjut tentang Filsafat Barat, lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, (2004: 58-78)).

Pemikir-pemikir besar di Milete lebih-lebih menyi- bukkan diri dengan filsafat alam. Mereka mencari suatu unsur induk (archè) yang dapat dianggap sebagai asal segala sesuatu. Menurut Thales (± 600 SM), airlah yang merupakan unsur induk ini. Menurut Anaximander

610-540 SM), segala sesuatu berasal dari “yang tak terba- tas”, dan menurut Anaximenes (± 585-525 SM) udara-lah yang merupakan unsur induk segala sesuatu. Pythagoras (± 500 SM) yang mengajar di Italia Selatan, adalah orang pertama yang menamai diri “filsuf”.

Ia memimpin suatu sekolah filsafat yang kelihatan- nya sebagai suatu biara di bawah perlindungan dari De- wa Apollo. Sekolah Pythagoras sangat penting untuk per- kembangan matematika. Ajaran falsafinya mengatakan an tara lain bahwa segala sesuatu terdiri dari “bilangan- bilangan”: struktur dasar kenyataan itu “ritme”.

Dua nama lain yang penting dari periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515-440 SM).

Herakleitos mengajarkan bahwa segala sesuatu “menga- lir” (panta rhei): segala sesuatu berubah terus-menerus seperti air dalam sungai. Parmenides mengatakan bahwa, kenyataan justru memang tidak berubah. Segala sesuatu yang betul-betul ada, itu kesatuan mutlak yang abadi dan tak terbagikan.

b. Puncak Zaman Klasik: Sokrates, Plato, dan Aristoteles

Puncak filsafat Yunani dicapai pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Sokrates (± 470-400 SM), guru Plato,

mengajar bahwa akal budi harus menjadi norma terpen- ting untuk tindakan kita. Sokrates sendiri tidak menu- lis apa-apa. Pikiran-pikirannya hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup banyak pemikir Yunani lain, terutama melalui karya Plato. Plato (428-348 SM), menggambarkan Sokrates se- bagai seorang alim yang mengajar bagaimana manusia dapat menjadi ber bahagia berkat pengetahuan tentang apa yang baik.

Diantara ajaran Sokrates adalah metode dialektika, yakni metode pencarian kebenaran secara ilmiah melalui bercakap-cakap atau berdialog. Socrates, misalnya selalu bertanya-tanya “apakah itu salah atau tidak salah, apa- kah itu adil atau tidak adil, apakah itu pemberani ataukah tidak pemberani, dan seterusnya.” Socrates menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis dan dengan pertan- yaan-pertanyaan berikutnya ia menarik segala konse- kuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut.

Plato sendiri menentukan, bersama Aristoteles, bagi sebagian besar dari seluruh sejarah filsafat Barat selama lebih dari dua ribu tahun. Dunia yang kelihatan, menurut Plato, hanya merupakan bayangan dari dunia yang sung- guh-sungguh, yaitu dunia ide-ide yang abadi. Jiwa manu- sia berasal dari dunia ide-ide. Jiwa di dunia ini terkurung di dalam tubuh. Keadaan ini berarti keterasingan. Jiwa kita rindu untuk kembali ke “surga ide-ide”. Kalau jiwa

“mengetahui” sesuatu, pengetahuan ini memang bersifat

“ingatan”. Jiwa pernah berdiam dalam kebenaran dunia ide-ide, dan oleh karena itu pengetahuan mungkin seba- gai hasil “mengingat”.

Filsafat Plato merupakan perdamaian antara ajaran Parmenides dan ajaran Herakleitos. Dalam dunia ide-ide segala sesuatu abadi, dalam dunia yang kelihatan, dunia

kita yang tidak sempurna, segala sesuatu mengalami per- ubahan. Filsafat Plato, yang lebih bersifat khayal dari- pada suatu sistem pengetahuan, sangat dalam dan sangat luas dan meliputi logika, epistemologi, antropologi, teo- logi, etika, politik, ontologi, filsafat alam, dan estetika.

Aristoteles (384-322 SM), guru Iskandar Agung, adalah murid Plato. Tetapi dalam banyak hal ia tidak setuju dengan Plato. Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak dalam suatu “surga” di atas dunia ini, melain- kan di dalam benda-benda sendiri. Setiap benda terdiri dari dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi (hylè) dan bentuk (morfè). Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dengan ide-ide dari Plato. Tetapi pada Aristoteles ide-ide ini tidak dapat dipikirkan lagi lepas dari materi. Materi tanpa bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi.

Bentuk-bentuk memberi kenyataan kepada materi dan sekaligus merupakan tujuan dari materi. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada per kembangan ilmu pengetahuan besar sekali, seperti pe nemuannya ten- tang metode induksi, yakni proses menyimpulkan dari pengetahuan yang bersifat khusus ke pengetahuan yang bersifat umum. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi, dan ilmu alam.

c. Zaman Patristik

Patristik (dari kata Latin “Patres”, “Bapa-bapa Gere- ja”). Ajaran falsafi-teologis dari Bapa-bapa Gereja menun- jukkan pengaruh Plotinos. Mereka berusaha untuk mem- perlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran pa ling dalam dari manusia. Mereka berhasil membela aja r an Kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir

kafir. Tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja merupakan suatu sumber yang kaya dan luas yang sekarang masih tetap mem beri inspirasi baru.

d. Zaman Skolastik

Sekitar tahun 1000 M peranan Plotinos diambil alih oleh Aristoteles. Aristoteles menjadi terkenal kembali me- lalui beberapa filsuf Islam dan Yahudi, terutama melalui Avicena (Ibn Sina, 980-1037), Averroes (Ibn Rushd, 1126- 1198), dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aris toteles lama-kelamaan begitu besar sehingga ia dise but ”Sang Filsuf”, sedangkan Averroes disebut ”Sang Ko mentator”.

Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan banyak filsuf penting. Me-reka sebagian be- sar berasal dari kedua ordo baru yang lahir dalam Abad Pertengahan, yaitu para Dominikan dan Fransiskan.

Filsafat mereka disebut Skolastik (dari kata Latin,

scho lasticus”, “guru”). Karena, dalam periode ini filsa- fat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universi- tas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Tema-tema pokok dari ajar- an mereka itu: hubungan iman-akal budi, adanya dan hakikat Tuhan, antropologi, etika dan politik. Ajaran Skolastik dengan sangat bagus diungkapkan dalam puisi Dante Alighieri (1265-1321).

e. Zaman Modern

Zaman Renaissance

Jembatan antara Abad Pertengahan dan Zaman Mo- dern, periode antara sekitar 1400 M dan 1600 M, dise- but “renaissance” (zaman “kelahiran kembali”). Dalam

zaman renaissance, kebudayaan klasik dihidupkan kem- bali. Kesusastraan, seni, dan filsafat mencapi inspirasi me reka dalam warisan Yunani-Romawi. Filsuf-filsuf ter - penting dari rainassance itu adalah Nicollo Macchiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535), dan Francis Bacon (1561-1626).

Pembaruan terpenting yang kelihatan dalam filsafat renaissance itu “antroposentris”-nya. Pusat perhatian pe- mikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam zaman kuno, atau Tuhan, seperti dalam Abad Pertengahan, melainkan manusia. Mulai sekarang manusialah yang dianggap se- bagai titik fokus dari kenyataan.

Zaman Pencerahan

Abad kedelapan belas memperlihatkan perkembang- an baru lagi. Setelah reformasi, setelah renaissance dan setelah rasionalisme dari zaman barok, manusia seka- rang dianggap “dewasa”. Periode ini dalam sejarah Barat disebut “zaman pencerahan” atau “pencerahan” (dalam ba hasa Inggris, “Enlightenment”, dalam bahasa Jerman,

Aufklarung”). Filsuf-filsuf besar dari zaman ini di In- ggris ”empirisus-empirisus”, seperti John Locke (1632- 1704), George Berkeley (1684-1753), dan David Hume (1711-1776). Di Perancis Jean Jacque Rousseau (1712- 1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804), yang menciptakan suatu sintesis dari rasionalisme dan em- pirisme dan yang dianggap sebagai filsuf terpenting dari zaman mo dern.

Zaman Romantik

Filsuf-filsuf besar dari Romantik lebih-lebih berasal dari Jerman, yaitu J. Fichte (1762-1814), F. Schelling

(1775-1854), dan G. W. F. Hegel (1770-1831). Aliran yang diwakili oleh ketiga filsuf ini disebut “idealisme”. Dengan idealisme di sini dimaksudkan bahwa mereka mempriori- taskan ide-ide, berlawanan dengan “materialisme” yang memprioritaskan dunia material. Yang terpenting dari para idealis kedua puluh harus dianggap sebagai lanjutan dari filsafat Hegel, atau justru sebagai reaksi terhadap fil- safat Hegel.

Masa Kini

Dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas seja- rah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang be- sar, yang mempertahankan diri lama dalam wilayah-wila- yah yang luas, yaitu rasionalisme, empirisme dan ideal- isme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad kesembilan belas dan kedua puluh kelihatan ter pecah- pecah. Macam-macam aliran baru muncul, dan aliran- aliran ini sering terikat pada hanya satu negara atau satu lingkungan bahasa.

Dalam dokumen Buku Etika dan Filsafat Komunikasi pdf (Halaman 33-39)