• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikulasi Pendidikan Luar Sekolah (PAUDNI)

Dalam dokumen Menggagas Pendidikan Masa Depan (Halaman 59-65)

Sinergi Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan Pendidikan Nasional

B. Artikulasi Pendidikan Luar Sekolah (PAUDNI)

Hampir semua literatur yang membahas peristiwa, praktik, kebijakan, program, dan satuan pendidikan yang terjadi di samping sistem persekolahan dominan berisi konsepsi pendidikan nonformal, sehingga terjadi keruwetan (doubfull) dalam mempersepsi dan memaknai pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal. Miskonsepsi tentang pendidikan luar sekolah tersebut terjadi karena titik pandang (point of view) yang berbeda. Titik pandang akademisi dari perguruan tinggi atau

dari lembaga penelitian dan pengembangan tentu dari sudut pandang keilmuan atau kajian akademik yang luas lingkupnya dan bersifat divergen. Titik pandang para pemangku pengambil kebijakan pendidikan tentu dari sudut pandang peraturan perundangan dan pelayanan publik. Titik pandang pengelola, penyelenggara, dan praktisi pendidikan tentu dari sudut pandang teori, konsepsi, prinsip, dan panduan penyelenggaraan lembaga dan program pendidikan secara praktis.

Dalam pandangan awam, bahkan pada sebagian kalangan akademisi pendidikan, praktisi, maupun pengambil kebijakan bidang pendidikan tidak memiliki pengertian yang sama tentang pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah telah memiliki artikulasi, pemaknaan, nilai, bahkan telah berkembang menjadi sebuah pranata dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan luar sekolah seringkali dipertukar-artikan dengan konsep-konsep yang memang saling berhubungan, beririsan, dan/atau memiliki kesamaan makna, yaitu pendidikan nonformal, pendidikan masyarakat (community education), pembelajaran masyarakat (community learning), masyarakat belajar (learning community), pendidikan berkelanjutan (continuing education), pendidikan masa (mass education), penyuluhan pembangunan, penyuluhan masyarakat, pendidikan orang dewasa (POD), pendidikan dasar bagi orang dewasa, perubahan sosial, pembangunan masyarakat, pengorganisasian masyarakat, dan banyak lagi terminologi sejenis yang menunjuk pada substansi pendidikan nonformal. Masing-masing istilah tersebut memiliki makna dan relevansinya sesuai dengan program pendidikan yang dimaksudkan, termasuk pendidikan luar sekolah itu sendiri. Ada terminologi yang terikat dengan satuan pendidikan, term perundangan, term kebijakan, peristiwa pendidikan, setting tempat, sasaran didik, agensi pendidikan, tujuan pendidikan/pembelajaran, dan yang paling sering terjadi adalah yang menunjuk pada program pendidikan spesifik bagi orang dewasa atau kelompok masyarakat.

Mispersepsi dan duplikasi pemaknaan terhadap pendidikan luar sekolah telah lama terjadi sebagaimana pernah ditulis oleh Apps (1979) tentang pendidikan berkelanjutan yang maknanya juga dekat dengan pendidikan luar sekolah dan pendidikan nonformal. Daftar istilah yang dikumpulkan oleh Apps (1979:60) untuk menunjukkan keberagaman istilah yang terkait dengan pendidikan berkelanjutan (continuing education) sebagai salah satu genre pendidikan nonformal dalam istilah aslinya yaitu: lifelong education, lifelong learning, continuous learning, continuous education, continuing education, adult education, adult learning, permanent education, postsecondary education, recurrent education, informal education, nonformal study, andragogy, dan nontraditional study.

Bahkan Apps juga masih menambahkan cukup banyak istilah lain yang terkait dengan program pendidikan berkelanjutan bagi orang dewasa yang dikenal di seluruh dunia, di mana terdapat lebih dari dua puluh istilah yang terkait dengan pendidikan nonformal untuk orang dewasa.

Pengertian dan pemaknaan terhadap pendidikan luar sekolah mengalami perubahan konsep dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada tahap awal kelahirannya, pendidikan luar sekolah di Indonesia identik dengan pendidikan buta huruf dan pendidikan orang dewasa. Setelah filsafat pendidikan sepanjang hayat diangkat pada tahun 1970an, makna dan cakupan pendidikan luar sekolah menjadi lebih luas. Setelah beredarnya tulisan "The World Educational Crisis" oleh Phillips Coombs (1984), pendidikan luar sekolah dianggap menjadi solusi terhadap keterbatasan pendidikan formal yang ternyata tidak memberikan dampak kepada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Bahkan pada tahun 2010 muncul terminologi baru yang makin memperkaya khasanah peristilahan pendidikan luar sekolah yaitu PAUDNI (baca: paudni), singkatan dari kata Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Nonformal, dan Pendidikan Informal. Istilah paudni muncul pertama kali secara resmi dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara, serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Pada Peraturan Presiden tersebut disebutkan bahwa salah satu direktorat jenderal yang ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah Direktorat Jenderal

paudni, serta program pengkajian, pengembangan dan pengendalian mutu pendidikan, serta program dukungan manajemen dan pelaksana teknis lainnya. Kebijakan dan program Ditjen PAUDNI diarahkan untuk memenuhi tuntutan peningkatan kualitas layanan dengan tetap berupaya terus mendorong ketersediaan dan akses layanan pendidikan yang semakin luas.

Dengan demikian dapat dikatakan munculnya istilah paudni merupakan dimensi kebijakan pendidikan yang ditujukan untuk memberikan dukungan manajemen dan pelaksanaan program dan pembinaan satuan penyelenggara pada pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal; yang mana masing-masing nomenklatur memiliki karakteristik yang berbeda;

agar mampu memberikan sumbangan efektif bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa.

Kebijakan manajemen tidak selalu seiring, searah, dan sebangun dengan dimensi kajian konseptual teoritik pendidikan. Secara konseptual teoritik dan filosofis antara ke tiga katagori program/satuan pendidikan yang tergabung dalam istilah PAUDNI yaitu PAUD, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal memiliki landasan berpijak yang berbeda. Dengan demikian menyatukan tiga jenis program/satuan pendidikan ini dalam satu kesatuan pembahasan akan banyak mengalami kesulitan. Untuk memperoleh pemahaman yang sedekat mungkin dengan konsep denotatifnya perlu diuraikan artikulasi, substansi, dan signifikansi masing-masing nomenklatur itu secara terpisah.

Istilah PAUDNI sering dikaitkan dengan istilah pendidikan luar sekolah (PLS), pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Hal ini terjadi semata-mata karena sejak diinisiasi pada tahun 1997 program PAUD secara kebijakan dan manajerial di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diurus oleh Direktorat Jenderal yang dahulu mengurus pendidikan luar sekolah, yaitu Ditjen PLSPO (Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga), kemudian menjadi Ditjen PLSP (Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda), kemudian menjadi Ditjen PNFI (Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal), dan akhirnya tahun 2010 menjadi Ditjen PAUDNI (Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal). Pada tahun 2000 dibentuk direktorat khusus yang mengurusi PAUD yaitu Direktorat PAUD.

Sebelumnya, sebelum istilah PAUDNI dipakai telah digunakan istilah pendidikan luar sekolah (PLS). Perubahan istilah ini pada dasarnya tidak merubah konten sehingga aspek-aspek yang ada di dalamnya tetap sama. PAUDNI adalah kependekan dari pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan nonformal (PNF) dan pendidikan informal (PIF); yang tidak lain adalah PLS plus.

Perubahan label untuk pendidikan nonschool ini juga terjadi ketika diundangkan Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menjadi Undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 11 Juni 2003. Melalui undang-undang tersebut tidak lagi digunakan istilah PLS, dan muncul istilah baru yaitu: pendidikan nonformal, pendidikan informal, dan pendidikan formal. Meskipun tidak terlalu tepat makna dan sama arti, namun dapat dikatakan bahwa PLS telah bermetamorfosa menjadi pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Dengan demikian terminologi paudni sama makna dan kandungan esensinya dengan pendidikan luar sekolah (PLS). Perubahan label untuk menamai medan garap pendidikan di luar sistem persekolahan ini bukan hal yang pertama dan terakhir. Hal ini akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Pada masa sebelum lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003, yang berlaku adalah UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU No. 2 Tahun 1989 menyebut adanya dua jalur pendidikan, yaitu: jalur sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah (Pasal 10 ayat [1]). Dalam bahasa yang berbeda namun dengan kandungan makna yang sama, UU Nomor 20 Tahun 2003 menyebut adanya tiga jalur pendidikan, yaitu: pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal (pasal 26, ayat [1]). Pada prinsipnya jalur pendidikan luar sekolah (menurut UU No. 2 tahun 1989) dan jalur pendidikan nonformal dan pendidikan informal (menurut UU Nomor 20 tahun 2003) menunjuk pada substansi yang sama yaitu kebutuhan bangsa Indonesia akan layanan pendidikan sistematis di luar sistem persekolahan. Layanan pendidikan sistematis di luar sistem persekolahan itulah yang bisa disebut sebagai pendidikan nonformal. Sedangkan peristiwa pendidikan yang kurang sistematis dan tidak sistematis yang terjadi di luar sistem persekolahan dimasukkan ke dalam kelompok jalur pendidikan informal.

Secara politis dan yuridis formal, kedudukan PAUDNI sebagai pranata didukung oleh Undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 13 ayat (1) UU) Nomor 20 tahun 2003 tersebut menyebutkan bahwa jalur pendidikan di Indonesia terdiri atas pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Selanjutnya pada pasal 26 (ayat 1) disebutkan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat [ayat (1)]. Pendidikan informal diatur pada UU Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (13) dan Pasal 27 ayat (1). Dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut pendidikan informal diartikan sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (Pasal 1; ayat 13) yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri (pasal 27; ayat 1).

Adapun penjelasan tentang PAUD diatur pada pasal 1 ayat (14) bahwa Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Secara rinci diatur secara khusus pada pasal 28 yang terdiri dari enam ayat, yaitu: (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal; (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudhatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan; dan (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan ketentuan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional itu, paud merupakan program pendidikan yang terjadi pada tiga jalur sekaligus yaitu formal, nonformal, dan informal. Dengan demikian paud bukan melulu perihal yang terkait secara khusus dengan pendidikan luar sekolah.

Berdasarkan klasifikasi Apps (1979:64) ada dua bentuk kemungkinan peristiwa belajar terjadi, yaitu apa yang disebut sebagai random learning dan planned learning. Random learning adalah peristiwa dan hasil belajar yang tidak direncanakan, baik oleh si pelajar (orang yang beraktivitas belajar) maupun oleh si pengajar (orang yang membelajarkan orang lain) atau oleh salah satunya. Melalui berbagai peristiwa dan pengalaman hidup sehari-hari yang bermacam-macam, seseorang dan masyarakat mendapatkan banyak pelajaran (lesson learned) yang akhirnya mampu mengubah perilaku mereka secara permanen. Adapun planned learning adalah peristiwa dan hasil belajar yang secara sistematis, terancang, dan disengaja direkayasa atau memang diciptakan untuk mengubah perilaku sasaran didik.

Klasifikasi ini sejalan dengan taksonomi Axinn (1976:22), di mana peristiwa belajar dapat dilihat berdasarkan nirmana (perspective) kesengajaan peserta didik dan sumber belajar atau pendidik. Apabila pada sebuah peristiwa belajar, si pelajar dan pengajar keduanya sengaja mengadakan kegiatan belajar-mengajar di luar sistem persekolahan, maka di situ peristiwa belajar nonformal terjadi sepanjang keseluruhan proses pembelajaran yang dilakoninya itu terancang secara sistematis dan terkontrol. Apabila salah satu pihak, si pelajar atau si pengajar tidak sengaja untuk belajar atau untuk mengajar, namun melalui sebuah interaksi langsung atau secara tidak langsung terjadi perubahan tingkah laku pada si pelajar, maka di situ telah terjadi peristiwa belajar secara informal. Berikut ini diagram yang dibuat Axinn untuk menvisualisasikan anatomi sistem pendidikan berdasarkan aspek kesengajaan belajar dan mengajar. Model ini telah dimodifikasi untuk memberikan konteks pada situasi di Indonesia.

Nirmana Pengajar

Sengaja Tidak sengaja Keterangan:

Wilayah berarsir adalah garapan PTK PAUDNI sebagai spesialisasi/

professional.

Nirmana pelajar

Sengaja

A Pendidikan formal

(di sekolah)

B Pendidikan informal 2

(belajar swarah) Pendidikan Nonformal

(di luar sekolah) Tidak sengaja

C Pendidikan informal 1 Pembelajaran Informal

D Pendidikan informal 3 (belajar secara kebetulan) Gambar 1: Paradigma Jenis Sistem Belajar Masyarakat (dimodifikasi dari Axinn, 1976:22)

Melalui diagram tersebut mudah untuk dipahami bila format pendidikan nonformal dan pendidikan informal terjadi pada setting yang spesifik di luar sistem pendidikan formal. Meskipun diagram tersebut nampak sederhana, namun memiliki implikasi substantif terhadap nilai-nilai, prinsip, dan aktualisasi praktis dalam penyelenggaraan pembelajaran di tataran kebijakan dan praksis. Apa yang disebut pendidikan nonformal adalah format pendidikan yang terjadi di luar sistem persekolahan yang terdesain sepenuhnya oleh pihak pengajar (pendidik dan tenaga kependidikan) dan keterlibatan pelajar sebagai subjek belajar dilakukan secara disadari sepenuhnya.

Sedangkan pendidik informal adalah format pendidikan yang terjadi di luar sistem persekolahan dan program belajarnya tidak sepenuhnya terdesain, dengan tiga kemungkinan varian yaitu: (1) program didesain oleh pihak pengajar (pendidikan informal tipe 1), (2) program didesain oleh pihak pelajar sendiri (pendidikan informal tipe 2), dan (3) program belajar tidak terdesain sama sekali baik oleh pengajar maupun oleh pelajar (pendidikan informal tipe 3).

Pada kuadran A menunjukkan kegiatan belajar dan pembelajaran yang ditandai dengan adanya unsur kesengajaan dari dua pihak, yaitu pihak pengajar yang sengaja membelajarkan pelajar, dan pihak pelajar yang sengaja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan, pembelajaran dan pelatihan dari pengajar, maka kegiatan tersebut digolongkan ke dalam pendidikan formal dan/atau pendidikan nonformal.

Pada kuadran B menunjukkan tentang pendidikan informal tipe 2. Apabila kesengajaan itu hanya timbul dari pihak pelajar yang sengaja belajar sesuatu dengan bimbingan seorang pendidik, sedangkan pihak pendidik tidak sengaja untuk membantu peserta didik tersebut, maka kegiatan ini tergolong ke dalam belajar mandiri atau belajar swa-arah. Kegiatan belajar ini muncul karena adanya keinginan dan motivasi dari diri seseorang untuk belajar dan mengubah perilaku. Belajar mandiri adalah unik karena setiap orang memiliki strategi yang berbeda-beda dalam melakukan kegiatan belajarnya. Secara sukarela seseorang melakukan kegiatan belajar tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Bentuk-bentuk belajar mandiri menurut Suryadi (2011) dapat digolongkan sebagai berikut:

(1) Kegiatan belajar mandiri pasif. Contoh tipe belajar mandiri secara pasif misalnya: melalui membaca, mengamati, dan menonton yang akibat dari kegiatan tersebut dapat menumbuhkan pemahaman atau nilai-nilai tertentu pada dirinya.

(2) Kegiatan belajar mandiri aktif. Contoh tipe belajar mandiri aktif dapat dilakukan seseorang melalui bertanya dan diskusi dengan orang yang memiliki pengetahuan atau kecakapan yang lebih banyak, atau membaca berbagai buku tentang suatu keterampilan atau kecakapan tertentu maupun tentang pendalaman kecakapan profesional.

Pada kuadran C menggambarkan varian pendidikan informal tipe 1 di mana ada kesengajaan dari pihak pendidik (sumber belajar) untuk membantu atau mengarahkan peserta didik tertentu guna memperoleh pengalaman belajar, sedangkan pihak peserta didik tidak sengaja untuk belajar sesuatu dengan bantuan pendidik. Kegiatan belajar semacam ini termasuk ke dalam kategori pendidikan informal tipe 1. Pendidikan informal tipe ini dapat berbentuk perorangan, kolektif dan

massal. (1) Pendidikan yang dilakukan secara perorangan dapat terjadi dalam keluarga (pendidik alamiah). Peran orangtua dalam keluarga adalah sebagai pendidik informal bagi anak-anak dan anggota keluarganya. (2) Pendidikan informal dapat dilakukan secara kolektif yaitu melalui kegiatan- kegiatan kelompok yang memiliki kepentingan bersama. Pendidikan informal secara kolektif ini merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat yang terselenggara karena diciptakan oleh pemerintah atau agensi pendidikan masyarakat secara mandiri (pendidik semi profesional).

Contoh kegiatan pendidikan informal secara kolektif dapat berlangsung pada: Kelompok Usaha Tani, Kelompok Pendengar Radio, Kelompok Pencinta Alam, Kelompok Pedagang Kaki Lima, siaran radio tentang pertanian, kesehatan, keluarga berencana; iklan layanan masyarakat maupun iklan komersial di media masa, dan sejenisnya. Kelompok tersebut dapat belajar dengan saling belajar, saling memberikan informasi mengenai sumber belajar yang dapat digunakan, saling tukar- menukar pengalaman, dan lain sebagainya. (3) Pendidikan informal yang dilakukan secara massal (pendidik profesional). Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk dari pemberdayaan masyarakat yang melibatkan berbagai institusi sosial, keagamaan, ekonomi, politik sebagai pendidik informal.

Pendidikan yang dilakukan secara massal dapat dilakukan melalui penyuluhan langsung atau melalui media massa.

Pada kuadran D, menunjukkan tipe pendidikan informal tipe 3 di mana suatu peristiwa belajar terjadi tanpa kesengajaan dari pihak pendidik dan peserta didik maka kegiatan ini digolongkan ke dalam belajar secara kebetulan. Belajar yaitu perbuatan secara wajar dan alamiah yang prosesnya tidak selalu memerlukan kehadiran pendidik (guru, pelatih, pembimbing, pamong belajar, atau sebutan lain yang relevan dengan konteksnya). Proses belajar yang demikian mungkin tidak disadari oleh seseorang atau kelompok bahwa ia atau mereka telah atau sedang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Sebagai ilustrasi ketika seseorang sedang mengobrol ke sana ke mari di warung kopi, tanpa direncanakan sebelumnya obrolan mengarah pada diskusi tentang cara-cara me- nyelesaikan seuatu masalah, maka di antara peserta obrolan tersebut telah terjadi kegiatan belajar.

Di samping itu kegiatan belajar sepanjang hayat akan terwujud apabila terdapat dorongan pada diri seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan belajar dan untuk mencapai kepuasan diri.

Perubahan akibat belajar dapat terjadi dalam berbagai bentuk perilaku, dari ranah kognitif, afektif, dan atau psikomotor. Sifat perubahannya relatif permanen (bukan perubahan bersifat sesaat), tidak akan kembali kepada keadaan semula. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.

Perubahan akan lebih mudah terjadi bila disertai adanya penguat, berupa ganjaran yang diterima - hadiah atau hukuman -sebagai konsekuensi adanya perubahan perilaku tersebut. Perasaan bangga dalam diri karena dapat mengerti dan paham akan apa yang di pelajari. Kegiatan belajar berlangsung sepanjang hidup manusia karena untuk mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Apabila konsepsi peristiwa belajar dan/atau pendidikan yang dikemukakan Apps (1979) dikombinasikan dengan yang dikemukakan Axinn (1976) maka akan didapatkan empat katagori.

Katagori pertama adalah pendidikan formal dan pendidikan nonformal yang sepenuhnya bersifat sebagai planned learning. Katagori ke dua adalah pendidikan informal tipe 1 di mana perencanaan program belajar dilakukan oleh pihak pengajar, di mana tipe ini bisa disebut sebagai planned learning sekaligus dapat dikatakan sebagai random learning. Katagori ke tiga adalah pendidikan informal tipe 2 di mana perencanaan program belajar dilakukan oleh pihak pelajar sendiri, di mana tipe ini bisa juga disebut sebagai planned learning sekaligus dapat dikatakan sebagai random learning. Katagori ke empat adalah pendidikan informal tipe 3 di mana sepenuhnya tidak ada perencanaan program belajar/pembelajaran.

Dengan demikian dapat dimaknai pula bahwa pendidikan formal dan pendidikan nonformal sepenuhnya bersifat planned learning. Pendidikan informal tipe 3 sepenuhnya bersifat random learning atau unplanned learning. Pendidikan informal tipe 1 bersifat tentatif sebagai planned learning

Dalam dokumen Menggagas Pendidikan Masa Depan (Halaman 59-65)