• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter Hadirin yang mulia,

Dalam dokumen Menggagas Pendidikan Masa Depan (Halaman 39-43)

Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar

C. Pendidikan Karakter Hadirin yang mulia,

Mengacu kepada persoalan-persoalan pentingnya pendidikan karakter, terjadinya de- humanisasi manusia, dan mal-praktik dunia pendidikan di atas maka revitasasi pendidikan karakter mendesak untuk dilakukan. Lantas, apa tujuan, landasan, dan seperti apa paradigma pendidikan karakter itu? Sebagaimana tujuan dan landasan pendidikan karakter seperti yang pernah saya tulis dalam Naskah Akademik (untuk bahan) pengembangan Pedoman Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar yang dikembangkan oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Dasar (1911) maka tujuan dan landasan pendidikan karakter adalah sebagai berikut:

Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter yang dimaksud dalam pidato ini adalah upaya fasilitasi yang dilakukan oleh (pendidik, tenaga kependidikan, dan komunitas) di sekolah dasar untuk menjadikan peserta didik berkarakter baik. Karakter baik saya definisikan sebagai “hidup dengan benar dalam hubungan seseorang dengan Tuhannya, sesama manusia, alam lingkungan hidupnya, bangsa dan negaranya, serta dengan diri sendiri. Munir (2010) menyebutnya pendidikan karakter bertujuan untuk menumbuhkan karakter positif (memperkuat karakter baik dan memperlemah karakter buruk). Q- Anees (2008) menyatakan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan insan kamil.

Pendidikan karakter yang dibangun dalam pendidikan dapat mengacu pada Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan bersumber dari sejumlah nilai, moral, dan norma, yang diyakini kebenarannya yang terwujud dalam hubungan-hubungan yang membangun interaksi antara manusia dengan tuhannya, sesama manusia, lingkungan hidupnya, bangsa dan negaranya, dan dengan dirinya sendiri. Hubungan-hubungan itulah yang menimbulkan penilaian baik-buruknya karakter seseorang.

Pendidikan karakter sering juga disebut dengan pendidikan nilai karena karakter adalah value in action nilai yang diwujudkan dalam tindakan (Lickona,1991). Karakter juga sering disebut operative value atau nilai-nilai yang dioperasionalkan dalam tindakan (perilaku). Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya merupakan upaya dalam proses menginternalisasikan, menghadirkan, menyemaikan, dan mengembangkan nilai-nilai kebaikan pada diri peserta didik.

Dengan internalisasi nilai-nilai kebajikan pada diri peserta didik di atas, diharapkan dapat mewujudkan perilaku baik.

Dalam proses menghadirkan (internalisasi) nilai-nilai pada diri peserta didik, Ki Hajar Dewantoro (1962) menekankan pentingnya prinsip: (1) Ngerti, Ngroso, lan Nglakoni; (2) Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani, Lickhona (1991) menyebutnya sebagai unsur-unsur karakter yang mencakup moral knowing, moral feeling, dan moral action.

Sementara itu, Abdullah Gymnastiar (Akbar, 2000, Akbar, 2007) sering mengungkapkan dengan keseimbangan fikir, dzikir, dan ikhtiar. Prinsip-prinsip dan unsur-unsur karakter tersebut hendaknya diimplementasikan dalam praktik pendidikan karakter.

Landasan Pendidikan Karakter

Pertama, landasan filsafat manusia. Secara filosofis, manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan “belum selesai”, mereka dilahirkan dalam keadaan belum jadi. Manusia yang ketika dilahirkan berwujud anak manusia belum tentu dalam proses perkembangannya menjadi manusia yang sesungguhnya. Agar dapat menjadi manusia yang sesungguhnya, dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya anak-anak manusia itu memerlukan bantuan. Upaya membantu manusia untuk menjadikan manusia yang sesungguhnya itulah yang disebut pendidikan. Berbeda dengan hewan, anak-anak hewan hanya memerlukan bantuan yang sedikit saja dalam hidupnya dari masyarakat hewan, anak-anak hewan akan cepat mandiri. Hewan adalah ciptaan yang sudah selesai,

karakternya, sifat-sifat kemanusiawiannya bisa terkikis dan tidak pantas disebut sebagai manusia yang dikaruniai akal, mendapat julukan sebagai makhluk yang paling mulia, yang bermartabat dan beradab. Dalam proses perkembangannya karakter manusia bisa menjadi lebih buruk dari pada hewan. Untuk itu, pendidikan karakter sangat diperlukan bagi manusia dalam sepanjang hidupnya agar mereka dapat menjadi manusia yang berkarakter baik.

Kedua, dari sisi landasan filsafat Pancasila, manusia Indonesia yang ideal adalah yang Pancasilais menghargai nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Nilai-nilai Pancasila itulah yang seharusnya menjadi core value dalam pendidikan karakter di negeri ini.

Ketiga, landasan filsafat pendidikan umum yang menyatakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah untuk mengembangkan kepribadian utuh dan warga negara yang baik. Seseorang yang berkepribadian utuh digambarkan dengan terinternalisasikannya nilai-nilai dari berbagai dunia makna (nilai), yakni: simbolik, empirik, estetik, etik, sinoptik, dan sinnoetik. Dengan nilai-nilai tersebut menjadikan seseorang berkarakter baik. Nilai simbolik ada dalam bahasa, ritual-ritual keagamaan, dan matematika. Nilai empirik ada pada berbagai macam disiplin ilmu empirik diantaranya IPA dan IPS. Nilai Etik berupa pilihan-pilihan perilaku moral, nilai-nilai etik ini dikembangkan melalui pendidikan: moral, budi pekerti, adab, dan akhlak. Nilai estetik ada pada kesenian: seni tari, lukis, drama, dan lain-lain. Nilai sinnoetik adalah nilai yang bersifat personal yang hadir dari pengalaman- pengalaman personal yang bersifat relasional antar seseorang dengan penciptanya, pengalaman hidup yang unik dan sangat mengesankan yang mampu mengubah perilaku. Nilai sinoptik di dalamnya terangkum nilai-nilai simbolik, estetik, etik, dan sinnoetik, nilai-nilai tersebut hadir dalam pendidikan agama, sejarah, dan filsafat. Karena pendidikan karakter pada dasarnya adalah proses internalisasi nilai dari berbagai dunia nilai di atas, maka pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam berbagai macam mata pelajaran yang diajarkan di satuan-satuan pendidikan.

Keempat, landasan religius, manusia pada dasarnya adalah ciptaan Tuhan. Dalam agama- agama dan sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia, manusia baik adalah manusia yang (1) secara jasmani dan rokhani sehat dan bisa melaksanakan berbagai aktivitas hidup yang dikaitkan dengan peribadatannya kepada Tuhan; (2) bertaqwa dengan menghambakan diri (mengabdikan dan melayani) kemauan Tuhannya, mereka sebagai abdi Tuhan yang patuh dan taat terhadap ajaran- ajaran-Nya; (3) menjadi pemimpin dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya yang dapat dipercaya atas dasar jujur, amanah, disiplin, kerja keras, ulet, dan bertanggung jawab, (4) manusiawi dalam arti besifat/berkarakter sebagai manusia yang mempunyai sifat-sifat cinta kasih terhadap sesama, kepedulian yang tinggi terhadap penderitaan orang lain, berlaku baik terhadap sesama manusia, dan bermartabat. Untuk itu pendidikan karakter perlu mengembangkan karakter manusia agar menjadi manusia yang perilaku hidupnya sehat, patuh terhadap ajaran-ajaran Tuhan (taqwa) dan patuh pada peraturan-peraturan dalam hidup berbangsa dan bernegara (good citizen), dan mempunyai sifat-sifat manusiawi (empatik, simpatik, perhatian, peduli, membantu, menghargai, dll).

Kelima, landasan sosiologis. Secara sosiologis, manusia Indonesia hidup di tengah-tengah masyarakat dan bangsa-bangsa yang sangat heterogen dan terus berkembang. Mereka berada di tengah-tengah masyarat yang berasal dari suku, etnis, agama, golongan, status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda. Di samping itu, bangsa Indonesia juga hidup berdampingan dan melakukan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Untuk itu, upaya mengembangkan karakter yang saling menghargai dan toleran pada bermacam-macam tatanan kehidupan dan aneka ragam perbedaan itu menjadi sangat mendasar.

Keenam, landasan psikologis. Dari sisi psikologis, menurut Supriatna, (dalam Kemendiknas, 2010) karakter dapat dideskripsikan dari dimensi-dimensi intrapersonal, interpersonal, dan interaktif.

Dimensi intrapersonal terfokus pada kemampuan atau upaya manusia untuk memahami dirinya sendiri. Esensi dari dimensi intrapersonal adalah kemampuan yang bersifat reflektif dan retrospektif dari manusia yang diarahkan pada dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa—yang tercakup di dalamnya adalah kesadaran diri, peninjauan diri, penghargaan diri, dan adaptasi diri.

Dimensi interpersonal secara umum dibangun atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan; sedangkan secara khusus, merupakan kemampuan mengenali perbedaan dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dalam bentuk yang lebih maju, dengan dimensi interpersonal ini memungkinkan orang dewasa mampu membaca kehendak dan keinginan orang lain, bahkan ketika keinginan itu disembunyikan. Dengan pengembangan kecakapan interpersonal dapat menjadikan seseorang mampu memahami dan bekerja sama dengan orang lain. Untuk memahami orang lain diperlukan karakter empati, hormat, ramah, dan membimbing.

Dimensi interaktif adalah kemampuan manusia berinteraksi sosial dengan sesama secara bermakna. Sebagai makhluk sosial, manusia berinteraksi dengan lingkungan alamiah atau fisik dan dengan lingkungan sosial. Melalui lingkungan sosial itulah manusia belajar, yang merupakan aktivitas khas manusiawi, yang berbeda dari makhluk lainnya. Belajar membangkitkan berbagai proses perkembangan internal yang mampu beroperasi hanya ketika seseorang berinteraksi dengan orang- orang di lingkungannya dan dengan teman-temannya. Kemampuan berinteraksi sosial secara bermakna diperlukan karakter humor, toleransi, dan mengatasi konflik.

Dari segi psikologi perkembangan, terdapat tahapan-tahapan dalam perkembangan manusia. Perkembangan manusia tercermin dari karakteristik masing-masing dalam setiap tahap perkembangan. Usia anak-anak berbeda karakteristiknya dengan usia remaja, pemuda, dan usia tua.

Di antara mereka perlu saling memahami dan menghargai sesamanya yang tingkat per- kembangannya berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan karakter yang terkait dengan kesopanan, kesantunan, penghargaan, dan kepedulian.

Jadi, dilihat dari sisi filosofis, sosiologis, dan psikologis, maka pendidikan karakter bangsa adalah menjadi sebuah keharusan bagi bangsa Indonesia; di samping untuk memperbaiki karakter bangsa yang semakin terpuruk dewasa ini, juga mengembangkan karakter bangsa Indonesia untuk masa depan yang lebih baik.

Ketujuh, landasan teoretik pendidikan karakter. Ada beberapa teori pendidikan dan pembelajaran yang dapat dirujuk untuk pengembangan karakter: (1) teori-teori yang berorientasi behavoristik yang menyatakan bahwa “perilaku seseorang sangat ditentukan oleh kekuatan external, dimana perubahan perilaku tersebut bersifat mekanistik”. Teori ini dikenal juga sebagai teori Stimulus- Respon atau Teori Laboratorium yang sangat populer pada implementasi kurikulum 1970-an. Teori- teori behavioristik ini dikembangkan dengan menggunakan Hewan sebagai objek ujicobanya. Pada tahun 1980-an tmbuh kesadaran baru, ternyata manusia itu tidak sama dengan hewan sehingga teori behavioristik dipandang kurang cocok untuk pendidikan karakter—karena menjadikan manusia seperti robot; (2) teori-teori yang berorientasi kognitivistik yang juga dikenal sebagai teori pemprosesan informasi, dengan prinsip input-proses-output. Teori ini menganalogikan cara kerja pikiran manusia seperti cara kerja komputer. Jika pikiran di-entry data-data (informasi) tentang kebaikan-kebaikan, maka di yakini akan dapat mewujudkan perilaku baik. Sayangnya ditemukan fakta banyak orang yang mengetahui kebaikan-kebaikan tetapi begitu banyak diantara mereka yang mengetahui kebaikan itu perilakunya tidak selalu baik. Untuk itu, di awal tahun 2000-an tumbuh kesadaran baru, bahwa teori-teori kognitivistik (pemrosesan informasi) kurang begitu cocok untuk pendidikan karakter; (3). teori-teori yang berorientasi komprehenship (misalnya teori konstruktivistik, teori holistik—diantaranya teori medan, teori motivasi, dan teori konteks sosial) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang sangat ditentukan baik oleh kekuatan internal maupun eksternal.

Saya berpendapat, dengan tanpa mengabaikan teori behavioristik dan kognitivistik, untuk keperluan pendidikan karakter dipandang lebih tepat jika menggunakan teori-teori yang berorientasi pada komprehenship (holistik) yang mengimplementasikan secara seimbang antara kekuatan internal dan eksternal, antara kekuatan skemata dengan lingkungan, antara kekuatan pikiran dengan

Dalam dokumen Menggagas Pendidikan Masa Depan (Halaman 39-43)