• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS, TUJUAN DAN SIFAT BISNIS SYARIAH

A. Asas-asas Bisnis Syariah

5. Asas Keadilan

Adil adalah sesuatu yang selalu didambakan dalam kehidupan semua umat manusia. Bahkan menurut hukum kekeluargaan Islam, adil dijadikan syarat legalitas suatu hukum. Misalnya, sahnya nikah menurut Hukum Islam ijab kabulnya haruslah dilaksanakan oleh seorang wali yang adil.

Seorang suami yang akan melaksanakan poligami, juga disyaratkan adil terhadap isteri-isterinya. Dua orang saksi dalam akad nikah haruslah orang yang adil. Tegasnya, hukum dan keadilan adalah dua hal yang berjalan beriringan dan harus integral. Hukum dibuat dan ditetapkan dalam masyarakat, agar orang dapat menikmati dan merasakan keadilan. Dalam mengadili suatu perkara, hakim dituntut untuk bersifat adil. Ketentuan ini terdapat dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 58. Artinya Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Depag RI;1998:69).

Adil kadang-kadang diberi makna sama rata. Kalau seseorang membagi makanan kepada orang yang satu kelompok mempunyai kedudukan sama haruslah sama rata. Jika pembagiannya tidak sama rata pasti dikatakan tidak adil, atau dikatakan curang, pilih kasih, berat sebelah dan lain-lain. Akan tetapi kadang-kadang adil diberi makna tidak sama rata, tetapi proposional atau membagi sesuatu sesuai dengan tingkatan atau kedudukan. Misalnya, memberikan uang jajan kepada anak yang masih duduk di SMA dan yang sudah kuliah di Perguruan Tinggi tidak boleh dengan jumlah yang sama. Jika mereka diberi uang jajn dengan

jumlah yang sama, pasti dinilai tidak adil karena tidak proposional atau tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kebutuhan anak yang masih duduk di SMA dengan yang sudah kuliah pasti tidak sama. Anak yang sudah kuliah pastilah kebutuhannya lebih banyak dibanding dengan anak yang masih duduk di SMA. Dengan demikian memberikan uang belanja jajan kepada mereka tidak bisa diberikan dengan jumlah yang sama, tetapi harus dengan jumlah yang berbeda atau proposional.

Pengertian adil yang selalu dijadikan pedoman adalah “meletakkan sesuatu pada tempatnya atau memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya”. Seseorang meletakkan peci tidak di kepala, atau menempatkan jam tangan di pergelangan kakinya adalah perbuatan yang tidak adil. Seorang Hakim yang mengadili perkara antara dua orang yang bersengketa, tetapi keputusannya memenangkan orang yang sebenarnya tidak berhak adalah keputusan yang tidak adil. Orang yang mempunyai hak itulah yang harus dimenangkan jika mereka berperkara sampai ke pengadilan. Sebaliknya, orang yang tidak mempunyai hak itulah yang harus dikalahkan. Hakim, selalu dituntut berlaku jujur dalam mencari alat-alat bukti dari masing-masing pihak yang berperkara. Jangan sampai memutuskan suatu perkara dengan cara yang tidak adil, hanya karena mendapat imbalan atau uang sogok dari salah satu pihak yang berperkara.

Al-Qur’an menggunakan konsep yang berbeda-beda dalam mengungkap makna adil. Kadang-kadang al-Qur’an menyebutnya dengan istilah al-‘adlu yang artinya adalah adil. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 8 yaitu i’diluu huwa aqrabu littaqwa yang artinya berlakulah secara adil karena ia sangat dekat dengan sifat taqwa kepada Allah. Kadang- kadang al-Qur’an menggunakan kata al-Qisthu yang artinya juga adil. Dalam hal ini, dinyatakan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 2 yaitu wain khiftum alla tuqsthu fi al-yataamaa fankihuu maa thaaba lakum minan nisa’i masnaa wasulaasa wa ar-rubaa’a. Artinya “jika kamu takut tidak bisa berlaku adil pada anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagi kamu; dua, atau tiga atau empat“ (Depag RI; 1971:115).

Dapat disimpulkan, bahwa makna adil adalah sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Kesimpulan ini diperkuatkan dengan ada dorongan al-Qur’an agar manusia memenuhi janji, amanah yang

diberikan. Tuntutan lainnya adalah melindungi golongan yang menderita, lemah dan hidup dalam kemiskinan, menggalang kesatuan dan persatuan dan berpegang teguh kepada agama Allah. Faktor terpenting daripada keadilan yang dibawakan oleh al-Qur’an, adalah sifatnya sebagai tuntutan Allah, bukan sekadar sebagai dorongan moral belaka. Pelaksanaannya, merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan orang yang melaksanakannya termasuk orang yang berbuat kebajikan yang akan mendapat ganjaran kebajikan pada hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak.

Islam senantiasa menyuruh berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku zalim. Perilaku curang dalam bisnis merupakan pertanda bagi kehancuran bisnis tersebut. Salah satu faktor penting untuk mendapatkan keberhasilan berbisnis adalah kepercayaan (amanah). Ajaran dasar al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.Dalam surat al-Isra’

ayat 35 Allah berfirman yang artinya “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Depag RI; 1971:429). Dalam ayat lain yaitu surat al-Muthaffifin ayat 1-3 Allah berfirman yang artinya

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Depag RI; 1971:1035).

Ayat di atas, memberikan informasi yang cukup jelas, bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah. Mereka termasuk dalam kelompok orang-orang yang celaka. Ungkapan ini menggambarkan adanya ancaman, kebencian dan keburukan. Perilaku bisnis dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang nista. Perilaku seperti ini akan meng- hilangkan nilai harga diri manusia yang luhur dan mulia. Realitas dalam kehidupan ini, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, dapat berubah menjadi negatif, tidak dihormati oleh orang lain.

Di antar faktor penyebabnya adalah karena dalam menjalankan bisnisnya disertai dengan kecurangan, ketidakadilan dan kezaliman.

Bisnis syariah menetapkan bahwa dalam berbisnis hendaklah beretika seperti etika yang telah dicontohkan Rasulullah Saw. Beliau sendiri

adalah orang yang faham dan memang sebagai pelaku bisnis sebelum diangkat menjadi Rasul secara definitif. Perilaku Rasulullah dalam berbisnis adalah sangat cocok untuk dijadikan tauladan, sebab di dalamnya terdapat prinsip kejujuran, keadilan, kehalalan dan tanggungjawab yang betumpu pada nilai-nilai ketauhidan. Dalam beberapa hadis ditemukan pedoman baku dalam menjalankan aktivitas bisnis. Antara lain, hadis yang diriwayat Imam Malik. Artinya “jika seseorang membeli pakaian lalu diketahui ada cacat, lalu dia sudah memotong-motongnya karena dia tidak mengetahui ada cacat di dalamnya, dan pembelinya mengadukan hal itu kepada penjual, maka pihak pembeli mempunyai hak khiyar yaitu boleh meneruskan atau membatalkan jual beli tersebut dengan mem- perhitungkan kerugian yang ditimbulkannya (Imam Malik; 4: 484).

Dalam menjalankan aktivitas bisnis, baginda Rasulullah selalu bersikap jujur. Diriwayatkan bahwa beliau pernah melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas. Beliau juga melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi. Dalam kaitan ini beliau bersabda yang artinya

“Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah” (Hadis riwayat Imam Bukhari). Dalam riwayat Abu Zar dijelaskan bahwa Rasulullah SAW mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim).

Dalam praktek berbisnis banyak orang bersumpah palsu. Tujuannya, adalah untuk meyakinkan pembeli agar dia percaya memang harganya seperti yang ditawarkan. Biasanya, para pembeli percaya dan menyetujui harga yang ditawarkan. Akhirnya terjadilah transaksi jual beli yang dapat memberi keuntungan besar bagi pihak penjual. Dengan cara sumpah palsu itu penjual akan mendapatkan keuntungan material yang berlipat-lipat ganda. Keuntungan tersebut kata Nabi tidak akan mendatangkan berkah.

Dengan demikian, dalam menjalankan aktivitas bisnis dilarang untuk melakukan sumpah palsu, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Meyakinkan pihak pembeli memang harus dilakukan dengan berbagai cara, tetapi dengan cara sumpah palsu tidak dibenarkan.