• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETENTUAN SYARIAH TENTANG HARTA

D. Zakat Sebagai Sumber Ekonomi Syariah

4. Syarat-syarat Harta Yang Wajib Dizakati

Secara umum syarat harta yang wajib dizakati adalah harta yang halal lagi baik. Secara rinci syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

a. Milik yang sempurna (milk at-tam). Artinya, harta benda tersebut sepenuhnya berada dalam kekuasaan pemiliknya, baik kekuasaan pemanfaatan maupun kekuasaan menikmati hasilnya dan tidak tersangkut didalamnya hak orang lain.

b. Berkembang. Artinya, bertambah secara alami maupun karena di- perdagangkan, diternakkan atau dibudidayakan oleh seseorang.

Ketentuan ini berlaku pada harta kekayaan untuk aktivitas bisnis.

c. Melebihi kebutuhan Pokok. Artinya, harta yang dimiliki oleh seseorang harus melebihi kebutuhan pokok atau kebutuhan rutin baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarganya secara wajar.

d. Bersih dari hutang. Artinya, harta yang dimiliki oleh seseorang itu bersih dari hutang. Meliputi hutang kepada Allah swt (nazar, wasiat) maupun hutang kepada sesama manusia.

e. Mencapai nisab. Artinya, harta yang dimiliki telah mencapai batas minimal wajib zakat seperti 85 gr emas murni, 40 ekor kambing dan lain-lain.

f. Mencapai haul. Artinya, harta yang dimiliki harus mencapai waktu tertentu. Biasanya dalam waktu satu tahun (dua belas bulan) atau setiap kali panen untuk biji-ijian seperti padi atau gandum. Keenam sayarat ini merupakan satu kesatuan. Tegasnya,jika ada salah satu syarat tidak terpenuhi,gugurlah kewajiban zakat bagi harta dimaksud (Wahbah az-Zuhaili; 2;1989:744).

Ada beberapa jenis zakat yang diqiyaskan atau disamakan dengan jenis-jenis zakat yang telah ada. Ketentuan ini termasuk zakat kontemporer, sesuai fatwa pada simposium zakat International yang dilaksanakan di Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404H/30 April 1994. Rinciannya adalah sebagai berikut:

a. Zakat Perusahaan

Dasar hukum kewajiban zakat pada perusahaan, adalah merujuk pada dalil yang bersifat umum sebagai berikut:

(1). Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 267 yang artinya “ Wahai sekalian orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah ) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”(Depag RI;1971:67).

(2). Firman Allah SWT dalam surat At Taubah ayat 103 yang artinya

“Ambilah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan Zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka….”. (Depag RI; 1971:297).

(3). Dalam satu riwayat bahwasanya Abu Bakar Shidiq telah menulis surat kepada Anas Bin Malik yang menegaskan “Janganlah digabung-kan sesuatu yang terpisah dan jangan pula dipisahkan sesuatu yang tergabung (berserikat) karena takut mengeluarkan Zakat. Dan apa- apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperlakukan) secara sama “. Hadis riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik(al- Asqalani; 11:121).

Berdasarkan ketentuan ini, perusahaan sebagai wadah usaha menjadi badan hukum atau syakhsiyyah I’tibariyyah. Para ulama kontemporer menyamakan zakat perusahaan ini kepada zakat per-dagangan.

Pertimbangannya, karena dipandang ada persamaan dari aspek legal dan ekonomi. Kegiatan sebuah perusahaan intinya berpijak pada kegiatan bisnis atau perdagangan. Perlu diperhatikan dalam perhitungan zakat perusahaan yaitu melakukan berbagai koreksi atas nilai aktiva lancar dan kewajiban jangka pendek yang kemudian disesuaikan dengan ketentuan syari’ah, Misalnya, koreksi atas pendapatan dengan sistem bagi hasil dan pengeluaran lainnya. Semua aset perusahaan tidak masuk dalam harta yang wajib dizakati. Alasannya, karena aset tersebut tidak untuk diperjual belikan atau diperdagangkan, dan besar zakatnya 2,5%. Pola perhitungan zakat perusahaan didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan kewajiban lancar atas aktiva lancar. Metode perhitungan ini biasa disebut dengan metode sya’iyyah atau usaha (Didin Hafidhudin;

1998:102).

b. Zakat Saham.

Pengertian saham adalah “suatu tanda ikut serta dalam modal perseroan”

(Rahmat Soemitro; 1979:22). Menurut Fuad Mohd Fachruddin saham adalah “sebagian dari kapital suatu perusahaan yang dibagi atas beberapa kesatuan untuk diperjualbelikan kepada orang yang menginginkannya”

(Fuad Mohd. Fachruddin;1985:172).

Landasan hukumnya adalah sama dengan landasan kewajiban zakat pada perusahaan tersebut di atas. Alasannya, karena saham itu terkait dengan kegiatan perusahaan. Merujuk pada hasil rumusan dan fatwa simposium zakat International bahwa zakat saham itu wajib, dengan memperhatikan dua hal pokok. Pertama, jika perusahaan telah mengeluarkan zakatnya, bagi para pemegang saham perusahaan tidak wajib lagi mengeluarkan zakat pribadi. Kedua, apabila perusahaan tidak mengeluarkan zakat, maka bagi para pemegang saham, wajib mengeluarkan zakatnya sesuai dengan kepemilikan saham. Menurut Yusuf Qardhawi, syarat zakat saham adalah apabila perusahaan tempat menanam saham tersebut melakukan perdagangan. Jika perusahaan tempat menanam saham tidak melakukan kegiatan dagang, seperti biro perjalanan, angkutan, dan hotel tidak wajib mengeluarkan zakat saham (Didin Hafidhudin;1998:103).

c. Zakat Profesi.

Profesi dalam bahasa Arab disebut dengan al-mustafaad. Harta yang diperoleh dari keahlian seseorang disebut dengan al-maal al-mustafad (Wahbah az-Zuhaili, 2:866). Pengertiannya adalah pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian atau keterampilan tertentu. Orang yang ahli disebut dengan orang profesional. Zakat profesi adalah zakat atas penghasilan yang diperoleh dari pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang dengan cara tertentu sesuai dengan syariat. Misalnya, profesi dosen, dokter, akuntan publik, pengacara, arsitek, dll. Sebagai dasar hukum kewajiban zakat profesi adalah firman Allah dalam Al Baqarah ayat 267 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan

memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (Depag RI; 1971:67).

Simposium zakat international di kuwait 1984 dalam satu rekomendasi dan fatwanya telah menetapkan kewajiban zakat profesi ini. Dari berbagai pendapat dinyatakan bahwa landasan zakat profesi diqiyaskan kepada zakat hasil pertanian yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya. Nishabnya sebesar 2.5 % atas dasar kaidah “Qiyas As-syabah“. Pengertian Qiyas As- syabah adalah mengqiyaskan atau menyamakan sesuatu dengan dua hal.

Satu sisi zakat profesi disamakan dengan zakat pertanian dari aspek waktu pembayarnya yaitu setiap kali panen atau menerima penghasilan. Dari aspek lainnya disamakan dengan zakat uang (Emas perak) yaitu dari aspek persentasenya yaitu 2,5 %.” zakat profesi dikeluarkan setiap tahun dari hasil bersih. Maksudnya, hasil netto setelah dikeluarkan kebutuhan pokoknya (Direktorat Pemberdayaan Zakat; 2007:106).

d. Zakat Perhiasan

Menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), perhiasan yang dipakai tidak wajib dizakati. Alasannya, karena tidak ada dalil yang tegas baik dalam al-Qur’an, hadis maupun qiyas. Perhiasan baik emas atau lainnya, bukanlah barang yang berkembang, atau disiapkan untuk dikembangkan. Hal ini sama dengan lembu yang digunakan untuk membajak. Didapati dalam satu riwayat bahwa Aisyah tidak pernah mengeluarkan zakat perhiasan untuk anaknya, dan budak perempuannya. Demikian juga sahabat-sahabat lain tidak pernah mengeluarkan zakat perhiasan (Mahmood Zuhdi Abdul Majid; 2003:184).

Menurut pendapat mazhab Hanafi perhiasan wanita yang terdiri dari emas dan perak wajib dizakati. Alasan mereka karena dalam ayat dinyatakan bahwa emas dan perak yang tidak dizakati akan mendapat siksa yang pedih. Hal ini, dinyatakan Allah dalam surat at-Taubah ayat 34. Artinya

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang- orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Depag RI; 1971:283).

Menurut pendapat Imam Nawawi perhiasan perempuan wajib dizakati kalau berlebihan (Sjechul Hadi Permono; 2003:119). Dalam hal ini, menurut hemat penulis kalau perhiasan itu sudah mencapai nisab yaitu 85 gr emas murni wajib dizakati. Kuat dugaan kalau sudah beratnya 85 gr emas murni, bukan lagi semata-mata untuk perhiasan, tetapi sudah untuk investasi. Dizakati lebih maslahat daripada tidak, karena mengeluarkan zakat termasuk telah melaksanakan ibadah mahdah dan ghairu mahdah (ibadah sosial).