• Tidak ada hasil yang ditemukan

menggunakan label Islam. Pada tahun 1974 barulah berdiri Islamic Development Bank (IDB). Pendiriannya disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sistem yang diberlakukan adalah bagi hasil (profit sharing) dan dinyatakan sebagai Bank berdasarkan Syariat Islam. Di negara-negara lain sekitar pada tahun 1970-an, sejumlah Bank berasaskan Syariah didirikan. Pada tahun 1975 berdiri Dubai Islamic Bank, tahun 1977 berdiri Faisal Islamic Bank of Sudan.

Pada tahun 1977 juga berdiri Faisal Islamic Bank of Egypt, dan pada tahun 1979 berdiri Bahrain Islamic Bank. Perkembangan Bank Syariah selanjutnya terjadi di Asia-Pasifik. Misalnya, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden. Di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji (Sudan Haron; 1996: 16-24).

Pekembangan Bank Syariah di Indonesia, baru terjadi pada tahun 1991 dan beroperasi pada tahun 1992. Sebenarnya, pemikiran atau gagasan untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia sudah ada semenjak tahun 1970-an. Salah satu faktor penghalangnya adalah masalah politik. Ada kesan, dengan mendirikan Bank Syariah nantinya akan menuju pada negara Islam (Adiwarman Karim: 2003). Setelah terjadinya resesi ekonomi di Indonesia tahun 1998 Bank Syariah di Indonesia mendapat perhatian dari masyarakat, khususnya pada tahun 2000. Salah satu keunggulan Bank Syariah pada waktu itu adalah tidak memerlukan suntikan dana dari pihak Pemerintah. Bank Konvensional sangat memerlukan suntikan dana.

Konsekuensinya, Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menelan dana ratusan triliun akibat negative spread. Bank-Bank Syariah pun bermunculan di Indonesia. Pada akhir Desember 2006, di Indonesia terdapat tiga Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS). Hal ini sebagai respon positif dari umat Islam yang tidak merasa nyaman dengan bunga Bank pada Bank-Bank Konvensional.

Jika dilihat dari fakta sejarah, sesungguhnya para sahabat telah menjalankan fungsi-fungsi Bank di masa Nabi Saw. Fungsi-fungsi yang dijalankan adalah menerima simpanan uang, memberikan pembiayaan, dan jasa transfer uang. Namun, biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Perkembangan selanjutnya, pada masa Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Pada saat sekarang ini sudah menyebar ke berbagai negara, bahkan negara-negara Barat. The Islamic Bank International of Denmark tercatat sebagai Bank Syariah pertama yang beroperasi di Eropa, tepatnya di Denmark tahun 1983. Di

Asia Tenggara, tonggak perkembangan perbankan terjadi pada awal tahun 1980-an. Hal ini, ditandai dengan berdirinya Bank Syariah Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983 (Sudan Haron; 1996:20). Hal penting yang harus dicatat, berdirinya Bank Syariah di seluruh dunia didasari dengan keinginan umat Islam untuk menghindari praktek-praktek riba dalam aktivitas bisnisnya.

Di samping itu, umat Islam melalui aktivitas Bank Syariah berkeinginan untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin sesuai dengan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan Hadis.

B. Bentuk-bentuk Penghimpunan Dana Bisnis Syariah

Semua produk yang dipasarkan oleh Bank Syariah harus dilandasi dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Bank Syariah tidak diperkenankan memasarkan produk yang tidak berdasar pada Fatwa Dewan Syariah Nasional.

Fatwa Dewan Syariah Nasional berlaku umum untuk Lembaga Keuangan Syariah. Apabila suatu produk telah dilandasi dengan fatwa, semua Bank Syariah dapat memasarkannya. Jika suatu produk belum ada fatwanya, Bank Syariah harus meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional terlebih dahulu sebelum produk tersebut dipasarkan. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia nomor 6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004, pasal 38 dijelaskan bahwa Bank Syariah wajib mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan. Permohonan tersebut wajib disertai dengan hasil Fatwa Dewan Syariah Masional. Dalam setiap Fatwa Dewan Syariah Nasional mencantumkan diktum yang berkaitan dengan hal-hal jika terjadi perselisihan dan kekeliruan kemudian hari. Diktum dimaksud adalah “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah. Hal ini dilakukan, setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Fatwa ini, berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya (Mardani; 2012:306).

1. Wadi’ah (Titipan) a. Pengertian Wadi’ah

Menurut terminologi, Wadi’ah adalah titipan dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum. Titipan tersebut, harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sewaktu orang yang menyimpannya ingin menariknya kembali. Tujuan dari Wadi’ah, adalah untuk menjaga keselamatan barang dari kehilangan, kemusnahan, kecurian dan kerugian lainnya. Pengertian “barang” di sini adalah sesuatu yang berharga seperti:

uang, dokumen, surat berharga, dan barang lain yang berharga menurut Islam. Bank Syariah sebagai penerima titipan, tidak wajib memberikan imbalan. Pihak Bank Syariah justru dapat membebankan biaya penitipan barang. Atas kebijakannya, Bank Syariah dapat memberikan “bonus”

kepada penitip barang. Dalam Fiqh as-Sunnah wadi’ah adalah sesuatu yang ditinggalkan seseorang kepada orang lain untuk dijaga. (Sayyid Sabiq, 3:1983:235).

b. Dasar Hukum Wadi’ah

(1). Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 58. Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguh- nya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat“ (Depag RI;

1971:128).

(2). Hadis nabi yang artinya “sampaikanlah amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang- orang yang mengkhianatimu. Hadis riwayat Abu Dawud dan Turmuzi.

(3). Ijma’, yaitu kesepakatan para ulama tentang bolehnya Wadi’ah.

Hukumnya sunat dan menjaga barang titipan (Wadi’ah) akan mendapat fahala (Abdullah Muhammad at-Thaiyyar; 2009:390).

c. Rukun-rukun Wadi’ah

Rukun-rukun Wadi’ah ada 4 yaitu:

(1). Orang yang menitip barang (Muwaddi)

(2). Orang yang menerima titipan barang (Mustauda) (3). Barang titipan (Wadi’ah)

(4). Serah terima barang titipan (Shighat). Serahterima boleh dilakukan dengan lafaz seperti saya terima. Boleh juga dengan bahasa isyarat seperti seseorang meletakkan barang di tempat orang lain lalu dia diam. Diamnya seseorang atas perbuatan orang lain yang meletakkan barang di tempatnya dipandang setuju untuk menerima barang titipan dimaksud. Hal ini, sama dengan masalah jual beli yang saling mengambil masing-masing pihak. Penjual, mengambil uang dan pembeli mengambil barang, tetapi keduanya tidak melafazkan sesuatu perkataan (Wahbah az-Zuhayli;5;1989:39).

d. Syarat-syarat Wadi’ah

Menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), syarat sahnya Wadi’ah seperti syarat pada wikalah yaitu:

(1). Orang yang menitip barang dan yang menerimanya harus sudah baligh,berakal dan cerdas.

(2). Barang titipan haruslah barang yang dapat diserahterimakan. Jika seseorang menitipkan barang yang tidak dapat diserahterimakan, dipandang tidak sah. Misalnya, seseorang menitipkan burung di udara kepada orang lain. Namun demikian, menurut ulama mazhab Hanafi, anak-anak boleh menitip barang kepada orang lain jika ia sudah diizinkan melakukan aktivitas bisnis (Wahbah,5;1989:39). Pendapat ulama mazhab Hanafi ini lebih rasional, jika dibanding dengan pendapat jumhur ulama. Namun demikian, agar terhindar dari hal- hal negatif tentu harus seizin wali dan barang yang dititipkan harganya tidak mahal seperti menitip buku, pinsil, dan lainnya.