BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP
B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik
2. Dasar Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.239
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
239Arto, Praktek Perkara Perdata, 142.
putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.240
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.241
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada
240Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), 94.
241Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, 95.
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Adapun dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim Pengadilan Agama terdiri dari Peraturan Perundang-undangan dan hukum syara’. Peraturan perundang-undangan disusun urutan derajatnya, misalnya undang-undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah, lalu urutan tahun terbitnya, misalnya UU Nomor 14 Tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor 1 Tahun 1974. Dasar hukum syara’ juga diurutkan berdasarkan tingkatannya, dimulai dari al-Qur’an, kemudian hadis, baru kemudian pendapat fuqaha.
Dasar hukum yang digunakan dalam memutus perkara cerai talak akibat pelanggaran taklik talak di Pengadilan Agama Giri Menang pada perkara Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, yaitu:242
a. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, berbunyi: “suami melanggar taklik talak”.
b. Kompilasi Hukum Islam pasal 45 dan 46. Pasal 45 menyebutkan bahwa:
kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: 1) taklik talak, 2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Adapun dalam pasal 46 disebutkan bahwa: 1) isi sighat taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, 2) apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak sendirinya talak jatuh. Supaya sungguh-sungguh jatuh istri harus mengajukan persoalnya ke Pengadilan Agama, 3) perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
242PA Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, 9-11.
c. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990, menentukan bahwa jika belum terwujud syarat taklik, kemudian suami menjatuhkan talak raj’i dan kemudian suami merujuknya dalam masa iddah, maka taklik talak yang diucapkan suami tesebut tetap mempunyai kekuatan hukum. Jika sewaktu-waktu terwujud syarat taklik, maka istri dapat menggunakannya sebagai alasan gugatan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak. Tetapi apabila terjadi talak ba’in atau kawin lagi selepas iddah talak raj’i, taklik talak yang diucapkan suami tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Sehingga jika suami istri menghendaki berlakunya perjanjian taklik talak, maka perjanjian taklik talak itu harus diulang.243 d. Dalil fikih yang termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir halaman
105:
ظفللا ىضتقبم لَمع اهدوجوب عقو ةفصب اقلَط قلع نمو
Artinya: Barang siapa mengkaitkan (menggantungkan) jatuh talaknya dengan sesuatu apapun maka talak tersebut jatuh dengan adanya sesuatu sebagai kosekuensi atas ucapannya tersebut.
e. Hadits-hadits tentang talak tiga sekaligus, yakni hadis riwayat Bukhari dan Muslim serta hadis riwayat Ahmad dan Abu Ya’la:
لاق سابع نبا نع هيلع للها ىلص ِهَّللا ِلوُسَر ِدْهَع ىَلَع ُقَلََّطلا َناَك :
َو ملسو ْمِهْيَلَع ُهاَضْمَأَف ِثَلََّثلا ُقَلََط َرَمُع ِةَفَلَِخ ْنِم ِْيَْ تَنَسَو ٍرْكَب ِبَِأ
)ملسمو ىراخبلا هاور( رمع .
Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 2 tahun pemerintahan Umar, talak tiga sekaligus hanya diberlakukan talak satu dan Umar pun memberlakukan ketentuan tersebut pada rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).
سلمج فِ اًثلَث هتأرما ةناكر قلط" ,لاق امهنع للها يضر سابع نبا نع هيلع للها ىلص للها لوسر هلأسف ..اًديدش اًنزح اهيلع نزحف .دحاو
243Usman, Qawanin al-Syari’ah, 80.
ملسو : :لاق ؟اهتقلط فيك .معن :لاق ؟دحاو سلمج فِ :لاقف .اًثلَث
".اهعجارف .تئش نإ اهعجرأف ،ةدحاو كلت انمإف :لاق )
وبأو دحمأ هاور
ىلعي (
Artinya: Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rukanah menceritakan istrinya dengan talak tiga sekaligus, namun ia sangat menyesalinya.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya (kepadanya):
“Bagaimana kamu menceraikannya?” Ia menjawab: “Aku menceraikannya dengan talak tiga sekaligus”. Kemudian Rasulullah SSAW berkata: “(jika demikian) maka itu hanya jatuh talak satu, maka rujuklah kepada istrimu.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la).
f. Pendapat Mazhab Dzahiriyah dan Jama’ah, sebagaimana dikutip Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2 halaman 561:
كلذ فِ ظفلل يرثأت لاو ةدحولا مكح همكح : ةعاجمو رهاظلا لهأ لاقو
Artinya: Madzhab Dhahiriyah dan Jama’ah berpendapat bahwa hukumnya (talak tiga sekaligus) adalah hanya berlaku talak satu dan tidak ada efek yuridis dalam ucapan talak tiga sekaligus tersebut.
Setelah mempertimbangkan fakta hukum, alat bukti, dan saksi-saksi dalam persidangan, Majelis Hakim pada perkara No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM, berkesimpulan bahwa dengan diajukannya permohonan oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon telah beri’tikad baik dan oleh karenanya permohonan pemohon dapat dipertimbangkan demi memberikan kepastian hukum dan memberikan keyakinan kepada pemohon dan termohon terhadap status perkawinannya tersebut.
Meskipun terdapat ulama yang berpendapat bahwa talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga, akan tetapi dalam perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM, berdasarkan hadits-hadits dan pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan majelis hakim dan demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua
anaknya tersebut, maka mejelis hakim berpendapat bahwa talak tiga yang diperjanjikan oleh pemohon dalam taklik talak yang diucapkan oleh pemohon hanya jatuh talak satu.244
Majelis Hakim kemudian menghubungkan fakta-fakta hukum tersebut dengan peraturan perundang-undangan, hadis dan pendapat ulama dalam kitab fikih sebagai dasar hukum sebagaimana tersebut di atas. Setelah menghubungkan fakta hukum dan dasar hukum tersebut, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon, yakni menyatakan sah taklik talak yang diucapkan oleh Pemohon dan menjatuhkan talak satu raj’i Pemohon terhadap Termohon. Jadi meskipun dalam taklik talak tersebut Pemohon telah menggantungkan talak tiga, akan tetapi majelis hakim memutus jatuh talak satu.
Peceraian atau talak dapat diajukan kepada Pengadilan Agama guna untuk dinyatakan sahnya perceraian dan memiliki kekuatan hukum sesuai dengan penetapan Kompilasi Hukum Islam. Jika kita lihat menurut fikih klasik, perceraian dapat jatuh apabila suami mengucapkan ikrar talak terhadap istrinya, tetapi talak ini hanya sah menurut agama saja dan tidak sah menurut hukum yang ditetapkan di negara Indonesia karena tidak dilakukan pengucapan ikrar talak suami di muka sidang Pengadilan Agama.
Demikian juga halnya dengan talak tiga yang diucapkan sekaligus, ketika diajukan ke Pengadilan Agama maka talaknya jatuh satu bukan tiga.
Dalam hal talak tiga yang diucapkan sekaligus, ulama berbeda pendapat dan hakim pengadilan agama memilih pendapat ulama yang mengatakan talak tersebut jatuh satu. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
ْنَع ٍدْيَز ِنْب ِداََّحم ْنَع ٍبْرَح ُنْب ُناَمْيَلُس اَنَرَ بْخَأ َميِهاَرْ بِإ ُنْب ُقَحْسِإ اَنَ ثَّدَح َلاَق ِءاَبْهَّصلا اَبَأ َّنَأ ٍسُواَط ْنَع َةَرَسْيَم ِنْب َميِهاَرْ بِإ ْنَع ِِّنِاَيِتْخَّسلا َبوُّيَأ َي َْلََأ َكِتاَنَه ْنِم ِتاَه ٍساَّبَع ِنْب ِلا ِلوُسَر ِدْهَع ىَلَع ُث َلََّثلا ُق َلََّطلا ْنُك
244PA Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, 9.
َناَك اَّمَلَ ف َكِلَذ َناَك ْدَق َلاَقَ ف ًةَدِحاَو ٍرْكَب ِبَِأَو َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ْمِهْيَلَع ُهَزاَجَأَف ِق َلََّطلا ِفِ ُساَّنلا َعَياَتَ ت َرَمُع ِدْهَع ِفِ
.)ملسم هور(
Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Sulaiman bin Harb dari Hammad bin Zaid dari Ayyub As-Sakhtiyani dari Ibrahim bin Maisarah dari Thawus bahwa Abu As Shahba` berkata kepada Ibnu Abbas: Beritahukanlah kepadamu apa yang engkau ketahui! Bukankah talak tiga (yang diucapkan sekaligus) pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar dinyatakan hanya jatuh talak sekali? Jawab Ibnu Abbas: Hal itu telah berlaku, dan pada masa pemerintahan Umar, orang-orang terlalu mudah untuk menjatuhkan talak, lantas dia memberlakukan hukum atas mereka (yaitu jatuh talak tiga dengan sekali ucap). (HR. Muslim, Hadis Nomor 1472).245
Hadis di atas menjelaskan bahwa di zaman Rasulullah SAW dan Abu Bakar r.a, karena kebenaran keimanan mereka dan tujuan yang utama serta ikhtiar, maka tidak nampak adanya maksud-maksud penipuan sehingga merka mengulang-ulang lafal talak sampai tiga kali itu tidak lain hanya bermaksud sebagai taukid (penguat). Akan tetapi di zaman Umar bin Khatthab terjadinya kasus merajalela orang menjatuhkan talak tiga secara sekali ucapan dengan lafal yang tegas, maka Umar memberlakukan talak tiga itu tetap jatuh tiga.
Berdasarkan penjelasan hadis di atas bahwa pendapat Umar bin Khatthab menyimpang dengan hadis Rasulullah SAW yang mana memberlakukan talak tiga sekaligus tidak jatuh melainkan talak satu.
Sedangkan Umar bin Khatthab memberlakukan talak tiga sekaligus tetap jatuh tiga, karena kondisi di masa Umar masyarakatnya berlebih-lebihan dan bermain-main dalam hal talak tiga. Oleh karena itu, Umar memberlakukan hukum tersebut untuk mencegah masyarakat tidak menganggap main-main dalam hal talak tiga. Dalam hal ini Umar bin Khatthab melakukan ijtihadnya sesuai dengan tujuan dan kondisi-kondisi terhadap masyarakatnya.
245Muslim, Shahih Muslim, 1099.
Peraturan dalam Pengadilan Agama sama halnya seperti hadis Rasulullah SAW, yang mana telah ditetapkan talak tiga menjadi talak satu.
Namun banyak ulama fikih berbeda pendapat tentang talak tiga yang diucapkan sekaligus, ada yang berpendapat talak tiga sekaligus hanya jatuh satu, dan ada juga yang berpendapat talak tiga sekaligus tetap jatuh tiga.
Dalam kasus cerai talak akibat pelanggaran taklik talak pada perkara No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM, Pemohon (suami) ketika mengucapkan taklik talak tersebut dalam keadaan tertekan, karena jika Pemohon tidak mau menandatangani taklik talak yang dibuat oleh Termohon (istri), maka Pemohon tidak akan dimaafkan oleh Termohon atas kesalahan yang diperbuatnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa pertimbangan dan dasar hukum yang diterapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang dalam menangani permohonan cerai talak dengan alasan pelanggaran taklik talak pada perkara No.
080/Pdt.G/2013/PA.GM sudah sesuai dengan peraturan perundang- undangan dan hukum Islam (fikih).
BAB V P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan secara panjang lebar pada bab-bab sebelumnya, setelah dibahas dan dianalisis, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketentuan taklik talak menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan bagian dari perjanjian perkawinan. Taklik talak diucapkan oleh mempelai pria setelah dilangsungkannya akad pernikahan. Taklik talak bukan suatu hal yang wajib dibacakan saat pernikahan dilangsungkan, akan tetapi sebuah pilihan. Namun sekali diucapkan taklik talak tidak dapat ditarik kembali atau diubah, meskipun dengan persetujuan pihak istri dan suami. Implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami melanggar ikrar taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada pengadilan agama. Adapun bentuk pelanggaran taklik talak yang bisa dijadikan alasan mengajukan perceraian, antara lain: (1) Meninggalkan istri 2 tahun berturut-turut, (2) Tidak memberi nafkah wajib 3 bulan lamanya, (3) Menyakiti badan/Jasmani istri atau, (4) Membiarkan atau tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih.
2. Pelanggaran taklik talak merupakan salah satu alasan dari beberapa alasan yang telah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk dapat mengajukan perceraian. Majelis Hakim dalam menangani perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak berupaya agar para pihak berdamai, namun apabila tidak berhasil maka hakim akan meneruskan acara pada pemeriksaan perkara yang diakhiri dengan putusan hakim.
Adapun yang dijadikan sebagai pertimbangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, sebagaimana hasil penelitian ada dua pertimbangan yang digunakan. Pertama, pertimbangan hukum, ketika
hakim menjatuhkan putusannya, hakim mempertimbangkan dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua, pertimbangan maslahat, yakni mempertimbangkan kondisi rumah tangga para pihak yang sudah pecah, ketika perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih mendatangkan maslahat atau lebih mendatangkan mafsadat, jika mafsadatnya lebih besar maka perkawinan tersebut lebih baik diakhiri. Sedangkan dasar hukum yang diterapkan pada perkara No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM adalah Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, berbunyi: “suami melanggar taklik talak”. Di samping itu, didasarkan juga pada Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990, hadis-hadis tentang talak tiga sekaligus dan dalil fikih yang termuat dalam kitab Syarqawi Ala al-Tahrir.
B. Implikasi Teoritis
Setiap penelitian tentu diharapkan bermanfaat bukan hanya untuk pribadi penulis saja, tetapi juga untuk instansi-instansi pemerintah dan masyarakat umum. Adapun implikasi teoritis dari penelitian tentang pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian, antara lain:
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum Islam khususnya bidang hukum keluarga Islam, sehingga akan membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah perkawinan khususnya mengenai taklik talak.
2. Mengingat banyaknya kasus perselisihan dalam rumah tangga yang berujung kepada perceraian, maka melalui hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi masyarakat untuk lebih menjaga keharmonisan rumah tangga.
3. Dalam kehidupan rumah tangga, perempuan (istri) banyak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik berupa kekerasan pisik, psikis, penelantaran nafkah dan kekerasan seksual. Oleh karena itu, penelitian ini dihrapkan menjadi pembuka cakrawala berpikir khususnya bagi kaum perempuan untuk lebih berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Untuk menjamin hak-hak perempuan dalam rumah tangga, maka
tidak ada salahnya untuk membuat perjanjian pra nikah, supaya pihak suami tidak terlalu sewenang-wenang dalam memperlakukan istrinya.
4. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan masukan bagi pejabat- pejabat pemerintah yang dalam hal ini adalah pihak Kantor Urusan Agama untuk senantiasa memberikan arahan kepada calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan untuk lebih memperhatikan hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga.
5. Bagi Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang pada khususnya dan semua instansi Pengadilan Agama pada umumnya, dengan hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dalam membenahi pelaksanaan peradilan agar tercapai rasa keadilan bagi masyarakat.
C. Saran-Saran
Dengan bekal dan kemampuan yang sangat terbatas ini penulis mencoba untuk memberikan saran-saran dengan harapan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum terutama hukum keluarga (Ah}wa>l Al- Syakhs}iyyah) dan bagi pelaksanaan hukum dalam masyarakat, adapun saran- saran tersebut adalah:
1. Mengingat kehidupan rumah tangga penuh dengan problematika, maka disarankan pada calon suami istri yang hendak melaksanakan pernikahan benar-benar mempersiapkan secara matang, bukan hanya sekedar menuruti hawa nafsu belaka. Dalam memasuki kehidupan rumah tangga perlu persiapan mental yang kuat, sehingga problem yang ada dalam rumah tangga dapat diatasi dengan baik dan suami istri berhasil dengan baik dalam rangka membangun keluarga bahagia sesuai dengan syari’at Islam.
2. Keberadaan taklik talak merupakan salah satu bentuk jaminan perlindungan hukum bagi istri dari tindakan kesewenang-wenangan suami.
Oleh karena itu maka perlu payung hukum yang kuat dan jelas. Pengaturan taklik talak diharapkan tidak hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama saja, melainkan harus juga diatur secara tegas dalam Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa taklik talak merupakan perjanjian dalam perkawinan.
3. Mengingat implikasi hukum yang terjadi sangat besar dalam pelanggaran terhadap taklik talak, maka diharapkan kepada para suami benar-benar memahami isi dari taklik talak dan tidak hanya sekedar diucapkan demi formalitas dalam rangkaian acara ijab kabul suatu perkawinan. Begitu juga kepada para wali atau pegawai pencatat perkawinan atau pembantu pegawai pencatat perkawinan (penghulu) harus lebih memberikan pemahaman yang jelas saat penyampaian nasehat atau tausyiah setelah pembacaan sighat taklik.
4. Dalam memeriksa perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak, Pengadilan Agama diharapkan melakukan pemeriksaan dengan adil dan tidak memihak sesuai dengan fakta-fakta dan dengan menerapkan prinsip- prinsip hukum yang baik dan benar, serta menjadi gambaran bagi Peradilan Agama lain agar senantiasa menjalankan aturan yang telah diberikan oleh Instansi Peradilan Tertinggi Negara dalam pemeriksaan terhadap masyarakat pencari keadilan.
5. Semua hakim Pengadilan Agama sebagai penegak hukum yang berbasis Islam seharusnya dalam memutuskan perkara memperhatikan wawasan dari al-Qur’an, hadis atau sumber rujukan hukum Islam lainnya. Hal ini untuk menjadikan Pengadilan Agama tidak hanya berpedoman pada undang-undang yang berlaku seperti di Pengadilan Negeri dan hal ini menambah kewibawaan putusan, juga lebih dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Boedi, Beni Ahmad Saebani. Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Abu> Da>wud. Sunan Abi Da>wud, Juz II. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, t.t.
Afandi, Yazid. Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
al-Afriqi, Ibn Mansur. Lisan al-‘Arab, cet. VIII. Beirut: Dar al-Shadr, t.th.
Alam, Andi Syamsu. “Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Peradilan Agama Tingkat Pertama dan Tingkat Banding”, Majalah Varia Peradilan, Tahun Ke-XX No. 239. Jakarta: IKAHI, 2005.
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
__________. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis.
Jakarta: Chandra Pratama, Cet.I, 1996.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. ke-2, 2002.
Arifin, E. Zaenal. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Bineka Cipta, 1998.
Asshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Ash-Shieddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga : Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Azizy, Qodri. Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik- Modern. Jakarta: Teraju, cet. II, 2003.
al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita, terj. Samson Rahman. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia.
Bandung: Rosda Karya , 1997.
_________. Peradilan Agama di Indoensia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
__________. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2004.
al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il. S}ahi>h al-Bukha>ri, Juz III. Beirut: Dar al- Kutub al-’Ilmiyyah, 1992.