BAB II TINJAUAN UMUM PERCERAIAN DAN TAKLIK TALAK 28
C. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Memeriksa dan Memutus
a. Taklik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian melakukan peker-jaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Dan taklik talak seperti ini disebut dengan ta’liq qasami.
b. Taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syarat ta’liq. Taklik seperti ini disebut dengan ta’liq syarti.122
Dari kedua bentuk taklik talak di atas dapat dibedakan dengan kata- kata yang diucapkan oleh suami. Pada ta’liq qasamy, suami bersumpah untuk dirinya sendiri. Sedangkan pada taklik talak suami mengajukan syarat dengan maksud jika syarat tersebut ada maka jatuhlah talak suami pada isterinya.
C. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Memeriksa dan Memutus Perkara di
muncul ketika memeriksa perkara adalah pertanyaan yang betul-betul menjurus kepada inti dari kasus yang sedang diperiksa. Begitu juga dalam memutuskan perkara tersebut, yaitu bagaimana hakim mengunakan landasan pemikiran hukum yang berdasarkan kepada maqa>s}id al-syari>’ah. Sehingga putusan hukum yang diambil oleh hakim bisa mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemudharatan bagi kedua belah pihak yang berpekara.
1. Pengertian Maqa>s}id al-Syari’ah
Secara bahasa maqa>s}id al-syari>’ah (ةعيرشلا دصاقم) terdiri dari dua kata; maqa>s}id dan al-syari>’ah. Maqa>s}id (دصاقم) merupakan bentuk jamak dari maqs}u>d (دوصقم) artinya yang berarti menuju, bertujuan, berkeinginan dan kesengajaan.124 Kata maqs}u>d-maqa>s}id dalam ilmu Nahwu disebut dengan maf’ul bih yaitu sesuatu yang menjadi obyek, oleh karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan ’tujuan’ atau ’beberapa tujuan.’ Sedangkan al-Syari>’ah¸ merupakan bentuk subyek dari akar kata syara’a yang artinya adalah jalan menuju sumber air sebagai sumber kehidupan.125 Oleh karenanya secara terminologis, maqa>s}id al-syari>’ah dapat diartikan sebagai ‘tujuan-tujuan ajaran Islam’ atau dapat juga dipahami sebagai ’tujuan-tujuan pembuat syari’at (Allah) dalam menggariskan ajaran/syari’at Islam’.
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Syathibi adalah peletak dasar ilmu maqa>s}id sehinga wajar jika kemudian ia disebut-sebut sebagai bapak
“maqa>s}id al-syari>’ah”. Al-Syathibi juga yang pertama kali menyusun maqa>s}id al-syari>’ah secara sistematis sebagaimana Imam al-Syafi’i dengan ilmu us}u>l fiqh yang disusunnya sehingga maqa>s}id lebih komunikatif dan akseptabel di kalangan sarjana muslim. Namun demikian, maqa>s}id pada dasarnya sudah muncul jauh sebelum Al-Syathibi menulis teori tersebut dalam al-Muwa>faqat-nya. Lalu siapakah cendikiawan muslim yang sebenarnya mengintrodusir maqa>s}id? Setidaknya ada dua pendapat yang dapat kita cermati untuk dapat memperoleh jawaban dari
124Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: McDonald & Evan Ltd., 1980), 767.
125Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, cet. VIII (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), 175.
pertanyaan di atas, yaitu pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad al- Raysuni, dan pendapat yang diutarakan oleh Hammadi al-Ubaydi.
a. Menurut al-Raysuni,126 maqa>s}id digunakan pertama kali oleh at- Turmudzi al-Hakim, cendekiawan muslim yang hidup pada abad 3 Hijriyah. Istilah maqa>s}id tersebut digunakan oleh at-Turmudzi dalam beberapa kitabnya, antara lain as}-S}alah wa Maqa>s}iduhu, al-Ha>j wa Asra>ruhu, al-’Illah, al-’Ial al-Syari’ah dan al-Furu>q. Setelah itu, maqa>s}id dibahas juga oleh beberapa tokoh, antara lain Abu Mansur al- Maturidi, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi, Abu Bakar al-Abhari dan al- Baqilani.
b. Sedangkan menurut Hammadi al-Ubaydi, tokoh yang menggagas pertama kali tentang maqa>s}id adalah Ibrahim an-Nakhai (wafat 96 H).
Beliau adalah tabi’in, yang juga kemudian menjadi guru tidak langsung dari Imam Abu Hanifah. Setelah al-Ubaydi, maqa>s}id kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali, Izzuddin Abdussalam, Najmuddin al-Thufi dan yang terakhir adalah Al-Syathibi.
Inti atau substansi dari konsep maqa>s}id al-syari>’ah adalah kemaslahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al- Jauziyah bahwa maqa>s}id al-syari>’ah adalah mencegah kerusakan dari dunia manusia dan mendatangkan kemaslahatan kepada mereka, pengen- dalian dunia dengan kebenaran, keadilan, dan kebajikan serta menerangkan tanda-tanda jalan yang harus dilalui di hadapan akal manusia.127 Sementara itu, Abdul Wahhab al-Khallaf, menulis sebagai beri-kut bahwasanya maksud umum Syāri’ menetapkan hukum ialah untuk menegak-kan kemashlahatan manusia dalam ke-hidupan ini, menarik manfaat dan meno- lak kemudaratan bagi mereka. Karena sesungguhnya kemashlahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari urusan-urusan d}aruriyyat,
126Ahmad al-Raysuni, Nadzariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syathibi (Beirut:
International Islamic Publishing House, 1995), 40-46.
127Shams al-Din Abi ‘Abd Allah Muhammad ibn Abi Bakr al-Ma’ruf bi Ibn Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Juz III (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, cet. II, 1993 M/1414 H), 177.
ha>jiaya>t dan tahsi>niyyat. Apabila urusan-urusan tersebut telah terpenuhi dan terangkat maka tegaklah kemashlahatan mereka. Syari’at Islam menetapkan hukum-hukum dalam bermacam-macam aspek amal manusia adalah untuk menegakkan ketiga urusan (dharuriyyah, hajiyyât dan tahsiniyyât) baik bagi perorang maupun masyarakat.128
Sementara substansi maqa>s}id al-syari>’ah yang dikemukakan Al- Syatibi dalam al-Muwa>faqa>t adalah kemaslahatan dan kemaslahatan itu dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu; Pertama, maqa>s}id al-syari’
(tujuan Tuhan). Kedua, maqa>s}id al-mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqa>s}id al-syari>’ah mengandung empat aspek, yaitu: (1) tujuan awal dari syari’ menetapkan syari’at yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat; (2) penetapan syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami; (3) penetapan syari’at sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan; (4) penetapan syari’at guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Dengan demikian, tujuan Tuhan menetapkan suatu syari’at bagi manusia tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia.
Untuk itu, Tuhan menuntut agar manusia memahami dan melaksanakan syari’at sesuai dengan kemampuannya. Dengan memahami dan melaksanakan syari’at, manusia akan terlindung di dalam hidupnya dari segala kekacauan yang ditimbulkan oleh hawa-nafsu.129
2. Tujuan al-Syari’ah
Substansi maqa>s}id al-syari>’ah adalah kemashlahatan.130 Kemashlahatan dalam taklif tuhan dapat berwujud dua bentuk, yaitu:
pertama, dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung dalam arti kausitas;
kedua, dalam bentuk majazi, yakni bentuk yang merupakan membawa kepada kemashlahatan.131 Maka di sini kemaslahatan dapat dilihat dari dua
128Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Kawatiyyah, 1998), 198.
129Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2007), 43.
130Al-Syatibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2003), 3.
131Totok Jumanto dan Samsul Munir Amin, Kamus Istilah Ushul Fikih (Jakarta:
Amzah, 2005), 197.
sudut pandang, yaitu: maqa>s}id al-syari’ (tujuan pembuat hukum/Tuhan) dan maqa>s}id al-Mukallaf (tujuan mukallaf), sebagai berikut:132
a. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti Maqa>s}id al-Syari’
Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti maqa>s}id al-syari’
mengandung empat aspek, yaitu:
1) Kemaslahatan
Di kalangan ulama ada yang membagi kandungan al-Qur’an menjadi tiga kelompok besar, yaitu aqidah, khuluqiyah, dan amaliyah.
Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, khluqiyah berkaitan dengan etika, dan amaliyah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan) dan af’al (perbuatan- perbuatan manusia). Kelompok terakhir ini dalam sistematika hukum Islam dibagi ke dalam dua besar, yaitu ibadah (pola hubungan manusia dengan tuhan) dan muamalah (pola hubungan manusia dengan manusia).133 Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an tidak memuat aturan-aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Dari 6360 ayat al-Qur’an hanya terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum.134
Dari sini dapat dipahami bahwa sebagian besar masalah-masalah hukum Islam, oleh Tuhan hanya diberikan dasar-dasar dalam al- Qur’an. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip ini, dituangkan pula lewat hadits Rasulullah SAW. Berdasarkan atas dua sumber inilah kemudian, dari aspek hukum terutama dalam konteks muamalah dikembangkan oleh ulama di antaranya al-Syatibi yang telah mencoba mengembangkan pokok atau prinsip yang terdapat dalam dua sumber
132Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 5.
133Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 32.
134Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1984), 7.
ajaran Islam itu dengan mengaitkan dengan maqa>s}id al- syari>’ah.135
2) Sesuatu yang Harus Dipahami
Maqa>s}id al-Syari>’ah dalam arti maqa>s}id al-syari’
mengandung empat aspek, salah satunya adalah sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syari’at itu dapat dipahami, sehingga dapat dicapai kemashlahatan yang dikandungnya.
b. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam arti Maqa>s}id al-Mukalla>f
Tujuan syari’at dalam arti tujuan mukallaf yang berujung pada kemaslahatan sebagai substansinya, dapat terealisasikan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu adalah: (a) agama, (b) jiwa, (c) akal, (d) keturunan, dan (e) harta.136
Dalam upaya mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok ini, al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah-Nya membagi kepada tiga tingkatan, yaitu:137 pertama, kebutuhan dharuriyat (primer), yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemashlahatan mereka. Hal ini dapat disimpulkan kepada lima sendi utama yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Bila sendi ini tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemashlahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.138
Kedua, kebutuhan hajiyyat (sekunder) yaitu segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan.139 Artinya, ketiadaan aspek hajiyat tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.
135Mustamin Giling, “Kedudukan Maqashid al-Syari’ah dalam Agama”, Stadium:
Kajian Sosial, Agama, Hukum, dan Pendidikan, Vol. 1. No. 2, (2003), 112.
136Totok dan Amin, Kamus Isilah Ushul Fikih, 197.
137Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 7-10.
138Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 7-10.
139Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 9.
Ketiga, kebutuhan tahsiniyah, yaitu tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq, serta pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.140 Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan mausia tidak akan terancam kekacauan, seperti kalau tidak terwujud aspek dharuriyyat dan juga tidak membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hajiyyat.
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang peringkat maqa>s}id al-syari>’ah ini, berikut akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan berdasarkan kepada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-masing, yaitu:141
a. Memelihara Agama (Hifz al-Din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
1) Memelihara agama dalam tingkatan daruriyah, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk tingkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Jika kewajiban ini diabaikan maka eksistensi agama akan terancam.
2) Memelihara agama dalam tingkatan hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindarkan dari kesulitan.
Seperti pensyari’atan shalat jamak dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya.
3) Memelihara agama dalam tingkatan tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tingggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan.
b. Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs)
140Al-Syatibi, al-Muawafaqat, 9.
141Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 124- 127.
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
1) Memelihara agama dalam tingkatan daruriyyat, seperti pensyari’atan kewajiban memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok itu diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
2) Memelihara jiwa dalam tingkatan hajiyyat, seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang halal dan bergizi. Jika ketentuan ini diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
3) Memelihara jiwa dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkannya aturan tata cara makan dan minum. Ketentuan ini hanya berhubungan dengan etika atau kesopanan. Jika diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
c. Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)
Memelihara akal, dilihat dari kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan
1) Memelihara akal dalam tingkatan dharuriyyat, seperti diharamkan mengkonsumsi minuman yang memabukkan (minuman keras). Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
2) Memelihara akal dalam tingkatan hajiyyat, seperti anjuran menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya aktivitas ini tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal, namun akan mempersulit diri seseorang, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
3) Memelihara akal dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna.
Hal ini berkaitan dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
d. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkat:
1) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyyat, seperti pensyari’atan hukum perkawinan dan larangan melakukan perzinaan. Apabila ketentuan ini diabaikan maka eksistensi keturunan akan terancam.
2) Memelihara keturunan dalam tingkatan hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada saat akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar tidak disebutkan, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.
Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan kondisi rumah tangga tidak harmonis.
3) Memelihara keturunan dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka menyempurnakan kegiatan perkawinan. Jika ia diabaikan tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang yang melakukan perkawinan, ia hanya berkaitan dengan etika atau martabat seseorang.
e. Memelihara Harta (Hifzh al-Ma>l)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1) Memelihara harta dalam tingkatan dharuriyyat, seperti pensyari’atan aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang illegal. Apabila aturan ini dilanggar maka akan berakibat terancamnya eksistensi harta.
2) Memelihara harta dalam tingkatan hajiyyat, seperti disyari’atkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan hanya akan mempersulit seseorang yang memerlukan modal.
3) Memelihara harta dalam tingkatan tahsiniyyat, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari penipuan. Karena hal iitu berkaitan
dengan moral dan etika dalam bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jula beli tersebut, sebab pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkatan kedua dan pertama.
Mengetahui urutan peringkat mashlahat seperti di atas sangat penting, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya. Jika terjadi kontradiksi dalam penerapannya maka tingkatan pertama (dharuriyyat) harus didahulukan dari pada tingkatan kedua (hajiiyyat) dan tingkatan ketiga (tahsiniyyat).142
3. Maqa>s}id al-Syari’ah dalam Ijtihad
Ulama ushul mengatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW, sudah ada petunjuk yang mengacu peranan penting dari pada maqa>s}id al- syari>’ah dalam pembentukan hukum Islam. Misalnya, dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan daging qurban, kecuali sekedar bekal untuk selama tiga hari.
Beberapa tahun kemudian, ada beberapa orang sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah SAW itu dengan menyimpan daging qurban lebih dari sekedar pembekalan selama tiga hari. Peristiwa tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW. Tapi Rasulullah SAW membenarkan serta menjelaskan bahwa: “dahulu aku melarang kalian menyimpannya (daging qurban) karena kepentingan ad-daffah (para pendatang dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah yang membutuhkan daging kurban). Sekarang simpanlah daging-daging qurban itu (karena tidak ada lagi para tamu yang membutuhkannya).143
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW melarang ziarah kubur karena dikhawatirkan akan menjadi pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap roh-roh orang yang di kuburan, sehingga menimbulkan kesyirikan.
142Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, 127.
143Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Shahih Muslim, Juz II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1412H/1991M), 143-144, Hadits Nomor 1971.
Tapi kemudian, Rasulullah SAW membenarkan atau membolehkan umat Islam untuk menziarahi kuburan.144
Dari peristiwa itu ada petunjuk dan arti penting maqa>s}id al- syari>’ah dalam penetapan hukum. Seperti kasus daging qurban di atas, larangan menyimpan daging qurban adalah memberi kelapangan kepada Badui yang datang dari perkampungan. Ini adalah maqa>s}id al-syari>’ah dari larangan menyimpan daging qurban. Akan tetapi setelah orang badui tersebut tidak lagi membutuhkan, maka larangan menyimpan dagingpun tidak diberlakukan lagi.
Begitu juga dengan hadits yang kedua tentang perempuan yang menziarahi kuburan dikarenakan takut jatuh kedalam kesyirikan, akan tetapi ketika beberapa tahun kemudian di mana keimanan mereka sudah bagus, maka Rasulullah SAW tidak melarangnya lagi. Ini membuktikan bahwa maqa>s}id al-syari>’ah telah ada pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi hal tersebut belumlah diistilahkan dalam kategori ilmu-ilmu (ushul fiqih).
Peranan maqa>s}id al-syari>’ah telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabatnya dalam berijtihad, karena perobahan kondisi zaman, tempat dan keadaan yang jauh berbeda dari zaman sebelumnya.
Karena itu dalam berbagai praktek ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, terutama di bidang muamalah selama diketahui tujuan hukumnya, maka dengan itu dapat dilakukan pengembangan hukum melalui metode qias dalam rangka menajawab persoalan baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW.145
Dengan demikian bahwa ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas akan mampu menjawab perubahan-perubahan yang tidak terbatas jumlahnya. Di samping itu dengan mengetahui tujuan syari’at, seorang mujtahid dapat menjadikan sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum masih bisa diterapkan atau tidak. Begitu juga
144Muslim, Shahih Muslim, 146, Hadits Nomor 1977.
145Dahlan, Ensiklopedi, 1111.
dengan seorang mujtahid dalam meng-istinbath dan menerapkan hukum harus senantiasa mengacu pada maqa>s}id al-syari>’ah.
4. Kehujjahan Maqa>s}id al-Syari’ah
Sifat dasar dari maqa>s}id al-syari>’ah adalah pasti (qat’i).
Kepastian di sini merujuk pada otoritas maqa>s}id al-syari>’ah itu sendiri.
Apabila syari’ah memberi panduan mengenai tata cara menjalankkan ekonomi, dengan menegaskan bahwa mencari keuntungan melalui praktik riba tidak dibenarkan, pasti hal tersebut disebabkan demi menjaga harta benda masyarakat, agar tidak terjadi kezaliman sosio-ekonomi. Dengan demikian eksistensi maqa>s}id al-syari>’ah pada setiap ketentuan hukum syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan. Jika ia berupa wajib maka pasti ada manfaat yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, jika ia berupa perbuatan yang dilarang maka sudah pasti ada kemudharatan yang harus dihindari.146
Al-Ghazali mengajukan teori maqa>s}id al-syari>’ah dengan membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga dikemukakan oleh Al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Artinya, kelima unsur di atas dianggap suci, mulia dan dihormati yang mesti dilindungi dan dipertahankan. Maqa>s}id al-syari>’ah juga merupakan prinsip umum syari’ah (kulliyat al-syari’ah) yang pasti. Ia bukan saja disarikan dari elemen hukum-hukum syari’ah atau dari sebagian dalil-dalil dan isi kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Kesimpulan yang seperti ini kelihatan dapat diterima secara meyakinkan. Apakah ide tersebut diajukan pada abad kelima, di era asas-asas syari’ah, terutama Sunnah telah tercatat dengan baik, sehingga hampir tidak mungkin ada Sunnah yang tercecer.
Jadi, meskipun sama sekali tidak menutup kemungkinan adanya unsur
146Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustasyfa min ‘Ilm al -Ushul: Tahqiq wa Ta’liq Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Juz 1 (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1417 H/1997M), 416-417.