BAB II TINJAUAN UMUM PERCERAIAN DAN TAKLIK TALAK 28
2. Sebab-sebab Perceraian
Perkawinan pada dasarnya bertujuan untuk hidup bersama selama- lamanya, tetapi adakalanya karena ada sebab-sebab tertentu perkawinan itu harus diakhiri. Baik karena putus demi hukum maupun putus karena hukum, atau dengan kata lain terjadi perceraian antara suami istri. Istilah hukum yang digunakan Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara suami istri adalah putusnya perkawinan. Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fikih digunakan kata ba>’in, yaitu satu bentuk perceraian yang suami
54Saebani, Fiqh Munakahat, 75.
55Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 162.
tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan akad nikah yang baru.56
Istilah yang paling netral adalah perceraian, namun sulit pula digunakan istilah tersebut sebagai pengganti istilah putusnya perkawinan, karena perceraian itu adalah salah satu bentuk dari putusnya perkawinan.
Untuk tidak terjebak dalam istilah tersebut, kita dapat saja menggunakan istilah putusnya perkawinan, namun dalam arti yang tidak sama dengan istilah ba>’in yang digunakan dalam fikih, atau dipandang sebagai sinonim dari istilah furqah dalam fikih.57
Menurut Soemiyati, yang menjadi sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu>’, syiqa>q, fasakh, ta’liq t}ala>q, ila>’, z}iha>r, li’a>n dan kematian.58 Mahmud Yunus berpendapat bahwa suatu perkawinan menjadi putus karena bermacam-macam sebab yaitu kematian, talak, khulu>’, fasakh, akibat syiqa>q (talak atau khulu>’), pelanggaran ta’liq t}ala>q (termasuk talak).59 Umar said mengatakan bahwa di dalam hukum Islam putusnya perkawinan itu dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu kematian, talak, khulu>’, fasakh, ila>’, z}iha>r, li’a>n dan murtad.60
Adapun bentuk-bentuk putusnya perkawinan ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan:
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah, yakni kematian salah seorang suami atau istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinannya.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak suami karena adanya alasan tertentu yang dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.
56Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009), 189.
57Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 190.
58Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1997), 105.
59Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), 110.
60Umar Said, Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: CV. Cempaka, 1997), 189.
c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak putusnya perkawinan yang disampaikan istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu’.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.61
Di samping itu, terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang dihalalkan agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara syara’. Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk:
a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila suami telah membayar kafarat. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut z}iha>r.
b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar kafarat atas sumpahnya itu, namun perkawinannya tetap utuh.
Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut ila>’.
c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai selesai proses li’a>n dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut li’a>n.62
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 113 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
61Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 197.
62Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 198.
tentang Perkawinan, Pasal 38 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. Pada pasal berikutnya menyebutkan bahwa untuk menerapkan prinsip mempersulit terjadinya perceraian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan-alasan perceraian.63
Perceraian yang dilakukan di depan pengadilan harus memiliki alasan-alasan tertentu. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar ta’lik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.64
63Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 13.
64Citra Umbara, UU No. 1 Tahun 1974 & KHI, 357.