BAB I PENDAHULUAN
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Untuk menunjukkan bahwa penelitian yang akan penulis lakukan ini benar-benar merupakan hasil karya dan temuan penulis sendiri, maka berikut ini penulis paparkan beberapa karya ilmiah yang pernah dikaji sebelumnya sebagai bahan perbandingan dengan penelitian penulis.
Adapun penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian Khoiruddin Nasution dengan judul “Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik Talak dan Perjanjian Perkawinan”. Tulisan ini berusaha menyajikan bagaimana
kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk menjamin hak mereka sekaligus melindungi mereka dari perbuatan semena-mena suami lewat taklik talak dan atau perjanjian perkawinan. Menurut Khoiruddin Nasution, ketersediaan aturan taklik talak sejak awal sampai muncul dalam Perundang- Undangan Perkawinan Indonesia, bertujuan untuk menjamin hak-hak istri dan melindungi mereka dari tindakan diskriminatif dan sewenang-wenang laki-laki (suami). Meskipun konsep taklik talak ini sudah lama eksis, tetapi belum dipahami secara lengkap oleh masyarakat pada umumnya. Kurangnya pemahaman terhadap konsep ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Oleh karena itu, upaya sosialisasi perlu dilakukan secara terus menerus dan substansial.18
Penelitian di atas jika dilihat berdasarkan tema penelitian, memiliki persamaan dengan penelitian penulis yakni sama-sama meneliti tentang taklik talak. Namun penelitian tersebut hanya mengkaji sejarah perkembangan taklik talak dan urgensinya terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Penelitan tersebut tidak secara khusus mengkaji tentang pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian. Sedangkan penelitian penulis mengkususkan untuk mengkaji taklik talak sebagai alasan mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.
Penelitian dengan tema yang sama juga dilakukan oleh Hasanudin yang meneliti tentang kedudukan taklik talak dalam perkawinan. Hasanudin mengkaji kedudukan taklik talak dalam hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Menurut Hasanudin, kedudukan taklik talak dalam perkawinan setidaknya mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu: (1) Sebagai salah satu perjanjian perkawinan, (1) Sebagai alasan gugatan perceraian dan (3) Sebagai kekuatan spiritual perlindungan istri.19
Sebagai salah satu perjanjian perkawinan taklik talak mempunyai kekhususan dibanding dengan perjanjian perkawinan pada umumnya, yaitu taklik talak sekali sudah diucapkan dan diperjanjikan tidak dapat dicabut oleh
18Nasution, Menjamin Hak Perempuan, 342.
19Hasanudin, “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif”, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, Vol. 14 No. 1 (Juni 2016), 59, diakses 11 Maret 2018,http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/medinate/article/view/1145/963.
pihak manapun juga termasuk suami yang mengucapkannya. Dilihat dari ketentuan hukum perjanjian sebagaimana yang termuat dalam KUHPerdata taklik talak secara umum juga telah memenuhi persyaratan sebagai suatu perjanjian. Sighat taklik talak sebagai alasan gugatan perceraian sudah sejak dulu menjadi yurisprudensi di Pengadilan Agama bahkan hingga saat ini dengan jumlah yang sangat banyak Pengadilan Agama memutuskan perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak. Di samping itu taklik talak bagi istri adalah satu usaha untuk menjamin hak istri serta melindungi dan menjaga mereka dari tindakan diskriminatif dan kesewenang-wenangan suami yang memiliki hak mutlak dalam perceraian. Disisi lain sighat taklik talak sebagai motivasi komitmen suami untuk mu’a>syarah bi al-ma’ru>f demi terwujudnya keluarga saki>nah, mawaddah wa rahmah.20
Sebagaimana penelitian Khoiruddin Nasution, Hasanudin juga lebih menyoroti taklik talak tersebut sebagai jaminan perlindungan hak-hak perempuan. Hasanudin belum mengkaji secara khusus mengenai perceraian yang diajukan oleh pihak istri atau pihak suami dengan alasan pelanggaran taklik. Oleh karena itu, penelitian penulis berbeda dengan penelitian Hasanudin meskipun sama-sama mengkaji tentang taklik talak.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian Hasanudin, penelitian yang dilakukan oleh Syaifuddin Haris juga membahas kedudukan taklik talak dalam perkawinan, hanya saja penelitian ini meninjau taklik talak dari segi hukum perjanjian. Ada dua permasalahan pokok yang menjadi fokus kajian penelitian Haris, pertama, apakah taklik dalam suatua perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian, kedua, apa implikasi hukum terhadap pelanggaran taklik talak dalam suatu perkawinan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, Haris menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Menurut Haris, taklik talak mempunyai perbedaan dengan perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 46 ayat (3) KHI yang menyatakan bahwa perjanjian taklik talak
20Hasanudin, Kedudukan Taklik Talak, 59.
bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Adapun implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami melanggar ikrar taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada Pengadilan Agama.21
Penelitian di atas masih secara umum membahas tentang taklik talak, meskipun telah disinggung bahwa jika taklik talak tersebut dilanggar maka bisa dijadikan sebagai alasan untuk bercerai. Hanya saja penelitian di atas hanya mengkaji dari segi teori saja, belum menyentuh praktek nyata yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan mengkaji kasus yang memang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, meskipun penelitian di atas dengan penelitian penulis sama-sama mengkaji taklik talak, akan tetapi sangat jauh perbedaannya, jika penelitian di atas adalah studi pustaka, maka penelitian yang penulis lakukan adalah studi kasus.
Selanjutnya penelitian Muhammad Latif Fauzi, yang mengkaji tentang perkembangan taklik talak dan pelembagaannya pada era kolonial. Penelitian ini dilaksanakan melalui penulusuran dokumen dan literatur-literatur yang berkaitan dengan taklik talak di daerah Jawa. Menurut Fauzi, cukup sulit menemukan data yang terpercaya tentang sumber dan penerapan taklik talak di masyarakat Jawa pada masa kerajaan Islam pra-kolonial. Tradisi ini diyakini lahir pada masa Sultan Agung, raja ketiga Mataram, dan dipengaruhi oleh konsep perceraian bersyarat (t}a>liq mu’allaq) dalam doktrin fikih mazhab Syafi’iyah. Pendapat ini cukup berasalan dan sulit dibantah karena pada masa itu, bahkan sampai sekarang, kitab-kitab fikih seperti Tuhfah al-Thulla>b bi Syarh Tahri>r Tanqih al-Luba>b (Zakariya al-Anshari) dan Hasyiah al-
21Syaefuddin Haris, “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Islam Ditinjau dari Hukum Perjanjian”, Arena Hukum, Vol. 6 No. 3 (Desember 2013), 356-357, diakses 11 Maret 2018, http:// download.portalgaruda.org/article.php?...kedudukan%20taklik.
Syarqa>wi ‘ala> Sya>ri’ al-Tahri>r (al-Syarqawi) telah kaprah digunakan sebagai rujukan dalam menyelesaikan persoalan hukum.22
Meskipun begitu, agak sulit untuk mengatakan bahwa penerapan tradisi yang telah dipraktekkan di Jawa semata-mata sesuai dengan konsep fikih. Pada masa kerajaan Islam Jawa, tradisi taklik talak ini dikenal dengan istilah janji dalem atau janjiningratu dan sangat berbeda dari konsep fikih. Secara sosial politik, taklik talak merupakan kebijakan politik hukum yang diambil penguasa untuk menjawab kesulitan yang dialami perempuan untuk mendapatkan perceraian melalui fasakh (pembatalan perkawinan). Jika dilihat dari sisi istilah dan substansinya, terdapat unsur adat Jawa yang sangat kuat. Perjanjian, secara substantive berisi janji atau ikrar suami, ini bersifat vertikal, karena melibatkan dua pihak, yaitu rakyat (suami) dan penguasa (raja).23
Secara khusus penelitian di atas memang tidak mempunyai kaitan dengan penelitian penulis, karena penelitian tersebut hanya fokus mengkaji sejarah pelembagaan taklik talak. Penelitian tersebut lebih mengarah kepada penelitian literatur-literatur klasik yang pernah digunakan oleh umat Islam di daerah Jawa dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan nikah, talak, dan rujuk. Akan tetapi secara umum penelitian tersebut bisa dijadikan sebagai rujukan bagi penulis untuk membahas permasalahan taklik talak dalam kehidupan berumah tangga.
Selanjutnya penelitian Sofyan Yusuf yang mengkaji tentang taklik talak perspektif ulama mazhab dan pengaruhnya dalam rumah tangga. Penelitian ini dilakukan untuk memahami pandangan ulama mazhab tentang pengucapan taklik talak dalam pernikahan dan pengaruhnya dalam kehidupan berumah tangga. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara dan observasi di Desa Centong Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
22Muhammad Latif Fauzi, “Islam, Adat dan Politik: Perkembangan Taklik Talak dan Pelembagaannya Pada Era Kolonial”, Istinbath, Jurnal of Islamic Law, Vol. 16 No. 2
(Desember 2017), 317, diakses 11 Maret 2018,
http://ejurnal.uinmataram.ac.id/index.php/istinbath.
23Fauzi, Islam, Adat dan Politik, 318.
Berdasarkan hasil penelitiannya Fauzi menyimpulkan bahwa jumhur ulama yaitu mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, taklik talak baik qasami atau syarṭi yang diucapkan suami dapat menyebabkan terjadinya talak suami kepada istri, apabila taklik tersebut dilanggar atau terjadinya sesuatu yang disyaratkan. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa ta’liq qasam tidak berakibat jatuhnya talak, akan tetapi wajib membayar kafarat. Adapun pengaruh atau implikasi hukum yang dapat ditimbulkan adalah apabila suami melanggar ikrar taklik talak tersebut, maka itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran, dan pelanggaran tersebut dapat dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada pengadilan agama dan istri menyerahkan uang
‘iwaḍ (pengganti), maka jatuhlah talak satu kepadanya.24
Penelitian di atas memiliki kaitan erat dengan penelitian penulis meskipun berbeda dari segi fokus permasalahan yang dikaji. Jika dilihat berdasarkan jenis penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dengan penelitian penulis sama-sama meneliti di lapangan (field research). Penelitian di atas selain mengkaji dari segi teori (library research), Yusuf juga melakukan penelitian di lapangan yakni wawancara dengan masyarakat mengenai pemahaman mereka tentang taklik talak. Adapun perbedaannya dengan penelitian penulis, jika penelitian di atas mengkaji tentang pemahaman masyarakat mengenai taklik talak, maka penelitian penulis mengkaji pelanggaran taklik talak yang dijadikan alasan mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama.
Penelitian-penelitian yang telah penulis paparkan di atas lebih fokus mengkaji tentang taklik talak tanpa mengkaji secara khusus tentang perceraian.
Oleh karena itu, penulis juga perlu memaparkan penelitian tentang perceraian yang dilakukan oleh Jasri Hasan dengan judul “Analisis Yuridis Putusan Hakim terhadap Perkara Perceraian Akibat Murtad di Pengadilan Agama
24Sofyan Yusuf, “Taklik Talak Perspektif Ulama dan Pengaruhnya dalam Berumah Tangga”, Anil Islam, Vol. 10 No. 2 (Desember 2017), 283, diakses 11 Maret 2018, http://jurnal.instika.ac.id/index.php/AnilIslam/article/download/65/41.
Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang”.25 Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitiannya, Jasri Hasan menyimpulkan bahwa: Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang dalam memutus perkara perceraian akibat murtad, antara lain: Pertama, pertimbangan hukum, ketika hakim menjatuhkan putusannya, hakim mempertimbangkan dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang diajukan. Kedua, pertimbangan maslahat, yakni mempertimbangkan kondisi rumah tangga para pihak yang sudah pecah, ketika perkawinan tersebut dilanjutkan apakah lebih mendatangkan maslahat atau lebih mendatangkan mafsadat, jika mafsadatnya lebih besar maka perkawinan tersebut lebih baik diakhiri. Ketiga, pertimbangan sosial, mempertimbangkan akibat yang akan diterima oleh para pihak dari putusannya tersebut dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam huruf (b) dan huruf (f) yang menekankan perselisihan dan pertengkaran sebagai alasan perceraian.26
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jasri Hasan, dapat dilihat persamaan dan perbedaannya dengan penelitian penulis. Persamaannya adalah sama-sama meneliti tentang perceraian. Akan tetapi berbeda dari segi fokus masalah yang diteliti dan penyebab terjadinya perceraian. Penelitian Jasri Hasan mengkaji permasalahan perceraian yang diakibatkan oleh salah satu pihak suami atau istri murtad. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis, mengkaji permasalahan perceraian yang disebabkan oleh pelanggaran taklik talak yang dilakukan oleh suami.
Berdasarkan review terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang telah penulis paparkan di atas, dapat diketahui bahwa belum ada yang meneliti secara khusus tentang pelanggaran taklik talak yang dijadikan sebagai alasan mengajukan perceraian di Pengadilan Agama. Di samping itu, kasus yang
25Jasri Hasan, Analisis Yuridis Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian Akibat Murtad di Pengadilan Agama Mataram dan Pengadilan Agama Giri Menang (Tesis Program Pascasarjana IAIN Mataram, 2016).
26Hasan, Analisis Yuridis Putusan, 203-204.
dikaji dalam penelitian ini tergolong unik, karena pada umumnya perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak diajukan oleh pihak istri yang merasa dirugikan. Akan tetapi dalam kasus ini yang mengajukan perceraian dengan alasan pelanggaran taklik talak adalah pihak suami yang melakukan pelanggaran terhadap taklik talak yang sudah diucapkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini bukan merupakan pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.