• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor

BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP

B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pelanggaran Taklik

1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor

1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Cerai Talak Nomor 080/Pdt.G/2013/PA.GM.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu, juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.

Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, di mana hasil dari pembuktian itu digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.

Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.213

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan (hakim di Pengadilan Agama Giri Menang) dan hasil telaah penulis terhadap cerai talak No.

080/Pdt.G/2013/PA.GM, yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, penulis menemukan beberapa pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut. Adapun pertimbangan tersebut penulis klasifikasikan menjadi dua bagian yaitu pertimbangan hukum, dan pertimbangan masalahat.

a. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan atau yang sering disebut dengan considerans merupakan dasar dalam mengambil sebuah keputusan. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi dua, yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwanya dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam perkara perdata terdapat pembagian tugas yang tetap antara pihak dan hakim, para pihak harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan persoalan hukumnya adalah urusan hakim.

Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian, sehingga putusan tersebut mempunyai nilai obyektif. Pasal 184 HIR dan Pasal 195 Rbg menyebutkan bahwa alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan. Peraturan tersebut mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban,

213Arto, Praktek Perkara Perdata, 141.

alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu putusan diucapkan oleh hakim.

Dalam menyelesaikan perkara cerai talak dengan alasan pelanggaran taklik talak majelis hakim terlebih dahulu menentukan kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang didalilkan oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan sebagai berikut:

1) Para pihak sudah tidak dapat didamaikan.

2) Ketika persidangan dibuka untuk pertama kalinya dalam perkara perceraian, hakim berusaha untuk mendamaikan pihak yang berperkara dengan cara menasehati mereka untuk hidup rukun kembali dalam kehidupan rumah tangga.

3) Usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dalam sidang terbuka untuk umum sebelum memasuki pemeriksaan terhadap pokok perkara permohonan cerai talak atau cerai gugat, bahkan dapat dilakukan secara intensif pada setiap kali persidangan.

4) Apabila para pihak tidak sepakat untuk berdamai maka dilanjutkan acara berikutnya yaitu pembacaan surat gugatan, mendengar jawaban tergugat dan pengugat dipersidangan, pemeriksaan saksi-saksi dan pembacaan putusan.

5) Penilaian hakim mengenai telah terjadi perselisihan dapat dilakukan oleh hakim selama proses persidangan berlangsung para pihak yang berperkara ternyata masih dapat rukun kembali atau apabila yang terlihat nyata dalam sikap para pihak bahwa ketidak rukunan antara suami istri tidak terlalu parah maka Majelis Hakim akan menilai bahwa kondisi yang demikian itu belum dapat dijadikan alasan perceraian. Karena itu Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dipandang belum terpenuhi.214

214Muhamad Jamil, Wawancara, 29 Nopember 2018.

Hakim dalam mengadili suatu perkara perceraian yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang menjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam rumah tangga tersebut untuk selanjutnya dibuktikan dengan saksi-saksi dan alat- alat bukti yang diajukan para pihak. Alasan perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus tersebut di atas bukan merupakan sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab-sebab lain yang mendahuluinya di antaranya:

1) Perselisihan yang menyangkut keuangan, karena istri dianggap boros, atau karena suami tidak menyerahkan seluruh penghasilannya kepada istri.

2) Perselisihan yang menyangkut masalah kesetiaan suami kepada istri.215

Selanjutnya untuk menilai ada atau tidaknya suatu keretakan perkawinan harus dapat dibuktikan bahwa alasan percerian yang diajukan ke pengadilan merupakan peristiwa yang mengganggu keharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan keretakan dan keadaan tersebut tidak dapat dipulihkan kembali.

Perceraian dapat dikabulkan setelah peristiwa yang merupakan alasan perceraian dapat dibuktikan dan telah mengakibatkan keretakan rumah tangga yang tidak dapat dipulihkan kembali. Pembuktian dipersidangan melalui saksi-saksi dari pihak keluarga atau orang-orang yang terdekat dengan Pengugat dan Tergugat. Dari pemeriksaan saksi- saksi tersebut akan diketahui apakah perselisihan terus menerus dalam rumah tangga tersebut terbukti atau tidak yang selanjutnya akan dituangkan dalam pertimbangan putusan. Dengan kewenangannya, seorang hakim berhak memutuskan apakah perceraian ditolak atau dikabulkan.

Pertimbangan hukum hakim ini meliputi dalil gugatan, bantahan serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada, selanjutnya hakim

215Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.

akan menarik kesimpulan terbukti atau tidaknya gugatan itu. Selain itu juga berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yaitu keyakinan terhadap kondisi rumah tangga pasangan suami istri tidak mungkin hidup rukun lagi sehingga rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Penilaian hakim berdasarkan pada kenyataan dalam rumah tangga bahwa perselisihan itu sudah sangat lama dan parah sehingga perkawinan itu tidak mungkin dipertahankan lagi.216

Selanjutnya hakim berkeyakinan dengan keadaan seperti itu perceraian lebih baik dikabulkan daripada perkawinan tetap dipertahankan terus maka akan menimbulkan kemudaratan yang lebih besar. Kemudaratan yang dimaksudkan adalah perkawinan tersebut tidak membawa kebahagiaan bagi mereka dan merugikan pertumbuhan anak- anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Pertimbangan hakim apabila ada kumulasi masalah perceraian dengan melihat alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh para pihak, dengan memperhatikan alasan yang paling menonjol serta terbukti tidaknya gugatan. Selain itu hakim juga berpedoman pada adanya suatu keyakinan bahwa keadaan rumah tangga suami istri tersebut telah pecah (shiqa>q) dan tidak mungkin diselamatkan lagi.217

Perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga sehingga menyebabkan perpecahan, biasanya tidak berdiri sendiri (merupakan kumulasi). Satu dan lain hal saling mempengaruhi, alasan-alasan perceraian para pihak saling berkait antara satu alasan dengan alasan yang lainnya, dengan pengertian bahwa satu alasan menjadi penyebab adanya alasan perceraian yang lain. Misalnya dalam hal ketidakharmonisan suami istri karena dipicu oleh perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau sebaliknya, kemudian pihak istri atau suami pergi dari tempat kediaman bersama, suami bertindak kasar, suami tidak memberi nafkah kepada istri, meninggalkan keluarga atau pergi dari

216Rufaidah Idris, Wawancara, 30 Nopember 2018.

217Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.

rumah yang pada awalnya dilakukan dengan alasan yang jelas namun lama kelamaan tidak ada kabarnya.

Alasan-alasan tersebut selanjutnya akan dipertimbangkan oleh majelis hakim dengan memberikan penilaian atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Kalau peristiwanya telah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, penerapan hukumnya akan mudah. Namun apabila tidak menemukan hukum yang jelas dan tegas, maka majelis hakim dapat berijtihad dalam arti menciptakan hukum sendiri dengan cara menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan.218

Dengan kewenangannya seorang hakim berhak memutuskan apakah perceraian ditolak atau dikabulkan. Dalam pertimbangan hukumnya pasal-pasal yang dijadikan pertimbangan hakim adalah yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan dalil- dalil hukum syara’. Dalil-dalil yang dipakai bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, baru pendapat para ulama yang termuat dalam kitab-kitab fikih. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadai dasar dari putusan itu.219

Penyelesaian perceraian diakhiri dengan dibacakannya putusan hakim di muka persidangan. Dalam memutus perkara, hakim berpedoman pada aturan yang mempunyai dasar hukum yang kuat dalam memutuskan suatu perkara sehingga secara yuridis tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku.

Berdasarkan putusan cerai talak No. 080/Pdt.G/2013/PA.GM yang penulis jadikan sebagai bahan kajian, terdapat bebrapa pertimbangan dalam putusan tersebut, antara lain:

1) Bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim di dalam persidangan serta mediasi yang dilakukan oleh mediator Drs.

Mutamakin, S.H. di luar persidangan kepada kedua belah pihak tidak

218Ichtianto, Tanggung Jawab Hakim (Jakarta: Mimbar Hukum, No. 47, tahun XI, 2000), 5.

219Rusydiana, Wawancara, 30 Nopember 2018.

berhasil, maka majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara ini pada pokok perkara.

2) Bahwa yang menjadi pokok permohonan Pemohon adalah pemohon memohon agar perjanjian taklik talak yang telah dibuat dan ditandatangani pemohon dengan jatuhnya talak tiga sekaligus pemohon kepada termohon secara taklik talak dapat ditetapkan dengan jatuh talak satu raj’i demi mendapatkan kepastian status hukum dan permohonan tersebut tetap dipertahankan oleh Pemohon tanpa ada perubahan apapun. Bahwa atas dalil-dalil permohonan Pemohon tersebut, Termohon mengakui dan membenarkan dalil- dalil permohonan Pemohon.

3) Bahwa berdasarkan bukti P.1, maka harus dinyatakan terbukti bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah, maka Pemohon dan Termohon adalah pihak-pihak yang sah sebagai subyek hukum dalam perkara ini sesuai pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon telah memenuhi syarat-syarat formil maupun materiil sebagaimana ketentuan Pasal 165-179 R.Bg., maka majelis hakim berpendapat dapat menerima saksi-saksi Pemohon tersebut untuk didengar keterangannya di persidangan.

4) Bahwa berdasarkan pengakuan pemohon, bukti (P.2) dan keterangan saksi-saksi pemohon maka majelis hakim berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon dalam perkara a quo telah terbukti bahwa pemohon telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak dengan jatuhnya talak tiga Pemohon sekaligus terhadap Termohon, namun setelah terjadinya taklik tersebut, Pemohon dengan Termohon masih saling mencintai dan berkeinginan melanjutkan hubungan rumah tangganya, akan tetapi masyarakat enggan menerima karena beranggapan antara Pemohon dengan Termohon telah jatuh talak tiga.

5) Bahwa dalam hukum Islam selain talak khulu’, talak tafwidh, fasakh dan lain sebagainya sebagai teknik-teknik perceraian, juga diatur mengenai taklik talak yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu rujukan sumber hukum materiil bagi Pengadilan Agama dalam memutus perkara perceraian mengatur dan mengakui eksistensi lembaga taklik talak sebagai salah satu alasan perceraian sebagaimana termuat dalam pasal 45 ayat (1) dan pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

6) Bahwa tujuan luhur diaturnya lembaga taklik talak dalam sistem hukum perkawinan dan perceraian Islam di Indonesia adalah melindungi hak-hak istri dari perbuatan/tindakan semena-mena suami demi niatan baik dari pemohon dan termohon untuk tetap hidup membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana termuat dalam surat Ar-Rum ayat 21 dan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;

7) Bahwa dari pengakuan Pemohon yang telah dibenarkan oleh Termohon dan diperkuat dengan alat bukti P.2 serta keterangan saksi-saksi telah terbukti bahwa Pemohon telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak yang dalam perjanjian tersebut kejadian yang dijadikan gantungan (taklik) oleh Pemohon untuk menjatuhkan talaknya adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan persoalan (tingkah laku) Pemohon yang dapat mempengaruhi keharmonisan dan menghalangi hubungan Pemohon dan Termohon dalam membina rumah tangga dan dapat menghalangi Pemohon atau Termohon untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, yaitu mengenai perbuatan pemohon yang mengulang kembali menjalin hubungan khusus (bahkan sampai menikah) dengan perempuan lain yang bernama Nurhayati, oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa perjanjian ta’lik talak yang diperjanjikan Pemohon tersebut pada

dasarnya memenuhi tujuan dan nilai luhur pengaturan lembaga taklik talak dalam hukum perkawinan dan perceraian di Indonesia sebagaiman termuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990.

8) Bahwa dari dalil Pemohon yang telah dibenarkan oleh Termohon dan diperkuat dengan keterangan saksi-saksi telah terbukti Pemohon telah membuat dan menandatangani perjanjian taklik talak, ternyata Pemohon telah menjalin hubungan, bahkan sampai menikah lagi dengan perempuan lain yang bernama Nurhayati meskipun telah diceraikan kembali oleh Pemohon, maka berdasarkan fakta tersebut dan pertimbangan-pertimbangan di atas, perjanjian taklik talak Pemohon telah memenuhi ketentuan hukum Islam dan Pemohon telah terbukti sah secara hukum melanggar perjanjian taklik talak tersebut.

9) Bahwa oleh karena Pemohon terbukti sah secara hukum telah melanggar perjanjian taklik talaknya tersebut, maka selanjutnya majelis hakim akan mempertimbangkan jumlah atau bilangan talak yang jatuh sebagai akibat dari perjanjian talak tiga sekaligus pemohon tersebut dalam takliknya.

10) Bahwa dengan diajukannya permohonan dalam perkara a quo oleh pemohon, majelis hakim berpendapat bahwa pemohon telah beri’tikad baik dan oleh karenanya maka permohonan pemohon dalam perkara a quo dapat dipertimbangkan demi memberikan kepastian hukum dan memberikan keyakinan kepada pemohon dan termohon terhadap status perkawinannya tersebut

11) Bahwa meskipun terdapat ulama’ yang berpendapat bahwa talak tiga yang diucapkan/dijatuhkan dalam satu waktu tetap jatuh talak tiga, akan tetapi dalam perkara a quo, berdasarkan hadits-hadits dan pendapat ulama sebagaimana termuat dalam pertimbangan di atas dan demi kemaslahatan rumah tangga pemohon, termohon serta kedua anaknya tersebut, maka majelis hakim berpendapat bahwa

talak tiga yang diperjanjikan oleh pemohon dalam perkara a quo hanya jatuh talak satu.

12) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka majelis hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon, sebagaimana tersebut dalam petitum nomor 2, dapat dikabulkan dengan menetapkan jatuhnya talak satu raj’i pemohon terhadap termohon.220

Menurut penulis dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menilai bahwa Pemohon telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya dengan saksi-saksi yang ternyata keterangan satu dengan yang lainnya saling berkesesuaian, terutama tentang terjadinya pelanggaran taklik talak yang dilakukan oleh Pemohon. Pemohon pada awalnya telah menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain, kemudian berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Jika Pemohon kembali menjalin hubungan dengan perempuan lain tersebut maka jatuh talak tiga Pemohon kepada Termohon. Oleh karena Pemohon kembali mengulangi perbuatannya maka Termohon menganggap sudah jatuh talak dan antara Pemohon dengan Termohon sudah pisah rumah sejak kejadian tersebut.

Dengan kejadian tersebut, Pemohon menyesal dan ingin kembali menjalin hubungan suami istri. Namun karena menurut masyarakat telah jatuh talak tiga, maka Pemohon tidak berani kembali kepada Termohon meskipun mereka masih sama-sama saling mencintai. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama Giri Menang untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai permasalahan tersebut.

Pemohon (suami) memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang untuk menetapkan talak tiga sekaligus yang jatuh karena taklik talak yang diucapkan oleh Pemohon ditetapkan sebagai talak satu agar Pemohon bisa rujuk dengan Termohon. Dengan merujuk

220Pengadilan Agama Giri Menang, Salinan Putusan Nomor: 080/Pdt.G/2013/PA.GM, 7-11.

pada peraturan perundang-undangan, hadits-hadits tentang talak tiga dan pendapat ulama tentang permasalahan tersebut. Akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagi berikut:

1) Mengabulkan permohonan Pemohon.

2) Menyatakan taklik talak Pemohon (Naharudin bin Baderun) terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli) sah menurut hukum.

3) Menetapkan jatuhnya talak satu raj’i Pemohon (Naharudin bin Baderun) terhadap Termohon (Srianu binti H. Mahli).

4) Membebankan biaya perkara ini sebesar Rp 211.000,- (dua ratus sebelas ribu rupiah) kepada Pemohon.

Menurut penulis pertimbangan tersebut sudah tepat karena dengan kejadian tersebut menimbulkan perselisihan dan ketidakpastian hukum mengenai status talak yang digantungkan oleh Pemohon (taklik talak). Dalam memutus suatu perkara, majelis hakim harus mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi selama proses persidangan.

Fakta persidangan yang ditemukan pada perkara taklik talak di atas adalah adanya ketidakpastian hukum tentang jatuhnya talak suami terhadap istri.

Pasal 184 ayat (1) dan (2) HIR dan Pasal 195 ayat (1) dan (2) R.Bg serta Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 mengemukakan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat secara ringkas tentang gugatan dan jawaban Tergugat secara ringkas dan jelas. Di samping itu dalam surat putusan juga dimuat secara jelas tentang alasan dasar dari putusan, pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, biaya perkara serta hadir dan tidaknya para pihak yang berperkara pada waktu putusan itu diucapkan.

Adapun hal-hal yang dilihat dan diperhatikan oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan fakta hukum ini adalah sebagai berikut:

1) Gugatan yang Diajukan Oleh Penggugat

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) HIR dan Pasal 195 ayat (1) R.Bg bahwa gugatan dan jawaban para pihak cukup ditulis secara

ringkas saja. Dalam praktik biasanya gugatan dimuat secara keseluruhan dalam putusan. Sebenarnya hal ini akan mempertebal halaman putusan saja. Namun hal ini bukanlah suatu kesalahan, karena memuat semua gugatan dan jawab-menjawab secara lengkap akan memperjelas tentang duduk perkaranya dalam putusan tersebut.221

2) Jawaban dan Tanggapan Para Pihak

Sebaiknya jawaban dan tanggapan para pihak cukup dimuat secara ringkas saja. Tidak perlu jawaban dan tanggapan para pihak (termasuk reflik dan duplik) dimuat secara keseluruhan, cukup hal-hal yang menyangkut pokok-pokoknya saja atau garis besarnya saja asalkan tidak menghilangkan arti dari jawab-menjawab tersebut atau mengurangi artinya. Tetapi apabila dimuat secara keseluruhan, hal tersebut bukanlah suatu kekeliruan. Bisa saja dimuat secara keseluruhan tetapi haruslah dilihat situasi dan kondisi dari perkara yang disidangkan.222

3) Fakta Kejadian dalam Persidangan

Fakta kejadian ini dapat berupa alat-alat bukti, baik tertulis maupun tidak tertulis, keterangan saksi-saksi, persangkaan ataupun sumpah, baik untuk kepentingan Penggugat maupun untuk kepentingan Tergugat. Untuk mempersingkat keterangan yang terdapat dalam persidangan, sebaiknya diringkas apa yang terdapat dalam Berita Acara Sidang. Lazimnya ditulis bahwa sesuatu yang terurai dalam Berita Acara Sidang dianggap termuat dalam putusan ini.223

Setelah hal-hal tersebut di atas (gugatan penggugat, jawaban dan dan tanggapan para pihak serta fakta kejadian dalam persidangan) dipertimbangkan satu persatu secara kronologis, kemudian barulah ditulis dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi sandaran pertimbangannya.

221Manan, Penerapan Hukum, 294.

222Manan, Penerapan Hukum, 294.

223Manan, Penerapan Hukum, 295.

Sebaiknya didahulukan dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, baru pendapat para ulama yang termuat dalam kitab-kitab fikih.

Dalil-dalil tersebut disingkronkan satu dengan yang lain agar ada hubungan hukum dengan perkara yang disidangkan.224

Bila hakim tidak dapat menemukan hukum dari sumber-sumber hukum di atas, maka hakim harus mencarinya dengan menggunakan metode interpretasi dan konstruksi.225 Adapun metode interpretasi terdiri dari beberapa jenis yaitu:226

1) Penafsiran Subsumtif yaitu penerapan suatu teks undang-undang terhadap kasus inkonkreto sekedar menerapkan sillogisme.

2) Penafsiran Gramatikal yaitu untuk mengetahui makna teks undang- undang ditafsirkan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari.

3) Penafsiran Sistematis dan Logis yaitu menafsirkan suatu undang- undang dengan menghubungkannya dengan peraturan lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.

4) Penafsiran Historis yaitu penafsiran teks undang-undang didasarkan pada sejarah terbentuknya undang-undang tersebut.

5) Penafsiran Sosiologis atau Teleologis yaitu menerapkan makna undang-undang disesuaikan dengan kebutuhan hukum sosial.

6) Penafsiran Kompratif yaitu penafsiran undang-undang dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum.

7) Penafsiran Restriktif yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara membatasi ruang lingkup undang-undang tersebut, dengan

224Manan, Penerapan Hukum, 295.

225Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, hal mana kajian pokoknya tetap berpegang pada bunyi teks undang-undang tersebut. Sedangkan metode konstruksi adalah mempergunakan penalaran logis untuk mengembangkan suatu teks undang- undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks undang-undang, tetapi dengan syarat tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem. Manan, Penerapan Hukum, 279-281.

226Amran Suadi, Teknik Pengambilan Putusan dan Penulisan Putusan Yustisial, Makalah pada Temu Karya Ilmiah Hakim Pengadilan Agama se-Sumatera Utara (PTA Medan, 1998), 5.

mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada arti bahasa.

8) Penafsiran Ekstensif yaitu menafsirkan undang-undang melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.

9) Penafsiran Futuristis, yaitu penafsiran undang-undang bersifat antisipasi dengan menggunakan undang-undang yang belum memiliki kekuatan hukum.

Selain metode penafsiran, hakim dapat menggunakan metode konstruksi dengan berpedoman kepada tiga syarat yaitu (1) konstruksi harus meliputi bidang hukum positif, (2) dalam konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya, dan (3) konstruksi bersifat menyelesaikan permasalahan hukum yang kabur dengan kejelasan- kejelasan yang dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan.227 Adapun metode konstruksi terdiri dari beberapa metode yaitu:228

1) Argumen peranalogian, yaitu penalaran yang digunakan terhadap suatu peristiwa yang belum tersedia peraturan hukumnya, tetapi peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam undang-undang, atau dalam kajian hukum Islam disebut “qiya>s”.

2) Metode argumentatum a’contrario, yaitu suatu penalaran hukum dengan membatasi penerapan hukum pada peristiwa tertentu yang tersebut dalam undang-undang, sedangkan peristiwa lain yang tidak diatur dalam undang-undang itu diterapkan makna kebalikan dari aturan undang-undang tersebut, atau dalam kajian hukum Islam disebut “mafhu>m al-mukha>lafah”.

3) Pengkonkritan hukum (Rechtsvervijnings) yaitu penalaran hukum dengan pengkonkritan terhadap suatu masalah hukum yang terlalu umum dan sangat luas, atau dalam kajian Islam mirip dengan penerapan al-muqayya>d terhadap nas} ‘a>m (umum).

227Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis (Jakarta: Chandra Pratama, cet. I,1996), 192.

228Manan, Penerapan Hukum, 282.