• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pengalaman selama Orde Baru menunjukkan pengelolaan dana yang

DESENTRALISASI FISKAL DI INDONESIA

3.6. Hubungan Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pengalaman selama Orde Baru menunjukkan pengelolaan dana yang

di antara instansi-instansi Daerah, di mana tanggungjawab untuk pembangunan wilayah saling mengkait, seperti misalnya dalam program- program daerah perKotaan, irigasi, pembangunan perumahan sederhana, dan perluasan jaring pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat yang luas.

3.6. Hubungan Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

mendapat otonomi lebih luas termasuk tuntutan desentralisasi fiskal (Sondakh, 2003: 280).

Setelah reformasi, tuntutan desentralisasi fiskal mulai didengar. Hal itu terbukti dengan dihasilkan UU Perpajakan 1998. Sebagai jawaban terhadap tuntutan reformasi, termasuk reformasi dalam hubungan Pusat dan Daerah, Pemerintah telah berupaya melakukan adjustment dalam sistem dan kebijakan perpajakan. Sistem dan kebijakan reformasi itu terlihat pada UU No. 18/1997 yang telah direvisi menjadi UU No. 34 Tahun 2000. Sistem dan kebijakan ini merupakan perwujudan dari adanya kemauan politik Pemerintah dalam mewujudkan otonomi, khususnya pada tingkat Kabupaten dan Kota.

Kapasitas fiskal Daerah secara umum tidak bisa mendukung pencapaian tujuan desentralisasi dan otonomi Daerah. Oleh karenanya, konsep perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diwujudkan antara lain melalui semakin besarnya jumlah dana yang ’didaerahkan’ baik dalam bentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus (Sulton, Smeru dalam Piliang, et.al, 2003: 229-230).

Agar Daerah dapat memenuhi kebutuhan anggaran rutin dan pembangunan, Daerah harus memobilisasi sumber-sumber penerimaan Daerah.

Artinya harus dilakukan desentralisasi fiskal yang ditujukan pada memungkinkan dan memampukan Daerah meningkatkan PADnya. Sumber-sumber PAD yang semulanya diterima oleh Pusat harus secara proporsional dijadikan penerimaan Daerah. Hanya saja, Perda yang mengatur sumber dan besarnya fiskal di Daerah otonom tetap harus mengacu pada kebijakan makro ekonomi, seperti menekan inflasi, menekan pengangguran, mendorong saving dan investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional, dan sebagainya (Sondakh, 2003: 285).

Besarnya pajak yang ditarik harus dilakukan dalam batas-batas yang optimum mendorong pertumbuhan ekonomi (efficiency) yang berkelanjutan dan mengatasi ketimpangan (equity) serta mampu meredam dampak kegagalan pasar yang merusak lingkungan, baik fisik maupun sosial. Pajak yang terlampau tinggi akan menghambat investasi tetapi pajak yang terlampau rendah akan mendorong sumberdaya alam dikelola secara berlebihan dan dapat merusak lingkungan. Salah satu sumber pajak baru yang dapat dimobilisasi Daerah yaitu pajak yang bersumber dari prinsip polluters pay principles.

Penggunaan dana perimbangan sepenuhnya menjadi kewenangan Daerah, dan diharapkan akan dapat dialokasikan sesuai dengan skala prioritas Daerah itu sendiri. Asumsi idealnya adalah Pemda akan lebih memperhatikan kebutuhan dan keterlibatan masyarakat setempat. Pengawasan dan pertanggungjawaban akan bersifat horizontal. Terlepas dari sumber penerimaan yang tersedia bagi Pemerintah Daerah, transfer dari Pemerintah Pusat tetap memegang peranan penting dalam sistem keuangan publik (Sulton, Smeru dalam Piliang, et.al, 2003: 230).

Belajar dari pengalaman banyak negara, pelaksanaan otonomi daerah tidak selalu harus dibiayai oleh pendapatan yang berasal dari Daerah itu sendiri.

Oleh karena itu sistem hubungan fiskal antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah merupakan komponen yang esensial dalam strategi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Dari sudut pandang ekonomi, yang menarik perhatian adalah bagaimana dampak perubahan kebijakan terhadap ketiga aspek pembangunan yang bersifat interdependen yaitu: stabilitas makroekonomi (efisiensi), pemerataan regional (equity), dan keutuhan (sustainability/resiliency) Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan berdasarkan Pancasila. Antisipasi dampak UU No. 32 Tahun

2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 terhadap ketiga aspek tersebut diuraikan berikut ini.

1. Dampak terhadap Stabilitas Makroekonomi (efisiensi)

Dengan diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2004, penerimaan Pusat akan jauh menurun. Dengan desentralisasi pemerintahan (otonomi lebih luas) penurunan ini tidak perlu dirisaukan. Asalkan, pengeluaran (expenditure) Pemerintah Pusatpun menurun secara proporsional.

Sebaliknya regional government expenditure akan meningkat secara proporsional pula. Bukan saja Pemerintah Pusat tidak dapat menekan expenditure secara proporsional tetapi proporsi penerimaan Pemerintah Pusat menurun secara drastis. Yang disebabkan karena Daerah tidak bersemangat mengumpul pajak yang akan dibagi bersama Pusat.

Mereka hanya bersemangat mengumpul yang tergolong local fixed taxes (Sondakh, 2003: 287).

Secara teoritis ekonomi Daerah akan bertumbuh lebih cepat dengan adanya otonomi dibanding dengan tanpa otonomi.

Desentralisasi pengambilan keputusan ekonomi ke tingkat hirarkial lebih bawah konsisten dengan upaya mengalokasikan sumber daya dan memanfaatkan peluang ekonomi berdasarkan teori keunggulan komparatif dalam perdagangan internasional. Desentralisasi akan menyebabkan unit-unit ekonomi tingkat lokal, sesuai dengan keunggulan komparatifnya, memberikan respons yang lebih efektif (tepat sasaran dan tepat waktu) terhadap peluang-peluang pasar dan investasi lokal. Dengan otonomi lebih luas, peluang-peluang ekonomi lokal akan segera dimanfaatkan tanpa harus menunggu keputusan sentral.

Dengan otonomi menurut UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No.

33 Tahun 2004 mempunyai keleluasaan untuk mengefektifkan

outward looking strategy dalam pembangunan Daerahnya. Daerah sudah boleh melakukan lobbi dan negosiasi internasional untuk melakukan promosi internasional, menarik investor mancanegara, melakukan kerjasama internasional di bidang pendidikan, penelitian dan berbagai bentuk kerjasama teknik dan perdagangan, melakukan pertukaran tenaga ahli dan sebagainya. Kesemuanya akan menyebabkan pertumbuhan Daerah tidak terutama hanya bersumber pada sumberdaya alam tetapi bersumber pada perdagangan.

Otonomi Daerah akan menyebabkan perubahan dalam direction and volume of trading, akan terjadi diversi dalam jenis dan volume perdagangan. Trade as an engine of growth akan makin berperan terutama bagi provinsi-provinsi yang terletak strategis dalam arus perdagangan dunia. Pemanfaatan peluang tersebut di atas akan mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi atas dasar transformasi ekonomi. Struktur ekonomi Daerah akan mengalami transformasi karena Daerah harus memproduksi barang dan jasa bukan hanya untuk pasar domestik tetapi pasar global.

Otonomi Daerah yang lebih luas akan menyebabkan tersebarnya growth centres ke seluruh wilayah tanah air yang mempunyai dampak positif baik terhadap efisiensi ekonomi nasional tetapi juga sustainabilitas. Masing-masing Daerah akan menekuni di mana Daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karenanya, asal tidak terjadi trade barrier antar Provinsi maka otonomi daerah akan memberi dampak positif terhadap efisiensi ekonomi secara menyeluruh.

Dampak langsung ialah penerimaan Daerah dari sejumlah Provinsi "surplus" akan hasil tambang migas, mineral dan kehutanan akan meningkat pesat. Bisnis Indonesia (30 April 1999) melaporkan

bahwa sejumlah Daerah seperti Riau, Aceh, Irian akan menikmati penerimaan (regional revenue) yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan kenyataan, di mana Daerah-Daerah tersebut merupakan sumber penerimaan terbesar negara karena memiliki net transfer surplus (selisih antara penerimaan dan pengeluaran) yang positif.

2. Dampak terhadap Aspek Pemerataan (Equity)

Masing-masing Daerah mempunyai keunggulan komparatifnya sendiri-sendiri. Bagi Daerah luar Jawa, keunggulan komparatifnya dari aspek sumberdaya alam tidak banyak berbeda. Yang berbeda ialah antara luar Jawa dan Pulau Jawa. Pulau Jawa yang relatif unggul dalam sektor M dan luar Jawa sector A. Akan tetapi masing- masing Provinsi memiliki perbedaan-perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur ekonomi dan nantinya dalam regional development policies. Perbedaan ketiga faktor ini akan menyebabkan perbedaan dalam arah dan kecepatan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu argumentasi dari lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 ialah agar permasalahan ketimpangan regional yang (memicu tuntutan regional selama ini) dapat diatasi.

Studi Gracia dan Soelistianingsih (1998) menunjukkan diperlukan waktu antara 49 dan 82 tahun bagi Daerah tertinggal untuk mengejar ketertinggalannya. Dengan UU di atas ketertinggalan dapat lebih cepat terkejar. Akan tetapi, dengan lahirnya kedua UU ini muncul pendapat bahwa justru ketimpangan antar Provinsi dapat melebar terutama ketimpangan antar Provinsi yang kaya sumberdaya alam migas, bahan tambang dan kehutanan vs. Provinsi yang relatif miskin sumberdaya alam.

Mayoritas Provinsi di Indonesia merupakan Provinsi yang anggaran rutin dan pembangunannya masih tergantung dari "regional transfer" yang bersumber dari Provinsi surplus melalui Pusat. UU No.

33 Tahun 2004 yang baru menggunakan formula di mana "regional transfer" bagi Daerah miskin akan tetap bersumber dari Daerah kaya melalui pusat; yaitu 25% dari penerimaan APBN. Dari platform ini 10%

dialokasikan untuk provinsi dan 90% untuk Kabupaten dan Kota.

Hanya saja, dengan UU No. 33 Tahun 2004 yang baru tersebut dengan sendirinya penerimaan APBN dari migas akan sangat jauh berkurang yang menyebabkan besarnya "regional transfer" akan sangat berkurang pula. Konsekuensinya ialah bagaimanapun juga Daerah- Daerah yang relatif miskin sumberdaya alam dan tingkat perkembangan ekonominya belum pada tahap lanjut (kontribusi sektor M) yang sudah lumayan akan menyebabkan Daerah tersebut relatif tertinggal.

Adanya ketimpangan regional karena UU ini akan mendorong dan mempercepat mobilitas tenaga kerja (labour mobility) dan bahkan transmigrasi spontan. Dampaknya ialah pada beberapa tahun mendatang akan terjadi pergeseran dalam struktur kependudukan.

Migrasi akan terjadi dari Daerah yang padat penduduk tetapi relatif

"miskin" ke Daerah yang jarang penduduk tetapi relatif "kaya".

Pergeseran struktur penduduk akan memberikan dampak sosial yang sudah harus diantisipasi sejak dini. Di Riau, misalnya, memang Daerahnya relatif jauh lebih makmur akan tetapi yang terutama makmur adalah kaum pendatang.

Sumber utama penerimaan Daerah untuk memenuhi kebutuhan biaya rutin dan pembangunan ialah PAD (pendapatan Asli Daerah).

PAD bersumber pada iuran rakyat dalam bentuk pajak dan retribusi

seperti antara lain biaya parkir, biaya perizinan, pajak bangunan, pajak hiburan, sumbangan sosial, zakat dan infaq, pajak kekayaan, pajak pendapatan, pajak pertambahan nilai, retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan lain-lain. Sumber dan besarnya iuran dan retribusi ditetapkan melalui Perda (Peraturan Daerah).

PAD (menurut sistem dan peraturan perpajakan) yang diizinkan boleh ditarik Pemerintah Daerah dalam kenyataannya jauh dari jumlah yang cukup untuk memenuhi biaya rutin dan kebutuhan pembangunan.

Selisih antara kebutuhan dan kemampuan tersebut dipenuhi melalui dana yang bersumber dari "regional transfer". "Regional transfer"

dilakukan pusat ke Daerah dalam bentuk anggaran sektoral (asas dekonsentrasi) lewat Kantor Wilayah Departemen (Kanwil) atau dalam bentuk anggaran bantuan Daerah (asas desentralisasi) melalui Gubernur dan bantuan langsung dalam bentuk proyek-proyek Inpres.

3. Dampak terhadap Aspek Keberlangsungan (Sustainability)

Faktor ketiga yang harus diperhitungkan ialah dampak UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 terhadap sustainabilitas kelangsungan hidup Republik. Sustainabilitas merupakan fungsi dari kombinasi optimum antara aspek efisiensi dan equity. Secara intuitif, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 sudah merupakan garis rekonsiliasi yang optimum dalam melunakkan ketegangan atau tensi Pusat - Daerah. UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 merupakan hasil pendekatan win-win, penerimaan Daerah akan meningkat tetapi sekaligus perekonomian nasional menjadi lebih efisien dan sustainable. Bukan win-loose situasi di mana Daerah "menang" dan Pusat "kalah". Menurunnya penerimaan Pusat bukan berarti kerugian. Walaupun menaiknya penerimaan Daerah bukan juga berarti keuntungan.

Harus diperhatikan bahwa terdapat kemungkinan penguasa daerah "otonom" akan justru bertindak sebagai kaum oligarkhi yang baru. Mereka dapat berperilaku sebagai "raja kecil" yang akan membentuk pola KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang baru dan lebih liar karena tidak ada kekuatan "atas" yang mengendalikan dan mengawasi mereka secara langsung. Kemungkinan atau kekhawatiran terhadap hal ini belum terlampau rinci diantisipasi di dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No. 33 Tahun 2004. Di samping itu pula, bisa terjadi hak-hak masyarakat lokal di dalam Daerah itu justru makin bisa lebih dilanggar dan tidak dihormati oleh penguasa lokal. Kalau demikian aspek sustainabilitas akan terganggu. Karenanya, harus diperhatikan terutama di dalam pemberian izin investasi penguasa daerah harus duduk sama tinggi dan sama rendah dengan tokoh-tokoh masyarakat adat. Perjanjian kontrak investasi yang menyangkut masyarakat umum dan terutama masyarakat adat harus disetujui juga oleh kelompok masyarakat adat.

Kekhawatiran lain yang mengganggu sustainabilitas ialah mengenai kelonggaran dalam perdagangan luar negeri. Dipertanya- kan siapa yang menarik manfaat dari forward and backward linkages effects dari meningkatnya penerimaan regional dari Riau misalnya. Artinya, ekonomi negara mana yang menarik manfaat dari efek multiplier kenaikan pendapatan Daerah? Apakah ekonomi domestik atau luar negeri? Dari sinyalemen terhadap rencana pengalokasian anggaran oleh ”Daerah kaya", terdeteksi adanya kemungkinan peningkatan penerimaan tersebut hanya mendorong perekonomian luar negeri. Kenaikan penerimaan itu meningkatkan spending untuk membiayai impor dan pendidikan di Luar Negeri.

Kenapa tidak ke dalam negeri? Alasannya klasik. Kualitas produk

dalam negeri termasuk kualitas pendidikan dinilai relatif masih lebih rendah.

Hal ini berarti, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 harus didukung oleh Kebijakan pemerintah yang difokuskan agar backward and forward linkages effect dari kenaikan penerimaan Daerah kaya harus terasa dalam peningkatan ekonomi domestik.

3.7. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Desentralisasi