• Tidak ada hasil yang ditemukan

OTONOMI DAERAH

2.1. Pentingnya Pelaksanaan Otonomi Daerah

2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, bahwa otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Jadi ada 2 (dua) ciri hakikat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau the condition of living under one's own laws (Sumaryadi: 2005: 39).

Jadi otonomi daerah adalah Daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi lebih menitik-beratkan aspirasi daripada kondisi.

Otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri (Muslimin, 1978: 16), dan diartikan sebagai kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan (Syafrudin, 1985: 23), sedangkan otonomi daerah sendiri memiliki beberapa pengertian menurut UU No. 32 Tahun 2004, Wayong (1975: 74-87), dan Salam (2004: 88-89), yaitu:

1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri;

2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses menyejahterakan rakyat;

3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada Pemerintah bawahannya.

Sebaliknya Pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut.

4. Pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada Daerah memungkinkan Daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna

penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang- undangan (Wijaya, 2002: 76).

Koesoemahatmadja (1973: 18) berpendapat bahwa menurut perkembangan sejarah di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling), juga mengandung arti pemerintahan (bestuur). Namun demikian, walaupun otonomi ini sebagai self government, self sufficiency dan actual independence, keotonomian tersebut tetap berada pada batas yang tidak melampaui wewenang Pemerintah Pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah. Otonomi menurut Manan (1994:

21) mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah tangganya) sendiri. Kemandirian, menurut Syafrudin (1991: 131), bukan berarti kesendirian, bukan pula sendiri-sendiri karena tetap bhineka tunggal ika, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah Daerahnya sendiri tidak selalu dan terlalu menggantungkan diri kepada Pemerintah Pusat.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Wijaya, 2002: 76).

Daerah otonom memiliki beberapa pengertian, menurut Liang Gie (1968: 58), Riwu Kaho (1982: 7), Sujamto (1991: 88) dalam Salam (2004: 89), mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut:

1. Daerah yang mempunyai kehidupan sendiri yang tidak bergantung pada satuan organisasi lain;

2. Daerah yang mengemban misi tertentu, yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah di mana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu Daerah diberi hak dan wewenang tertentu.

3. Daerah yang memiliki atribut, mempunyai urusan tertentu (urusan rumah tangga Daerah) yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat; urusan rumah tangga itu diatur dan diurus atas inisiatif dan kebijakan Daerah itu sendiri; memiliki aparat sendiri yang terpisah dari Pemerintah Pusat serta memiliki sumber keuangan sendiri.

Dari beberapa pengertian tentang otonomi, otonomi daerah, dan daerah otonom di atas, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian otonomi kepada daerah adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, di mana pelimpahan kewenangan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah mengandung konsekuensi yang berupa hak, wewenang, dan kewajiban bagi rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini Daerah benar-benar dituntut agar mandiri dalam arti dapat menunjukkan kemampuannya sehingga secara berangsur-angsur semakin kecil ketergantungannya kepada Pemerintah Pusat.

2. Dalam penyerahan otonomi kepada Daerah, harus dilihat kemampuan riil daerah tersebut atau dengan kata lain setiap penambahan urusan kepada Daerah (pengembangan otonomi daerah secara horizontal)

harus mampu memperhitungkan sumber-sumber pembiayaan atau kemampuan riil daerah.

3. Bahwa dalam mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah, pada prinsipnya Daerah harus mampu membiayai sendiri kebutuhannya dengan mengandalkan kemampuan sendiri atau mengurangi ketergantungan kepada Pemerintah Pusat.

4. Pada dasarnya otonomi daerah adalah urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah untuk diselenggarakan menjadi urusan rumah tangga daerah.

5. Bahwa desentralisasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana urusan-urusan Pemerintah Pusat diserahkan penyelenggaraannya kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan di daerah-daerah yang disebut daerah otonom (Salam, 2004: 89-90).

Pemerintah Daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi. Otonomi adalah penyerahan urusan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat (Wijaya, 2002: 76).

Hakikat dari otonomi daerah diterapkan adalah:

1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada Daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah; penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, serta pembiayaan dan pertanggungjawaban daerah sendiri, maka hak itu, dikembalikan kepada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan Pemerintah Pusat;

2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, Daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayah Daerahnya;

3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya.

Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah lain. Dengan demikian, suatu daerah otonom adalah daerah yang self government, self sufficiency, self authority, dan self regulation to its laws and affairs dari Daerah lainnya baik secara vertikal maupun horizontal karena daerah otonom memiliki actual independence. Indikator suatu daerah menjadi otonom setelah melaksanakan kebijakan otonomi daerah meliputi makna daerah itu telah secara nyata menjadi satuan masyarakat hukum, satuan unit ekonomi publik, satuan unit sosial budaya, satuan unit lingkungan hidup (lebensraum) dan menjadi satuan subsistem politik nasional (Ndraha, 2003).

Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan urusan ini adalah antara lain: menumbuhkembangkan Daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan (Wijaya, 2002: 76).

Sejalan dengan penyerahan urusan, apabila urusan tersebut akan menjadi beban Daerah, maka akan dilaksanakan melalui asas medebewind atau asas pembantuan. Proses dari sentralisasi ke desentralisasi ini pada dasarnya tidak semata-mata desentralisasi administratif, tetapi juga bidang politik dan sosial budaya (Wijaya, 2002: 76).

Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah, di satu pihak, membebaskan Pemerintah Pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya.

Pada saat yang sama, Pemerintah Pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan Pemerintah ke Daerah, maka Daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol dari adanya ‘trust' dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri Pemerintah Daerah dan masyarakat daerah.

Kalau dalam sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, akibat dari tiada atau kurangnya kewenangan yang mereka miliki, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi (Sumaryadi, 2005:

41-42).

Dengan demikian dampak pemberian otonomi ini tidak hanya terjadi pada organisasi/administratif lembaga pemerintahan daerah saja; akan tetapi berlaku juga pada masyarakat (publik), badan atau lembaga swasta dalam berbagai bidang. Dengan otonomi ini terbuka kesempatan bagi Pemerintah Daerah secara langsung membangun kemitraan dengan publik dan pihak swasta daerah yang bersangkutan dalam berbagai bidang pula (Wijaya, 2002: 76-77).