• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan MPR 1998

BAB II SEJARAH POLITIK PERADILAN

D. Kekuasaan Kehakiman Post Reformasi 1998

1. Kebijakan MPR 1998

f. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 44 ayat (4)).

g. Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi Mahkamah Agung (Pasal 44 ayat (5)).

4. Pengadilan Militer Pertempuran

a. Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran (Pasal 45)

b. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan, serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (Pasal 46).

Badan-badan peradilan tersebut, semua berpuncak pada Mahkamah Agung sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer secara organisatoris dan administratif berada di bawah pembinaan Panglima. Pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Fungsi pengawasan dan pembinaan teknis yustisial pengadilan dalam lingkungan peradilan militer tetap di bawah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Sementara itu, Pengadilan Militer Utama diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan sehari-hari terhadap pengadilan di bawahnya.261

yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada 1998.

Krisis finansial 1998 merupakan satu dari berbagai kondisi yang mendorong bergulirnya reformasi di Indonesia 1998. Pelanggaran hak asasi manusia, ototarian penguasa, serta intervensi hukum dan peradilan juga merupakan deretan faktor terjadinya reformasi.

Dibidang hukum, kondisi umum yang mendorong reformasi 1998 antara lain selama pemerintah Orde Baru, tidak ada peraturan perundang-undangan yang memadai untuk membatasi kekuasaan. Hal demikian memberi peluang terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta terjadinya penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan. Penegakan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.262

Gerakan reformasi 1998 memaksa Soeharto melepaskan jabatannya. Tujuan reformasi 1998 adalah (1) Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat- singkatnya; (2) Mewujudkan kedaulatan rakyat; (3) Menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dan Hak Asasi Manusia;

(4) Meletakkan dasar-dasar reformasi pembangunan agama dan sosial budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.263

Pasca turunnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, MPR hasil pemilu 1997 melakukan Sidang Istimewa pada tangga; 10–13 November 1998. MPR menetapkan 12 ketetapan MPR.264

262 Baca Ketetapan MPR tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Nomalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, TAP MPR No.

X/1998/MPR, Lampiran BAB II Kondisi Umum huruf C. Hukum.

263 Lihat Tujuan Reformasi dalam MPR, Ketetapan MPR tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Nomalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, TAP MPR No. X/1998/MPR.

264 Pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 1 sampai dengan 11 Maret 1998, MPR hasil pemilu 1997 menetapkan 6 Tap MPR yaitu:

(10 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/Mpr/1983 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

1. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah dan Ditambah Terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1998.

2. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/Mpr/1998 tentang Pemberian

Sebagaimana Telah Diubah dan Ditambah dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/Mpr/1988 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/Mpr/1993; (2) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 Tahun 1998 GBHN; (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Soeharto Selaku Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; (4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pengangkatan Presiden Republik Indonesia; (5) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1998 Tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila;

(6) Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Tugas dan Wewenang Khusus Kepada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.

7. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

8. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XIV/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Mpr/1988 Tentang Pemilihan Umum.

9. Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

10. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

11. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.

12. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.