• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No. 24 Tahun 2003: Pembentukan Mahkamah

BAB II SEJARAH POLITIK PERADILAN

D. Kekuasaan Kehakiman Post Reformasi 1998

6. UU No. 24 Tahun 2003: Pembentukan Mahkamah

Menurut UU No. 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24 UUD 1945, Pasal 10 UU Mahkamah Konstitusi menyebutkan kewenangan MK adalah:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

293 UU No. 2 Tahun 2004, Penjelasan Umum

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.

b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.

c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disetujui DPR dan Pemerintah pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Pada 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.294

294 Lihat https://mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1&menu=2

8. UU No. 22 Tahun 2004: Pembentukan Komisi Yudisial

295

Jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998 turut membawa pengaruh pada mekanisme rekrutmen hakim agung, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lebih transparan dan melalui mekanisme sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Proses rekutmen dilakukan melalui pengajuan calon hakim agung, baik dari kalangan Mahkamah Agung maupun pihak pemerintah yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Proses seleksi hakim agung dilakukan melalui mekanisme seleksi yang terbuka, atau dikenal dengan fit and proper test, di DPR. Seleksi Ketua dan Wakil Ketua juga dilakukan melalui mekanisme yang terbuka di DPR di mana DPR mengajukan dua kandidat masing-masing untuk posisi Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Presiden dalam posisi sebagai Kepala Negara, kemudian menetapkan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung.296 Proses jit and proper test yang dilakukan DPR menghasilkan Bagir Manan dan Muladi untuk posisi Ketua Mahkamah Agung dan M. Taufik dan Abdul Rahman Saleh sebagai kandidat Wakil Ketua Mahkamah Agung pada tahun 2001. Presiden AbdurahmanWahid, kemudian memilih Bagir Manan seba gai Ketua Mahkamah Agung dan M. Taufik sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung.

Di Indonesia, pasca Amandemen UUD 1945, pengisian Hakim Agung melibatkan Komisi Yudisial. Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 muncul didasarkan pada pemikiran bahwa pertingnya kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim untuk mendukung upaya menegakkan peradilan. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang

295 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.

296

sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilakunya.297

Kembali ke belakang, kehadiran lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas seperti KY sudah lama diperjuangkan. Pada tahun 1968 dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman. 298 Hasilnya, gagasan tersebut tidak masuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Gagasan kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.299 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut:

“Untuk meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan, antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.”

297 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hal. 195.

298 KHN: Laporan evaluasi kekuasaan kehakiman, 2010.

299 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 35 Tahun 1999, LN No. 147 Tahun 1999, TLN No. 3879.

Perjuangan untuk membentuk lembaga khusus dalam kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000–2004300 yang mengakomodasi gagasan tersebut dengan menyebut secara eksplisit istilah Komisi Yudisial. Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 menjadi payung konstitusional bagi eksistensi Komisi Yudisial.301

Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 mengatakan sebagai berikut:

1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.302

300 Di Indonesia, penyebutan istilah Komisi Yudisial memang dimulai pada saat ditetapkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000–2004. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000–2004, UU No. 25 Tahun 2000, LN No.

206 Tahun 2000.

301 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2002), hal. 47 dan 72.

Dengan diaturnya Komisi Yudisial dalam konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengelompokkannya sebagai organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power). Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan Ketatanegaraan Pascaperubahan UUD 1945 dan Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia”, (makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Perkembangan Ketatanegaraan Pascaperubahan UUD 1945 dan Pembaruan Kurikulum Pendidikan Hukum Indonesia, diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia, di Jakarta, 7 September 2004), hal. 7.

302 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar..., op. cit., hal.

47 dan 72.

UUD 1945 telah memberikan landasan konstitusional yang cukup bagi Komisi Yudisial. Untuk menjalankan UUD 1945 dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.303 Undang-undang ini lahir dengan pertimbangan bahwa: (a) Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD 1945; (b) Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim; dan (c) bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945, susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Dalam perkembangannya, melalui putusannya, MK menyatakan bahwa UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, BPK, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga- lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs) yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions) sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip

checks and balances”. Prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga, negara, misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi- fungsi kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah tidak tepat.

303 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, UU No. 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.

Berdasar pada putusan MK, Komisi Yudisial bersifat penunjang terhadap kekuasaan kehakiman. Tugas Komisi ini sebenarnya bersifat internal di lingkungan kekuasaan kehakiman, namun agar pengawasan yang dilakukannya efektif, kedudukannya dipastikan bersifat independen di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.304 Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa Komisi Yudisial dapat dikatakan bahwa kedudukannya secara struktural sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.

Komisi Yudisial, walaupun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, namun tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan persoalan kohormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.305