• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU No. 7 Tahun 1946 (diganti PP No. 37 Tahun 1948)

BAB II SEJARAH POLITIK PERADILAN

B. Era Demokrasi Parlemen dan Demokrasi

6. UU No. 7 Tahun 1946 (diganti PP No. 37 Tahun 1948)

Pembentukan Pengadilan Tentara

Selain penataan Mahkamah Agung, Pemerintah juga membentuk Pengadilan Tentara. Selama rentang waktu 1946 sampai 1950 terdapat beberapa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pembernutakan pengadilan tentara.

1. Pada tahun 1946 dibentuk Pengadilan Tentara selain badan-badan peradilan umum berdasarkan UU No. 7 Tahun 1946 tentang Mengadakan Pengadilan Tentara di Samping Pengadilan Biasa118 Dalam hal hukum acara pengadilan tentara, Pemerintah mengeluarkam UU No. 8 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana guna Pengadilan tentara.

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1946, Pengadilan Tentara yang terdiri atas:

- Mahkamah Tentara Agung; dan - Mahkamah Tentara.

118 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang tentang Mengadakan Pengadilan Tentara di Samping Pengadilan Biasa, UU No. 7 Tahun 1946. Undang-undang ini kemudian dicabut berdasarkan PP No. 37 Tahun 1948

Pengadilan Tentara mengadili perkara-perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:

1. Perajurit Tentara Republik Indonesia, Angkatan Laut Republik Indonesia dan Angkatan Udara Republik Indonesia;

2. Orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit yang dimaksudkan dalam sub a;

3. Orang yang tidak termasuk golongan a atau b, tetapi berhubung dengan kepentingan ketentaraan, atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, harus diadili oleh Pengadilan Tentara Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1946).

Kewenangan Mahkamah-Tentara Agung adalah

1. Memutus dalam tingkatan pertama dan penghabisan:

a. Perkara-perkara yang terdakwanya atau salah satu dari terdakwanya:

i. adalah perajurit yang serendah-rendahnya berpangkat mayor;

ii. adalah seorang yang seandainya dituntut dihadapan pengadilan biasa, diputus oleh Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi.

b. Perselisihan tentang kekuasaan antara Mahkamah-mahkamah- Tentara.

2. Mahkamah-Tentara Agung mengadili dalam tingkatan kedua dan penghabisan dalam perkara-perkara yang telah diadili oleh Mahkamah- Tentara. (Pasal 12 dan Pasal 13 UU No. 7 Tahun 1946)

Tentang Mahkamah-Tentara, kewenangan mengadili dari Mahkamah-Tentara adalah dengan tidak mengurangi apa yang termuat dalam pasal 2, 3, dan 4 Mahkamah-Tentara mengadili semua perkara kejahatan dan pelanggaran yang:

1. dilakukan oleh perajurit yang termasuk suatu pasukan yang berada di dalam daerah hukumnya;

2. dilakukan di dalam daerah-hukumnya (Pasal 18).

a. Karena kondisi yang belum normal, Pemerintah RI juga membentuk Mahkamah Tentara Luar biasa, antara lain:

b. Peraturan Pemerintah 1946 No. 5 tentang Pembentukan Mahkamah Tentara Luar Biasa di Serang dan Pamekasan.

c. Peraturan Pemerintah 1946 No. 6 tetang Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa(dicabut berdasarkan Peraturan Pemerintah 1946 No. 11 tentang mencabut peraturan No. 6 tahun 1946 tentang Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa).

3. Mahkamah Tentara lain yang dibentuk pada Tahun 1947, antara lain:

a. Mahkamah Tentara Luar Biasa di Purwakarta, Sukabumi, Sibolga, dan Kotaraja berdasarkan Peraturan Pemerintah 1947 No. 4 (Berita Negara No. 11, 1947).

b. Mahkamah Tentara Semenetera berdasarkan PP No. 22 (Perpu) Tahun 1947 yang intinya untuk sementara, tiap-tiap Pengadilan Negeri untuk daerah hukumnya merangkap menjadi Pengadilan Tentara Luar Biasa yang selanjutnya disebut Mahkamah Tentara Sementara.

c. Tentara Daerah Terpencil berdasarkan PP No. 23, Tahun 1947 ((Berita Negara No. 44, 1947); Opsir tertinggi yang bertanggung jawab atas daerah pertempuran yang terpencil, untuk mana Pengadilan Tentara (Luar Biasa) yang bersangkutan tak dapat menjalankan kewajibannya, diberi hak membentuk suatu Pengadilan Tentara yang selanjutnya disebut Mahkamah Tentara Daerah Terpencil.

Mahkamah Tentara Daerah Terpencil mengadili dalam tingkatan pertama dan penghabisan.(Pasal 1 dan Pasal 7).

4. Pada Tahun 1948, UU No. 7 Tahun 1946 tentang Peraturan Pengadilan Tentara dicabut berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan119 sebagaiman diubah beberapa kali berdasarkan PP No. 49 Tahun 1948, PP No. 61 Tahun 1948, dan PP

119 Pencabutan UU dengan Peraturan Pemerintah didasarkan ketentuan UU No. 30 tahun 1948 tentang pemberian kekuasaan penuh kepada Presiden, Satu-satunya Pasal menyebutkan:

“Selama tiga bulan terhitung mulai tanggal 15 September 1948, kepada Presiden diberikan kekuasaan penuh (pleinpouvoir) untuk menjalankan tindakan-tindakan dan mengadakan peraturan-peraturan dengan menyimpang dari Undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada, guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya yang memuncak.”

No. 74 Tahun 1948 tentang Mengadakan Perubahan dalam Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 37 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Tentara.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1948, Kekuasaan Kehakiman dalam peradilan Ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan Tentara, yaitu:

1. Mahkamah-Tentara;

2. Mahkamah-Tentara-Tinggi;

3. Mahkamah-Tentara-Agung (Pasal 1).

Peradilan Ketentaraan ialah: memeriksa dan memutuskan perkara pidana terhadap kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:

1. seorang yang pada waktu itu adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia;

2. seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit yang dimaksudkan dalam bagian a seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai tentara oleh atau berdasarkan undang-undang;

3. seorang yang tidak termasuk golongan a, b, atau c, tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan Ketentaraan. (Pasal 2);

4. Pengadilan Tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk titel 1 atau titel 2 buku II dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara dan dilakukan dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan pasal 12 Undang-Undang Dasar”. (Pasal 3a PP No. 74 Tahun 1948 tentang Perubahan PP Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Tentara).

5. Pasca agresi Belanda, 19 Desember 1948, dikeluarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 No. 46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk Seluruh Pulau Jawa - Madura. Peraturan tersebut memuat

tentang: (1)Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer; (2)Pengadilan Sipil Pemerintah Militer; (3)Mahkamah Luar Biasa; dan (4) Cara menjalankan Hukuman Penjara.

6. Hukum Materiil peradilan tentara pada masa ini adalah:

a. KUHP (UU No. 1 Tahun 1946)

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara /KUHPT (UU No.

39 Tahun 1947 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (S. 1934 No. 167)

• Nama Wetboek van Militair Strafrecht voor NederlandschIndie (Stbl. 1934 No. 167) diubah menjadi “Wetboek van Militair Strafrecht”. Kitab itu dapat disebut “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara” (Pasal 1)

• Perkataan “Nederland” atau “Nederlandsch-Indie, maka perkataan itu diubah menjadi “Indonesia” dan perkataan

“Nederlandsch (e) (en)” atau “Nederlandsch-Indisch(e) (en)”

atau “Nederlandsch(e) (en) of Nederlandsch-Indisch(e) (en) “ dengan “Indonesisch(e) (en) (Pasal 2)

• Perubahan kata/frasa diatur pada Pasal 3

c. Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara KUHDT (UU No.

40 Tahun 1947 tentang Menyesuaikan Peraturan-Peraturan Hukum Disiplin Tentara (Staatsblad 1934, No. 168) Dengan Keadaan Sekarang; Nama “Wetboek van Krijgstucht voor Nederlandsch-Indie (Stbl. 1934 No. 168) diubah menjadi “Wetboek van Krijgstucht”.

Kitab itu dapat disebut “Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara”

7. Tahun 1950, pada masa berlakunya Konstitusi RIS, peraturan perundang- undangan tentang Peradilan tentang dicabut dan diganti dengan UU No. 16 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan yang ditetapkan sebagai Undang-Undang Federal berdasarkan UU Darurat No. 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan “Undang-Undang Darurat tentang susunan

dan kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan” (Undang-Undang Darurat Nr. 16 Tahun 1950), sebagai Undang-Undang federal.

8. UU No. 7 Tahun 1947: Penyatuan Pengadilan di Bawah Mahkamah Agung.

Pada tahun 1947, dikeluarkan UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan Serta Kekuasaan Mahkamah Agung dan Susunan Kejaksaan Agung Serta Kekuasaan Jaksa Agung. UU No. 7 Tahun 1947 menegaskan kedudukan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Mahkamah Agung belum menjadi puncak kekuasaan kehakiman dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada. Mahkamah Agung masih terlepas kedudukannya dan tidak ada keterkaitan dengan badan-badan pengadilan yang ada pada sebelum Indonesia merdeka yang tetap berlaku berdasarkan pasal II Aturan peralihan Undang-Undang Dasar jo. Pasal 1 Peraturan No. 2.120. Tentang kedudukan Mahkamah Agung dalam sistem kekuasaan Indonesia, Pasal 1 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1947 menentukan bahwa:

1. Mahkamah Agung adalah badan Kehakiman yang tertinggi,

2. Mahkamah Agung berkedudukan di-ibu-kota Republik Indonesia atau di lain tempat yang ditetapkan oleh Presiden, dan

3. Mahkamah Agung terdiri atas satu Ketua, satu Wakil-Ketua beberapa anggautata dan satu panitera yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

4. Jika perlu, Menteri Kehakiman mengangkat beberapa wakil-panitera.121 Ketentuan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1947 ditetapkan pada 27 Februari 1947, tetapi berlaku surut (retroaktif) berdasarkan Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi

“Pasal 1 dari undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.”

120 Baca Penjelasan Umum UU No. 7 Tahun 1947.

121 Dalam Pasal 1 ayat (2) diatur di samping Mahkamah Agung adalah Kejaksaan Agung yang terdiri atas satu Jaksa Agung dan beberapa Jaksa Tinggi, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jika perlu oleh Menteri Kehakiman diangkat beberapa Jaksa lain.

Selain mengatur tentang kedudukan dan Struktur Makamah Agung, UU No.

7 Tahun 1947 juga mengatur tentang pengawasan dan memutus perselisihan kewenangan mengadili pengadilan di bawahnya. Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengawasan disiplin terhadap pengadilan dibawahannya dan memutuskan perselisihan tentang wewenang mengadili.122 Untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku badan kehakiman dan hakim, MA dapat memberikan peringatan, teguran, dan petunjuk, baik dengan surat maupun dengan surat edaran.123

Berkaitan dengan susunan Mahkamah Agung dan badan kekuasaan kehakiman pada masa awal kemerdekaan RI, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan dari Undang-Uundang Dasar jo. Pasal 1 dari Peraturan No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, susunan pengadilan adalah sebagaimana diatur dalam peraturan Hindia Belanda sesudah diubah dengan peraturan-peraturan Jepang, yaitu:

1. Osamu-Seirei tanggal 26 September 1942 tentang peraturan pengadilan Pemerintah Balatentara;

2. Osamu-Seirei tanggal 1 Juli 1943 tentang kekuasaan pengadilan Pemerintah Balatentara; dan

3. Osamu-Seirei tanggal 14 Januari 1944 tentang mengubah susunan pengadilan; dan sebagainya.

Pada masa ini (sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI), susunan pengadilan di Indonesia menggunakan sistem pengadilan yang berlaku pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia. Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat 1 dari Osamu Seirei tanggal 14 Januari 1944 pengawasan atas pengadilan-pengadilan di pulau Jawa dan Madura sebagaimana termaksud dalam Pasal 157 ”Reglement op de Rechterlijke Organisatie” dilakukan oleh “Pengadilan Tinggi” terhadap

”Pengadilan-Pengadilan Pemerintah Balatentara” yang ada dalam daerah kekuasaannya. 124 Akibat aturan tersebut, pengawasan terhadap pengadilan di

122 Repubik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan Serta Kekuasaan Mahkamah Agung dan Susunan Kejaksaan Agung serta Kekuasaan Jaksa Agung, UU No. 7 Tahun 1947.

Penjelasan., Pasal 2 ayat (1).

123 Ibid. Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4)

124 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan Serta Kekuasaan Mahkamah Agung dan Susunan Kejaksaan Agung serta Kekuasaan Jaksa Agung, UU No. 7 Tahun 1947.

Penjelasan.

daerah diserahkan kepada kebijaksanaan tiga badan pengadilan di Jawa yang masing-masing bekerja sebagai badan pengadilan yang tertinggi.125 Di daerah luar tanah Jawa (Sumatera) pun, keadaannya sama dengan itu. Keadaan semacam itu merugikan, baik terhadap persesuaian dalam melakukan keadilan, maupun berhubung dengan tujuan kearah Negara kesatuan.

Sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1947, sistem kekuasaan kehakiman belum ada kesatuan puncak peradilan. Kedudukan Mahkamah Agung masih belum menjadi puncak kekuasaan kehakiman. UU No. 7 Tahun 1947 menjadi dasar penyatuan peradilan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung.

UU No. 7 Tahun 1947 berlaku kurang dari satu tahun pada Juni 1948 dikeluarkan UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan- Badan Kehakiman.

6.a. UU Nomor 23 Tahun 1947: Penghapusan Pengadilan-Raja

Kebijakan penyatuan peradilan kembali dilakukan dengan menghapus pengadilan-pengadilan raja (zelfbestuursrechtspraak) di Jawa dan Sumatera.

Perkara yang semula diputus pengadilan raja diserahkan pada badan peradilan di lingkungan peradilan umum. Pasal 1 UU No 23. Tahun 1947 menyatakan bahwa:

1. Semua Pengadilan-Raja (zelfbestuursrechtspraak) di Jawa dan Sumatera dihapuskan.

2. Kekuasaan mengadili dari pengadilan yang dihapuskan itu pindah kepada badan-badan pengadilan dari Negara Republik Indonesia yang berkuasa menurut peraturan-peraturan tentang susunan pengadilan yang berlaku.

Dasar pemikiran penghapusan pengadilan raja (zelfbestuursrechtspraak), sebagaimana diurakan pada Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 1947 adalah:

“peradilan yang dilakukan dalam seluruh Negara kita atas sekalian para warga negara (termasuk juga yang berdiam di dalam daerah-daerah istimewa) adalah peradilan “atas nama Negara Republik Indonesia”.

125 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan Serta Kekuasaan Mahkamah Agung dan Susunan Kejaksaan Agung serta Kekuasaan Jaksa Agung, UU No. 7 Tahun 1947.

Penjelasan.

Peradilan itu tidak terbatas oleh adanya macam-macam daerah, pun tidak pada tempatnya dipisah-pisah menjadi beberapa “sferen van rechtspraak”;

sedari awal mulanya wajib dilakukan, serta diurus dari Pemerintah Negara pusat sepenuhnya, sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Pasal 24.

Yang sekarang betul pada tempatnya, ialah semata-mata hanya perbatasan yang mengenai jenis hal yang diadili (“zakelijke afbakening”), misalnya:

1. peradilan agama, 2. peradilan militer, dan 3. peradilan administratif.

Dengan demikian, lingkungan-lingkungan peradilan yang bukan menyatakan perbatasan tentang jenis hal yang diadili, tidak pada tempatnya lagi.”

Dari penjelasan UU Nomor 23 Tahun 1947 selain memuat alasan kebijakan penyatuan peradilan di Indonesia, juga menjelaskan bahwa gagasan pembentukan empat lingkungan peradilan (yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan administratif/TUN) sudah muncul sejak tahun 1947. Gagasan pembentukan empat lingkungan peradilan dibantuk secara bertahap. Akan tetapi, berdasarkan UU No. 19 Tahun 1948, badan-badan peradilan agama tidak dimasukkan dalam lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, tetapi kewenangan mengadili peradilan agama menjadi kewenangan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam lingungan peradilan umum.

6.b. UU No. 19 Tahun 1948: Pembentukan Tiga Lingkungan Peradilan dan Forum Previlegiatum

Perubahan penting Sistem peradilan di Indonesia adalah pada saat diundangkannya UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung 126 (mengganti UU No. 7 Tahun 1947). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 mengatur empat hal pokok127, yaitu:

126 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan Serta Kekuasaan Mahkamah Agung

dan Susunan Kejaksaan Agung serta Kekuasaan Jaksa Agung, UU No. 19 Tahun 1948.

127 Baca Andi M. Asrun, Disertasi.

1. Independensi peradilan;128

2. Transparansi proses peradilan dengan keharusan pengucapan putusan hakim dalam sidang terbuka;129

3. Tiga lingkungan peradilan, yaitu (1) Peradilan Urn urn, (2) Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, (3) Peradilan Ketentaraan;130

4. Kekuasaan Kehakiman dalam peradilan umum dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.131

Bertalian dengan independensi peradilan, Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) menetukan bahwa:

1. Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang.

2. Pemegang kekuasaan pemerintahan dilarang campur-tangan dalam urusan kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang- Undang Dasar.

Tentang transparansi proses peradilan Pasal 4 menyebutkan bahwa:

1. Sidang-sidang pemeriksaan badan kehakiman terbuka untuk umum, terkecuali apabila dalam undang-undang ada penetapan lain, atau apabila menurut pendapat hakim dalam suatu perkara ada alasan penting untuk mengadakan sidang tertutup, hal mana serta alasannya harus disebutkan dalam surat catatan sidang.

2. Semua putusan badan kehakiman harus diucapkan dalam sidang terbuka.

Berdasarkan Pasal 6 UU No. 19 Tahun 1948 dibentuk tiga lingkungan peradilan di bawah MA, yaitu:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Tata Usaha Negara; dan 3. Peradilan Ketentaraan.

128 Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948.

129 Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948.

130 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948.

131 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948.

Ketentuan Pasal 6 UU No. 19 Tahun 1948 tidak memasukkan Badan-badan peradilan Agama sebagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Ketentuan ini berbeda dengan penjelasan UU Nomor 23 Tahun 1947 yang menyatakan bahwa sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Pasal 24.

Yang sekarang betul pada tempatnya, ialah semata-mata hanya perbatasan yang mengenai jenis hal yang diadili (“zakelijke afbakening”) misalnya:

1. Peradilan agama, 2. Peradilan militer, dan 3. Peradilan administratif.

Berdasarkan UU No. 19 Tahun 1948, kewenangan peradilan agama menjadi kewenangan badan peradilan umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi). Perkara perdata antara orang Islam yang diperiksa dan diputus menurut hukum menjadi kewenangan peradilan di lingkungan peradilan umum.

Pasal 35 UU No. 19 Tahun 1948 menyebutkan bahwa:

1. Dalam Pengadilan Negeri segala putusan ditetapkan oleh seorang Hakim kecuali dalam hal yang tersebut dalam ayat 2.

2. Perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri atas seorang Hakim yang beragama Islam, sebagai Ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggauta yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.

Pasal 45. UU No. 19 Tahun 1948 menyebutkan bahwa:

Pengadilan Tinggi memutus dalam peradilan tingkat pertama dengan seorang Hakim, dalam peradilan tingkat kedua dengan tiga Hakim, jika mengenai perkara-perkara yang dimaksudkan dalam Pasal 35 ayat (2) tiga Hakim tadi terdiri atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai Ketua, dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggauta yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.

Pasal 53. UU No. 19 Tahun 1948 menyebutkan bahwa:

Mahkamah Agung memutus dengan sedikit-sedikitnya tiga Hakim, jika mengenai perkara-perkara yang dimaksudkan dalam Pasal 35 ayat (2). Hakim- hakim tadi terdiri atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai Ketua dan sedikit-sedikit nya dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggauta yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.

Tentang Lingkungan peradilan umum, susunan badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan, menurut UU No. 19 Tahun 1948 adalah:

1. Pengadilan Negeri;

“Dalam tiap-tiap daerah Kabupaten diadakan satu Pengadilan Negeri atau lebih; jika ada satu Pengadilan Negeri, kedudukannya ialah di ibu kota Kabupaten; jika lebih maka selebihnya berkedudukan di lain kota yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 7 jo Pasal 31 ayat (1)).

2. Pengadilan Tinggi;

Kecuali jika ada penetapan lain dari Menteri Kehakiman, di tiap-tiap provinsi ada satu atau lebih dari satu Pengadilan-Tinggi yang tempat- kedudukannya dan daerah-hukumnya ditetapkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 7 jo Pasal 41).

3. Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung adalah badan kehakiman yang tertinggi, berkedudukan di Ibu Kota Republik Indonesia atau di lain tempat yang ditetapkan oleh Presiden dan terdiri atas beberapa hakim, terhitung satu Ketua Mahkamah Agung dan satu atau lebih Ketua Muda Mahkamah Agung dan dibantu oleh satu panitera, satu Panitera Muda dan beberapa pegawai sebagai Panitera-pengganti (Pasal 7 jo Pasal 50 ayat (1)).

Berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, meski secara yuridis UU No. 19 Tahun 1948 menghendaki diadanya lingkungan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan tetapi pada masa ini belum dilaksanakan. faktor kondisi sosial politik UU No. 19 Tahun 1948 sendiri memberi kemungkinan perkara- perkara Tata-Usaha Pemerintahan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pasal 66 menentukan bahwa jika dengan

undang-undang atau berdasar atas undang-undang tidak ditetapkan badan- badan Kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam soal Tata-Usaha Pemerintahan, Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkatan kedua memeriksa dan memutus perkara-perkara itu.

Selain materi muatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No. 19 Tahun 1948 mengatur kewenangan Mahkamah Agung, yaitu:

1. Melakukan pengawasan;132

2. Memutus pada tingkatan peradilan pertama dan terakhir semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara: a) semua badan kehakiman yang tempat kedudukannya tidak sedaerah hukum sesuatu Pengadilan Tinggi, b) Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi, dan 3) Pengadilan Tinggi dan sesuatu badan Kehakiman dalam daerah hukumnya;133

3. Memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkatan kedua segala perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi dalam peradilan tingkatan pertama dan yang dimintakan ulangan pemeriksaan;134

4. Pemeriksaan kasasi yaitu pembatasan atas putusan badan kehakiman dalam tingkatan peradilan yang terakhir, dan penetapan dan perbuatan badan Kehakiman, dan para Hakim yang bertentangan dengan hukum;135 Kasasi dapat dilakukan dengan alasan apabila:

a. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam melaksanakannya.

b. Badan Kehakiman atau Hakim melampaui batas kekuasaannya.

c. Ada kesalahan dalam menetapkan berkuasa memutus atau tidak berkuasa memutus.

d. Tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut menurut undang-undang.136

5. Memeriksa perkara pidana pejabat melalui forum previlegiatum;137

132 Indonesia, Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan

Kejaksaan. , UU No. 19 Tahun 1948, Pasal 55

133 Ibid.

134 Ibid. Pasal 59.

135 Ibid. Pasal 61.

136 Ibid. Pasal 63. Baca juga Imam Subechi hak Uji Materiel, Jakarta Sinar Gragika.

137 Ibid. Pasal 60 ayat (1)

Berdasarkan Pasal 60, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk memeriksa memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana pejabat yang berhubungan dengan jabatannya yang dikenal dengan Forum Previlegiatum.138 Pasal 60 menentukan bahwa:

Mahkamah Agung pada tingkatan peradilan pertama dan juga terakhir memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana tentang kejahatan dan pelanggaran yang berhubung dengan jabatannya dilakukan oleh:

1. Para Menteri dan Menteri Muda;

2. Para anggauta Dewan Pertimbangan Agung;

3. Ketua dan anggauta Dewan Perwakilan Rakyat Pusat;

4. Para Hakim dan para Jaksa;

5. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;

6. Para Gubernur, Kepala Daerah Provinsi; dan 7. Para Residen, Kepala Daerah Karesidenan.

6. Kekuasaan Kehakiman pada Masa Konstitusi RIS

Pada tanggal 29 Oktober 1949 dalam persidangan di kota Scheveningen, Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan untuk Permusyawaratan dan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) telah menandatangani Piagam Persetujuan dan naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dilampirkan pada Piagam.139 Kerena Delegasi Republik Indonesia telah menyetujui pikiran-pikiran ketata-negaraan yang disusun dalam rancangan Konstitusi Indonesia Serikat, pada 14 Desember 1949, Presiden RI dengan persetujuan Komite Nasional Pusat mengesahkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1949.140 Pada 31 Januari 1950, Konstitusi RIS diumumkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesa Serikat Nomor 48 Tahun 1950 tentang mengumumkan Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia

138 Menurut Kamus Huku, forum previlegiatum adalah pengadilan khusus bagi pejabat yang

melakukan perbuatan pidana; hak khusus bagi pejabat untuk diadili oleh pengadilan khusus.

(Sudarsini, Kamus Hukum, Jakarta, 1992, hlm. 133.

139 Bagian Menimbang UU No 7 Tahun 1949.

140 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia

Serikat, IU No No. 11 Tahun 1949,