• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Pengadian Khusus

BAB II SEJARAH POLITIK PERADILAN

D. Kekuasaan Kehakiman Post Reformasi 1998

5. Pembentukan Pengadian Khusus

Pasal 24C ayat (1) menentukan bahwa :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pasal 24C ayat (2) menentukan bahwa:

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Pada masa berlakunya UU No. 19 Tahun 1964, dibedakan peradilan umum, pengadilan khusus, peradilan khusus. Dan peradilan administrasi/peradilan kepegawaian. Penjelasan Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1964 menyebutkan Peradilan Umum, antara lain pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Sementara itu, Peradilan Khusus terdiri atas Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut “peradilan administratif” dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut “peradilan kepegawaian” dalam pasal 21 Undang-Undang No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian:273

Pada masa berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman digunakan istilah peradilan umum, peradilan khusus, dan pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi). Peradilan Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang (Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan).

Pasca Amandemen UUD 1945, bersamaan dengan dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, penggunaan pengadilan khusus sebagai bentuk pengkhususan dalam empat lingkungan peradilan. Pasal 15 UU No. 4 Ayat (1) Tahun 2004 menyebutkan Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) diuraikan bahwa yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain pengadilan anak, pengadilan niaga,

273 UU No. 19 Tahun 1964, Penjelasan Pasal 7.

pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang baru dalam Pasal 27 ayat (1) dan penjelasannya mengatur hal yang sama dengan UU Kekuasaan lama yaitu UU No. 4 Tahun 2004.

5.a. UU No. 3 Tahun 1997: Pengadilan Anak

Pengadilan anak dibentuk pada tahun 1997 masa pemerintahan Presiden Soeharto dan telah diuraikan pada bagian atas bab ini. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Sidang Pengadilan Anak (Sidang Anak) bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak nakal (Pasal 2, Pasal 3 jo Pasal 21).

Terhadap anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Dalam hubungan ini, pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lama pelaksanaan penahanannya ditentukan sesuai dengan kepentingan anak dan pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang penjatuhan pidananya ditentukan 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Pembedaan perlakuan dan ancaman dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.274

274 Baca Penjelasan Umum, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, UU No. 3 Tahun 1987, LN RI Tahun 1987 Nomor 3, TLN RI Nomor 3713.

5.b. UU No. 4 Tahun 2000: Pembentukan Pengadilan Niaga

Pada tahun Presiden Habibie mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 1998275 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan276 yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang277 (UU Kepailitan).

Perppu No. 1 Tahun 1998 didasarkan pada pertimbangan terjadinya gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar dikalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur. Untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan perusahaan sebagai debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka, dan efektif. Peraturan tentang kepailitan yang masih berlaku yaitu Faillissements- Verordening atau Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan bagi penyelesaian utang-piutang tadi.278

Pada tahun 2000, atas dasar kondisi krisis ekonomi sejak 1998 Perpu No. 1 Tahun 1998 ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No. 4 Tahun 2000.

Dalam UU Kepailitan ini, pada Pasal 280 Bab Ketiga tentang Pengadilan Niaga disebutkan bahwa:

275 Bagian Menimbang, Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undag Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan PERPPU Nomor 1 Tahun 1998, LNRI Tahun1998, No. 87 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3761)

276 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang kepailitan (Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348)

277 Republik Indonesia, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang- Undang. UU No. 4 Tahun 1998 tentang LNRI Tahun 1998 No. 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778)

278 Bagian Menimbang, Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan PERPPU Nomor 1 Tahun 1998, LNRI Tahun1998, No. 87 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3761)

1. Permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam BAB PERTAMA dan BAB KEDUA, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

2. Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.

Untuk pertama kali dengan undang-undang ini, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga selain pada PN Jakarta Pusat, dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Pembentukan Pengadilan Niaga selain pada PN Jakarta Pusat, dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini (Pasal 281). Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan surat Keputusan ketua mahkamah Agung (Pasal 283). Hukum acara yang berlaku pada pengadilan niaga adalah hukum acara hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain dengan Undang-undang (Pasal 284). Terhadap putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan, apabila:

1. Terdapat bukti tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda; atau

2. Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum (Pasal 286).

Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah majelis hakim pada mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga (Pasal 285).

Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348), yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998, sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Presiden Habibie mengeluarkan Keppres No 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Di Semarang.279

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi wilayah Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi wilayah Provinsi yang Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.

Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

5.c. UU No. 26 Tahun 2000: Pembentukan Pengadilan HAM

Pasca reformasi 1998, hak asasi manusia menjadi perhatian penting. MPR Tahun 1999 mengeluarkan ketetapan khusus Ketetapan MPR Nomor XVII/

MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. MPR menegaskan kepada Lembaga- lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat (Pasal 1). MPR juga menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak

279 Republik Indonesia, Keppres tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri di Semarang, Keppres No. 97 Tahun 1999 LNRI Thaun 1999 No. 142

Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 (Pasal 2), serta mengamanatkan pembentukan komisi nasional hak asasi manusia yang ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 4).

Untuk melaksanakan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen lainnya mengenai hak asasi manusia yang disahkan oleh negara Republik Indonesia. Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antarbangsa, dan berdasarkan kondisi yang mendesak untuk menyelesaikan masalah yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, antara lain yang terjadi di wilayah Timor Timur, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 280

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. ada dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di berbagai tempat yang sering kali cenderung berupa tindakan yang bersifat, seperti pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang- wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination), dan menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil serta mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perorangan maupun masyarakat;

280 Penjelasan Umum Perpu 1 Tahun 1999

2. kondisi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 mempunyai dampak yang sangat luas baik nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan menurunnya kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia akibat banyaknya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang perlu segera diatasi; dan

3. tuntutan sebagian reformasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional yang sangat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga harus segera diatasi dan diciptakan suasana yang kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan keamanan harus memperhatikan prinsip- prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa yang beradab.

Dalam proses legislasi 2000, DPR RI menolak Perpu No. 1 Tahun 1999.

DPR dan Presiden mengeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Presiden juga mengeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 mencabut PERPU 1 Tahun 1999.

Pengadilan HAM menurut Pasal 2 UU No. 26 Tahun 2000 merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum. Pengadilan HAM kedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 3). Kewenangan Pengadilan HAM adalah:

1. bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 4).

2. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia (Pasal 5).

3. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan (Pasal 6).

4. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a. kejahatan genosida;

b. kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7).

Pada tahun 2001, dibentuk pengadilan Hak Asasi Manusia, yaitu:

1. berdasarkan Keppres No. 31 Tabun 2001 dibentuk:

a. Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

b. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Surabaya Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

c. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Medan Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Medan meliputi wilayah Provinsi Sumatra Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.

d. Pengadilan Hak Asasi Manusia Pada Pengadilan Negeri Makasar Daerah hukum Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Makassar meliputi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya.

2. berdasarkan Keppres No. 53 Tahun 2001 membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.

Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pembentukan dan pengadaan sarana dan prasarana Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dibebankan pada anggaran Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Pasal 2 dan Pasal 3).

5.d. Pengadilan Tipikor

Peratama kali penghadilan Tipikor dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002, kewenangan pengadilan tipikor berbeda dengan pengadilan khusus lainnya yang memeriksa dan memutus perkara tertentu (seperti pengadilan pajak, pengadilan HAM) atau memeriksa dan memutus subjek hukum tertentu (pengadilan anak). Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi281 menentukan yuridiksi pengadilan khusus tipikor untuk menangani perkara tertentu atau subjek hukum tertentu, namun memeriksa dan memutus perkara yang penuntututannya dilakukan oleh KPK.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden.282

5.e. UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Pajak memegang peran penting dan strategis dalam penerimaan negara, namun pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib Pajak. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya Sengketa Pajak antara Wajib Pajak dan pejabat yang berwenang. Untuk hal tersebut, penyelesaian sengketa pajak yang lebih sederhana. Penyelesaian Sengketa Pajak sebelumnya, dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-Undang

281 Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.

30 Tahun 2002, LN. 137, TLN. 4250.

282 Pasal 54 dan Pasal 55 UU No. 30 Tahun 2002

Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan.283

Penyelesaian Sengketa Pajak harus dilakukan secara adil melalui proses yang cepat, murah, dan sederhana. Undang-undang tentang Pengadilan Pajak ini ditentukan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, masih dimungkinkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa, di samping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus oleh Mahkamah Agung.284

Pengadilan Pajak, menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2002, adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak tentang Sengketa Pajak, Pasal 1 angka 5 UU Nomor 14 Tahun 2002 adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan Peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Yuridiksi pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,285 yaitu:

1. Memeriksa dan memutus Sengketa Pajak;

2. Dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan

283 Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 2002

284 Ibid

285 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, UU No. 14 Tahun 2002, LN No. 27

Tahun 2002, TLN No. 4189

3. Dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya.

Hakim pengadilan pajak diangkat Presiden atas usul Menteri yang disetujui Ketua MA mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain. Sengketa Pajak yang memerlukan keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc (Pasal 8).

Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa: (a) menolak;

(b)mengabulkan sebagian atau seluruhnya; (c) menambah pajak yang harus dibayar; (d) tidak dapat diterima; (e) membetulkan kesalahan tulis dan/

atau kesalahan hitung; dan/atau (f) membatalkan. Terhadap putusan tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau Kasasi. Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima”

yang menyangkut kewenangan/kompetensi. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas gugatan berkenaan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).286

Tentang pembinaan, pada saat UU tentang Pengadilan Pajak dikeluarkan pada tahun 2002, kebijakan tentang pembinaan masih dualisme belum diselaraskan dengan gagasan one roof system di bawah Mahkamah Agung yang sudah dimulai sejak 1999. Pasal 5 UU Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa:

1. Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung.

2. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.

3. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

286 UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 77, Pasal 80, dan Penjelasan Pasal 80 ayat (2)

Tentang eksistensi pengadilan pajak sebagai pengadilan khusus, UU tentang Pengadilan Pajak tidak mengatur secara jelas. Pengadilan pajak sebagai pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara didasarkan pada UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Peradilan Tata Usaha Negara Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Setelah dikeluarkan UU Kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu UU No.

48 Tahun 2009, keberadaan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Dalam Penjelasan Pasal 9A UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan bahwa yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara misalnya pengadilan pajak.

Dalam Penjelasan Pasal 9A ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang 51 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan bahwa Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara misalnya pengadilan pajak.

5.f. Mahkamah Syariyah

Keberadaan Mahkamah Syar’iyah/Peradilan Syar’iyah Provinsi Daerah Istimewa Aceh didasarkan diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).287

287 Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara RI No.

114, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, Pasal 25–26