• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

BAB II SEJARAH POLITIK PERADILAN

C. Era Demokrasi Pancasila Suharto

2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970

2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970: Kekuasaan

merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, namun UU No. 19 Tahun 1964 memberikan wewenang kepada Presiden dalam “beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal Pengadilan”.198

Menurut Oemar Seno Adji,199 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 telah menghadapkan secara diametral posisi pengadilan dengan UUD 1945 karena ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 secara eksplisit bertentangan dengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945 yang menjamin independensi kekuasaan kehakiman.200 Campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman tidak dapat dibenarkan, sekali pun ada prakondisi untuk melakukan tindakan campur tangan tersebut karena hakikat kekuasaan kehakiman adalah merdeka dan terlepas dari pengaruh pengaruh Pemerintah.201

Setidaknya terdapat dua meteri muatan penting dalam UU Nomor 14 Tahun 1970, yaitu (1) penegasan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan (2) kewenangan judicial review atau toetsingsrecht atau sekarang dikenal hak uji materiil (HUM) dari Mahkamah Agung atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Pertama, tentang kekuasaan kehakiman yang medeka, Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 menetukan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang- undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari

198 Ibid. UU Nomor 14 Tahun 1970, Penjelasan Umum

199 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Penerbit Airlangga, 1985), 46.

200 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 menyatakan “Pengadilan adalah tidak bebas dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan pembuat undang-undang.”

201 Oemar Seno Adji, Op.Cit., 47.

dasar-dasar, serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.202

Kedua, Tentang judicial review/toetsingsrecht atau hak uji materiil Mahkamah Agung, UU Nomor 14 Tahun 1970 memberikan kewenangan kepada Mahakmah Agung menguji peraturan-peraturan di bawah undang-undang terhadap perturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan tentang tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Sementara itu, pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.203

Gagasan pengujian peraturan perundang-undangan sesungguhnya sudah menjadi perdebatan pada ahli hukum sejak Tahun 1968. Pada Seminar Hukum Nasional Ke-II di Semarang, tanggal 27–30 Desember 1968, pada

“Menegakkan Kekuasaan Kehakiman yang Bebas” dibahas masalah hak uji materiil. Terdapat beberapa pandangan tentang kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Wewenang hak menguji diserahkan kepada Mahkamah Agung dengan variasi-variasi:

a. hak menguji meliputi seluruh hukum dan perundang-undangan (Tap MPRS dan Peraturan-peraturan yang lebih rendah dari undang- undang),

b. hak menguji ini terbatas pada undang-undang dan peraturan yang lebih rendah, dan

c. hak menguji ini hanya terbatas pada peraturan-poeraturan yang lebih rendah dari undang-undang.

2. Wewenang menjadi wewenang MPR

3. UUD atau setidaknya suatu ketetapan MPR yang memberikan hak menguji pada organ yang ditunjuknya.

202 UU Nomor 14 Tahun 1970, Penjelasan Pasal 1.

203 UU Nomor 14 Tahun 1970, Penjelasan Pasal 26

4. Hak menguji undang-undang merupakan wawanang para hakim untuk mengesampingkan undang-undang melalui perkara yang sedang dihadapinya karena dianggapnya bertentangan dengan UUD

5. Khusus mengenai ketetapan MPR ada yang mengusulkan dan menyatakan pendapatnya dengan Pembukaan serta UUD 1945 atau tidak.204

Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkmah Agung diberi kewenangan judicial review meski hanya untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang. Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan:

1. Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturanperaturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Alasan pemberian hak menguji peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Agung hanya menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD adalah karena UUD 945 tidak mengatur tentang hak uji materiil undang-undang terhadap UUD. Karena hal tersebut maka UU kekuasaan kehakiman tidak dapat mengatur hak menguji undang- undang terhadap UUD. Hak menguji tersebut apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya merupakan ketentuan Konstitutionil dan MPR (S) hingga sekarang tidak menetapkan hak menguji oleh Mahkamah Agung.205

Berdasarkan penjelasan Pasal 26 UU Nomor 14 Tahun 1970 di atas dapat ditegaskan bahwa kehendak adanya judicial review undang-undang terhadap UUD sudah muncuk sejak lama. Gagasan judicial review ini direalisasikan setelah dilakukan amandeman UUD 1945 (UUD NRI Tahun 1945. Pada

204 Sri Sumantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni: 1982), Hlm. 1–4.

Baca juga Imam Subechi, Hak Uji Materiil, Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hlm

205 UU Nomor 14 Tahun 1970, Penjelasan Pasal 26.

tahun 2003, dikeluarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi206 dan kuatkan dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman207 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.208

Berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, UU Nomor 14 Tahun 1970 mengatur sebagai berikut:

1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

Peradilan Umum; Peradilan Agama; Peradilan Militer; Peradilan Tata Usaha Negara. Pada masing-masing lingkungan, dapat dibentuk pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) atau peradilan khusus dengan undang-undang.

Peradilan Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai, baik perkara perdata maupun perkara pidana.

Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak- anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang.

(Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan).

2. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi, melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang, dan memeriksa tingkat kasasi terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung (Pasal 10).

206 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LNRI Tahun 2003 Nomor 98, TLN RI Nomor 4316

207 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 4 Tahun 2004, LN RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN RI Nomor 4358

208 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009, LN RI Tahun 2009 Nomor 158, TLN RI Nomor 5076

3. Organisatoris, administratif, dan finansil:

- Organisatoris, administratif, dan finansial Badan-badan peradilan berada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.

- Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan tersendiri.

4. Peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan Negara. Selain peradilan Negara tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara.

Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan.

Penegasan peradilan adalah Peradilan Negara, dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan-peradilan Swapradja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, tetapi hanya akan mengalihkan perkembangan dan penetapan hukum itu kepada Peradilan-peradilan Negara. (Pasal 3 dan Penjelasan, serta Penjelasan Umum angka 7)

5. Hubungan Pengadilan dengan Lembaga Negara Lainnya

a. Pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasihat- nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta (Pasal 25).

b. Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang- undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi (Hak uji materiil). Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (Pasal 26).

c. Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara (Pasal 31).

6. Asas-asas peradilan

a. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

b. Peradilan bebas dan mandiri, segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar.

c. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang.

d. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 14).

e. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat (Pasal 27).

f. Tiada seorang pun dapat dihadapkan di depan Pengadilan selama daripada yang ditentukan baginya oleh undang-undang (Pasal 6).

g. Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung- jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya (Pasal 6).

h. Tiada seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 7).

i. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 8).

j. hak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 9).

7. Hak tersangka dan terdakwa

a. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili perkaranya. Hak ingkar ialah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan-keberatan yang disertai dengan alasan- alasan terhadap seorang Hakim yang akan mengadili perkaranya (Pasal 28).

b. Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum (Pasal 35).

c. Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasehat Hukum (Pasal 36).