• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuasaan Kehakiman Pasca Masa Dekrit 1959

BAB II SEJARAH POLITIK PERADILAN

B. Era Demokrasi Parlemen dan Demokrasi

8. Kekuasaan Kehakiman Pasca Masa Dekrit 1959

3. Dalam hal tertentu putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‘iyah dapat dijalankan menurut aturan-aturan menjalankan keputusan sipil Pengadilan Negeri.

kesepakatan, Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Akan tetapi, setelah melakukan tiga kali pemungutan suara hasilnya tidak memenuhi kuoro atau usulan kembali ke UUD 1945 tidak didukung oleh ¾. Karena kondisi demikian, Ketua Rapat Mr. Wilopo tidak melanjutkan pemungutan suara dan Sidang Pleno diakhiri selanjutnya dalam waktu reses dilakukan perundingan dengan Pemerintah untuk meninnjau kelandjutan usaha menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar.167

Dinamika politik pasca Pemilu 1955 (tahun 1955–1959) berujung pada dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 (Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959) tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945. 168 Isi selengkapnya Dekrit Presiden adalah sebagai berikut:

KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 150 TAHUN 1959

TENTANG

KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG.

Dengan ini menyatakan dengan khidmat:

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang- Undang Dasar 1945 yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya;

167 Konstituante melaksanakan pemungutan suara pada hari Sabtu, 30 Mei 1959 yang hasil pemungutan suara adalah 269 suara setuju kembali ke UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Karena tidak memenui quorum, dilakukan pemungutan ulang, Pada pemungutan suara ke-2 hasilnya adlah setuju kembali ke UUD 1945 sebanyak 264 suara dan 204 suara menyatakan tidak setuju.Pemungutan suara ke-3 perolehan suaranya adalah 263 suara setuju kembali ke UUD 1945, sedangkan 203 suara tidak setuju. Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun 1959, Djitid III, Sidang Ke-I , RAPAT Ke-16 Sampai Ke-27, hlm. 1102, hlm. 1114.

168 Dekrit Presiden, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959 tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945.  LNRI Tahun 1959 Nomor 75

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas;

Kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat- singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat Indonesia:

Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, SOEKARNO Berdasarkan Dekrit Presiden 1959, Konstituante bubar dan UUD 1945 sebagai konstitusi dan menjadi landasan berbangsa dan bernegara. untuk mengganti Konstituante, Pada 22 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan 4 (empat) paket Penetapan Presiden, yaitu:

1. Penetapan Presiden Republik Indonesia (Penpres) No. 1 Tahun 1959 tentang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

2. Penpres No. 2 Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

3. Penpres No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPA Sementara).

4. Penpres No. 4 Tahun 1959 tentang Menyesuaikan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1958 Tentang Dewan Perancang Nasional (Dapernas).

Tentang DPR, dalam hal DPR belum tersusun menurut undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 maka DPR yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953, menjalankan - tugas DPR menurut Undang-Undang Dasar 1945.169

Tentang MPRS, Pasal 1 Penpres No. 1 Tahun 1959 menyatakan bahwa: MPRS terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dan wakil- wakil daerah dan golongan seperti dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (1). 170 Anggota DPR yang dimaksud adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1959 yaitu DPR Dewan Perwakilan Rakyat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953.

169 Republik Indonesia, Penetapan Presiden Republik Indonesia tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Penpres No. 1 Tahun 1959 Lembaran-Negara Tahun 1959 No. 76, TLN NO. 1815.

Pasal 1

170 Dasar dikeluarkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1959 tentang MPRS adalah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dengan tegas memerintahkan supaya diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat sekarang ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.

Bentuk yuridis yang dipergunakan untuk menyusun Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ialah Penetapan Presiden. Penetapan Presiden ialah Peraturan Presiden sebelum adanya Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan in concrete dalam rangka pelaksanaan dekrit presiden republik indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959. Tindakan yang dilakukan dengan Penetapan Presiden itu akan dipertanggung- jawabkan hanya kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya. Baca Republik Indonesia, Penetapan Presiden Republik Indonesia tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, PENPRES Nomor 2 Tahun 1959 Lembaran- Negara Tahun 1959 No. 77, TLN NO. 1816. Penjelasan Umum

Pada 17 Agustus 1960 Presdien Soekaro mengeluarkan dua Kepres pembubaran partai politik yaitu Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 Pembubaran Partai Politik Masyumi,171 Keputusan Presiden tentang Pembubaran Partai Sosialis Indonesia172, Termasuk Bagian/Cabang/Ranting di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, Kepres Nomor 201 Tahun 1960 | tanggal penetapan 17 Agustus 1960.

8.b. TAP MPRS legitimasi Absolutisme Kekuasaan Soekarno

Berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia (Penpres) No. 1 Tahun 1959 tentang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Penpres No. 2 Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dibentuk MPRS baru yang diketuai oleh Chairul Shaleh. MPRS bentukan Soekarno ini menghasilkan beberapa ketetapan MPRS yang melegitimasi ide-ide dan kebijakan Presiden Soekarno. Beberapa kebijakan terbuat antara lain:

1. Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 19 November 1960 tentang “Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada haluan Negara”

2. Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tanggal 19 November 1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961–1969.

3. Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 : Bung Karno Presiden Seumur Hidup Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 dan Ketetapan MPRS No. II/

MPRS/1960 merupakan pengesahan pelaksanaan Doktrin Manipol- Usdek- RE So Pim yang digagas Presiden Soekarno. Terdapat beberapa dokumen yang dijadikan landasan pembangunan masa pemerintahan Presiden Soekoarno pada tahun 1959–1965, yaitu:

4. Demokrasi Terpimpin dan Ajakan Kembali Ke UUD 1945 (Amanat Presiden Soekarno yang disampaikan pada 22 Juli 1959 di depan Konstituante)”

171 Keputusan Presiden tentang Pembubaran Partai Politik Masyumi, Termasuk Bagian/Cabang, Ranting di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960 | tanggal penetapan 17 Agustus 1960

172 Keputusan Presiden tentang Pembubaran Partai Sosialis Indonesia, Termasuk Bagian/

Cabang/Ranting di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, Kepres Nomor 201 Tahun 1960 | tanggal penetapan 17 Agustus 1960

5. Manifesto Politik yang terdiri atas:

a. Penemuan Kembali Revolusi Kita ((the rediscovery of our revolution) - Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 (Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959).

b. Pembangunan Semesta Berencana (Amanat Presiden pada Sidang Pleno pertama Depernas mengenai Pembangunan Semesta Berencana pada tanggal 28 Agustus 1959 yang diucapkan dan yang tertulis).

c. Djalannja Revolusi Kita (Djarek) - Pedoman Pertama Pelaksanaan Manifesto Politik (Amanat Presiden Republik Indonesia Pada Hari Proklamasi 17 Agustus 1960.

d. Membangun Dunia Kembali (pidato Presiden Soekarno di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960).

e. Amanat Negara yang diucapkan oleh Presiden pada Pembukaan Sidang Pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada hari Pahlawan 10 November 1960.

f. Pedoman Ketiga Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia RE-SO-PIM (Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional) Pidato Presiden Republik Indonesia pada tangga 17 Agustus 1961.

Dokrtin Manipol - Usdek - RE-SO-PIM menjadi pedoman pembangunan Indonesia termasuk Penataan Kekuasaan Kehakiman salah satu subtansi penting dalam doktrin Manipol Usdek adalah:

1. “Retooling for the future”, yaitu mengganti semua alat kelengkapan negara yang tidak sejalan dengan semangat revolusi.

Retooling itu berarti mengganti sarana-sarana, mengganti alat-alat dan aparatur-apparatur yang tidak sesuai lagi dengan pikiran Demokrasi Terpimpin dengan sarana-sarana baru serta dengan alat-alat dan apparatur- aparatur baru yang lebih sesuai dengan outlook baru. Retooling berarti

juga menghemat segala sarana-sarana dan alat-alat yang masih dapat dipergunakan, asal saja alat-alat itu masih mungkin diperbaiki dan dipertajam kembali.173

2. Semua alat kelengkaan negara adalah alat revolusi.

Menurut Soekarno, tidak hanya lembaga negara yang menjadi alat revosuli yang dapat dilakukan retooling, tetapi UUD dan bahkan negara sendiri adalah alat revoslusi. Pernyataan Soekarno demikian diungkapkan dalam Pidato pada Pembukaan Sidang Pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada hari Pahlawan 10 November 1960 yang menyatakan:

Meskipun lembaga-lembaga ini dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar 45, toh saja berkata lembaga-lembaga ini sekadar alat Revolusi, bahkan Undang-Undang Dasar 45 adalah alat Revolusi Saudara-Saudara, bahkan Negara adalah alat Revolusi...”174

Doktrin Manipol, USDEK, serta RE-So-Pim menjadi panduan penataan dan pembentukan lembaga negara termasuk penataan kekuasaan kehakiman dan badan-badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman adalah alat revolusi yang dapat dikenakan kebijakan retooling.

8.c. UU No. 19 Tahun 1964: Kekuasaan Kehakiman Sebagai Alat Revolusi

Dampak dari Kebijakan politik Demokrasi Terpimpin dan Manipol USDEK tidak hanya retool lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga berdampak pada keberadaan kekuasaan kehakiman. Dalam doktrin Demokrasi Terpimpin dan MANIPOL USDEK dalam Pidato berjudul

“Penemuan Kembali Revolusi Kita (the rediscovery of our revolution) pada tangal 17 Agustus 1959, Soekarno tidak secara eksplisit untuk melakukan retool dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.

173 Baca Kementerian Penerangan , “Penemuan Kembali Revolusi Kita((the rediscovery of our revolution) “- Pidato Soekarno: Republik Indonesia 17 Agustus 1959, Djakarta, Percetakan Negara 1959, hlm 23–24 Pidato Presiden yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita((the rediscovery of our revolution) dikenal dengan Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 dan ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960 tentang Garis-garis Besar Daripada Haluan Negara. Dirinci dalam Keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang Perintjian Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 No. 3 /Kpls/Sd/

II/59),

174 Amanat Negara yang diucapkan oleh Presiden pada Pembukaan Sidang Pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada hari Pahlawan 10 Nopember 1960;

Dalam Pidato berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (the rediscovery of our revolution) tersebut, Soekarno mengjelaskan “retooling for the future” yaitu retooling semua alat-alat perjuangan dan konsolidasi setelah retooled. Dalam hal ini Soekarno mengatakan:

“...Dan tudjuan kita djangka-pandjang ialah: masjarakat jang adil dan makmur, melenjapkan imperialisme-di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian-dunia jang kekal dan abadi. Maka untuk menanggulangi segala mas’alah-mas’alah berhubung dengan tudjuan- tudjuan djangka-pendek dan djangka-pandjang tersebut, njatalah kita ta’

dapat mempergunakan sistem jang sudah-sudah dan alat-alat (“tools”) jang sudah-sudah. Sistem liberalisme harus kita buang djauh-djauh, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin harus kita tempatkan sebagai gantinja. Susunan peralatan jang ternjata ta’ efisien dulu itu, harus kita bongkar. kita ganti dengan susunan peralatan jang baru. Ordening baru dan herordenitig baru harus kita adakan, agar demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin dapat berdjalan. Inilah arti dan isi perkataanku mengenai “retooling for the future”, jang tempo hari saja utjapkan dimuka Dewan Perwakilan Rakjat.

Retooling daripada semua alat-alat perdjoangan! Dan Konsolidasi daripada semua lalat-alat perdjoangan sesudah retooled!

Retooling badan eksekutif, jaitu Pemerintah, kepegawaian dan lain sebagainja, vcrtikal dan horizontal.

Retooling badan legislatif, jaitu D.P.R.

Retooling semua alat-alat-kekuasaan Negara, — Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Polisi.

Retooling-alat-alat produksi dan alat-alat distribusi.

Retooling organisasi-organisasi masjarakat, — partai-partai politik, badan- badan sosial. badan-badan ekonomi.

Ja, djaga-djagalah, — semuanja akan retool, semuanja akan diordening dan herordening. dan memang ada jang sedang di-retool.

Sekali lagi; retooling disemua lapangan! Dan apakah makna dari kata retooling itu? Retooling itu berarti mengganti sarana-sarana, mengganti alat-alat dan aparatur-aparatur jang tidak sesuai lagi dengan pikiran Demokrasi Terpimpin, dengan sarana-sarana baru, dengan alat-alat dan aparatur-aparatur baru, jang lebih sesuai dengan outlook baru. Retooling berarti djuga menghemat segala sarana-sarana dan alat-alat jang masih dapat dipergunakan, asal sadja alat-alat itu masih mungkin diperbaiki dan dipertadjam kembali.175

Praktiknya, doktrin demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek berdampak pada intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasan kehakiman. Secara struktural ketatanegaraan, kedudukan Ketua Mahkamah Agung pada masa itu sebagai Penasihat Presiden yang berpangkat Menteri. Kedudukan Ketua Mahakamah Agung sebagai pejabat dengan pangkat Menteri didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 167 Tahun 1959 tentang Pengangkatan Ketua Mahkamah Agung Mr. Wiryono Projodikoro Menjadi Penasehat Hukum Presiden Republik Indonesia dengan Pangkat Menteri.

Seperti pada uraian sebelumnya, kekuasaan kehakiman sebagai alat kekuasaan dalam arti sebagai alat revolusi masuk dalam lingkup kebijakan Manipol Usdek ditegaskan dalam Pidato Soekarno pada Pembukaan Sidang Pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada hari Pahlawan 10 November 1960 yang intinya adalah lembaga-lembaga negara meski dicantumkan di dalam UUD 1945 adalah alat Revolusi, bahkan UUD 1945 dan Negara adalah alat Revolusi.176

Intervensi Kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman secara eksplisit dituangkan dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU No. 19 Tahun 1964 dibuat untuk

175 Baca Kementerian Penerangan, “Penemuan Kembali Revolusi Kita((the rediscovery of our revolution) “- Pidato Soekarno: Republik Indonesia 17 Agustus 1959, Djakarta, Percetakan Negara 1959, hlm 23–24 Pidato Presiden yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (the rediscovery of our revolution) dikenal dengan Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 dan ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960 tentang Garis-garis Besar Daripada Haluan Negara. Dirinci dalam Keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang Perintjian Manifesto Politik Republik Indonesia 17 Agustus 1959 No. 3 /Kpls/Sd/

II/59),

176 Penemuan Kembali Revolusi Kita (the rediscovery of our revolution) “- Pidato Soekarno:

Republik Indonesia 17 Agustus 1959, Djakarta, Percetakan Negara 1959

melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar sesuai dengan Pancasila sebagai dasar Negara, alat Revolusi dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Haluan Negara.177 Kedudukan kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai alat revolusi. 178

Dalam doktrin MANIPOL/USDEK, sistem ketatanegaraan menolak trias politica. Indonesia berada dalam Revolusi dan mempersatukan segala tenaga progresif termasuk badan-badan dan alat-alat Negara sebagai alat Revolusi.

Berhubung dengan itu Trias Politica tidak mempunyai tempat sama sekali dalam Hukum Nasional Indonesia. Doktrin MANIPOL/USDEK memberikan kebebasan pada Presiden/Pemimpin Besar Revolusi untuk turun atau campur tangan dalam pengadilan.179

Pasal 3 UU No. 19 Tahun 1964 menentukan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat Revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat Sosialis Indonesia. Dalam Penjelasan Pasal 3 disebutkan bahwa:

Ini adalah sendi peradilan. Di sini terlihat dengan jelas hasrat Pemerintah untuk memupuk dan membina kepribadian pengadilan. Pengadilan mengadili menurut hukum yang dijalankannya dengan kesadaran bahwa hukum adalah landasan dan alat Negara dan di mana Negara ada di dalam Revolusi menjadi alat Revolusi yang memberi Pengayoman agar cita-cita luhur Bangsa tercapai dan terpelihara dan bahwa sifat-sifat hukum adalah berakar pada kepribadian Bangsa, serta dengan kesadaran bahwa tugas Hakim ialah dengan bertanggung jawab sepenuhnya kepada negara dan Revolusi turut serta membangun dan menegakkan masyarakat adil dan makmur yang berkepribadian Pancasila menurut garis-garis besar haluan Negara.180

Tentang hubungan pengadilan dan pemerintah, Pasal 19 dan Pasal 20 menegaskan bahwa pengadilan dan hakim sebagai alat revolusi dan tidak bebas dari pengaruh eksekutif. Dalam penjelasan Pasal

177 Indonesia, UU No. 19 Tahun 1964, Bagian Menimbang.

178 Pasal 20 ayat (1) meyebutkan bahwa Hakim sebagai alat Revolusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.

179 Baca UU No. 19 Tahun 1964 Penjelasan umum

180 Ibid Penjelsan Pasal 3

20 ayat (1) menerangkan bahwa Hakim adalah alat Revolusi wajib mengenal Revolusi dan memihak kepada Revolusi dan kebenaran.181 Pasal 19 menentukan bahwa “Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.” Dalam Penjelasan Pasal 19 secara tegas disebutkan bawah Pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pengadilan sebagai alat Revolusi. Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau campur tangan dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana karena adanya kepentingan-kepentingan Negara dan Bangsa yang lebih besar. Syaratnya ialah apabila kehormatan Negara dan Bangsa yang sangat mendesak, memerlukan turun atau campur tangan Presiden. Dalam keadaan yang sangat mendesak, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi diberi wewenang untuk turun atau campur tangan.182

Secara umum Politik hukum kekuasan kehakiman menurut UU No. 19 Tahun 1964 adalah sebagai berikut:

1. Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan Hukum yang mempunyai fungsi Pengayoman.

2. Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat Revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat Sosialis Indonesia. Hukum adalah landasan dan alat Negara dan di mana Negara ada di dalam Revolusi menjadi alat Revolusi (Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3).

3. Asas Peradilan

a. Peradilan dilakukan dengan sederhana, murah, dan cepat (Pasal 2).

b. Tiada seorang dapat dihadapkan di depan pengadilan selain ditentukan baginya oleh undang-undang (Pasal 4).

181 Penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 menerangkan bahwa Hakim adalah alat Revolusi. Sebagai alat Revolusi ia wajib mengenal Revolusi. Untuk mengenal Revolusi, ia tidak boleh memisahkan atau mengasingkan diri dari masyarakat. Ia tidak boleh takut bahwa ia akan dituduh memihak. Ia memang memihak, namun memihak kepada Revolusi dan kebenaran. Hanya dengan terjun secara aktif dalam masyarakat, dengan aktif ikut serta dalam pergolakan masyarakat, dengan pula ikut serta membangun masyarakat yang adil dan makmur, ia akan mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan keadilan rakyat.

Dengan demikian, ia akan dapat menggali nilai-nilai hukum dan dengan demikian pula ia akan dapat menjalankan fungsi hukum sebagai pengayoman dengan sempurna.

182 UU No. 19 Tahun 1964 Penjelasan Pasal 19

c. Tiada seorang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan berdasarkan alat buktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas (Pasal 4).

d. Pengadilan diselenggarakan secara cepat, sederhana, dan murah (Pasal 4).

e. Tiada seorang jua pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dan sesuai undang-undang (Pasal 4).

f. Berlaku asas Praduga tak bersalah sebelum dijatuhi putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 5).

g. Seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum, berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 5).

h. Asas in absenstia Pengadilan dapat memeriksa dan memutus perkara di luar hadirnya tertuduh menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang (Pasal 8).

i. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memberikan putusan hakim wajib mencari dan menemukan hukum. Hakim dianggap mengenal hukum. Karena itu, ia tidak boleh menolak memberi keadilan (Pasal 10 dan penjelasan).

j. Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum (Pasal 12).

k. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat (Pasal 20).

l. Tertuduh mempunyai hak ingkar. Yang dimaksudkan dengan “hak ingkar” adalah hak seorang tertuduh untuk menolak diadili oleh seorang hakim (Pasal 20 dan Penjeasannya).

m. Hak setiap orang yang mempunyai perkara untuk memperoleh bantuan hukum (Pasal 26).

4. Kekuasaan Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 7):

Pasal 7 UU No 19 Tahun 1964 memaknai Peradilan Agama dan Peradilan Militer sebagai peradilan khusus, sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara adalah “peradilan administratif”. Hal demikian ditega skan dalam Penjelasan Pasal 7 yang menyebutkan bahwa UU No. 19 Tahun 1964 membedakan Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Sementara itu, Peradilan Khusus terdiri atas Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut

“peradilan administratif” dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut “peradilan kepegawaian” dalam pasal 21 Undang-Undang No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian.

(Penjelasan Pasal 7):183

a. Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan (Pasal 7):

b. Peradilan-peradilan secara teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, namun organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata.

c. Hubungan Pengadilan dan Pemerintah:

183 UU No. 19 Tahun 1964, Penjelasan Pasal 7.