• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Pengembangan Wilayah Dan Agropolitan

KAJIAN PUSTAKA & TEORI

2.3. Keterkaitan Pengembangan Wilayah Dan Agropolitan

pusat dengan aktivitas kegiatan didominasi oleh basis pertanian dan perikanan dan kondisi wilayah yang seringkali terisolasi dari akses pasar dan infrastruktur yang memadai; Fase Dominasi Wilayah Inti, yaitu fase pengembangan wilayah pusat dengan spesialisasi industrial dan urbanisasi, dengan wilayah pinggiran bergantung pada aktivitas di wilayah pusat dan dilakukan eksploitasi kegiatan di wilayah pinggiran (Glasson, 1974). Selanjutnya, pola interaksi Core-Periphery mulai terbentuk, dengan ciri wilayah inti semakin kuat dan dihubungkan dengan wilayah pinggiran melalui infrastruktur dan aksesibilitas yang memadai, tetapi ketimpangan masih terjadi karena berbagai kebijakan masih bergantung pada aktivitas di wilayah inti. Fase terakhir yaitu integrasi wilayah dengan dicirikan pada wilayah pinggiran yang mulai berkembang dengan aktivitasnya sendiri dan mulai mengurangi ketergantungan pada aktivitas wilayah inti. Hal ini juga didukung dengan diversifikasi ekonomi yang terjadi, dimana salah satunya yaitu mulai masuknya investasi dan perwujudan pusat pertumbuhan baru dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal yang ada di wilayah tersebut.

mewujudkan pemerataan pembangunan di suatu wilayah (Boettiger et al., 2017).

Beberapa negara lain, seperti negara yang tergabung dalam Uni Eropa, sudah melakukan upaya pengembangan sektor pertanian atau agropolitan melalui pengintegrasian kegiatan pertanian atau agropolitan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satu faktor pendorong dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan, para negara di Uni Eropa sepakat bahwa sektor pertanian menjadi salah satu faktor pendorong yang strategis. Hal ini merujuk pada salah satu kontribusi sektor pertanian atau agropolitan dalam memastikan ketahanan pangan dalam upaya peningkatan sistem pangan berkelanjutan yang ada di Uni Eropa (Shvets et al., 2023). Berbagai upaya juga telah dilakukan dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan dari sektor pertanian atau pengembangan kawasan agropolitan, yaitu dengan penetapan pilar spesialisasi, dimana pilar ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan berbagai produk dan sistem pertanian yang ada di negara Uni Eropa, yang diklasifikasikan berdasarkan produktivitas serta komoditas sektor pertanian apa saja yang menjadi baiss dengan melibatkan aspek inovasi dan teknologi terbarukan dalam mendukung perwujudan tujuan pembangunan berkelanjutan di negara Uni Eropa (Meyer, 2020).

Konsep pengembangan kawasan agropolitan pertama kali diperkenalkan oleh John Friedmann dan Mike Douglass pada tahun 1975 sebagai strategi untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Istilah "agropolitan" berasal dari kata "agro" yang berarti pertanian dan "politan"

yang berarti kota, sehingga secara harfiah berarti "kota pertanian". Konsep ini menekankan pentingnya integrasi antara kegiatan pertanian dan fungsi perkotaan di wilayah perdesaan (Douglas, dalam Hutagalung, 2004). Selanjutnya, Friedmann dan Douglass menyarankan pendekatan pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 hingga 150.000 orang.

Tujuannya adalah menciptakan "kota di ladang" dengan menyediakan berbagai layanan perkotaan di kawasan perdesaan, sehingga masyarakat setempat tidak perlu pergi ke kota untuk memenuhi kebutuhan mereka. Layanan tersebut meliputi sarana produksi seperti pupuk, bibit, dan peralatan pertanian; sarana penunjang produksi seperti lembaga keuangan dan koperasi; serta sarana pemasaran seperti pasar dan transportasi (Friedmann & Douglas 1976, dalam Lasmono, 2021). Dengan

demikian, diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan melalui pengembangan sistem agribisnis yang terintegrasi.

Gambar 2.3 Karakteristik Kawasan Agropolitan Menurut Teori Pertanian Sumber: Friedmann & Douglas (1966); Data Sekunder

Secara kontinu, Friedmann dan Douglass (1976, dalam Febrianti et al, 2018) menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan memerlukan beberapa terminasi kondisi meliputi:

1. Mengadaptasi gaya hidup perkotaan di desa tanpa mendorong urbanisasi, dengan investasi yang mengubah desa menjadi agropolis.

2. Memperluas jaringan sosial, ekonomi, dan politik desa hingga melampaui batas wilayahnya, membentuk distrik agropolitan.

3. Mengurangi kesenjangan sosial dalam pembangunan dengan menjaga kesatuan keluarga, rasa aman, dan kepuasan sosial.

4. Menyeimbangkan pendapatan desa dan kota melalui peningkatan lapangan kerja serta integrasi sektor pertanian dan non-pertanian.

5. Mengoptimalkan tenaga kerja untuk mengembangkan sumber daya alam, meningkatkan hasil pertanian, serta membangun infrastruktur dan layanan desa.

6. Menghubungkan distrik agropolitan dalam jaringan regional melalui pembangunan infrastruktur dan distribusi layanan yang menunjang tenaga kerja lebih luas.

7. Mewujudkan pemerintahan lokal yang mandiri dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan serta memadukan kearifan lokal dengan ilmu pengetahuan modern.

8. Menyediakan pendanaan melalui investasi tabungan lokal, sistem kerja pengganti pajak, alokasi dana dari kota dan industri, serta perbaikan nilai tukar yang lebih menguntungkan petani.

Tujuan utama pengembangan kawasan agropolitan adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan antara desa dan kota (Iqbal, 2009). Hal ini diwujudkan dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berbasis kerakyatan, dan terdesentralisasi.

Implementasi konsep agropolitan di Indonesia telah diterapkan di berbagai daerah, termasuk di Jawa Tengah. Namun, beberapa tantangan masih dihadapi, seperti kurangnya keterlibatan masyarakat, dukungan pemerintah daerah yang belum optimal, dan keterbatasan infrastruktur pendukung (Trihantono, 2014). Oleh karena itu, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Pengembangan agropolitan tidak hanya dibidang atau dalam satu sistem tertentu saja, tetapi pengembangan kawasan agropolitan juga harus disesuaikan dengan sistem pertanian hulu ke hilir, pengembangan infrastruktur serta jasa dan kegiatan atau aktivitas lainnya (Lasmono & Tihana Wati, 2021).

Selanjutnya, Dalam proses pengembangan dan pembangunan wilayah, integrasi wilayah secara spasial dan fungsional sangat penting dilakukan. Hal ini merujuk pada berbagai kegiatan yang akan difokuskan dalam sebuah pengembangan wilayah. Salah satu negara yang menganut definisi dan pemahaman ini yaitu negara Swiss. Swiss dengan berbagai macam potensi kegiatan agrikulturalnya membuat beberapa sektor, khususnya sektor pertanian menjadi penting dalam pembangunan di negara tersebut (Schermer, 2003). Pembangunan wilayah berdasarkan kegiatan agrikultural di Swiss ini juga didasarkan dalam Rencana Aksi Pertanian Organik Uni Eropa, yang didefinisikan sebagai pengembangan wilayah dengan mengintegrasikan petani, masyarakat, dan pelaku usaha kegiatan pertanian untuk terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumber daya lokal yang berkelanjutan (Groier et al., 2008). Perkembangan kawasan agrikultural bisa ditunjukkan, dalam hal ini di beberapa wilayah eropa, dengan berubahnya kawasan agrikultural yang dirancang khusus sebagai bentuk integrasi

dan interkoneksi antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan yang ditunjang dengan strategi perencanaan regional, sehingga memicu adanya pengembangan wilayah yang berjalan secara intens dan masif (Kelly, 2015). Salah satu kota yang menerapkan hal tersebut yaitu Kota Touluse di Prancis. Kota Touluse merupakan salah satu kota di Eropa yang memiliki peningkatan minat masyarakat terhadap peran petani di negara maju. Sistem pertanian yang diusung juga menggunakan sistem pertanian multifungsi, yang berfungsi untuk beradaptasi dengan kendala dan peluang yang ada disekitar wilayah kota Touluse sebagai faktor utama penunjang pengembangan kawasan agrikultur di Kota Touluse (Duvernoy et al., 2018). Dalam proses pengembangan kawasan agrikultural di Kota Touluse, perlu diperhatikan beberapa faktor, mulai dari perubahan konteks sosial ekonomi yang dinamis, interaksi antar tata kelola lingkup lokal, hingga pemeliharaan sistem pertanian berkelanjutan dengan menghubungkan dan mengaitkan dengan interaksi dan interkoneksi fungsional wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan (Galli et al., 2010).