• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modus Operandi Korupsi dalam Pengadaan Barang/

Dalam dokumen pengadaan barang (Halaman 149-155)

BAB 2 LANDASAN TEORI

E. Tindak Pidana Korupsi

3. Modus Operandi Korupsi dalam Pengadaan Barang/

tidak; illegal corruption misalnya penjelasan dalam pengadaan barang/jasa yang tidak jelas atau kontroversial; mercenery corruption misalnya calon peserta yang memberikan “uang imbalan” jika nantinya dimenangkan dalam tender oleh panitia; serta ideological corruption, misalnya pemberian hukuman pada koruptor yang lebih ringan dikarenakan para koruptor adalah anggota dewan yang terhormat, sebagai contoh adalah kasus proyek Wisma Atlet yang hukuman bagi para koruptor lebih rendah daripada hukuman bagi pencuri sandal.

3. Modus Operandi Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa

Bab 2 Landasan Teori 137 c. tahapan prakualifikasi perusahaan:

1) dokumen administratif yang tidak memenuhi syarat;

2) dokumen administratif “aspal”;

3) legalisasi dokumen tidak dilakukan;

4) evaluasi tidak sesuai kriteria.

d. tahapan penyusunan dokumen lelang:

1) spesifikasi yang diarahkan;

2) rekayasa kriteria evaluasi;

3) dokumen lelang nonstandar;

4) dokumen lelang yang tidak lengkap.

e. tahapan pengumuman lelang:

1) pengumuman lelang yang semu atau fiktif;

2) pengumuman lelang tidak lengkap;

3) jangka waktu pengumuman terlalu singkat.

f. tahapan pengambilan dokumen lelang:

1) dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten);

2) waktu pendistribusian dokumen terbatas;

3) lokasi pengambilan dokumen sulit dicari.

g. tahapan penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS):

1) gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutup­tutupi;

2) penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN;

3) harga dasar yang tidak standar (dalam KKN);

4) penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan.

h. tahapan penjelasan/aanwijzing:

1) pree-bid meeting yang terbatas;

2) informasi dan deskripsi terbatas;

3) penjelasan yang kontroversial.

i. tahapan penyerahan dan pembukaan penawaran;

1) relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran;

2) penerimaan dokumen penawaran yang terlambat;

3) penyerahan dokumen fiktif.

j. tahapan evaluasi penawaran:

1) kriteria evaluasi yang cacat;

2) penggantian dokumen penawaran;

3) evaluasi tertutup dan tersembunyi;

4) peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi.

k. tahapan pengumuman calon pemenang:

1) pengumuman yang terbatas;

2) tanggal pengumuman ditunda;

3) pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman.

l. tahapan sanggahan peserta lelang:

1) tidak seluruh sanggahan ditanggapi;

2) substansi sanggahan tidak ditanggapi;

3) sanggahan performa untuk menghindari tuduhan tender diatur.

m. tahapan penunjukan pemenang lelang:

1) surat penunjukan yang tidak lengkap;

2) surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya;

3) surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburu­buru;

4) surat penunjukan yang tidak sah.

n. tahapan penandatanganan kontrak:

1) penandatanganan kontrak yang ditunda­tunda;

2) penandatanganan kontrak secara tertutup;

3) penandatanganan kontrak tidak sah.

o. tahapan penyerahan barang/jasa:

1) volume yang tidak sama;

2) mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik;

3) mutu atau kualitas pekerjaan yang tidak sama dengan spesifikasi teknik;

4) contract change order.

Dari tahapan birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang diuraikan di atas diketahui ada potensi penyimpangan yang dapat mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi. Potensi penyimpangan dari tahapan birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah oleh penulis disebut

Bab 2 Landasan Teori 139 sebagai masalah­masalah yuridis dalam Perpres yang efeknya berkelanjutan berupa timbulnya masalah struktur terhadap keberadaan lembaga/instansi sebagai sarana melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa serta masalah budaya yang berkaitan dengan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia dalam melaksanakan peng­

adaan barang/jasa.

Pada hakikatnya kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilak­

sanakan oleh setiap instansi dan dibiayai oleh APBN/APBD terkandung maksud untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah kepada masya­

rakat guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semakin majunya suatu negara itu berarti negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya atau disebut dengan istilah negara kesejahteraan.

Dalam negara modern dewasa ini, yang dikenal dengan istilah welfare state atau negara kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kese­

jahteraan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah dituntut untuk bertindak menyelesaikan segala aspek atau persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya.

Dalam negara welfare state atau negara kesejahteraan, tugas administrasi negara menjadi sangat luas dan beraneka ragam corak dan bentuknya guna tercapainya suatu masyarakat yang sejahtera oleh karena itu, pemerintah ikut serta/campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat.

Konsep negara kesejahteraan (welfare state) ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam (nachtwakerstaat).

Dalam konsepsi legal state terdapat prinsip staatsonthouding atau pemba­

tasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “the least government is the best government”, dan terdapat prinsip atau falsafah “laissez faire, laissez aller” sebagaimana disebutkan di atas, dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatsbemoeienis). Pendeknya, “the state should intervene as little as possible in people’s live and businesses”.103

Atas dasar ini, maka pemerintah diberikan kebebasan untuk dapat mela­

kukan/bertindak dengan suatu inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna kepentingan umum. Kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri itu disebut dengan istilah freis ermessen.

103 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara ..., op.cit., hlm. 11.

Di Indonesia, hal ini sebagaimana konsekuensi dari Pasal 33 UUD Negara Kesatuan RI. Pemerintah ikut campur dalam kehidupan masyarakat untuk menjaga kepentingan masyarakat agar adil dan seimbang.

Freies ermessen juga diartikan sebagai kebebasan bertindak dalam batas­batas tertentu atau keleluasaan dalam menentukan kebijakan­kebijakan melalui sikap tindak administrasi negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan Amrah Muslimin mengartikan freies ermessen sebagai lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya atau kebebasan kebijaksanaannya.104 Pemerintah diberikan kebebasan untuk bertindak, tentunya disertai dengan pertanggungjawaban. Kebijakan ini dilakukan dikarenakan adanya per ma sa­

lahan yang mendesak dan membutuhkan penyelesaian dalam waktu yang relatif cepat. Oleh karena itu, pemerintah diberikan kebebasan untuk bertindak yang secara bahasa disebut freies ermessen. Frei artinya: bebas, merdeka, tidak terikat dan ermessen artinya: menilai, mempertimbangkan sesuatu. Freies ermessen ini bertujuan untuk kesejahteraan umum yang merupakan keputusan administrasi negara untuk tercapainya suatu tujuan/sasaran.

Pemberian freies ermessen kepada administrasi negara untuk kesejahteraan umum, tapi dalam kerangka negara hukum. Freies ermessen ini tidak boleh digu­

nakan tanpa batas dan tidak boleh disalahgunakan. Atas dasar itu, Sjahran Basah mengemukakan unsur­unsur freies ermessen dalam suatu negara hukum, yaitu: 105 a. ditujukan untuk menjalankan tugas­tugas servis publik;

b. merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;

c. sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;

d. sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;

e. sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan­persoalan penting yang timbul secara tiba­tiba;

f. sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.

Sebagai contoh adalah metode penunjukan langsung dalam proses peng­

adaan barang/jasa pemerintah adalah salah satu bentuk freies ermessen atau diskresi pemerintah. Hal itu dilakukan jika kebutuhan akan barang/jasa tersebut sangat mendesak.

104 Saut P. Panjaitan dalam S.F. Marbun, dkk., op.cit., hlm. 106–107.

105 Yopie Morya Immanuel Patiro, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Keni Media, Bandung, 2012, hlm. 111.

Bab 2 Landasan Teori 141 Sebagaimana tertuang dalam Undang­Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003, maka dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, Indonesia telah bekerja sama dengan dunia internasional terutama dalam hal pengembalian hasil tindak pidana korupsi. Dalam isi pokok UNCAC 2003 tersebut berupa tindakan­tindakan pencegahan korupsi dan kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah.

A. DASAR HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Birokrasi Indonesia selama ini terus­menerus mendapatkan kritik yang tajam dari masyarakat. Hal itu dikarenakan ketidakefisienan, terlalu lamban dan berbelit­belit, dan banyaknya pungutan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik. Pungutan­pungutan liar dapat dijumpai dari pemberian pelayanan di tingkat kelurahan seperti pembuatan KTP. Besarnya pungutan yang dapat dikantongi oleh pegawai, akan menentukan kualitas pelayanan.

Misalnya jika masyarakat memberikan Rp10.000,00 sebagai uang “tips”, maka pegawai akan memberikan kualitas yang baik. Mungkin seminggu KTP sudah bisa diambil. Berbeda jika memberikan Rp20.000,00, besok KTP sudah bisa diambil. Pelayanan publik saat ini orientasinya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan semata oleh beberapa oknum pegawai.

Birokrasi merupakan alat kekuasaan politik untuk menjalankan keputusan­

keputusan politik. Birokrasi dapat dimaknai sebagai alat kekuasaan bagi yang menguasainya (kekuasaan politik), di mana para pejabatnya secara bersama­sama berkepentingan menjalankan roda pemerintahan. Negara diatur dan dikendalikan oleh kekuasaan hukum, namun dijalankan oleh kekuasaan politik. Birokrasi telah menjelma menjadi kekuatan kekuasaan negara. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelak­

sa naan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik.1

1 Abdilla Fauzi Achmad, Tata Kelola Bernegara dalam Perspektif Politik, Cetakan Pertama, Golden Terayon Press, Jakarta, 2012, hlm. 74.

Bab 3

Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah di Indonesia

Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 143 Birokrasi Indonesia selalu mengalami pertumbuhan jumlah personil, hal ini ditandai dengan diadakannya CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) setiap tahun, namun pengadaan CPNS ini tidak lepas dari unsur KKN. Dapat dikatakan bahwa pengadaan CPNS termasuk lahan yang baik bagi para oknum pejabat birokrasi untuk mendapatkan keuntungan yang sangat banyak. Contoh unsur KKN dalam perekrutan CPNS, yaitu korupsi dilakukan dengan meminta bayaran kepada orang yang akan mendaftar menjadi CPNS, dengan “iming­iming” dapat dimasukkan menjadi PNS jika orang tersebut mau membayar seharga sekian. Uang itu akan dibagikan, termasuk pada pimpinan, dalam hal ini telah terjadi penyuapan. Jika orang tersebut tidak diterima, maka oknum pegawai akan memberikan alasan, uangnya kurang dan ada yang membayar lebih tinggi. Permasalahan selesai, orang yang mendaftar tidak bisa berbuat apa­apa.

Birokrasi Indonesia termasuk birokrasi patrimonial, di mana para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan, para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi, serta setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Jabatan merupakan segala­galanya. Semakin tinggi jabatan, semakin besar pula kekuasaan, dan semakin banyak penyimpangan yang dilakukan untuk menda­

patkan keuntungan pribadi dan kroninya. Sehingga tidak jarang, orang mau melakukan apa saja untuk mendapatkan kekuasaan termasuk berperilaku ABS alias “asal bapak senang”.

Jadi, birokrasi publik Indonesia yang bersifat patrimonial tersebut cenderung mendorong para pegawai untuk mengembangkan perilaku “asal bapak senang”

atau istilah lainnya “cari muka” dengan atasan untuk mendapatkan keistimewaan dari atasan. Dikarenakan perlakuan yang demikian, tak heran para pejabat menjadi arogan dan menjadi “gila hormat”. Mereka yang harusnya melayani masyarakat, menjadi masyarakat yang harus melayani mereka. Warga yang datang pada pejabat karena suatu kepentingan dan tidak dapat memberikan kesenangan yang diinginkan menurut pejabat, maka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.

Masyarakat diharuskan menyapa terlebih dahulu, dan bersikap baik pada mereka karena mereka merasa masyarakat sangat membutuhkan mereka, jadi mereka bisa berbuat sewenang­wenang.

Birokrasi Indonesia saat ini masih sangat rapuh, banyak faktor yang dapat memengaruhi efektivitas dan efisiensi birokrasi. Padahal birokrasi yang kuat dan sehat adalah tulang punggung administrasi negara yang baik, dan faktor terpenting untuk mencapai dan mempertahankan kestabilan politik

dan ekonomi, seperti terbukti di negara Singapura, Malaysia, Jepang, dan negara­negara Eropa Barat. Bahkan India mempunyai birokrasi yang kuat (the Indian Civil Service yang merupakan salah satu kebanggaan nasional mereka), sehingga pergolakan­pergolakan politik, sosial, dan ekonomi dapat dikendalikan dan ditampung dengan baik oleh karena policy-policy dan perintah­perintah pemerintahannya dilaksanakan secara efektif.2 Dalam birokrasi di Indonesia, para birokrat dan para pegawai itu lupa, dari mana gaji mereka diperoleh. Gaji mereka diperoleh tidak lain dari APBN/

APBD yang merupakan uang milik rakyat. APBN/APBD tersebut berasal dari berbagai pungutan, pajak, dan lain­lainnya yang harus dibayar oleh rakyat kepada negara. Namun, perlakuan mereka terhadap rakyat yang memerlukan pelayanan jauh dari kata baik. Perlakuan berbeda juga ditunjukkan oleh para pejabat. Bagi yang mempunyai hubungan baik dengan mereka, akan men da­

patkan prioritas dibandingkan dengan orang yang tidak mereka kenal.

Berbagai kegiatan pemerintah, hasil dan akibatnya merupakan bagian penting dalam pelayanan publik. Seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat disertai dengan pengembangan otonomi daerah, kebutuhan pemerintah akan penyelenggaraan pemerintahan turut meningkat pula. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, selalu diperlukan kebutuhan akan barang/jasa, baik untuk keperluan operasional yang bersifat rutin seperti bahan baku, bahan penolong (supplies), suku cadang, barang jadi, dan barang modal (kapital) seperti bangunan, mesin, dan peralatan lainnya.

Untuk menyediakan berbagai keperluan pemerintah demi kelancaran pela­

yanan publik, dibutuhkan dana yang cukup besar. Besarnya anggaran belanja pemerintah mengakibatkan pengadaan publik menjadi motor penggerak diter­

bitkannya berbagai kebijakan ekonomi, yakni Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, diubah menjadi Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/

Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan terakhir

2 S. Prajudi Atmosudirjo, op.cit., hlm. 31.

Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 145 diubah menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta Perpres No.

106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diubah menjadi Perpres No. 157 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres No.

106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang merupakan satu bentuk kebijakan terkait pengadaan publik dalam upaya mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan keberpihakan kepada pengusaha kecil.

Saat ini, pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur berdasarkan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015. Dilihat dari sejarah perkembangan pengadaan barang/jasa pemerintah dimulai dengan keluarnya Keppres Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, diubah men­

jadi Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/

Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diubah menjadi Perpres No. 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan terakhir diubah menjadi Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta Perpres No.

106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diubah menjadi Perpres No. 157 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres No.

106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Melihat dasar hukum kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam kurun waktu dua belas tahun telah mengalami perubahan sebanyak tujuh kali, ini menunjukkan bahwa regulasi Perpres yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa pemerintah masih lemah, sehingga tidak mampu mencegah terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Atas dasar itulah, maka penulis berpendapat bahwa keberadaan Perpres No.

70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 172 Tahun 2014 jo. Perpres

No. 4 Tahun 2015 perlu dievaluasi dan dibuatkan regulasi baru, yaitu berupa Undang­Undang tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sedangkan Perpres yang ada dilakukan penyempurnaan yang isinya merupakan penjabaran Undang­

Undang tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Undang­Undang tersebut perlu diatur mengenai pentingnya sebuah lembaga atau badan khusus yang diberi kewenangan untuk mengatur, mengelola, dan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, selain itu perlu juga diatur mengenai sistem pertanggungjawaban panitia pengadaan barang/jasa pemerintah antara Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Konsultan Pengawas, Konsultan Peren­

cana, dan panitia pelaksana kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Pengadaan barang/jasa pemerintah untuk keperluan pelayanan publik merupakan salah satu bentuk dari public management. Manajemen atau kepemimpinan (dalam arti fungsional, manajemen sebagai aktivitas khas), atau ketatalaksanaan (dalam arti pelaksanaan policy) adalah kegiatan­kegiatan yang dilakukan oleh pejabat­pejabat pimpinan dalam dinas administrasi negara guna menyelenggarakan apa yang ditetapkan oleh pemerintah dengan jalan menggerakkan pejabat­pejabat negeri bawahannya secara efektif dan seefisien­efisiennya.3

Pemerintah dalam melakukan belanja rutin maupun biaya pembangunan, dilakukan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Pembelanjaan negara yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa meliputi jumlah yang sangat besar, tidak hanya biaya yang besar, risiko yang harus dihadapi juga besar.

Selain itu ada keterlibatan dunia usaha dan birokrat publik, sehingga pengadaan barang/jasa pemerintah harus benar­benar dilaksanakan secara transparan agar tidak terjadi penyimpangan dan menimbulkan kerugian bagi negara.

Ini menjadi salah satu alasan penting bagi setiap pemerintah dalam me­

nata perekonomian nasional, khususnya penyusunan sistem pengadaan nasional. Dalam kaitan inilah dibutuhkan landasan untuk membangun aturan dan prosedur yang diperlukan dalam rangka menciptakan sistem pengadaan barang/jasa yang tidak saja efisien tetapi juga berorientasi pada perlindungan keamanan publik (public safety). Besarnya anggaran belanja pemerintah mengakibatkan pengadaan publik menjadi motor penggerak diterbitkannya berbagai kebijakan ekonomi, salah satunya adalah Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

3 Ibid., hlm. 75.

Bab 3 Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia 147 untuk menggantikan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang merupakan satu bentuk kebijakan terkait pengadaan publik dalam upaya mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya persaingan usaha yang sehat, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan keberpihakan kepada pengusaha kecil.4

Terkait dengan pentingnya kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh panitia pengadaan barang/jasa yang dibentuk oleh pimpinan lembaga/kepala instansi, wajib memerhatikan batasan kewenangan yang dimiliki oleh panitia pada berbagai tingkatan karena pertanggungjawaban panitia pengadaan barang/jasa haruslah dilakukan secara proporsional sesuai dengan tingkat kewenangannya masing­masing. Perlu diketahui bahwa kewe­

nangan merupakan bagian terpenting dari setiap penyelenggara kegiatan pengadaan barang/jasa mulai dari proses awal sampai dengan akhir kegiatan, yang diwujudkan dalam bentuk penyerahan barang/jasa dari penyedia barang kepada panitia pengadaan selaku pengguna barang/jasa. Dalam perspektif hukum administrasi negara, pemerintah selaku pengguna barang/jasa yang di dalamnya termasuk panitia pengadaan yang telah dibentuk menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, artinya adalah tindakan panitia pengadaan/jasa harus didasarkan pada kewenangan yang dimiliki sebagaimana di atur dalam peraturan perundang­undangan.

Mengutip pendapat S.F. Marbun mengatakan bahwa wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau dengan kata lain secara yuridis kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan undang­undang yang berlaku untuk melakukan hubungan­

hubungan hukum.5

Mendasarkan pada pendapat di atas, penulis mengemukakan bahwa kewe­

nangan adalah suatu hak yang dimiliki secara merdeka oleh setiap orang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara proporsional dan ber tanggung jawab menurut kaidah­kaidah dan norma­norma hukum yang berlaku. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa kewenangan merupakan suatu konsep dalam sistem hukum administrasi negara, karena di dalamnya mengandung makna hak dan kewajiban atas suatu pekerjaan.

4 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Jilid I, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2009, hlm. 107.

5 Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2012, hlm. 87.

Dalam hukum administrasi negara, wewenang pemerintahan berdasarkan sifatnya terdiri atas sebagai berikut.6

1. Wewenang yang bersifat terikat, yaitu wewenang yang harus sesuai dengan norma­norma hukum/aturan dasar yang menentukan waktu dan keadaan wewenang bisa dilaksanakan, termasuk di dalamnya berupa rumusan isi dan keputusan yang harus diambil. Sebagai contoh: wewenang pejabat pembuat komitmen untuk menghentikan atau melanjutkan perjanjian kontrak pengadaan barang dan jasa.

2. Wewenang bersifat fakultatif, yaitu wewenang yang dimiliki badan atau pejabat administrasi, tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk menggunakan kewenangan tersebut jika terdapat alternatif lain dalam keadaan tertentu.

Sebagai contoh: kewenangan polisi untuk tidak menghentikan pengendara yang melanggar rambu­rambu lalu lintas.

3. Kewenangan bersifat bebas, yaitu kewenangan yang dimiliki oleh badan atau pejabat administrasi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara bebas berkaitan dengan isi dan keputusan yang akan dikeluarkan karena peraturan dasarnya memberikan hak kepada yang bersangkutan untuk melaksanakan kewenangannya. Sebagai contoh: pengguna anggaran berwenang menentu kan pekerjaan pengadaan barang dan jasa dibayar 100% atau tidak. Kewenangan bebas ini dibagi menjadi dua kategori, yakni kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid).

Walaupun melekat adanya wewenang bebas, namun demikian pemerintahan tidak dapat menggunakan wewenang bebas tersebut sebebas­bebasnya, karena di dalam negara hukum tidak ada wewenang dalam arti yang sebebas­bebasnya atau kebebasan tanpa batas. Wewenang selalu dijalankan dalam batasan­batasan hukum, mengingat wewenang hanya diberikan oleh peraturan perundang­

undangan dan wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang­

undangan yang berlaku. Oleh karena itu, legitimasi penyelenggaraan pemerintahan adalah wewenang yang diberikan oleh undang­undang (norma wewenang) dan substansi, serta asas legalitas (legalitiet beginselen) dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah wewenang.7

Atas uraian tersebut, penulis sependapat bahwa kewenangan yang diperoleh untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemerintahan haruslah dilaksa­

na kan berdasarkan norma­norma hukum yang berlaku agar tidak melahirkan

6 Ibid., hlm. 89.

7 Ibid., hlm. 91.

Dalam dokumen pengadaan barang (Halaman 149-155)