Dr. H. Jawade Hafidz Arsyad, S.H., M.H.
Dian Karisma, S.H., M.H.
SENTRALISASI BIROKRASI
&
PENGADAAN BARANG
JASA PEMERINTAH
SG. 02.16.1219
SENTRALISASI BIROKRASI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Oleh:
Dr. H. Jawade Hafidz Arsyad, S.H., M.H.
Dian Karisma, S.H., M.H.
Editor:
Maya Sari
Diterbitkan oleh Sinar Grafika
Jl. Aren III No. 25, Rawamangun Jakarta Timur-13220
Telp: 021-4895803
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan dengan
cara apa pun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman, dan lain-lain tanpa izin tertulis
dari penerbit.
Cetakan pertama, April 2018 Perancang kulit, Risqiani Nur Badria
Layouter, Surya Ely S.
Dicetak oleh Sinar Grafika Offset ISBN 978-979-007-770-6
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Jawade Hafidz Arsyad Haji
Sentralisasi birokrasi pengadaan barang dan jasa pemerintah/ H. Jawade Hafidz Arsyad, Dian Karisma;
editor, Maya Sari. -- Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
xiv, 520 hlm.; 23 cm Bibliografi: hlm. 497 ISBN 978-979-007-770-6
1. Pengadaan barang I. Judul. II. Dian Karisma.
III. Maya Sari.
352.53
Prakata v Assalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah Ø karena atas limpahan rahmat, karunia, dan pengetahuan-Nya penyusunan buku ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad sebagai junjungan dan suri tauladan.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih belum sempurna, sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca untuk penyem- purnaan di masa mendatang. Buku ini berasal dari disertasi penulis yang berjudul
“Sentralisasi Birokrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”.
Dalam penyusunan buku ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., Dr. Eko Soponyono, S.H., M.H., Dr. RB. Sularto, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum., Dr. Retno Mawarini, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., Prof.
Dr. Esmi Warrasih Pujirahayu, S.H., M.S., dan Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum.
Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Prof. Dr. Benny Riyanto, S.H., C.N., M.Hum., dan Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., serta Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. dan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. (almarhum) atas segala motivasi dan nasihatnya.
Setelah penulis melakukan penelitian di instansi yang mendukung penulisan buku ini, yakni mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah ditemu kan banyak penyimpangan dalam tiap-tiap tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Prakata
Penyimpangan dalam tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut meng- indikasikan adanya tindak pidana korupsi. Oknum panitia pengadaan barang/
jasa yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pengadaan barang/jasa pemerintah, menyelewengkan kewenangan yang ada padanya untuk mengambil keuntungan untuk diri pribadi maupun rekanan. Akibat yang ditimbulkan dari adanya penyimpangan tersebut, negara sangat dirugikan.
Selain kelemahan dalam substansi hukum, yakni panjangnya tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah yang harus dilalui sebagaimana diatur di dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015 jo. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 jo. Perpres Nomor 54 Tahun 2010, sistem birokrasi yang buruk semakin memperparah dan memperbanyak terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Terlebih budaya korup yang sudah semakin merusak tatanan hidup masyarakat, sehingga mempersulit penegak hukum untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang sekarang ini sudah meluas dalam semua bidang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kasus-kasus yang menjadi temuan dan ditangani oleh KPK, Kejaksaan, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi paling banyak berasal dari kasus pengadaan barang/jasa pemerintah. Misalnya adalah kasus korupsi Wisma Atlet, kasus korupsi Alquran, dan lain-lain. Sadar atau tidak sadar bahwa uang yang dikorupsi berasal dari uang rakyat, yang mana diambil dari APBN/APBD, yang semestinya untuk pengeluarannya harus dipertanggungjawabkan.
Korupsi sudah menjadi virus yang harus diberantas hingga ke akar- akarnya, tentunya dengan melakukan reformasi di berbagai bidang. Untuk peng- adaan barang/jasa pemerintah, reformasi ini dilakukan baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya hukumnya. Dari reformasi kebijakan hukum biro- krasi pengadaan barang/jasa pemerintah maka akan ditemukan model ideal sentralisasi birokrasi pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Tentunya apa yang dikemukakan oleh penulis, akan mengundang polemik di kalangan akademisi dan juga praktisi hukum, karena memang sulit untuk menemukan model ideal yang pasti mengenai kebijakan hukum birokrasi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Prakata vii Dengan berbagai referensi yang relevan dan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap kasus korupsi yang terjadi di bidang pengadaan barang/
jasa pemerintah ini, penulis sangat berharap akan semakin banyak perhatian terhadap upaya untuk melakukan reformasi tidak hanya di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, tetapi juga bidang-bidang lainnya yang menjadi lahan kejahatan korupsi.
Buku ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan seseorang atau lembaga- lembaga tertentu, karena kajian dalam buku ini bersifat akademik. Contoh peristiwa yang digambarkan di dalam buku ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi para pembaca.
Melalui buku ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr.
dr. H. M. Rofiq Anwar, Sp. PA., Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, M.Sc., M.Eng., H. Anis Malik Thoha, MA., Ph.D., Dr. H. Hamidun Qosim, H. Hasan Toha Putra, M.BA., Dr. H. Ahmad Daroji, M.Si., Drs. H. Tjuk Subhan Sulchan, K.H.
Muh. Choir, Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt., M.Hum., Prof. Dr. Marwan Effendy, S.H., Dr. Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum., Prof. Dr. H.
Eman Suparman, S.H., M.Hum., Prof. Dr. M. Ali Mansyur, S.H., C.N., M.Hum., Dr. Choirul Huda, S.H., M.H., Dr. Adi Ekopriyono, M.Si., H. Amir Machmud N.S., S.H., M.H., Dr. Djauhari, S.H., M.Hum., Dr. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum., H.M. Mawardi Muzammil, SH., M.M., Sp.N., H. Thobari H.R., Drs.
H.M. Say’bani Dahlan, Hasanudin Nasution, S.H., H.D. Djunaidi, S.H., Sp.N., Hj. Marsiyem, S.H., M.H., H. Ngadino, S.H., M.H., Not., Drs. Munsharif Abdul Chalim, S.H., M.H., Maryanto, S.H., M.H., Nuriddin, S.Pd., M.Pd., Bambang Tri Bawono, S.H., M.H., dan Lathifah Hanim, S.H., M.Kn., M.Hum.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selama ini telah memberikan nasihat dan bimbingan. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada istri penulis Dahlia Andayani, S.E. atas pengorbanan, keber- samaan, dan kesetiaannya mendampingi penulis selama ini, serta putri dan putra penulis, Ainun Nadzifatul Amaliah Hafidz dan Adli Ilham Akbar Hafidz yang memberikan dorongan dan motivasi bagi penulis untuk lebih bersemangat.
Serta kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya penulis ini belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis sangat berharap masukan, saran, dan kritik konstruktif dari semua pihak. Penulis berpendapat bahwa kebenaran ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti sedetikpun walaupun badai menghadang, melainkan selalu berproses seiring dengan perkembangan alam berpikir manusia dari waktu ke waktu dalam mencari dan menemukan kebenaran itu sendiri.
Penca rian ilmu adalah sebuah proses yang dilalui dengan jatuh bangun tanpa mengenal lelah diliputi oleh ruang dan waktu untuk menemukan kebenaran, ber sandarkan pada nilai-nilai etik dan moral yang menjiwai seluruh aktifitas kehidupan manusia dalam jagat raya. Semoga Allah Ø senantiasa meridhoi dan memberikan petunjuk, kemudahan serta keberkahan kepada penulis dalam kerangka Rahmatan lil alamin. Aamiin.
Semoga buku ini semakin menambah khasanah pengetahuan dan bermakna serta disambut baik oleh seluruh kalangan pembaca yang budiman. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan dalam buku ini.
Wassalamu ’alaikum Wr.Wb.
Semarang, Februari 2018
Penulis
Daftar Isi ix
PRAKATA ... v
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Akar Permasalahan ... 17
C. Kerangka Teori ... 20
BAB 2 LANDASAN TEORI ... 40
A. Reformasi Birokrasi ... 40
1. Pengertian Reformasi dan Birokrasi ... 40
2. Reformasi Birokrasi dan Akuntabilitas Pelayanan Publik ... 44
3. Ciri Birokrasi ... 48
4. Konsep dan Teori Birokrasi ... 48
5. Manajemen Birokrasi ... 50
B. Kebijakan Hukum Birokrasi ... 54
1. Pengertian Kebijakan Hukum Birokrasi ... 54
2. Pengertian, Fungsi, dan Tujuan Hukum Birokrasi ... 63 3. Hubungan Hukum Birokrasi dan Kebijakan Publik 67
Daftar Isi
4. Pembentukan Hukum dan Formulasi Kebijakan
Hukum Birokrasi ... 69
5. Penerapan Hukum Birokrasi dan Kebijakan Publik 84
C. Keuangan Negara ... 88
1. Pengertian Keuangan Negara ... 88
2. Ruang Lingkup Keuangan Negara ... 103
3. Landasan Hukum Pengelolaan Keuangan Negara 105 4. Historisasi Pengaturan Keuangan Negara ... 106
D. Pengadaan Barang dan Jasa ... 109
1. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa ... 109
2. Aktivitas Pengadaan Barang dan Jasa ... 112
3. Para Pihak Terkait dalam Pengadaan Barang/Jasa 118 4. Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/Jasa ... 119
E. Tindak Pidana Korupsi ... 122
1. Definisi Korupsi ... 122
2. Tipologi Korupsi ... 131
3. Modus Operandi Korupsi dalam Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah ... 136
BAB 3 PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH DI INDONESIA ... 142
A. Dasar Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 142 B. Tahapan dan Modus Penyimpangan Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ... 158
C. Akibat Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah 230 1. Munculnya Tindak Pidana Korupsi ... 231
2. Munculnya Pelanggaran Administrasi dalam Barang/ Jasa ... 237
3. Munculnya Tindak Pidana Administrasi ... 278
Daftar Isi xi BAB 4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERLUNYA
SENTRALISASI PENGADAAN BARANG DAN JASA
PEMERINTAH ... 287 A. Alasan Substansi: Kelemahan Perpres No. 70 Tahun 2012
tentang Perubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah ... 287 B. Alasan Struktur: Kelemahan Struktur Birokrasi Peng-
adaan Barang dan Jasa Pemerintah yang Berpotensi
Menimbulkan Korupsi ... 329 C. Alasan Budaya: Lemahnya Integritas dan Kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) ... 349
BAB 5 MODEL SENTRALISASI BIROKRASI PENGADAAN
BARANG DAN JASA PEMERINTAH ... 394 A. Model Ideal Sentralisasi Kebijakan Substansi Hukum ... 394 1. Penguatan Peraturan Perundang-undangan ... 402
2. Penguatan Akuntabilitas Sistem Pengelolaan Ke-
uangan Negara ... 410 B. Model Ideal Sentralisasi Kebijakan Struktur Hukum ... 419
1. Debirokratisasi dan Restrukturisasi Pengaturan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ... 419 2. Pengaturan Kewenangan dalam Pengadaan Barang
dan Jasa ... 426 3. Pembentukan Badan/Lembaga Khusus Pelaksana
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ... 435 C. Model Ideal Sentralisasi Kebijakan Budaya Hukum ... 449 1. Penguatan Prinsip dan Etika Pengadaan Barang/Jasa 449
2. Pengaturan Sistem Pertanggungjawaban Pengadaan
Barang/Jasa ... 454
3. Upaya Pencegahan Kerugian Keuangan Negara dalam Pengadaan Barang/Jasa ... 464
4. Penguatan Fungsi Pengawasan Pengadaan Barang/ Jasa ... 467
D. Perbandingan Pengadaan Barang dan Jasa dengan Negara Lain ... 481
BAB 6 PENUTUP ... 493
DAFTAR PUSTAKA ... 497
PROFIL PENULIS ... 517
Daftar Tabel dan Gambar xiii DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Temuan BPK Terkait Ketidakhematan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 3 Tabel 2.1 Tahap Pembuatan Kebijakan Menurut Dunn ... 80 Tabel 3.1 Perkara TPK Berdasarkan Jenis Perkara Tahun 2012 ... 283 Tabel 3.2 Tersangka/Terdakwa Berdasarkan Tingkatan Jabatan Tahun 2012 ... 284 Tabel 4.1 Data Rekapitulasi Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I
Tahun 2012 ... 353 Tabel 4.2 Temuan Kasus Pengadaan Barang/Jasa ... 354 Tabel 4.3 Temuan BPK Pada Pengadaan Barang/Jasa yang Berpotensi
Merugikan Negara ... 356 Tabel 4.4 Temuan BPK yang Melanggar Ketentuan Administratif ... 357 Tabel 4.5 Temuan BPK Terkait Ketidakhematan dalam Pengadaan Barang/Jasa ... 358 Tabel 4.6 Ketidakefektifan Hasil Pengadaan Barang/Jasa ... 360 Tabel 4.7 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyidikan
di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2012 Terkait Peng- adaan Barang/Jasa Pemerintah ... 361 Tabel 4.8 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahap Penyidikan
di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Tahun 2013 Terkait Peng-
adaan Barang/Jasa Pemerintah ... 361
Daftar Tabel
dan Gambar
Tabel 4.9 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Diputus di Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2012 Terkait Peng-
adaan Barang/Jasa Pemerintah ... 362
Tabel 4.10 Data Base Perkara Tindak Pidana Korupsi yang Diputus di Pengadilan Tipikor Semarang Tahun 2013 Terkait Peng- adaan Barang/Jasa Pemerintah ... 363
Tabel 5.1 Perbedaan dan Sifat Pengadaan Barang ... 403
Tabel 5.2 Kejahatan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ... 407
Tabel 5.3 Perbedaan Cara Perolehan dan Tanggung Jawab Wewenang Pemerintahan (Philiphus M. Hadjon) ... 429
Tabel 5.4 Benchmark Sistem Pengadaan Barang dan Jasa ... 492
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Pembentukan Hukum ... 78
Gambar 2.2 Kedekatan Prosedur Analisis Kebijakan dengan Tipe-Tipe Pembuatan Kebijakan oleh Dunn ... 81
Gambar 2.3 Aktivitas Pengadaan Barang dan Jasa ... 114
Gambar 5.1 Penguatan Peraturan Perundang-undangan ... 404
Gambar 5.2 Pengurusan Keuangan Negara Pra Reformasi ... 414
Gambar 5.3 Pengurusan Keuangan Negara Pasca Reformasi ... 415
Gambar 5.4 Cakupan Aktivitas Pengadaan ... 456
Gambar 5.5 Reformasi Tata Kelola Pemerintah dalam Pengadaan Barang dan Jasa ... 465
Gambar 5.6 Prinsip Efisiensi Pengadaan Barang dan Jasa ... 470
Gambar 5.7 Alur Pikir Pembentukan UU dan Badan Khusus Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Mencegah Terjadinya Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 477
Gambar 5.8 Model Ideal Sentralisasi Pengadaan Barang dan Jasa Peme- rintah ... 480
Gambar 5.9 Alur Penindakan Kasus Mal Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ... 480
Bab 1 Pendahuluan 1
A. LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai birokrasi dalam sistem pemerintahan, maka tidak dapat dipisahkan dengan institusi dan kinerja pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam mengelola suatu negara berdasarkan ketentuan peraturan per
undangundangan yang berlaku untuk mencapai tujuan negara, salah satu di antaranya adalah kesejahteraan masyarakat.
Dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dinyatakan secara tegas untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangundangan mulai dari UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Keputusan Menteri, dan seterusnya. Dalam penyelenggaraan negara tersebut, pemerintah wajib berpegang teguh pada peraturan perundang
undangan untuk bertindak atas nama negara dalam memberikan pelayanan kepada warga negara dengan sebaikbaiknya.
Kewajiban pemerintah dalam bertindak mematuhi peraturan perundang
undangan, melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai yang telah ditentukan
Bab 1
Pendahuluan
dalam tugas pokok dan fungsi, demikian pula keharusan pemerintah mematuhi mekanisme atau prosedur yang berlaku merupakan bagian dari birokrasi. Pada dasarnya birokrasi pemerintahan merupakan sebuah sistem, mekanisme, atau pola dalam penyelenggaraan pemerintahan mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat kelurahan atau desa, dengan maksud agar fungsi pelayanan publik dari peme rintah kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien.
Akan tetapi dalam implementasinya tidak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang dilakukan oleh birokrat, melakukan tindakantindakan yang tidak sesuai dengan tugas pokok serta fungsinya karena mengabaikan sistem dan mekanisme yang berlaku dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jika penyimpangan ter
sebut dibiarkan, maka akan semakin banyak penyimpangan yang terjadi yang berakibat kredibilitas pemerintah terus menurun di mata masyarakat.
Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan saat ini dimaksudkan agar pemerintah dapat melaksanakan kewajibannya untuk meme
nuhi saranaprasarana publik, juga dalam rangka melengkapi saranaprasarana pemerintah sehingga fungsi pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan sebaikbaiknya, dan penggunaan keuangan negara dapat terkontrol dan diper
tanggungjawabkan sesuai mekanisme yang berlaku, tetapi dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah ditemukan adanya penyimpangan
penyimpangan dengan berbagai modus sebagai akibat dari panjangnya birokrasi atau tahapan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan satu paket kegiatan pengadaan barang/jasa, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara.
Mengenai kerugian keuangan negara dikarenakan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara, dan hasilnya ditemukan dugaan penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang bermuara pada transparansi dan akuntabilitas peng gunaan anggaran negara.
Menurut hasil temuan BPK, kasus pengadaan barang/jasa pemerintah yang menimbulkan kerugian keuangan negara diakibatkan karena adanya ketidak
hematan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, melanggar ketentuan administratif, ketidakefektifan hasil pengadaan barang. Temuan tersebut meng
ungkap adanya tiga bentuk kasus berupa pengadaan barang/jasa melebihi kebutuhan, penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang digunakan tidak sesuai standar, dan kemahalan harga. Bentuk kasus “kemahalan harga” merupakan
Bab 1 Pendahuluan 3 kasus di mana harga barang/jasa lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu yang sama.1 Hal tersebut berdampak pada pemborosan ke
uangan daerah/negara. Padahal dalam Pasal 6 huruf f Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 telah dengan jelas dinyatakan bahwa: “Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa”.
Tabel 1.1 Temuan BPK Terkait Ketidakhematan dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. Bentuk Temuan
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah
BUMN
(6 Entitas) BUMD PDTT
(Banyak Kasus)
Jumlah (Dalam Juta Rupiah)
LKPDPDTT (Banyak
Kasus)
Jumlah (Dalam Juta Rupiah) 1. Pengadaan
barang/jasa melebihi kebutuhan
3 165,73 1
4
131,03 34,42
– –
2. Penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang diguna
kan tidak sesuai standar
– – 4
9
4.110,00 3.660,00
– 1 kasus
senilai 70,47
3. Kemahalan
harga 45 240.220,00
0
69 106
91.020,00 26.670,00
1 kasus senilai 56,052 28 kasus
senilai 46.809,14
38 kasus senilai 49.939,1
Total 48 240.385,7
3
193 125.625,4 5
29 kasus senilai 46.865,192
39 kasus senilai 50.009,5
Total kasus 309 kasus Total ketidakhematan 462.885,942
Sumber: Jurnal LKPP Vol. 1 No. 1
1 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Jurnal Pengadaan (Senarai Peng
adaan Barang/Jasa Pemerintah), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Vol. 1 No. 1, Jakarta, 2011, hlm. 98.
Temuan BPK RI tidak hanya dalam kasus ketidakhematan, melainkan ada berbagai penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa yang berpotensi menim
bulkan kerugian bagi negara juga ditemukan oleh BPK. Dalam data sebelumnya, diketahui kasus kemahalan harga yang paling banyak menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Sepertinya penyimpangan ini harusnya tidak terjadi. Mengingat regulasi yang dibuat seharusnya dapat menutup adanya celahcelah yang dapat digunakan untuk melakukan penyimpangan, termasuk di dalamnya adalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Secara yuridis, karena regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah berupa Keputusan Presiden (Keppres) dan sekarang diubah menjadi Peraturan Presiden (Perpres) yang telah mengalami perubahan sebanyak enam kali, masih terdapat peluang terjadinya penyimpangan. Sebagaimana diketahui, di dalam Perpres No.
4 Tahun 2015 jis. Perpres No. 172 Tahun 2014 jis. Perpres No. 70 Tahun 2012 jis.
Perpres No. 54 Tahun 2010 jis. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terdapat masalahmasalah yuridis, yakni birokrasi peng
adaan barang/jasa pemerintah wajib ditempuh dalam lima belas tahapan dengan rentang waktu yang disediakan sangat singkat, sehingga membuka peluang terja
dinya penyimpangan yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh dua item, yakni:
1. penggelembungan anggaran;
2. rencana pengadaan yang diarahkan;
3. rekayasa pemaketan untuk KKN;
4. panitia tidak transparan;
5. integritas panitia lelang lemah;
6. panitia lelang yang memihak;
7. panitia lelang tidak independent;
8. dokumen administratif yang tidak memenuhi syarat;
9. dokumen administratif “aspal”;
10. legalisasi dokumen tidak dilakukan;
11. evaluasi tidak sesuai kriteria;
12. spesifikasi yang diarahkan;
13. rekayasa kriteria evaluasi;
14. dokumen lelang nonstandar;
15. dokumen lelang yang tidak lengkap;
16. pengumuman lelang yang semu atau fiktif;
Bab 1 Pendahuluan 5 17. pengumuman lelang tidak lengkap;
18. jangka waktu pengumuman terlalu singkat;
19. dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten);
20. waktu pendistribusian dokumen terbatas;
21. lokasi pengambilan dokumen sulit dicari;
22. gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutuptutupi;
23. penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN;
24. harga dasar yang tidak standar (dalam KKN);
25. penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan;
26. pree-bid meeting yang terbatas;
27. informasi dan deskripsi terbatas;
28. penjelasan yang kontroversial;
29. relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran;
30. penerimaan dokumen penawaran yang terlambat;
31. penyerahan dokumen fiktif;
32. kriteria evaluasi yang cacat;
33. penggantian dokumen penawaran;
34. evaluasi tertutup dan tersembunyi;
35. peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi;
36. pengumuman yang terbatas;
37. tanggal pengumuman ditunda;
38. pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman;
39. tidak seluruh sanggahan ditanggapi;
40. substansi sanggahan tidak ditanggapi;
41. sanggahan performa untuk menghindari tuduhan tender diatur;
42. surat penunjukan yang tidak lengkap;
43. surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya;
44. surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburuburu;
45. surat penunjukan yang tidak sah;
46. penandatanganan kontrak yang ditundatunda;
47. penandatanganan kontrak secara tertutup;
48. penandatanganan kontrak tidak sah;
49. volume yang tidak sama;
50. mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik;
51. mutu/kualitas pekerjaan yang tidak sama dengan spesifikasi teknik;
52. contract change order.
Lima belas tahapan yang wajib ditempuh dalam setiap kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dan tidak kurang dari lima puluh dua item potensi penyimpangan yang diatur dalam Perpres memunculkan masalah struktural, yakni sistem birokrasi dan desentralisasi penyelenggaraan kegiatan pengadaan barang/
jasa pemerintah yang diberikan kepada setiap instansi pemerintah di pusat dan daerah dengan kewenangan yang luas dan mandiri (otonom) diikuti lemahnya kualitas sumber daya manusia karena tidak memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan, dan pada akhirnya akan melahirkan praktik pengadaan barang/
jasa pemerintah yang kurang akuntabel.
Masalahmasalah yang terjadi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa peme
rintah tidak lepas dari persoalan fungsi birokrasi sebagai cara untuk mengelola kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terencana, terarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo, dalam buku
nya berjudul “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah”, sebagai berikut.
Birokrasi berasal dari bahasa Perancis bureau yang berarti kantor. Konsep birokrasi mengaplikasikan prinsipprinsip organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun masih ada juga birokrasi yang seringkali keterlaluan dan menimbulkan efek yang tidak baik, misalnya dalam masalah administrasi yang kompleks dan ruwet pada organisasi besar seperti organisasi pemerintahan.2
Pada dasarnya birokrasi pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari sebuah kekuasaan karena birokrasi dapat dimaknai sebagai mekanisme penye leng
garaan administrasi kekuasaan. Birokrasi kekuasaan yang kuat, yang akan menentukan segalagalanya. Tidak jarang dengan birokrasi yang demikian, terjadi banyak penyimpangan, terutama dalam hal pelayanan publik. Apa yang belum ada di dalam birokrasi dengan berbagai alasan diciptakanlah birokrasi baru untuk memperpanjang jalannya sistem birokrasi yang harus ditempuh dalam pelayanan publik. Kondisi demikian tentu tidak mengherankan jika publik merasa dipermainkan dengan sistem birokrasi pengadaan barang/jasa pemerintah yang ada sekarang ini.
2 Mardiasmo, Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI, Yogyakarta, 2004, hlm. 13.
Bab 1 Pendahuluan 7 Penyimpangan yang terjadi saat ini semakin banyak, sehingga menim bul
kan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem birokrasi. Sektor publik (pemerintah dan perusahaan milik pemerintah) sering mendapat serangan dan kritikan dari berbagai pihak. Birokrasi dianggap sebagai penyebab inefisiensi dan penghambat pembangunan, dan akhirnya birokrasi dicemooh di sanasini. Keadaan tersebut dapat dipandang sebagai kegagalan birokrasi, padahal tujuan birokrasi pada awalnya adalah untuk menciptakan efisiensi organisasi dan memfasilitasi pembangunan.3
Selama tahun 1930an hingga 1960an, birokrasi memainkan peran utama dalam pembangunan. Namun, birokrasi yang semakin kuat tersebut kemu
dian menunjukkan kecenderungankecenderungan yang kurang baik, di antaranya adalah birokrasi menjadi sulit untuk ditembus, sentralistis, top down, dan hierarki yang sangat panjang. Birokrasi justru menyebabkan kelambanan, terlalu berbelitbelit, dan mematikan kreativitas. Masyarakat diharuskan mengikuti prosedur dan mengikuti keinginan para pejabat untuk mendapatkan pelayanan publik. Birokrasi juga dipandang mengganggu mekanisme pasar karena menciptakan distorsi ekonomi, yang pada akhirnya birokrasi justru menyebabkan inefisiensi organisasi.4
Birokrasi sebagai sistem administrasi memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya adalah birokrasi membuka peluang efisiensi, aturanaturan yang rasional, hubungan antarmanusia yang tidak personal, pembagian tugas yang jelas, administrasi yang didasarkan pada dokumendokumen tertulis, serta pemisahan antara income pribadi dan jabatan. Kekurangannya adalah struktur birokrasi dapat dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingankepentingan beberapa orang yang berada pada hierarki puncak kepemimpinan. Terlebih lagi, masyarakat yang tidak pernah mempermasalahkan berbagai penyalah
gunaan yang dilakukan di lingkaran birokrasi kekuasaan pemerintah.5 Mungkin sebenarnya sebagian masyarakat terlalu keberatan dengan sistem birokrasi yang demikian, namun rakyat tidak bisa berbuat apaapa. Pegawai birokrasi yang berada di level rendah, hanya dapat mengikuti aturan dari pimpinan. Kreativitas mereka dibatasi untuk memberikan pelayanan yang lebih efisien dan efektif bagi publik.
3 Ibid., hlm. 15.
4 Ibid., hlm. 16.
5 Ahmad Gunaryo (Ed.), Hukum Birokrasi & Kekuasaan di Indonesia, Walisongo Research Institute (WRI), Semarang, 2001, hlm. 16 dan 17.
Dari uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa terjadinya inefisiensi dalam birokrasi disebabkan panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui dalam melakukan kegiatan atau menyelesaikan pekerjaan atau memberikan pelayanan kepada masyarakat, inefisiensi akan berdampak pada lamanya waktu dan tinggi
nya biaya yang diperlukan serta prosesnya berbelitbelit.
Akibat terjadinya inefisiensi dalam birokrasi selain disebabkan panjangnya birokrasi juga dikarenakan penggunaan wewenang yang melampaui batas, bahkan tidak jarang ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang dalam kegiatan peng adaan barang/jasa pemerintah. Oleh karena itu, untuk mening katkan efektivitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan memenuhi rasa ke adilan dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah perlu ditegaskan pentingnya penggunaan wewenang dikaitkan dengan sistem pertang gungjawaban dan tanggung gugat terhadap panitia pengadaan mulai dari pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, dan panitia pengadaan secara proporsional dan pro
fesional menurut peraturan perundangundangan.
Perlu disadari bahwa kondisi birokrasi Indonesia saat ini masih banyak kekurangannya. Hal tersebut terkait dengan adanya praktik manajemen dan administrasi publik yang memang belum dapat dikatakan baik, ditandai dengan:
a. pelayanan publik (public service) yang buruk;
b. ekonomi yang sangat birokratis;
c. kebocoran anggaran;
d. membudayanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Hal tersebut mengakibatkan sistem manajemen keuangan publik (negara) menjadi tidak terkendali. Akibat dari terjadinya kondisi yang buruk tersebut membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan perhatian serius terhadap penggunaan uang negara dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Keadaan ini berlangsung sangat lama hingga kini, dan pada saat ini pun manajemen dan administrasi publik semakin menambah panjang daftar kebobrokan birokrasi di Indonesia.
Birokrasi pada hakikatnya berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat.
Namun di dalam praktiknya memperlihatkan perilaku yang sebaliknya, bukan melayani masyarakat melainkan minta dilayani, bahkan melakukan tindakan
tindakan maupun membuat keputusankeputusan yang tidak terpuji, yang pada akhirnya merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat,
Bab 1 Pendahuluan 9 berbangsa, dan bernegara. Keadaan ini kemudian diperparah lagi dengan kenyataan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang begitu mencolok antara elit birokrasi (pejabat) dan kronikroninya dengan para pegawai biasa, buruh, dan rakyat kecil, atau dengan sebagian besar rakyat Indonesia. Birokrasi telah mengalami disfungsi dan menuntut biayabiaya sosial maupun materiil yang sangat besar, serta biaya tinggi yang semuanya harus ditanggung oleh rakyat, sehingga menambah beban rakyat.
Birokrasi bertujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi rakyat, namun penyimpangan yang terjadi lebih banyak dilakukan dengan mengatas
namakan untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan kepentingan rakyat serta kemajuan bangsa dan negara. Sebagai contoh adalah penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) untuk kunjungan atau studi banding ke luar negeri, dengan alasan untuk mencontoh sistem birokrasi dan upaya pencegahan tindak pidana korupsi di negara yang dikunjungi. Hal dari kunjungan tersebut tidak dipublikasikan dan bahkan tidak ada hasilnya sama sekali. Alihalih ada perubahan dalam sistem birokrasi, kian hari birokrasi yang ditempuh dalam pemberian pelayanan publik semakin panjang dan meng
ha biskan banyak waktu. Begitu juga dengan kunjungan di negara lain untuk mempelajari cara pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, bukan mencegah dan memberantas tetapi malah semakin banyak tindak pidana korupsi yang akhirnya muncul ke permukaan.
Penyelewengan keuangan negara saat ini semakin menjadi terutama karena korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengadaan barang/jasa ini identik dengan adanya berbagai fasilitas baru, berbagai bangunan, jalan, rumah sakit, gedung perkantoran, alat tulis, sampai dengan kursus bahasa Inggris yang dilaksanakan di sebuah instansi pemerintah. Pengadaan barang/
jasa yang sering disebut tender ini bukan hanya terjadi di instansi pemerintah, namun bisa terjadi di BUMN dan perusahaan swasta nasional maupun internasional. Pada intinya, pengadaan barang/jasa dibuat untuk memenuhi kebutuhan perusahaan atau instansi pemerintah akan barang/jasa yang dapat menunjang kinerja dan performance mereka.6
Selain itu, kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikelola dan dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah kerap kali dijadikan sebagai
6 Marzuqi Yahya dan Endah Fitri Susanti, Buku Pintar Pengadaan Barang & Jasa Pemerintah, Sesuai dengan Perpres, Laskar Aksara, Jakarta, 2012, hlm. 3.
momentum untuk mendapatkan keuntungan dengan modus menyalahgunakan wewenang (detounement de pouovoir), jabatan, atau kedudukan yang dimiliki oleh pejabat, panitia selaku penyelenggara negara yang berujung pada korupsi, mereka dengan sengaja melakukan mark up dan memanipulasi anggaran dengan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melawan hukum. Sebagai penyelenggara negara yang melayani kepentingan masyarakat, pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa wajib mengutamakan profesional
isme, transparansi, akuntabilitas, dan penuh kehatihatian sehingga kebutuhan masyarakat dapat terlayani secara cepat, adil, dan bertanggung jawab.
Pengadaan barang/jasa pemerintah ini merupakan lahan korupsi yang subur bagi para birokrat, karena di sinilah mereka dapat memanipulasi anggaran dengan berbagai cara untuk memperkaya diri sendiri. Sebagai pihak yang mela
yani kepentingan masyarakat, pemerintah semestinya melaksanakan pengadaan barang/jasa yang kredibel. Namun, pada kenyataannya hasilnya pun tidak sesuai dengan yang diharapkan, malah masyarakat disuguhkan dengan berita korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Bisa dilihat setiap hari, tidak pernah absen dari pemberitaan media tentang korupsi baik pusat maupun daerah.
Upaya pemberantasan telah dilakukan, bukan semakin berkurang justru semakin bertambah. Pemerintah yang menjadi tumpuan harapan rakyat juga tidak mampu mengatasi, bahkan terkesan ikut arus untuk bermain dengan uang rakyat, dan ada pula di antara para pejabat pemerintah yang mengelola keuangan negara tersangkut dalam tindak pidana korupsi.
Penyelewengan penggunaan keuangan negara dengan memanfaatkan kekua
saan yang dimiliki pejabat telah menghambat tujuan negara dalam menye
jahterakan rakyatnya, sehingga menyebabkan ketidakadilan. Padahal tujuan negara Republik Indonesia dalam UUD NRI Tahun 1945, kaitannya dalam upaya untuk menyejahterakan rakyatnya adalah negara mempunyai fungsi atau tugas kesejahteraan (welfare function). Tugas ini dalam artian yang seluasluasnya, termasuk di dalamnya adalah social service dan social welfare, seperti bantuan bencana alam, kemiskinan, pengangguran, penentuan upah minimum, bantuan kesehatan, panti asuhan, dan lainlain. Seluruh kegiatan tersebut ditujukan untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.7
7 Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hlm. 8.
Bab 1 Pendahuluan 11 Semua biaya yang akan digunakan untuk mencapai tujuan negara tersebut tidak lain dari uang negara yang merupakan uang milik rakyat. Hal yang mendasar dan sering dilupakan oleh para pejabat birokrasi ialah bahwa sistem keuangan negara (public finance) adalah menyangkut sejumlah uang yang harus dikelola di bawah mandat rakyat. Dalam arti, rakyat memberikan kekuasaan penuh kepada pejabat negara untuk mengelola uang milik rakyat, yang tentunya digunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Uang negara adalah uang rakyat, public money is public consent. Setiap sen dan setiap rupiah, sedikit atau banyaknya dari uang negara itu diperoleh dari keringat dan hasil kerja keras rakyat, yang harusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat, tanpa terkecuali.
Uang negara berasal dari berbagai macam pajak, retribusi, denda, penjualan aset hingga berbagai pungutan yang dilakukan oleh aparat birokrasi publik kepada rakyat. Uang rakyat itu digunakan untuk membiayai semua kegiatan pemerintah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui pembangunan nasional.
Salah satu kegiatan pemerintah yang dibiayai dengan uang negara tersebut adalah pengadaan barang/jasa pemerintah. Mengingat kegiatan tersebut dibiayai dengan uang negara, maka diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, serta prinsip persaingan atau kompetisi yang sehat, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Pengelolaan keuangan yang menjadi anggaran pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap terjadinya penyimpangan, dan apabila diketemukan atau didapatkan berimbas terhadap para penggunanya tidak terkecuali para penyedia barang/jasa yang melayani kebutuhan dalam proyek pemerintahan, walaupun di dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengharuskan pelaksanaan e-procurement yang mempunyai kelebihan cepat, murah, transparan, serta bebas intervensi, mutatis mutandis tetap saja rawan akan korupsi.8
Dalam praktik pengadaan barang/jasa pemerintah, berbagai modus dan indikasi terjadinya penyimpangan dalam penggunaan anggaran sering terjadi, seperti penggelembungan harga (mark-up), pelanggaran prosedur tender,
8 Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan dan IsuIsu Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi, Cetakan Kedua, Jakarta, Referensi, 2012, hlm. 118–119.
manipulasi data/dokumen tender, perubahan spesifikasi barang, merekayasa pe
nun jukan langsung, evaluasi yang tidak memadai, sanggahan yang tidak ditanggapi, dan lain sebagainya. Proyek pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut diguna
kan oleh oknum pejabat pemerintah dengan berbagai motif untuk kepentingan beberapa pihak, mulai dari manifestasi perilaku korup untuk mendapatkan keun tungan pribadi atau kelompok sampai dengan cara birokrasi untuk dapat menjalankan kegiatannya di dalam institusi dan “menghidupi” para pegawainya dan bahkan induk partai pengusung kepala daerah atau pejabat tersebut.
Dampak dari buruknya birokrasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tidak hanya bersifat mikro tetapi juga makro, karena berkaitan dengan kualitas pembangunan itu sendiri, dan sangat terkait dengan masalah kesejahteraan rakyat. Untuk itu, sangat keliru apabila persoalan pengadaan barang/jasa peme
rintah justru disikapi oleh sebagian pejabat pemerintah sebagai sekadar masalah internal alokasi untuk membiayai berjalannya institusiinstitusi negara dan partai semata tanpa melihat keterkaitannya dengan kesejahteraan rakyat pada umum nya, dan dalam birokrasi publik ini, kepentingan para pejabat seringkali lebih dominan dibandingkan dengan kepentingan rakyat.
Dalam sejarah pengadaan barang dan jasa pemerintah, semenjak refor
masi bergulir berbagai pengaturan telah dilakukan sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan perundangan berikut.
1. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah.
2. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Peng adaan Barang/Jasa Pemerintah (dicabut dengan Perpres No. 54 Tahun 2010).
3. Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan Presiden 157 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres No. 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebi jakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
4. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/
Jasa Pemerintah.
5. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
6. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Bab 1 Pendahuluan 13 7. Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
8. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Semua ketentuan perundangan tentang pengadaan barang/jasa di atas berusaha agar pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat ber
jalan baik, serta menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dengan pembiayaan sehemat mungkin, dan tentu saja semua ketentuan di atas berusaha mencegah agar tidak terjadi tindak pidana korupsi di dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
Terkait dengan kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, maka muncul pula korbankorban para pegawai atau staf di lingkungan instansi pemerintahan yang sesungguhnya tidak ikut menikmati hasil korupsi, tetapi karena kurangnya pemahaman terhadap teknis pengadaan barang dan jasa ikut menjadi tersangka atau bahkan terpidana dalam kasus korupsi. Praktik menunjukkan bahwa pejabat pembuat komitmen bahkan kuasa pengguna anggaran terkadang tidak begitu memahami mengenai teknis barang atau jasa yang sedang diadakan, misalnya seorang kepala sekolah tentu tidak mempunyai pengetahuan banyak mengenai konstruksi gedung, sehingga sangat mungkin yang bersangkutan menjadi rawan terhadap kasus korupsi, sebab sangat mungkin kepala sekolah ter
sebut ditipu oleh kerja sama antara pelaksana dengan pengawas.
Pada tataran mikro, setiap kali akan dilakukan pengadaan barang/jasa peme
rintah di suatu instansi, muncul kondisi saling lempar antar para staf apabila akan ditunjuk menjadi pimpinan proyek pengadaan barang dan jasa. Hal ini tak lain karena rasa khawatir dan ketakutan akan terjadinya kasus pelang garan hukum yang dapat menyeretnya menjadi tersangka. Hal tersebut diperparah dengan kondisi politik di daerah yang sering memunculkan intervensi kepala daerah dengan maksud ekonomi kepada tim pelaksana, yang pada akhirnya bermuara kepada kasus korupsi, sebagai contoh kegiatan pengadaan penggemukan sapi dan kambing diketahui bermasalah diproses oleh Kejaksaan Negeri Tegal yang dijadikan terdakwa dan diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Tegal hanya satu orang. Akibat dari peristiwa tersebut Pegawai Negeri Sipil menolak ditunjuk sebagai panitia pengadaan barang/jasa pemerintah untuk tahun berikutnya karena ketidakadilan dalam sistem pertanggungjawaban.
Akhirnya pada tataran makro, negara mendapatkan kerugian berkalikali karena tidak hanya uang negara yang diselewengkan, bangunan dan jasa yang tidak sesuai dengan perencanaan, dan kehilangan staf yang sudah memiliki pengalaman dan pendidikan yang panjang. Di samping kerugian negara, maka dari sudut kinerja kepegawaian, ternyata kesibukan kegiatan pengadaan barang/
jasa pemerintah telah menyita waktu dan perhatian pada tim pengadaan barang dan jasa tersebut, dan hal tersebut sangat boleh jadi justru mengesampingkan atau mengurangi waktu dan perhatian pelaksanaan tugas utamanya.
Salah satu permasalahan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, adalah masalah pertanggungjawaban kegiatan. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, tidak adanya ketegasan sifat pem
berian kewenangan antara atasan dengan bawahan apakah bersifat mandat atau delegasi. Akibatnya sistem pertanggungjawaban dan tanggung gugat lebih banyak dibebankan kepada pelaksana kegiatan.
Permasalahan yang lain adalah karena kurangnya pengawasan oleh peme
rintah. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini penyelenggaraan pengadaan/
barang jasa pemerintah dilaksanakan oleh instansi masingmasing. Apabila instansi pemerintah tersebut berada di daerah yang jauh dari pusat, tentunya akan kesulitan dalam hal pengawasannya. Selain itu, instansi pemerintah yang menyelenggarakan pengadaan barang/jasa tidak memahami pedoman penyelenggaraan pengadaan barang/jasa, sehingga penyelenggara karena ketidaktahuannya membawa mereka dalam permasalahan hukum.
Di dalam khazanah Hukum Administrasi Negara dikenal istilah norma wewenang yang menjadi dasar hukum pemerintah selaku penyelenggara negara melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan undangundang. Oleh karena itu, pelaksanaan wewenang berdasarkan undangundang merupakan konsekuensi dari asas legalitas sebagai negara hukum. Asas legalitas merupakan prinsip utama dalam mengelola dan menyelenggarakan tata pemerintahan termasuk dalam pemerintah melakukan kebijakan.
Dalam pengelolaan keuangan atau kekayaan negara jika nyatanyata telah merugikan negara atau berpotensi merugikan negara seperti penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, yang dilakukan baik secara melawan hukum atau dengan cara menyalahgunakan kewenangan, sarana atau kesempatan yang ada pada kedudukan dan jabatannya,9 maka pelaku
9 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, Cetakan Pertama, Timpani Publishing, Jakarta, 2010, hlm. 121.
Bab 1 Pendahuluan 15 dapat dikenai sanksi hukum. Sanksi hukum tersebut telah tercantum dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai pengadaan barang/
jasa pemerintah. Meskipun sudah ada peraturan perundangundangan yang mengatur sanksi hukum terhadap penyimpangan dalam pengadaan barang/
jasa pemerintah, penyimpangan masih saja terjadi dan kerugian negara yang diakibatkan penyimpangan tersebut semakin besar.
Kondisi birokrasi sistem hukum pengadaan barang dan jasa yang tidak sehat serta menimbulkan dampak yang besar ini, tentu perlu dilakukan perbaikan baik di dalam kebijakan sistem hukumnya baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro, tidak hanya untuk menekan terjadinya korupsi di lingkungan pengadaan barang dan jasa, tetapi juga untuk dapat menekan sekecilnya dampak dari kebijakan hukum di bidang pengadaan barang dan jasa yang dirasakan tidak baik pada saat ini.
Penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilakukan oleh masingmasing instansi, tentunya tidak efektif dan efisien. Selain kurang memahami pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah, penyelenggara yang me
rupakan pegawai di instansi terkait tidak dapat melaksanakan tugas rutin dengan baik, karena juga harus ikut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Faktor pengawasan juga sangat penting. Kurangnya pengawasan dalam pengadaan barang/
jasa pemerintah, memudahkan oknum penyelenggara melakukan penyimpangan.
Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan oleh lembaga khusus yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Lembaga baru ini berkedudukan di pusat, yang bertanggung jawab kepada presiden, yang kemudian akan dibentuk pula di setiap propinsi yang bertanggung jawab kepada gubernur, begitu pula di kabupaten/kota. Jadi, lembaga baru ini bersifat sentralistik untuk memudahkan penyelenggaraan pengadaan barang/
jasa dan pengawasannya.
Dalam lembaga juga dibentuk dewan pengawas, dan selain itu setiap institusi yang menyelenggarakan pengadaan barang/jasa juga bertindak sebagai pengawas.
Apabila dalam pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh lembaga baru ter
sebut terdapat indikasi penyimpangan, maka instansi terkait dapat membatalkan pengadaan barang/jasa tersebut, sehingga tercipta checks and balances serta dengan sentralisasi pengadaan barang/jasa pemerintah akan tercipta akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Indonesia dapat pula mencontoh pengadaan barang/jasa di Korea Selatan yang telah sukses dalam menerapkan e-procurement. Di Korea Selatan, e-procurement dikenal dengan Korea On-line E-Procurement System (KONEPS). Lembaga yang mewadahi pelayanan e-procurement di Korea adalah Public Procurement Service (PPS). Memang dibutuhkan komitmen yang tinggi untuk dapat melaksanakan e-procurement sebagaimana KONEPS di Korea Selatan.
Di negara Singapura, pelayanan publik menggunakan sistem online satu atap, termasuk juga di dalamnya adalah program pengadaan barang dan jasa secara online bernama GeBIZ (Government Electronic Business). GeBIZ dibangun sejak tahun 2000 yang merupakan portal public e-procurement. Para penyedia barang dan jasa dapat melakukan kegiatan e-commerce dengan pemerintah Singapura.
Semua penawaran tender hingga pengumuman pemenang tercantum di GeBIZ, sehingga penyedia dapat mencari informasi penawaran tender pemerintah, mengunduh dokumen procurement, dan memberikan penawaran mereka secara online.
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan komponen fundamental dari tata kelola pemerintahan yang baik. Pengadaan barang dan jasa pemerintah memiliki tujuan, antara lain adalah memperoleh barang/jasa dengan harga yang dapat dipertanggungjawabkan dengan jumlah dan mutu sesuai, serta tepat pada waktunya.
Seiring reformasi yang bergulir di Indonesia, muncul harapan agar peng
adaan barang atau jasa perintah yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien, mengutamakan penerapan prinsip
prin sip persaingan usaha yang sehat, transparan, terbuka, dan berlaku adil bagi semua pihak.
Selain lingkup dan cakupan pengadaan barang/jasa pemerintah yang luas, bersifat lintas institusi dan lintas sektor, juga berdampak langsung bagi pengembangan usaha kecil, peningkatan produksi dalam negeri, dan pengem
bangan iklim dan dunia usaha pada umumnya.
Pada praktiknya, pengaturan mengenai tata cara atau pedoman dasar melakukan pengadaan barang/jasa pemerintah seringkali tidak dilakukan sesuai prosedur oleh para penyedia barang/jasa dan juga pengguna barang/jasa yang akibatnya banyak terjadi penyimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan peng
adaan barang/jasa pemerintah.
Bab 1 Pendahuluan 17 Sentralisasi pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah pada dasarnya ber
tujuan untuk menghindari prosesproses yang mengarah pada perilaku koruptif.
Selain hal tersebut, sentralisasi pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dapat membatasi instansiinstansi pemerintah di dalam melaksanakan kegiatan peng
adaan barang dan/atau jasa yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sehingga tidak terjadi penyelewengan keuangan negara.
B. AKAR PERMASALAHAN
Peran Hukum Administrasi Negara sangat penting di dalam mewujudkan tujuan bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Alinea Keempat Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar
kan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ....
Peran penting tersebut, yakni berkaitan dengan pembatasan terhadap tindakantindakan pemerintah agar tidak menyimpang dari peraturan per undang
undangan. Demikian pula dalam kebijakan hukum birokrasi dan pengaturan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam rangka mencegah terjadi
nya tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak hanya Hukum Administrasi Negara yang berperan tetapi juga Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan lainnya.
Hukum Administrasi Negara, salah satunya mengatur mengenai kewenangan yang diberikan pejabat untuk melakukan tindakantindakan hukum tertentu.
Kewenangan tersebut tidak boleh diselewengkan dan dimanfaatkan untuk kepen
tingan pribadinya, karena kewenangan yang disalahgunakan akan menimbulkan kerugian bagi negara, dan tentunya setiap pelanggaran akan dikenakan hukuman atau sanksi.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan peme
rintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undangundang. Dengan kata lain, untuk melakukan tindakantindakan
hukum tertentu, maka penyelenggara negara harus mempunyai kewenangan.
Kewenangan pemerintah merupakan kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.10
Begitupun dalam pengadaan barang/jasa, pemerintah diberikan kewenangan oleh peraturan perundangundangan untuk itu, yakni Perpres No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015. Mekanisme pengadaan barang/jasa juga harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Atas dasar itu, penulis mengkritisi Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Per
ubahan Kedua Perpres No. 54 Tahun 2010 jo. Perpres No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Perpres No. 54 Tahun 2010 sebagai dasar hukum melaksa
na kan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang di dalam pelaksanaannya terdapat banyak modus penyimpangan, penyalahgunaan wewenang oleh panitia selaku pengguna barang/jasa maupun rekanan selaku penyedia barang dan jasa.
Penulis juga mengkritisi tentang ruang lingkup dan sifat kewenangan yang dimiliki pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, serta panitia pengadaan barang dan jasa, apakah kewenangan yang dimiliki tersebut bersifat delegasi, mandat, ataupun atribusi sebagaimana dikenal dalam istilah Hukum Administrasi Negara.
Hal ini berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/ jasa pemerintah.
Pembentukan panitia pengadaan barang/jasa merupakan langkah awal yang strategis dan harus diwaspadai dalam proses pengadaaan barang/jasa pemerintah, sebab berkembangnya penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah sangat tergantung pada komitmen panitia lelang yang berpengaruh terhadap bersih atau tidaknya proses pengadaan barang/
jasa di suatu unit kerja pemerintah.
Beberapa masalah yang terkait dengan tahap ini adalah panitia tidak transparan, integritas panitia lemah, panitia memihak atau tidak independen dengan cara menambah persyaratan untuk membatasi jumlah peserta, dan berbagai bentuk kecurangan lainnya.
Adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang oleh pimpinan sangatlah terlihat, baik pada level eksekutif maupun legislatif, modusnya bisa berupa reko
men dasi lisan dari pimpinan, rencana pengadaan yang diarahkan, adanya lelang
10 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedua, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 70 dan 71.
Bab 1 Pendahuluan 19 tanpa tender, adanya pendelegasian lelang yang tendensius, ataupun rencana pengadaan yang digagalkan. Hal tersebut menunjukkan intervensi penguasa atau pimpinan pada pelaksanaan lelang sangat kuat. Terlebih jika pimpinan memiliki rangkap jabatan sebagai pejabat publik sekaligus merangkap sebagai pimpinan partai tertentu, sehingga kadang muncul adanya kecenderungan kualifikasi yang mengarahkan pada perusahaan tertentu yang sudah bekerja sama dengan partai tersebut.
Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan negara serta mencegah adanya kebocoran keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah melalui penye
lenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, dengan melaksanakan prinsip good governance dan clean government yang didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Tidak ada jaminan bahwa perbaikanperbaikan dalam sistem peraturan yang ada akan menunjang akuntabilitas para pejabat jika pola perilaku para elit politik dan para birokrat masih tetap dipengaruhi oleh nilainilai lama yang cenderung koruptif. Kondisi yang mengungkung para birokrat yang sekian lama selalu tunduk kepada pimpinan politis dan kurang mengutamakan pelayanan publik jelas sangat memengaruhi akuntabilitas dalam birokrasi publik.
Nilainilai koruptif yang seolah melembaga tersebut muncul dalam ber bagai bentuk dan variasinya. Dalam hubungannya dengan kegiatan pengadaan barang/
jasa pemerintah, birokrasi paternalistis di mana jabatan dilihat sebagai sekum
pulan kekuasaan atasan tentu menjadi penyebab ketidakadilan dan cenderung koruptif. Pola dari perilaku koruptif ini akhirnya dapat pula mewujud dalam bentuk pemberian perlakuan yang berbeda oleh birokrasi kepada pengguna layanan, bawahan, atau rekanan dalam kegiatan bisnis pemerintah atau pengadaan barang/ jasa pemerintah ini sangat merugikan banyak pihak.
Pejabat birokrasi publik seringkali memberikan hakhak istimewa kepada pengusaha (calon rekanan) yang memiliki hubungan dekat dengannya. Akibat
nya, dalam pelaksanaan tender pekerjaan pemerintah, para pengusaha yang dekat dengan penguasa cenderung selalu dimenangkan. Akses mereka untuk memperoleh proyek dan pekerjaan dari pemerintah sangat besar, dan mereka bisa memenangkan tender bahkan tanpa harus memiliki profesionalitas yang tinggi, asalkan mereka memiliki hubungan dekat dengan elite birokrasi dan politik.
Selain itu, penyakit lain yang bersumber kepada nilai koruptif lainnya yang menggejala di dalam birokrasi Indonesia adalah kecenderungan untuk mem
bengkakkan atau menggelembungkan anggaran (mark up). Dalam perencanaan anggaran, para pejabat birokrasi cenderung mengusulkan anggaran yang jauh melebihi kebutuhan nyata yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan. Hal itu dikarenakan semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk melaksanakan sebuah kegiatan, akan semakin besar pula insentif atau keuntungan yang diperoleh pelaksana. Semua ini didorong oleh sikap yang mementingkan diri sendiri untuk memperoleh keuntungan dengan jalan yang tidak benar, yakni korupsi.
Reformasi kebijakan hukum birokrasi pengadaan barang dan jasa pemerintah sangatlah diperlukan, selain itu juga adalah implementasi perundangundangan yang konsisten dan reorientasi dari para pejabat birokrasi agar benarbenar menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat juga sangat penting dalam rangka mencegah tindak pidana korupsi, sehingga mewujudkan rasa keadilan bagi rakyat.
C. KERANGKA TEORI
1. Reformasi BirokrasiBirokrasi merupakan alat atau mekanisme dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ada saat ini dinilai belum mampu memenuhi harapan masyarakat dengan sebaikbaiknya sehingga perlu dilakukan reformasi.
Reformasi merupakan proses upaya sistematis, terpadu, dan komprehensif, ditujukan untuk merealisasikan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Good governance (tata kepemerintahan yang baik) adalah sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif dan efisien dengan menjaga sinergi yang konstruktif di antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.11
Birokrasi merupakan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dija lan
kan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundangundangan, maka birokrasi merupakan struktur organisasi yang digambarkan dengan hierarki yang pejabatnya diangkat atau ditunjuk, garis tanggung jawab dan kewenangannya diatur oleh peraturan yang diketahui (termasuk sebelumnya), dan justifikasi setiap keputusan
11 Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 67.
Bab 1 Pendahuluan 21 membutuhkan referensi untuk mengetahui kebijakan yang pengesahannya ditentukan oleh pemberi mandat di luar struktur organisasi itu sendiri.
Birokrasi adalah organisasi yang memiliki jenjang, setiap jenjang diduduki oleh pejabat yang ditunjuk/diangkat, disertai aturan tentang kewenangan dan tanggung jawabnya, serta setiap kebijakan yang dibuat harus diketahui oleh pemberi mandat. Pemberi mandat pada sektor swasta adalah para pemegang saham, dan pada sektor publik adalah rakyat.
Birokrasi adalah suatu organisasi formal yang diselenggarakan berdasarkan aturan, bagian, unsur, yang terdiri dari pakar yang terlatih. Biasanya organisasi yang memiliki pemusatan kewibawaan yang menekankan unsur tata susila, pengetahuan teknis, dan tata cara impersonal. Birokrasi juga berarti alat kontrol yang memiliki hierarki yang berbeda dengan organisasi.
Wujud birokrasi berupa organisasi formal yang besar merupakan ciri nyata masyarakat modern dan bertujuan menjalankan tugas pemerintahan serta mencapai keterampilan dalam bidang kehidupan. Konsep birokrasi pertama kali dikemukakan Vincent de Gournay (1712–1759) ahli ekonomi, John Stuart Mill, dan Gaetano Mosca, kemudian Max Weber yang menyatakan ciri birokrasi antara lain: 12
a. pembagian tugas menurut aturan dan tata cara formal;
b. sistem peraturan, ditetapkan terlebih dahulu untuk segala tugas yang dijalankan pegawai, untuk memastikan keseragaman pelaksanaan tugas dan menye suaikan berbagai tugas;
c. kewibawaan tersusun berdasarkan hierarki, seperti bawahan diawasi atasan, hubungan subordinat ditentukan aturan tertentu;
d. tata cara impersonal, seorang pegawai melaksanakan tugasnya secara formal dan impersonal, artinya berdasarkan aturan tertentu tanpa diikuti emosi, kemarahan/kegairahan;
e. penentuan pegawai didasarkan kelayakan seseorang dan tidak boleh dihentikan sewenangwenang, penghasilan dan kenaikan pangkat di
tetapkan organisasi kinerjanya.
Birokrasi menurut Weber adalah suatu tipe ideal, karena itu dalam bentuk yang murni memang tak berwujud dalam suatu masyarakat, karena organisasi formal yang terwujud dalam masyarakat hanya mendekati tipe ideal dalam derajat berlainan satu sama lain.
12 Ibid., hlm. 68.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya bertujuan untuk terselenggaranya sistem birokrasi yang efektif, bersih, kompetitif, dan responsif terhadap per
ubahan serta berpihak kepada rakyat. Reformasi birokrasi diperlukan karena penghematan anggaran negara, optimalisasi alokasi sumber daya, optimalisasi kinerja, peningkatan mutu pelayanan, pencegahan korupsi, dan perbaikan sistem.
2. Kebijakan Hukum
Sebagai negara hukum, pemerintah dalam kebijakan perlu mempertimbangkan aspekaspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya agar kebijakan yang diambil tersebut tidak melanggar hukum dan sesuai dengan kebutuhan publik.
Menurut Samodra Wibawa bahwa kebijakan publik adalah keputusan suatu sistem politik untuk/dalam/guna mengelola suatu masalah atau memenuhi suatu kepentingan, di mana pelaksanaan keputusan tersebut membutuhkan dikerahkannya sumber daya milik (semua warga) sistem politik tersebut.
Bentukbentuk kebijakan publik di Indonesia beraneka ragam, mulai dari UUD, Keppres, Permen, hingga Perdes (peraturan desa) ataupun peraturan RT (rukun tetangga). Jadi, kebijakan publik itu sangat beragam, sebanyak jumlah level pemerintahan dikalikan jumlah policy makers-nya dikalikan jenis masalah yang hendak ditangani oleh kebijakan tersebut.13
Oleh karena itu, menurut penulis bahwa dalam membuat kebijakan publik tidak terlepas dari persoalan kepentingan publik bahkan bisa dikatakan produk utama dari sebuah sistem dan proses politik adalah kebijakan publik.
Kebijakan publik menurut Mustopodidjaja adalah suatu keputusan yang di
maksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilaksanakan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pem bangunan. Dalam kehidupan administrasi publik, secara formal keputusan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk perundangundangan.14
Kebijakan publik sebagai suatu keputusan yang dibuat oleh instansi yang berwenang, tentunya sarat akan berbagai kepentingan di dalamnya karena
13 Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yog ya
karta, 2011, hlm. 1.
14 Muhlis Madani, Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm. 18.
Bab 1 Pendahuluan 23 kebijakan publik ini merupakan sebuah produk politik. Tentunya kebijakan yang dibuat tersebut harus dilaksanakan oleh semua warga negara tidak terkecuali, meskipun menimbulkan pro dan kontra dalam implementasinya.
Bentuk instrumen kebijakan yang dipilih tergantung pada substansi dan lingkup permasalahan, sifat kebijakan, dan cakupan dampak kebijakan. Menurut Keban, pada umumnya bentuk kebijakan dapat dibedakan atas:15
a. regulatory, yaitu mengatur perilaku orang;
b. redistributive, yaitu mendistribusikan kembali kekayaan yang ada;
c. distributive, yaitu melakukan distribusi atau memberikan akses yang sama terhadap sumber daya tertentu; dan
d. constituent, yaitu sebuah kebijakan yang ditujukan untuk melindungi negara.
Pembuatan kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, ditentukan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Immanuel Kant, negara hukum merupakan salah satu tujuan negara, maksudnya:16
Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya.
Ketertiban hukum perseorangan ialah syarat utama dari tujuan suatu negara.
Tujuan negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hakhak warganya. Rakyat harus menaati undangundang yang dibuat dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu, perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan negara sendiri. Baik negara maupun perseorangan adalah subjek
subjek hukum, yang harus memandang satu dengan lain sebagai sesamanya, sebagai pihakpihak yang memegang hakhak dan kewajiban. Hal ini berarti bahwa negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai objek yang tak bernyawa dan tak mempunyai hak apaapa.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka tindakan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga masyarakatnya harus didasarkan pada hukum.
Jadi, menaati hukum merupakan kewajiban demi terciptanya keamanan dan ketertiban.
15 Ibid.
16 I Wayan Suandi, Eksistensi Kebijakan Publik dan Hukum dalam Penyelenggaraan Peme
rintahan Daerah, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Vol. 1 No. 01, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali, 2010, hlm. 14.