• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Teoritis Dinamika Diri dan Identitas

B. Konsep Diri

2. Perspektif Teoritis Dinamika Diri dan Identitas

perubahan itu disebabkan karena manusia adalah makhluk yang terus meng-identifikasi, makhluk yang mencari keserupaan atau “likeness being”.

imajinasi. Fokus pengamatan adalah adalah sesuatu yang "dapat diamati"

(observable), apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings). Diri tak lebih dari satu bentuk hubungan fungsional dari unit rangsangan dan tanggapan. Perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa diri sangat tergantung para proses pengolahan informasi dan pelekatan nilai. Hasil dari olah kognisi pada informasi ini memunculkan variabel laten sikap sebagai predisposisi perilaku. Beberapa teori dalam perpektif ini antara lain adalah teori medan (field theory), teori atribusi dan konsistensi sikap (concistency attitude and attribution theory) serta teori kognisi kontemporer.

Perspektif struktural dan perspektif interaksionis banyak dianut oleh psikolog sosial yang berangkat dari sosiologi. Perspektif struktural menekankan bahwa diri seseorang terus berupaya mengidentifikasikan diri sesuai dengan peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Manusia mewarisi struktur sosial dalam pola perilaku yang diturunkan oleh generasi ke generasi berikutnya melalui proses sosialisasi. Masyarakat mempengaruhi self. Teori peran mengatakan bahwa masyarakatlah yang mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan- kekuatan individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Konsep diri tergantung pada peran yang dilakukan individu dalam masyarakat. Karena berbagai peran yang dirancangkan oleh masyarakat ini pulalah, identitas tampak seperti kumpulan citra diri yang digunakan sementara dan kemudian berganti.

Perspektif interaksionis yang menjadi perspektif penelitian ini mempunyai keterkaitan dengan perpektif struktural. Bedanya, perspektif

interaksionis menekankan bahwa diri adalah agen aktif dalam menetapkan identitas dan perilakunya. Dirilah yang berperan penting dalam membangun harapan sosial. Diri terus bernegosiasi untuk membentuk interaksi dan harapannya. Perspektif interaksionis ini pertama kali dikembangkan oleh sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago. Ia percaya bahwa keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang dikenal dengan nama budaya.

Individu mempunyai peran atau identitas yang berbeda karena strukturnya dalam kelompok, tetapi dia menolak pandangan bahwa diri dideterminasi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya diri adalah bagian dari lingkungan yang berkontribusi nyata dalam menciptakan lingkungan tersebut. Dalam perspektif interaksionis ini ada beberapa teori yaitu Teori Interaksi Simbolis, Analisis Dramaturgi dari Goffman dan Teori Identitas Sosial. Berikut akan diuraikan secara ringkas masing-masing teori tersebut di atas.

a. Teori Interaksi Simbolik

Mead memberikan perhatian besar pada interaksi sosial di mana dua individu atau lebih berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna.

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol; manusia mengutarakan perasaan, pikiran, maksud dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain. Demikian pula sebaliknya; kita menangkap pikiran, perasaan orang lain dengan menggunakan simbol. Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan manakala simbol yang dikeluarkan

oleh masing-masing pihak dapat dimengerti bersama oleh semua pihak.

Hal ini biasanya terjadi bila individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Bila interaksi tidak berjalan dengan baik, orang tersebut harus terus mencari kesamaan pemahaman.

Paham interaksionis ini mempunyai tiga pikiran dasar. Pertama, bahwa manusia memberi respons terhadap lingkungan dengan dasar pemaknaan dari unsur-unsur lingkungan yang bekerja pada mereka sebagai individu. Kedua, bahwa pemaknaan tersebut merupakan hasil interaksi sosial, dan yang terakhir arti-arti sosial kultural ini dimodifikasikan melalui interpretasi individu di dalam interaksi individu dan lingkungannya (Burns, 1979).

Cooley berpendapat bahwa “diri dan masyarakat adalah saudara kembar”. Ia menunjukkan pentingnya umpan-balik yang diinterpretasikan secara subjektif dari orang-orang lain sebagai suatu sumber data utama konsep diri. Diri dan orang-orang di sekitarnya yang disebut masyarakat membentuk kesatuan yang tak dapat dipisahkan karena masyarakat dibangun dari sejumlah tingkah laku manusia yang menyusun masyarakat itu. Masyarakat kemudian menempatkan batas-batas sosial kepada tingkah laku individu. Cooley memperkenalkan teori looking-glass self, dengan pemikiran bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi oleh apa yang diyakini individu-individu sebagai pendapat orang lain mengenai dirinya.

Cermin memantulkan evaluasi-evaluasi yang dibayangkan orang-orang lain, inilah yang kemudian disebut konsep diri.

Evaluasi cermin dilakukan dalam tiga cara: pertama, individu mengembangkan bayangan bagaimana ia tampil bagi orang lain; kedua, individu membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilannya dan ketiga, individu mengembangkan sejenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Dengan imajinasinya, individu mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan individu, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman dan sebagainya, dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya (Burns, 1979).

Looking glass self muncul dari interaksi simbolis antara seorang individu dan bermacam-macam kelompok intinya. Kelompok semacam itu bercirikan hubungan tatap-muka (face-to-face association), ketetapan yang relatif (relative permanence) dan keeratan hubungan dengan tingkatan tinggi di antara sejumlah kecil anggota menghasilkan suatu integrasi dari individualitas dan kelompok. Hubungan tatap-muka di dalam kelompok tersebut melayani untuk menghasilkan umpan-balik bagi individu untuk mengevaluasi dan berhubungan dengan pribadi dia sendiri. Sebab itu konsep diri dibentuk dengan proses belajar trial-and-error yang mana dengannya nilai-nilai, sikap-sikap, peranan-peranan dan identitas dipelajari. Mead berpendapat bahwa konsep diri sebagai objek timbul dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan perhatian individu mengenai bagaimana orang-orang lain bereaksi kepadanya. Mead juga mengedepankan arti penting bahasa sebagai penghubung di antara diri dan masyarakat.

b. Analisis Dramaturgi Goffman

Goffman (1967) menawarkan suatu perluasan dari paham interaksi simbolis ke dalam metafora dramaturgis, dengan menyatakan bahwa setiap individu mengadakan suatu pertunjukan bagi orang-orang lain dengan mengatur kesan-kesan yang dia berikan kepada orang lain tentang dirinya sendiri. Presentasi diri melalui peran dan pertunjukan adalah upaya menciptakan identitas-identitas individu. Diri dan masyarakat yang menurut Mead merupakan saudara kembar; dipandang oleh Goffman bagai naskah adegan drama, di mana diri dan masyarakat berinteraksi di dalam episode-episode singkat. Terdapat naskah adegan yang diikuti dan ketika pertunjukan telah selesai, individu akan menanggalkan kostumnya dan memakai pakaian lainnya pada kesempatan berikutnya. Ini adalah proses alami adaptasi diri terhadap peranan-peranan yang berbeda dengan tujuan untuk memudahkan proses-proses sosial.

Analisa dramaturgis dari Goffman terhadap masyarakat ini menawarkan cara pandang bahwa ”diri” tidak mencoba untuk berbuat tetapi menjadi sesuatu. Tugas dari proyeksi citra dilihat sebagai bagian proses sosialisasi. Identitas-identitas sosial digunakan sebagai dasar tingkah laku di dalam konteks khusus, yang menyediakan isyarat-isyarat bagi orang lain untuk memudahkan tugas berkomunikasi dengan orang- orang lain dengan menunjukkan siapa dia sebenarnya pada waktu dan tempat tertentu. Dramaturgi menyajikan terminologi “presentasi diri”

sebagai cara manusia mengatur impresi yang dilakukan oleh seseorang dengan kesadaran penuh (Trammell dan Keshelashvili, 2005), di mana pengaturan impresi itu sendiri adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan secara interaktif dilakukan. Presentasi diri merupakan serangkaian

pertunjukan adegan panggung, interaksi sosial adalah penampilan teatrikal, di mana setiap orang menunjukkan tindakan verbal maupun non verbal untuk mengekspresikan dirinya. Orang selalu berganti peran, sesuai dengan panggungnya. Mereka yang berhasil menimbulkan kesan yang baik diistilahkan dengan in face, sedangkan yang buruk out of face.

Dalam pertunjukan, tiap pemeran mempunyai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Sehari-harinya pemain bergantian peran sebagai artis utama dan di saat lain sebagai penonton. Di suatu saat berada di panggung depan dan di saat lain mundur ke belakang panggung, di mana ia menjadi pemain non-peran. Pada saat seseorang melakukan pertunjukan (performance) di hadapan khalayak, penting untuk memelihara citra diri yang stabil (Goffman, 1959). Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara sosial dimainkan seseorang dalam suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu (Goffman, 1959).

Belakang panggung adalah surga bagi para pelakon, di mana mereka dapat rileks, melonggarkan beberapa batasan diri karena “restriksi”

wilayah depan. Goffman mendefinisikan belakang panggung sebagai

"tempat di mana kesan pertunjukan bagi para pelakon mungkin tampak berkontradiksi dibading peranya di depan panggung". Ini adalah tempat di mana pemain dapat dipercaya mengharapkan bahwa tidak ada anggota

penonton akan mengganggu. Sebuah ruang makan siang staf di sebuah rumah sakit merupakan salah satu contoh belakang panggung, atau kantin di kampus untuk dosen misalnya. Oleh mundur ke belakang panggung pelakon dapat mengesampingkan perannya, memeriksa penampilannya dan memohon “make-up ulang” (Zarghooni, 2007). Dramaturgi menyimpulkan bahwa presentasi diri sangat bergantung terhadap waktu, tempat dan audiens. Tujuan utamanya adalah bahwa eseorang memperoleh nilai ideal pandangan orang lain dan memenuhi apa yang disenangi oleh orang lain (Rafaeli and Harness, 2002).

Dinamika pembentukan identitas online dapat dimetaforakan sebagai topeng atau baju peran yang diambil seseorang pada suatu waktu tertentu yang bersifat sangat fleksibel dan dinamis dalam kerangka analisis Goffman ini.

c. Teori Identitas Sosial

Manusia hidup dalam lingkungan yang lebih besar yaitu masyarakat. Individu tak dapat dilepaskan dari masyarakat. Identitas seseorang tak dapat dipisahkan dari identitas sosialnya (Fromm ,1947).

Sebagai makhluk individual dan makhluk sosial, individu membangun konsep dirinya berdasarkan gambaran dan cita-cita diri ideal yang secara sadar dan bebas dipilih, tetapi selalu terikat dengan norma yang mengikat semua warga masyarakat dalam tempat di mana ia hidup dan mengambil peran sosial. Teori yang menghubungkan erat identitas individu dalam kaitannya dengan kelompok di mana ia berada dikenal dengan teori identitas sosial.

Teori identitas sosial berangkat dari pemikiran bahwa individu adalah bagian dari kelompok tertentu baik itu disadari maupun tidak

disadari. Konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu dapat didefinisikan secara sosial (Verkuyten, 2005). Hal ini sejalan dengan teori Lacan yang menyatakan bahwa diri ideal terbentuk ketika terjadi mekanisme psikis yang mengkaitkan dan menyesuaikan citra diri dengan aturan yang berlaku, hukum dan adat dalam sistem kemasyarakatan.

Pandangan identitas sosial mengklaim bahwa manusia bercermin ke suatu gambaran ideal komunal yang diambil sebagai identitas dirinya. Identitas tersebut bukanlah dirinya yang otentik melainkan hasil olahan bentuk yang diambilnya dari luar dirinya dan diakui sebagai miliknya sendiri. Diri yang sehat terus menerus berusaha mengasosiakan dirinya dengan suatu atribut dari kelompok yang dirasanya dekat, juga mewakili hasrat pencarian kesamaan (identitfikasi) manusia.

Tajfel (1979) mendefinisikan identitas sosial sebagai pengetahuan individu dimana ia merasa menjadi bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi serta nilai. Identitas sosial menurut Abrams

& Hogg (1990) adalah konsep diri seseorang sebagai anggota kelompok.

Identitas sosial ini bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas pekerja, agama, umur, gender, suku, keturunan, dan berbagai hal lain. Fungsi identitas sosial bagi diri adalah sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia saat itu, posisi apa saja yang sama dan yang berbeda (Sarben & Allen, 1968). Identitas sosial pada umumnya berbentuk ide, perilaku, sikap maupun simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi.

Teori identitas sosial beraras pada tiga proses interaksi keanggotaan suatu kelompok yaitu kategorisasi, identifikasi dan komparasi (Oakes, Haslam, & Turner, 1998; Haslam, 2004). Proses kategorisasi

dilakukan individu dengan melekatkan nilai-nilai dalam kelompoknya saat menilai kelompok lain. Kategorisasi sosial melihat apakah individu bagian atau bukan bagian sebuah anggota kelompok sosial yang berarti atau bermakna (Stangor, 2004). Kategorisasi diri memberikan perbandingan antara kelompok yang mereka miliki (in-group) dan kelompok yang tidak mereka rasa memilikinya (out-group). Identifikasi adalah proses psikologis melibatkan diri dalam suatu kontruksi sosial tertentu (Verkuyten, 2005). Mengidentifikasikan diri adalah proses yang dilakukan terus menerus oleh seorang individu untuk mendapatkan identitas.

Identifikasi terjadi untuk mencari “keserupaan” Identifikasi mencoba memahami identitas pribadi berada dalam identitas apa (Hall, 1996, dalam Verkuyten, 2005). Sedangkan komparasi adalah proses interaksi membandingkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dan siapa yang berbeda.

3. Faktor-Faktor Psikologis dalam Interaksi Diri dan Identitas Online