BAB IV KONSEP KAMPUNG TANGGUH
4.3 Tindak Lanjut dan Tantangan Implementasi Kampung
| 70
meningkatkan ketangguhan diharapkan dapat berjalan secara komprehensif, serta menyasar seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya berfokus pada konstruksi fisik dan infrastruktur saja, namun juga peningkatan kapasitas SDM serta penguatan komunitas sebagai subjek dan generator pembentuk ketangguhan.
Penguatan komunitas menjadi penting karena dapat membentuk modal sosial. Bentuk keterikatan relasi masing-masing individu di dalam satu komunitas atau kelompok masyarakat memungkinkan kelompok tersebut berfungsi secara efektif. Misalnya, ketika terjadi bencana, kelompok masyarakat yang memiliki rasa keterikatan yang tinggi akan dengan sukarela bekerjasama dan “saling menjaga” dalam mengatasi bencana tersebut.
Pada akhirnya, ketangguhan sosial dapat terbentuk ketika koneksi antar pemangku kepentingan (masyarakat, pemerintah, dan lain-lain) telah terjalin dengan baik dan berkelanjutan. Persiapan SDM dan kelembagaan menjadi aspek yang sangat penting. Persiapan SDM dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat, penguatan kelembagaan, serta penyusunan agenda kampung tangguh yang disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat.
4.3 Tindak Lanjut dan Tantangan Implementasi Kampung
| 71 dua faktor utama tantangan implementasi kampung tangguh terkait partisipasi atau kerjasama dan pembiayaan:
1. Partisipasi dan kerjasama
Beberapa rekomendasi percepatan implementasi dilakukan dengan memastikan komponen kolaborasi dan pembiayaan Kampung Tangguh. Berkaitan dengan kolaborasi, konsep Pentahelix dapat menjadi referensi, mengingat Kampung Tangguh merupakan program yang perlu melibatkan sinergitas komponen aktor pemerintah dengan fungsi regulator, akademisi sebagai konseptor, bisnis memiliki fungsi enabler, komunitas/masyarakat berperan sebagai akselerator, dan media sebagai ekspander atau memperluas penyebaran informasi ke publik (Slamet dkk, 2017).
2. Komponen pembiayaan
Sementara komponen penting lainnya yaitu pembiayaan, percepatan implementasi harus didukung dengan konsep pembiayaan yang tidak bergantung pada pembiayaan konvensional saja melainkan harus disiapkan alternatif lain (Indrayati, 2021;
Kementerian PUPR, 2020). Beberapa opsi pembiayaan, antara lain:
Pembiayaan program melalui plotting APBD
Memasukkan komponen pembiayaan peningkatan ketangguhan kota terhadap ancaman dan guncangan akibat bencana di perkotaan sebagai dampak dari urbanisasi dan perubahan iklim.
Konsep pembiayaan melalui CSR
Konsep pembiayaan CSR menjadi alternatif pembiayaan program Kampung Tangguh. Konsep ini dapat dioptimalkan dengan me- libatkan para pelaku bisnis. Perusahaan bertanggung jawab secara sosial kepada pemangku kepentingan dan masyarakat luas sebagai bentuk perhatiannya dalam meningkatkan kesejahteraan serta menyebarkan dampak positif bagi lingkungan. Hal ini sejalan dengan potensi keterlibatan industri di perkotaan sebagai penyum- bang polutan (air, udara, tanah) pemicu penurunan kualitas ling- kungan.
| 72
Konsep pembiayaan melalui hibah, lembaga donor nasional dan internasional
Paradigma pembangunan berkelanjutan sesuai dengan indikator dalam SDGs kini menjadi concern global. Program-program terkait perbaikan kualitas lingkungan yang memiliki tujuan pengurangan emisi karbon dan peningkatan ketahanan dan ketangguhan (resilience) sangat strategis untuk terus ditingkatkan, terdapat lembaga donor nasional maupun inter-nasional serta lembaga non- profit lainnya yang bersedia untuk menyediakan pendampingan atau fasilitasi, kerjasama, hingga bantuan pendanaan (funding).
Integrasi, kolaborasi, dan sinergitas multisektor didukung dengan pembiayaan yang memadai diperlukan dalam perumusan inisiasi pro- gram untuk mewujudkan kampung tangguh. Perumusan dokumen pe- rencanaan kedepannya diharapkan dapat mempertimbangkan upaya- upaya untuk merespon isu-isu strategis terkait urbanisasi dan pe- rubahan iklim yang dapat ditindaklanjuti dengan program-program peningkatan ketangguhan kota yang sejalan dengan upaya pelibatan dan peningkatan kapasitas komunitas.
| 73
BAB V
KONSEP MANAJEMEN RISIKO BENCANA BERBASIS MASYARAKAT - COMMUNITY BASED DISASTER RISK
MANAGEMENT (CBDRM)
5.1 Pentingnya Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Risiko Bencana
CBDRM adalah upaya pengurangan risiko bencana, seperti korban jiwa dan kerugian fisik/materiil, melalui pelibatan masyarakat. CBDRM merupakan salah satu bentuk perencanaan partisipatif yang dilakukan melalui iden-tifikasi permasalahan dan aksi, bertujuan untuk mengurangi risiko pada masyarakat. Pada praktiknya, penyusunan CBDRM belum dilakukan secara merata di seluruh wilayah, namun masih terbatas pada wilayah paling rentan dengan tingkat risiko tinggi.
Yodmani (2001) mendefinisikan CBDRM sebagai pendekatan partisi- patif yang bertujuan untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengatasi bencana melalui upaya pengu- atan ketahanan pada tingkat lokal, meminimalisir kerugian, dan mempercepat tindakan pemulihan pasca terjadi bencana. Akademisi, praktisi, dan pemerintah secara aktif mempromosikan metode partisipatif sebagai alat yang efektif untuk memberdayakan dan mem- bangun kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana (Dash, 2016; Lassa et al., 2009).
Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Regulasi tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal ini adalah melalui Program Nasional Pembentukan Destana/Katana. Destana/Katana adalah desa/
| 74
kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dalam menghadapi potensi ancaman bencana. Desa/kelurahan terse- but mampu memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak bencana. Sebuah desa memiliki ketangguhan, ketika desa tersebut dapat mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengor- ganisasikan sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan sekaligus meningkatkan kapasitas.
Dalam CBDRM, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengantisipasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuan mitigasi serta adaptasi.
Partisipasi komunitas diterapkan pada setiap tahapan rencana aksi CBDRM, seperti dalam tahap pembuatan konsep, konstruksi, operasi- onalisasi-pemeliharaan program, serta evaluasi dan pengawasan (Lassa et al., 2014). Konsep ini memunculkan gagasan pe- nanggulangan bencana berbasis masyarakat yang menempatkan masy- arakat sebagai garda terdepan (Bhadra et al., 2012).
CBDRM memadukan ilmu bencana dengan bingkai gerakan sosial masyarakat yang menekankan bahwa tanggap bencana harus berbasis masyarakat (people-based) dan berorientasi pada masyarakat (people- oriented). Hal ini dilatarbelakangi fakta bahwa masyarakat adalah elemen yang langsung terdampak kerugian saat kejadian bencana sehingga harus dilibatkan dalam pengelolaan risiko bencana (Heath et al., 2020; Vidianti et al., 2020). Keterlibatan masyarakat penting dalam proses mitigasi, kesiapsiagaan, dan pemulihan melalui penyediaan wadah, akses, dan kontrol atas sumber daya yang dimiliki masyarakat (Hegger et al., 2016; Carreño et al., 2007). Dalam kerangka CBDRM, anggota masyarakat adalah aktor utama dalam merencanakan atau merancang langkah-langkah strategis untuk bertahan dan beradaptasi pada saat bencana, melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dan potensi lokal (Musavengane & Kloppers, 2020; Pahl-Wostl et
| 75 al., 2020). Masyarakat dengan pengetahuan permasalahan, konsekuensi, dan tantangan-tantangan yang dihadapi perlu dilibatkan dalam penyu-sunan kebijakan dan strategi dalam mitigasi dan pengurangan risiko bencana (Lei et al., 2014). Proses pelibatan ini akan menimbulkan rasa memiliki dan komitmen jangka panjang dari masyarakat (Kusumastuti, 2016; Kwok et al., 2016).
Pendekatan CBDRM mempromosikan kombinasi pendekatan bottom- up dan top-down, untuk mengatasi keterbatasan sumber daya serta meningkatkan efektivitas implementasi program pengelolaan risiko bencana. Pendekatan top-down dilakukan untuk mengawali proses inisiasi CBDRM, yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat melalui kebijakan dan pendampingan awal dari pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Pendekatan top- down dalam CBDRM juga dapat dilihat dalam proses akhir, yaitu ketika praktik CBDRM dijadikan sebagai bentuk kelembagaan dengan output berupa dokumen perencanaan pengelolaan risiko bencana yang perlu diawasi pelaksanaan serta keberlanjutannya oleh pemerintah (BPBD).
Pendekatan bottom-up diwujudkan dalam keterlibatan aktif masyarakat sebagai subjek CBDRM pada setiap proses dan tahapan pengelolaan risiko bencana.
Kontribusi masyarakat lokal diperlukan untuk menganalisis kondisi bahaya, kerentanan dan kapasitas mereka (Bhadra et al., 2012). Dengan melibatkan masyarakat, dapat terbentuk kemandirian (self-aiding), kemitraan (partnership), rasa aman (satisfactory feeling in life), tanggungjawab sosial-lingkungan (responsibility growth and society organizing) dalam pengelolaan risiko bencana yang partisipatif (Salajegheh & Pirmoradi, 2013). Melalui konsep CBDRM, masyarakat mendapatkan pelatihan dan pendampingan yang dibutuhkan untuk meminimalisir dampak bencana pada lingkungan (Chelleri et al., 2015).
| 76
5.2 Keterlibatan Masyarakat dan Pemangku Kepentingan
Pembagian kewenangan dalam CBDRM dilakukan untuk memperjelas fungsi serta peran masing-masing individu dalam proses perencanaan dan implementasi. Setiap individu memiliki peluang terlibat dalam melakukan kerjasama, kolaborasi, dan koordinasi. Keterlibatan masyarakat dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat keikutsertaan guna mencapai kinerja yang efektif, efisien, dan berkelanjutan (Lassa et al., 2014). Masyarakat lokal dalam CBDRM dikelompokkan dalam berbagai peran, sebagai berikut (Salajegheh & Pirmoradi, 2013):
Peran pasif (passive role): masyarakat yang bertindak mengikuti dan mematuhi peraturan kebijakan dan perundang-undangan yang berlaku.
Peran konsultasi (consulting role): masyarakat yang memiliki kapabilitas sebagai pemberi informasi dan pandangan mereka terhadap suatu fakta dan kondisi lingkungan tempat tinggal terdapat individu dengan peran strategis dalam bidang pemerintahan, pendidikan, dan komunitas yang relevan dengan upaya pengelolaan risiko bencana.
Peran rekan (colleague role): masyarakat yang dapat dilibatkan dalam manajemen pengelolaan risiko bencana dengan kapasitas dan kapabilitas khusus, misalnya masyarakat.
Peran pembelajar (learner role): masyarakat dengan adat dan budaya adaptasi dan mitigasi yang telah dilakukan dijadikan sebagai modal pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk intervensi program pengelolaan risiko bencana.
Peran aktif dan luhur (active and sterling role): masyarakat yang dapat terlibat langsung dalam setiap kegiatan proses perencanaan hingga implementasi pengelolaan risiko bencana.
Dalam pelaksanaannya, CBDRM membutuhkan minimal tiga pre- kondisi yang harus tersedia di lingkungan masyarakat sebagai berikut:
1. Keberadaan inisiasi kelompok rintisan masyarakat
| 77 Pelaksanaan CBDRM notabene berbasis organisasi struktural atau non-struktural skala komunitas yang secara sukarela berkomitmen untuk penyelesaian masalah bersama. Keberadaan inisiasi kelom- pok rintisan masyarakat akan mempermudah CBDRM untuk dikenal dan diaplikasikan kepada masyarakat. Dalam praktiknya di Indonesia, kelompok rintisan masyarakat tersedia dalam bentuk perkumpulan kepala keluarga melalui kegiatan keagamaan atau rapat rutin, perkumpulan ibu-ibu melalui kegiatan keagamaan dan PKK, dan perkumpulan remaja melalui Karang Taruna.
2. Keberadaan kelompok masyarakat rentan terhadap bencana Sesuai dengan konteks CBDRM, pengarusutamaan masyarakat dengan kerentanan tinggi menjadi komponen utama yang mem- butuhkan penanganan khusus. CBDRM sebagai gerakan lokal masyarakat dapat dimulai dalam lingkup kecil sebagai pilot-project sebelum dilakukan secara masif di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, pemberian pengajaran kepada masyarakat diprioritaskan untuk lokasi tempat tinggal di daerah rawan bencana. Komponen pengajaran yang diberikan harus mencakup: pengembangan penge- tahuan dan kesadaran, kemampuan keterampilan untuk memper- siapkan mereka dalam petualangan dan bencana.
3. Ketersediaan SDM yang terbuka terhadap perubahan
Masyarakat adalah aktor utama dalam CBDRM. Pelaksanaan CBDRM memerlukan dukungan penuh masyarakat dalam setiap prosesnya. Ketersediaan SDM dengan keterbukaan menerima peru- bahan dan pembaharuan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang lebih adaptif dan tangguh terhadap bencana. Keterbukaan masyarakat dapat digambarkan melalui masyarakat yang menye- tujui aturan yang komprehensif dalam merencanakan program pengelolaan risiko bencana sehingga konsekuensi bahaya akan berkurang.
Kolaborasi multisektoral diperlukan dalam proses CBDRM untuk mempermudah tahapan implementasi yang berkaitan erat dengan penyediaan kebutuhan struktural (infrastruktur, sarana dan prasarana)
| 78
dan non-struktural (dokumen kajian, kebijakan, dan peraturan). Kon- sep Pentahelix menjadi salah satu opsi yang paling relevan dalam imple- mentasi CBDRM. Keberadaan unsur pemerintah, swasta atau bisnis, masyarakat, akademisi, dan media diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas rencana aksi CBDRM. Setiap tahapan dan proses CBDRM harus diinformasikan kepada masyarakat sebagai sub- yek dalam program ini. Penyampaian informasi terkait siapa pemang- ku kepentingan yang berperan dalam kegiatan CBDRM perlu disam- paikan kepada masyarakat untuk mendapatkan kepercayaan (trust).
5.3 Tahapan CBDRM
Tahapan dalam praktik dan implementasi CBDRM dilakukan secara sistematis, sesuai dengan model perencanaan partisipatif lainnya. Ada- pun yang membedakan adalah proses identifikasi masalah dan pemetaan kelompok masyarakat di kawasan rawan bencana berdasarkan tingkat kerentanan yang dihadapi. Gambar 5.1 menunjukkan tahapan CBRM.
Sumber: Diadopsi dari Firmandhani & Alfia Riza, 2018; Tanwattana, 2018; Lassa et al., 2014;
Salajegheh & Primoradi, 2013 Gambar 5. 1 Tahapan CBDRM
| 79 1. Pemahaman konteks kebencanaan kepada masyarakat
Pada tahap awal CBDRM, masyarakat perlu dibekali dengan informasi mendasar sesuai dengan konteks kebencanaan yang dihadapi wilayahnya. Pemahaman konteks dilakukan melalui pela- tihan, berbagi pengalaman terkait manajemen kesiapsiagaan ben- cana, pembangunan kondisi gawat darurat, pengamatan dan pemantauan bahaya, penginformasian kebijakan kebencanaan, serta pemberian informasi kebencanaan lain yang relevan.
2. Analisis urgensi, situasi, risiko dan kondisi yang dihadapi masya- rakat
Setelah memahami konteks kebencanaan, masyarakat dilibatkan dalam penilaian lanjutan terkait urgensi pencegahan, penanganan, dan penanggulangan bencana. Analisis situasi dan kondisi masya- rakat dilakukan untuk memprediksi kebutuhan penanggulangan bencana. Analisis situasi ini dapat dijadikan langkah penyusunan profil awal masyarakat, risiko bencana yang dihadapi, informasi historis kebencanaan, karakteristik kondisi lingkungan, sosial, eko- nomi, dan budaya setempat.
3. Kajian upaya kolaboratif dan partisipatif
Kajian kolaboratif dan partisipatif terkait tingkat keterpaparan masyarakat serta kapasitas masyarakat untuk menanggulangi risiko bencana. Pengkajian dampak dan risiko bencana merupakan proses partisipatif yang melibatkan komunitas dan rumah tangga. Dalam praktiknya dilakukan secara kolaboratif dengan aktor lainnya melalui pemberian fasilitas. Pengkajian bersama tingkat resiko di masyarakat meliputi: persepsi masyarakat terhadap risiko, peng- kategorian bahaya, pemetaan bahaya, pemetaan kerentanan, peme- taan kapasitas masyarakat, identifikasi risiko, evaluasi dan peni- laian risiko, pemetaan potensi sumberdaya, serta analisis dan pela- poran bersama ke komunitas (Lassa et al., 2014).
4. Perencanaan dan formulasi rencana aksi
Tindakan perencanaan program dan formulasi rencana dilakukan berdasarkan hasil analisis urgensi-situasi-risiko yang telah didapat- kan pada tahap dua dan digabungkan dengan hasil kajian keter- sediaan proses kolaboratif serta partisipatif. Perencanaan ini me-
| 80
liputi memformulasikan tujuan untuk meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan sehingga masyarakat memiliki kemam- puan mencegah, mitigasi dan menyiapkan diri dalam menghadapi bencana. Dari proses CBDRM setelah tersusun rencana aksi, perlu dilakukan implementasi rencana pembiayaan, yaitu pemetaan du- kungan finansial. Pada tahapan ini, bentuk partisipasi juga bisa dari akademisi yang membantu membangun lingkungan untuk pen- ciptaan, pengorganisasian, penyimpanan, dan penerapan pengeta- huan CBDRM dengan cara mengimplementasikan studi kasus dae- rah lain (Rehman et al., 2019).
5. Pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi
Tahapan monitoring dan evaluasi ditempatkan sebagai puncak upaya pengurangan risiko bencana. Tahapan ini dilakukan untuk memastikan kesepakatan perencanaan aksi partisipatif yang telah diformulasikan telah sesuai dengan tujuan awal penyusunan do- kumen manajemen risiko bencana berbasis komunitas untuk me- redam risiko. Dalam tahapan ini terdapat serangkaian kegiatan yang terdiri dari: pengorganisasian pelaksana kegiatan, mobilisasi sumberdaya, melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah diren- canakan, melakukan pemantauan kegiatan serta menggunakan ha- sil pemantauan untuk memperbaiki rencana peredaman risiko yang dilaksanakan.
6. Penilaian dan umpan balik
Penilaian hasil kegiatan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan untuk mengurangi risiko bencana. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi sejak dini, serta sebagai bahan pemberdayaan komunitas lain dalam meningkatkan kemam- puan pengelolaan risiko bencana.
7. Penyebarluasan informasi (pengintegrasian dengan program kebencanaan lainnya
Mendokumentasikan proses pembelajaran dan penyebarluasan praktik-praktik sukses ke masyarakat dan wilayah lain menjadi proses penting agar dapat dijadikan acuan atau best practice implementasi CBDRM. Penyebarluasan ini bukan hanya dari sisi geografis tetapi juga penyebarluasan sektoral. Tahap ini dapat
| 81 menunjukkan upaya integrasi penanggulangan risiko bencana dengan sektor strategis lainnya.
8. Pengelolaan yang adaptif dan responsif
Akhir dari proses CBDRM tidak hanya berhenti pada rencana aksi saja, melainkan dilanjutkan hingga proses kelembagaan suatu program. Pembentukan CBDRM sebagai sebuah sistem perlu diperkuat dengan kelembagaan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam mencegah, mengurangi, dan menanggulangi dampak akibat bencana (Nidn, 2021). CBDRM diharapkan menjadi program berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Pengelolaan untuk mengurangi dampak dan risiko bencana yang berbasis pada masyarakat berpotensi besar mencapai keberlanjutan, perluasan, dan pengintegrasian.
Upaya pendampingan dari pemerintah, akademisi, maupun pihak terkait lainnya dalam proses awal pilot-project CBDRM diharapkan dapat memperkaya kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam penanganan risiko bencana. Pada tahap ini pula dibangun mekanisme kolaborasi dan kerjasama dengan aktor lain, seperti akademisi dan pemerintah. CBDRM dapat dilakukan beriringan dengan pengelolaan risiko bencana sesuai dengan program pemerintah, melalui tanggung jawab pokok dan fungsi, baik dalam lingkup nasional, provinsi, hingga kabupaten.
5.4 Praktik Instrumen CBDRM di Kota Semarang
CBDRM di Kota Semarang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap bencana banjir. Proses ini merupakan bagian dari program nasional yaitu pembentukan Kelurahan Tangguh Bencana atau Katana (Kota Kita et al., 2020). Praktik CBDRM pertama kali dilakukan Kota Semarang melalui Program Zurich Flood Resilience (ZFRP) pada tahun 2017 yang didampingi oleh IKUPI (IKUPI, 2020).
Penyusunan dokumen CBDRM di Kota Semarang diprioritaskan untuk daerah yang memiliki tingkat kerentanan atau tingkat risiko bencana
| 82
tinggi. Praktik CBDRM di Kota Semarang dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat lokal (IKUPI, 2020).
CBDRM telah dilakukan pada wilayah yang memiliki potensi ancaman dan guncangan bencana. Saat ini CBDRM telah disusun pada beberapa kelurahan salah satunya adalah Kelurahan Bulu Lor. Kelurahan Bulu Lor menjadi salah satu wilayah yang terkena dampak banjir karena lokasinya berhadapan langsung dengan Sungai Kanal Banjir Barat.
Kawasan hunian yang berada di dekat sungai, terendam air hingga satu meter, sehingga warga harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi dan meninggalkan barang-barang mereka di rumah. Belajar dari kejadian tersebut, pemerintah bersama dengan masyarakat perlahan mulai membangun dan memperbaiki kualitas saluran pada lingkungan permukiman, yang dilanjutkan dengan normalisasi Sungai Kanal Banjir Barat.
Melalui kegiatan tersebut, diharapkan Kota Semarang dapat terbebas dari banjir. Dengan normalisasi Sungai Kanal Banjir Barat, intensitas banjir di Kota Semarang berkurang. Secara fisik, wilayah di sekitar Sungai Kanal Banjir Barat menjadi lebih tangguh dalam menghadapi musim penghujan, meskipun masih terdapat beberapa wilayah yang tetap dilanda banjir. Namun, secara non fisik, kesiapan masyarakat dalam menghadapi banjir masih kurang. Hal ini akan berdampak langsung kepada kondisi lingkungan sekitarnya. Kondisi ketidak- pedulian masyarakat terhadap infrastruktur yang telah dibangun dengan baik akan menurunkan fungsi dari infrastruktur tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan rencana kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi banjir.
CBDRM atau Dokumen Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas/masyarakat merupakan perwujudan dari rencana
| 83 kesiapsiagaan masyarakat. Di dalamnya memuat berbagai rencana aksi yang disusun oleh masyarakat kelurahan (dalam hal ini, Kelurahan Bulu Lor) untuk mengurangi risiko dan dampak dari peristiwa banjir.
Penyusunan CBDRM Kelurahan Bulu Lor dilakukan oleh perwakilan masyarakat dari berbagai elemen, seperti BKM, LPMK, Karang Taruna, PKK, serta KSM. Proses penyusunan tersebut difasilitasi oleh IKUPI dan MCI. Dokumen ini berisi sekumpulan aksi yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan banjir masyarakat dengan berbagai skenario pendanaan, dan dapat diusulkan dalam forum Musrenbang.
Praktik CBDRM yang telah diterapkan di Kelurahan Bulu Lor, secara garis besar, dilakukan melalui tiga tahap (Gambar 5.2):
1. Pemetaan jenis bencana dan luas area terdampak
Identifikasi bencana dilakukan pada masing masing ancaman, yaitu ancaman geologi, hidrometeorologi, biologi, kegagalan teknis, ling- kungan, dan sosial. Dari pemetaan ancaman tersebut masyarakat kemudian memetakan lokasi terdampak bencana. Masyarakat di- arahkan dan didampingi untuk mengenali masalah di lingkungan- nya.
2. Identifikasi dampak dan tingkat risiko kejadian bencana
Pada tahap ini masyarakat melakukan proses identifikasi dampak dan tingkat risiko dari kejadian bencana. Proses identifikasi risiko dilakukan pada setiap bencana yang telah ditetapkan pada tahap pertama. Masyarakat diajak untuk mengidentifikasi risiko yang timbul pada masing masing bencana.
3. Penetapan Isu Prioritas
Penentuan isu prioritas dalam penyusunan Dokumen CBDRM dilakukan setelah melalui tahap pemetaan pemangku kepentingan di Kelurahan Bulu Lor. Proses penentuan isu prioritas, meliputi:
a. Pemetaan partisipatif mengenai lokasi banjir di Kelurahan Bulu Lor.
b. Perumuskan prioritas masalah di Kelurahan Bulu Lor berdasarkan aspek ketangguhan (Source of Resilience) yang digunakan dalam ZFRP.
| 84
Gambar 5. 2 Infografis Manajemen Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Kelurahan Bulu Lor
Proses penentuan isu prioritas dilakukan melalui pelaksanaan workshop prioritasi masalah. Adapun tahapan dan proses prioritasi masalah dijelaskan pada Gambar 5.3.
| 85
Sumber: Pemerintah Kelurahan Bulu Lor, 2017
Gambar 5. 3 Tahapan Penyusunan Dokumen CBDRM
Metode yang digunakan adalah metode skoring. Metode tersebut dilakukan untuk mengkuantifikasikan kondisi wilayah ke bentuk angka numerik. Hal ini berguna dalam menilai intensitas tingkat kejadian bencana yang terjadi, sehingga dapat diperkirakan dampak serta tingkat kemungkinan terjadinya bencana.
Berdasarkan hasil tersebut, kemudian disusun perumusan rencana aksi. Skor mengindikasikan kondisi aspek ketangguhan di Kelurahan Bulu Lor, sebagai berikut:
a. Skor A: aspek ketangguhan dalam kondisi sangat baik, ada, dan mencukupi
b. Skor B: aspek ketangguhan sudah ada, tetapi masih bisa ditingkatkan
c. Skor C: aspek ketangguhan sudah ada tapi masih kurang dan sangat dibutuhkan
| 86
d. Skor D: aspek ketangguhan belum dimiliki oleh masyarakat atau masih sangat kurang, sehingga dapat menimbulkan risiko yang tinggi
4. Penyusunan rencana aksi berbasis masyarakat
Perumusan aksi perlu mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat diajak langsung untuk menyusun rencana aksi sesuai dengan tipe bencana yang telah diidentifikasi. Pendetailan terhadap aksi yang diusulkan oleh masyarakat, meliputi waktu pelaksanaan, pemangku kepentingan yang terlibat, lokasi, potensi sumber pembiayaan, potensi risiko, dan tingkat partisipasi masyarakat.
5. Pasca CBDRM (monitoring dan evaluasi)
Sejak diinisiasi pada tahun 2017, CBDRM Kelurahan Bulu Lor telah diimplementasikan dan dimasukkan sebagai salah satu komponen yang diusulkan dalam Musrenbang kelurahan, kecamatan, hingga Kota Semarang. Proses aktualisasi CBDRM dapat dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki serta dukungan Pemerintah Kota Semarang. Aksi-aksi prioritas pengelolaan risiko bencana di Kelurahan Bulu Lor, meliputi pembuatan KSB, pembuatan alat pengukur ketinggian muka air, mitigasi bencana, pelatihan atau simulasi evakuasi, sosialisasi pengelolaan sampah, sosialisasi larangan pendirian bangunan bantaran sungai, optimalisasi keterlibatan perempuan dalam pengelolaan risiko banjir, dan penyediaan nomor darurat untuk pelaporan gangguan kebencanaan.
Masyarakat dapat mengemukakan apa yang mereka ketahui dan apa yang dibutuhkan. Pada akhirnya, rangkaian proses pelibatan masyarakat memberikan gambaran kondisi terkini, sehingga lebih sesuai dengan realita yang dihadapi. Disisi lain, masyarakat mampu lebih memahami kondisi wilayahnya. Dengan demikian, mereka dapat secara kontinyu mempersiapkan, melakukan, dan merencanakan tindakan proaktif untuk menangani permasalahan di wilayah. Dalam konteks perencanaan dan implementasi lanjut, dokumen rencana aksi