dan air domestik. Diharapkan, kondisi sumber daya air tersebut dapat terjaga dengan baik sehingga mampu mendukung kehidupan masyarakat secara ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan.
DAS Mahakam bersifat dinamis. DAS sebagai ekosistem tersusun oleh banyak unsur yang saling terkait sehingga kondisinya mudah berubah akibat adanya perubahan unsur internal penyusunnya maupun faktor eksternal (Asdak, 2002;
USEPA, 2008). Dengan demikian DAS memiliki sistem yang komplek dengan permasalahan yang juga sangat beragam (Paimin dkk, 2006; Junaidi, 2013).
Banyak isu yang terkait dengan pengelolaan DAS, diantaranya isu ketahanan air, ketersediaan air, daya rusak air, konservasi sumber daya air, lahan kritis, kebijakan, kelembagaan, kemiskinan, konflik, rentannya ketahanan pangan, pencemaran dan dampak perubahan iklim (Darghouth, et.al., 2008). Isu-isu tersebut terus menguat seiring dengan adanya perubahan iklim, terutama pengaruhnya terhadap input dari proses di DAS yaitu intensitas radiasi matahari dan curah hujan, dan selanjutnya berinteraksi dengan perubahan penggunaan lahan sehingga menyebabkan siklus hidrologi dan potensi sumber daya air mengalami perubahan (USEPA, 2008; BPPK Kemenhut, 2012).
Perubahan iklim ditandai adanya perubahan tiga unsur: (1) naiknya suhu udara, (2) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim dan (3) pencairan gunung es di kutub utara dan selatan yang menyebabkan naiknya permukaan air laut (WMO, 2015). Perubahan pola curah hujan berdampak pada sumber daya air, dan menyebabkan dampak lanjutan seperti kekeringan, banjir, abrasi pantai, perubahan ekologi dan kerugian ekonomi (IPCC, 2015). Dengan demikian telah jelas bahwa perubahan iklim memiliki dampak nyata terhadap kondisi sumber daya air dan berpengaruh terhadap ketahanan air. Oleh karena itu, dalam mewujudkan ketahanan air, DAS sebagai satuan pengelolaan sumber daya air harus dikelola dengan terpadu, termasuk kaitannya dengan perubahan iklim (USEPA, 2014 dan Darghout, et.al, 2008), dan kondisi setempat yaitu perubahan penggunaan lahan (BPPK, 2012).
Ketahanan air dapat digambarkan sebagai kondisi dari keterpenuhan air yang layak dan yang berkelanjutan untuk seluruh kehidupan, serta kemampuan mengurangi risiko yang diakibatkan oleh air. Dengan demikian secara prinsip ketahanan air mencakup 2 (dua) hal yaitu: (1) keterpenuhan air secara layak baik kuantitas maupun kualitas dan berkelanjutan termasuk keberlanjutan bagi kehidupan dan ekosistemnya, dan (2) kemampuan mengurangi risiko daya rusak air (Bappenas, 2014; UN-WATER, 2013). Mengingat air merupakan unsur penting dan strategis dalam mendukung kehidupan, maka dimensi ketahanan air harus mewadahi keseluruhan aspek kehidupan dan aspek kewilayahan. Oleh karena itu dimensi ketahanan air tersebut mencakup 5 (lima) dimensi, yaitu: (1) keterpenuhan air untuk kehidupan sehari-hari bagi masyarakat, (2) keterpenuhan air untuk kebutuhan sosial dan ekonomi produktif, (3) terpelihara dan terpulihkannya sumber air dan ekosistemnya, (4) ketangguhan masyarakat dalam mengurangi risiko daya rusak air termasuk perubahan iklim, dan (5) kelembagaan dan tatalaksana yang mantap. Dari pengertian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kondisi ketahanan air bersifat dinamis, bisa bernilai tetap, naik atau turun.
Terkait perubahan iklim yang berpengaruh terhadap naik atau menurunnya curah hujan maka kondisi ketahanan air suatu wilayah dapat digambarkan melalui perubahan temporal dan spasial curah hujan.
Terkait perubahan iklim dan ketahanan air, curah hujan telah menjadi fokus banyak kegiatan penelitian karena posisinya yang sangat penting dalam siklus hidrologi (IPCC, 2008; Kundzewic et.al, 2009 dan 2011), dan memiliki banyak parameter yang dapat diteliti. Parameter curah hujan tersebut diantaranya jumlah curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan maksimum harian, indeks iklim, wet-dry spell, dan sebagainya, serta hubungannya dengan berbagai kejadian seperti ENSO dan berbagai tujuan analisis. Dalam kajian perubahan iklim untuk daerah tertentu, faktor lingkungan setempat sangat berpengaruh terhadap parameter iklim (Bayong, 1992; Aguardo dan Burt, 2001; Ahrens, 2006). Selain letak geografis, faktor luas tutupan vegetasi, kondisi badan air, kondisi udara dan perubahan topografi sangat berpengaruh terhadap terjadinya perubahan pada parameter suhu, tekanan, penguapan, curah hujan, angin dan kelembaban (BMKG, 2011b; LAPAN, 2009). Secara spasial perubahan lingkungan yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain dapat menyebabkan perbedaan perubahan nilai parameter curah hujan. Penelitian dengan fokus perubahan pola curah hujan diantaranya dilakukan oleh Slamet dan Berliana (2008) yang mengidentifikasi ada tidaknya perubahan iklim melalui pergeseran pola bulan basah dan bulan kering dengan pendekatan tipe/indek iklim Schmidt-Fergusson di Indonesia, Setiawan di Bali (2012), Nandini dan Narenda (2011) di Pulau Lombok. Perubahan pola hujan akan mengakibatkan pergeseran awal musim baik musim hujan maupun kemarau. Bencana kekeringan sebagai akibat musim kemarau yang akan berlangsung lebih lama, mengancam produktivitas lahan. Di sisi lain, musim hujan akan berlangsung lebih singkat namun dengan intensitas yang tinggi bila dibandingkan kondisi normal.
Pendekatan tipe iklim berdasarkan Schmidt-Fergusson menggunakan kriteria bulan basah, bulan lembab dan bulan kering adalah sebagai berikut: Bulan Basah jika curah hujan (CH) > 100 mm), Bulan Lembab jika 60 mm < CH < 100 mm) dan Bulan Kering jika CH < 60 mm. Selanjutnya nilai indek iklim ditentukan berdasarkan persamaan:
Q =
(1) Klasifikasi nilai Q dan tipe iklimnya adalah sebagai berikut: Tipe A (Sangat Basah) jika Q < 0.143, tipe B (Basah) Q= 0.144-0.333, tipe C (Agak Basah) Q=0.334-0.600, tipe D (Sedang) Q= 0.601-1, tipe E (Agak Kering) Q = 1.001- 1.670, tipe F (Kering) Q = 1.671-3, tipe G (Sangat Kering) Q = 3.001-7 dan tipe H (Sangat Kering Sekali) Q > 7.001 (Ahrens, 2006; Sabaruddin, 2012; Bayong, 1992). Semakin besar nilai Q menunjukkan bahwa jumlah bulan kering semakin bertambah dan menandakan adanya penurunan jumlah curah hujan, sedangkan semakin kecil nilai Q menunjukkan bahwa jumlah bulan basah semakin banyak dan menandakan jumlah curah hujan yang besar. Perubahan nilai Q dapat digunakan untuk melihat adanya kenaikan atau penurunan jumlah curah hujan.
Sebagai contoh jika pada periode awal di sebuah wilayah nilai Q sebesar 0.145
(tipe iklim Basah/B dan ketika nilai Q berubah menjadi 2,5 (tipe Kering/F) maka dapat disimpulkan adanya pergeseran tipe iklim dari Basah ke Kering, yang menandakan adanya penurunan jumlah curah hujan dan ketahanan air.
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai tipe iklim dan perubahannya di DAS Mahakam, yang dapat digunakan sebagai pendukung pengambilan keputusan dalam mewujudkan ketahanan air terutama dari aspek ketersediaan air berdasarkan perubahan jumlah curah hujan di tengah menguatnya isu perubahan iklim.
METODOLOGI STUDI
Metodologi penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Data curah hujan yang digunakan adalah data periode 1986-2008 yang bersumber dari 14 stasiun.
Tipe hujan didekati dengan jumlah puncak hujan dan polanya (Tipe Monsun jika terdapat 1 puncak dengan kurva berbentuk V, Tipe Ekuatorial jika terdapat dua puncak dan Tipe Lokal jika terdapat 1 puncak dengan kurba berbentuk V terbalik). Indek iklim dianalisis dengan pendekatan Scmidt-Ferguson yaitu berdasarkan Bulan Basah (CH > 100 mm), Bulan Lembab (60 mm < CH < 100 mm) dan Bulan Kering CH < 60 mm, dan penentuan indek iklim (Q) menggunakan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah (Persamaan 1). Pergeseran iklim ditentukan berdasarkan perubahan indek iklim antara periode 1986-1999 dengan 2000-2008. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik dan penggambaran spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis.
HASIL STUDI DAN PEMBAHASAN Pola Curah Hujan
Terdapat sekitar 36 pos curah hujan di DAS Mahakam, tetapi hanya 11 pos hujan yang memiliki seri data lebih dari 20 tahun. Dalam penelitian ini data curah hujan yang digunakan berjumlah 14 stasiun/pos hujan, yang terdiri dari 11 stasiun/pos curah hujan di DAS Mahakam dan 3 stasiun/pos curah hujan di luar DAS Mahakam (Sepinggan dan Klandasan di Balikpapan, dan Waru di Penajam Paser Utara). Penambahan 3 stasiun/pos curah hujan di luar DAS Mahakam dilakukan dengan tujuan penggambaran Peta Isohyet curah hujan agar lebih baik.
Rerata curah hujan tahunan di DAS Mahakam periode 1986-2008 adalah 2156,3 mm per tahun. Besarnya curah hujan tahunan bervariasi secara temporal dan spasial. Gambaran spasial trend curah hujan tahunan disajikan Gambar 1.
Secara umum tipe iklim DAS Mahakam adalah iklim hutan hujan tropis dengan ciri perbedaan musim hujan dan musim kemarau tidak terlihat tegas dan didominasi oleh Bulan Basah, kecuali di Muara Ancalong. Hujan di DAS Mahakam bertipe Ekuatorial (memiliki dua puncak hujan), puncak hujan pertama terjadi pada Maret-Mei dan puncak hujan kedua Nopember-Desember. Perbedaan
pola Bulan Basah, Bulan Lembab dan Bulan Kering tidak terlihat antara periode 1986-1999 dan 2000-2008 kecuali di Samboja.
Gambar 1. Perubahan Curah Hujan Tahunan di DAS Mahakam Periode 1986-2008
Gambar 2. Perubahan Curah Hujan Bulanan di DAS Mahakam Periode 1986-2008 Indek Iklim
Indek iklim di DAS Mahakam untuk periode 1986-2008 berkisar antara 0,060 (sangat basah) sampai 1,475 (agak kering). Berikut disajikan data Bulan Basah (BB), Bulan Lembab (BL) dan Bulan Kering (BK) di DAS Mahakam, Indek Iklim untuk periode 1986-2008, 1986-1999 dan 2000-2008.
Tabel 1. Data Bulan Basah (BB), Bulan Lembab (BL) dan Bulan Kering (BK) di DAS Mahakam Periode 1986-2008, 1986-1999 dan 2000-2008.
Stasiun Periode 1986-2008 Periode 1986-1999 Periode 2000-2008
BB BL BK BB BL BK BB BL BK
L. Iram 220 21 36 128 13 28 92 8 8
Melak 147 36 57 76 16 40 71 20 17
K. Bangun 214 23 39 125 17 26 89 6 13
M. Kaman 199 24 41` 91 24 41` 108 0 0
T. Dalam 207 28 41 131 13 24 76 15 17
Tenggarong 225 21 30 122 19 27 103 2 3
M. Ancalong 80 77 118 61 46 60 19 31 58
T. Merah 144 19 53 83 8 29 61 11 24
Temindung 259 36 29 169 27 20 90 9 9
Baqa 177 28 46 136 13 19 41 15 27
Samboja 139 30 107 97 17 54 42 13 53
Klandasan 197 30 49 111 22 35 86 8 14
Sepinggan 244 18 14 148 8 12 96 10 2
Waru 191 35 49 107 22 38 84 13 11
Tabel 2. Indek Iklim di DAS Mahakam Periode 1986-2008, 1986-1999 dan 2000-2008.
Terdapat perubahan indek iklim di 10 stasiun periode 1986-1999 ke 2000-2008 yaitu dari Basah ke Sangat Basah (Long Iram dan Tenggarong), Agak Basah ke Basah (Melak dan Kota Bangun), Agak Basah ke Sangat Basah (Muara Kaman dan Waru), Agak Basah ke Agak Kering (Samboja), Sedang ke Sangat Kering (Muara Ancalong), dan Sangat Basah ke Sedang (Baqa). Indek iklim di DAS Mahakam secara spasial digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Indek Iklim di DAS Mahakam Periode 1986-2008
Kecenderungan lebih kering di Muara Ancalong, Baqa dan Samboja diduga dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan terutama dari tipe kawasan hutan ke perkebunan sawit, pertambangan batubara dan permukiman. Sebaliknya daerah-daerah yang luas tutupan hutannya bertambah akan mengalami peningkatan curah hujan seperti Basah ke Sangat Basah (Long Iram dan Tenggarong), Agak Basah ke Basah (Melak dan Kota Bangun), Agak Basah ke Sangat Basah (Muara Kaman dan Waru). Hal ini sejalan dengan pendapat Pawitan (2006) bahwa perubahan fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti oleh hasil air DAS. Gejala penurunan curah hujan Pulau Jawa nampak dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968- 1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1.000 mm antara dua periode pengamatan tersebut. Hasil serupa juga diamati dengan perubahan jangka panjang untuk DAS Citarum untuk masa 1896-1994 yang mengalami trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm/tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm/tahun.
Dampak perubahan iklim dan perubahan penggunaan lahan terhadap keseimbangan air di suatu DAS menjadi topik penelitian yang menarik pada
Gambar 4. Indek Iklim di DAS Mahakam
Periode 1986-1999 Gambar 5. Indek Iklim di DAS Mahakam Periode 2000-2008
dekade terakhir. Di satu sisi iklim mempengaruhi kondisi vegetasi, dan perubahan vegetasi dapat mempengaruhi iklim suatu wilayah dan secara bersama kedua komponen tersebut mempengaruhi keseimbangan air di daerah aliran sungai (Davie, 2008; Ragunath, 2006). Terkait hubungan antara hutan dan curah hujan (salah satu unsur iklim), Lee (1980) dan peneliti lainnya menyimpulkan bahwa penebangan hutan di daerah tropis memberikan pengaruh yang kecil terhadap daerah beriklim sedang, sedangkan Shukla, et,al (1990), menyatakan bahwa di daerah tropis basah, khususnya di daerah Amazon, penebangan hutan dapat mempengaruhi tingkat kelembaban udara (karena berkurangnya evapotranspirasi) dan menyebabkan berkurangnya hujan lokal (dan lebih bersifat lokal/site specific), dan Bernard (1945) dalam Asdak (2006) berpendapat bahwa keberadaan hutan hujan tropis sebagai konsekuensi adanya curah hujan yang tinggi di daerah tropis, dan faktor curah hujan yang menentukan jenis vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut dan bukan sebaliknya.
Perubahan iklim diyakini menyebankan berubahnya keseimangan air baik secara regional maupun global. Akibat dari gangguan siklus air akan menyebabkan perubahan pengendapan (curah hujan), ketersediaan dan distribusi air serta kualitas air, disertai kondisi ketidakpastian (uncertainty). Peningkatan dan penurunan curah hujan akan menyebabkan dampak yang berlanjut terhadap meningkatnya gagal panen, frekuensi banjir, longsor, kekeringan, abrasi pantai, tenggelamnya pantai dan banyak pulau kecil, perubahan habitat satwa dan tumbuhan, serta kerugian ekonomi.
Dalam perspektif ketahanan air pergeseran tipe iklim tersebut dapat digunakan sebagai informasi dasar perencanaan sumber daya air terutama dalam adaptasi perubahan iklim. Diperlukan langkah yang tepat dalam beradaptasi terhadap situasi dimana hujan bertambah dan berkurang, masing-masing menuntut kesiapan dan perlakuan yang berbeda, dan diharapkan tidak menimbulkan bencana. Untuk daerah-daerah yang tipe iklimnya berubah ke ‘lebih basah’ maka diperlukan reservoar-reservoar untuk menampung kelebihan aliran guna mengurangi kerawanan banjir dan antisipasi bahaya longsor, sedangkan untuk daerah-daerah yang tipe iklimya berubah ke ‘lebih kering’ pembangunan reservoar-reservoar ditujukan untuk menyimpan air yang dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau, dan perlunya antisipasi bahaya kekeringan dan kebakaran lahan-hutan.
Kebijakan penggunaan lahan yang mengkonversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan permukiman harus dihentikan dan rehablitasi lahan-hutan harus mendapat perhatian dan komitmen yang serius.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan
Hujan di DAS Mahakam bertipe Ekuatorial dengan ciri perbedaan musim hujan dan musim kemarau tidak terlihat tegas, puncak hujan pertama terjadi pada Maret- Mei dan puncak hujan kedua Nopember-Desember. Terdapat perubahan indek iklim di 10 stasiun periode 1986-1999 ke 2000-2008 yaitu dari Basah ke Sangat Basah (Long Iram dan Tenggarong), Agak Basah ke Basah (Melak dan Kota
Bangun), Agak Basah ke Sangat Basah (Muara Kaman dan Waru), Agak Basah ke Agak Kering (Samboja), Sedang ke Sangat Kering (Muara Ancalong), dan Sangat Basah ke Sedang (Baqa).
Rekomendasi
Rekomendasi penelitian ini adalah: (1) untuk daerah-daerah yang tipe iklimnya berubah ke ‘lebih basah’ maka diperlukan reservoar-reservoar untuk menampung kelebihan aliran guna mengurangi kerawanan banjir dan antisipasi bahaya longsor, sedangkan untuk daerah-daerah yang tipe iklimya berubah ke ‘lebih kering’ pembangunan reservoar-reservoar ditujukan untuk menyimpan air yang dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau, dan perlunya antisipasi bahaya kekeringan dan kebakaran lahan-hutan, (2) Kebijakan penggunaan lahan yang mengkonversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, pertambangan dan permukiman harus dihentikan dan rehabilitasi lahan-hutan harus mendapat perhatian dan komitmen yang serius.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada: (1) BWS Kalimantan III, (2) BMG Stasiun Temindung, (3) BMG Stasiun Sepinggan, (4) Dinas PU Provinsi Kalimantan Timur dan BP DAS-HL Mahakam-Berau atas bantuan fasilitasi data yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aguardo, E. And Burt, J.E. 2001. Understanding Weather and Climate. Prentice Hall. New Jersey, USA.
Ahrens, C.D., 2006. Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate, and the Environment. Eighth Edition. Thompson, Brooks/Cole. USA.
Asdak, C., 2006. Hidrologi, dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Bayong, T.H.K. 1992. Klimatologi Terapan. CV. Pionir Jaya. Bandung.
BMKG, 2011. Buku Informasi Perubahan Iklim di Indonesia. BMKG. Jakarta.
BPPK Kemenhut, 2012. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. 2012. Prosiding Workshop. BPPK Kemenhut, Surakarta, 21 Oktober 2011. ISBN 978-602-99218-5-4. 2012.
Davie, T. 2008. Fundamental of Hydrology. Second Edition. Routledge Fundamentals of Physical Geography. By Routledge 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon, OX14 4RN. ISBN 0-203-93366-4.
Darghouth, S., Ward, C., Gambarelli, C., Styger, E. dan Roux, J., 2008.
Watershed Management Approaches, Policies, and Operations: Lessons for Scaling Up. Water Sector Board Discuss on Paper Series. Paper No .11.
May. 2008. The World Bank, Washington, DC.
IPCC, 2008. Climate Change and Water. IPCC Technical Paper VI. Prepared:
IPCC Working Group II. Geneva, Switzerland.
IPCC, 2015. Climate Change 2014. Synthesis Report. Summary for Policymakers.
© Intergovernmental Panel on Climate Change, 2015. First published 2015.
ISBN 978-92-9169-143-2.
Junaidi, E., 2013. Mampukah Tutupan Lahan Hutan Mengatur Proses Tata Air Daerah Aliran Sungai (DAS): Studi Kasus di DAS Cisadane. Jurnal Penelitian Agroforestry. Vol I No.I Agustus 2w013.
KLH, 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.
Jakarta.
LAPAN, 2009. Edukasi Perubahan Iklim. LAPAN. http://iklimdirgantara- lapan.or.id.
Paimin, Sukresno, dan Purwanto, 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Pawitan, H. 2006. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai. ISBN 979-9474-34-5. Laboratorium Hidrometeorologi FMIPA – IPB, Bogor 16144. hpawitan @indo.net.id.
2006.
Raghunath, H.M. 2006. Principles, Analysis and Design. Second Edition. ISBN (13): 978-81-224-2332-7. New Age International (P) Limited, Publishers.
4835/24, Ansari Road, Daryaganj, New Delhi – 110002.
USEPA, 2008. Handbook for Developing Watershed Plans to Restore and Protect Our Water. USEPA. Branch Washington, DC 20460. EPA 841-B-08-002.
WMO, 2011. Guide to Climatological Practices. Weather. Climate and Water.
WMO No-100. ISBN 978-92-63-10100-6. World Meteorological Organization, Geneva.
WMO. 2015. WMO Statement on the Status of the Global Climate in 2014. ISBN 978-92-63-11152-4. WMO-No. 1152 © World Meteorological Organization (WMO), Geneva Switzerland