BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGETAHUAN DAN TINDAKAN2.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu atau dari penginderaan manusia terhadap objek yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan lainnya). Tanpa pengetahuan, seseorang tidak dapat mengambil keputusan dan tindakan terhadap masalah yang dihadapinya.
Secara garis besar pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu merupakan kemampuan mengingat kembali pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartiakan sebagai suatu kemampuan yang bukan hanya sekedar tahu tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan materi yang telah dipelajari dalam kondisi dan situasi yang sebenarnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menguraikan suatu mataeri kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur yang masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthhesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menghubungkan atau meletakkan bagian-bagian dalam suatu keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Eveluation)
Evaluasi adalah suatu kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek (Thamaria, 2016).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu:
a. Pendidikan
Pengetahuan seseorang akan membantu orang tersebut untuk menagkap atau memahami suatu informasi dengan mudah.
Semakin tinggi pendidikan seseorang makan akan semakin tinggi juga tingkat pemahamannya dalam pengambilan sikap.
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan seseorang dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman, dengan cara langsung maupun tidak langsung.
c. Pengalaman
Pengalaman adalah sebuah peristiwa atau kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan.
d. Usia
Usia yang bertambah pada seseorang dapat merubah pada aspek sisik psikologis dan kejiwaan. Dalam aspek psikologis taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa.
Semakin bertambahnya umur seseorang, semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga lebih mampu untuk menerima pengetahuan yang baik.
e. Kebudayaan
Kebudayaan adalah tempat diaman seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Kebudayaan cukup berpengaruh besar terhadap terbentuknya cara berpikir seseorang.
f. Minat
Minat merupakan sesuatu keinginan dan ketertarikan seseorang terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba suatu hal dan pada akhirnya mendapat pengetahuan yang mendalam.
g. Sumber informasi
Sumber informasi juga merupakan factor yang memperngaruhi pengetahuan. Informasi atau bacaan yang didapat berguna bagi perluasan wawasan sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan dapat dijadikan tempat bertanya untuk memenuhi pengetahuan yang ingin dicapai.
h. Media
Contoh media untuk mencapai masyarakat luas seperti radio, televise, majalah, Koran dan internet.
2..1.2 Tindakan
Tindakan merupakan perbuatan subjek terhadap objek. Tindakan merupakah untuk mewujudkan tindak lanjut dari sikap. Suatu sikap belum tentu dalam tindakan, dikarenakan untuk terwujudnya tindakan dibutuhkan faktor lain seperti adanya fasilitas atau sarana prasarana.
Tindakan terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
a. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih obyek berhubung dengan tindakan yang akan diambil merupakan tindakan tingkat pertama.
b. Respon terpimpin (guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dengan contoh merupakan indicator tindakan tingkat kedua.
c. Mekanisme (mechanism)
Jika seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, maka ia sudah mencapai tindakan tingkat ketiga.
d. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Thamaria, 2016).
2.2 Swamedikasi
2.2.1 Pengertian swamedikasi
Swamedikasi adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan pengobatan sakit ringan (minor illnesses) tanpa resep atau intervensi dokter (Jannah, 2020). Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan(Departemen Kesehatan RI, 2006).
Pengertian lain swamedikasi adalah mengobati segala keluhan pada diri dengan obat-obat yang sederhana yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter. Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah perilaku untuk mengatasi sakit ringan sebelum mencari pertolongan ke petugas atau fasilitas kesehatan. Lebih dari 60% dari anggota masyarakat melakukan swamedikasi dan 80% diantaranya mengandalkan obat modern. Bisa disimpulkan dari beberapa pengertian diatas bahwasanya swamedikasi merupakan praktik menyembuhkan diri sendiri dari penyakit-penyakit ringan baik itu dengan penggunaan obat modern maupun obat tradisional tanpa bantuan dari dokter tetapi dengan pengawasan apoteker (Bahiyah Teh, 2020).
2.2.2 Keuntungan dan kerugian swamedikasi
Swamedikasi disamping memberi keuntungan juga dapat menimbulkan kerugian. Salah satu keuntungan swamedikasi adalah bahwa sering kali obat-obat yang dibutuhkan sudah tersedia di almari obat. Keuntungan yang lain yaitu lebih mudah, cepat, tidak membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat dilakukan oleh diri sendiri. Bagi konsumen obat, pengobatan sendiri dapat memberi keuntungan yaitu bila ia dapat :
a. Menghemat biaya ke dokter b. Menghemat waktu ke dokter
c. Segera dapat beraktifitas kembali (Jannah, 2020).
Resiko dari pengobatan sendiri tidak mengenali keseriusan gangguan.
Keseriusan dapat dinilai salah satu atau mungkin tidak dikenali, sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu lama. Gangguan bersangkutan dapat memperhebat keluhan, sehingga dokter perlu menggunakan obat-obat yang lebih keras. Resiko yang lain adalah penggunaan obat yang kurang tepat. Obat bisa digunakan secara salah, terlalu lama atau dalam takaran yeng terlalu besar. Guna mengatasi resiko tersebut, maka perlu mengenali kerugian-kerugian tersebut.
Swamedikasi juga dapat menimbulkan kerugian seperti : a. Terjadi salah obat
b. Timbulnya efek samping yang merugikan
c. Terjadi penutupan (masking) gejala-gejala yang dibutuhkan untuk ke dokter dalam menentukan diagnosa (Jannah, 2020).
2.2.3 Faktor-faktor Melakukan Swamedikasi
Adanya faktor swamedikasi yang keberadaannya hingga saat ini semakin mengalami peningkatan. Beberapa faktor penyebab tersebut berdasarkan hasil penelitian WHO sebagai berikut:
a. Kondisi ekonomi. Mahal dan tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan oleh rumah sakit, klinik dokter dan dokter gigi merupakan salah satu penyebab masyarakat berusaha mencari pengobatan yang lebih murah untuk penyakit-penyakit yang relatif ringa dengan beralih ke swamedikasi.
b. Berkembangnya kesadaran akan arti penting kesehatan bagi masyarakat karena meningkatnya sistem informasi, pendidikan, dan kehidupan sosial ekonomi sehingga meningkatkan pengetahuan untuk melakukan swamedikasi.
c. Promosi obat bebas dan obat bebas terbatas yang gencar dari pihak produsen baik melalui media cetak maupun media elektronik bahkan sampai beredar ke pelosok pelosok desa.
d. Semakin tersebarnya distribusi obat melalui puskesmas dan warung obat desa yang berperan dalam meningkatkan pengenalan dan penggunaan obat, terutama OTR dalam sistem swamedikasi.
e. Kampanye swamedikasi yang rasional di masyarakat mendukung perkembangan farmasi komunitas (Gaol, 2018).
2.2.4 Kondisi yang diperbolehkan Swamedikasi
Kondisi yang diperbolehkan untuk melakukan swamedikasi adalah sebagai berikut:
a. Mengatasi penyakit ringan. Penyakit yang mempunyai durasi terbatas (selflimitting rate) atau dapat sembuh dengan sendirinya dan tidak mengancam bagi diri pasien.
b. Perawatan simptomatik minor, seperti rasa tidak enak badan dan ceder ringan.
c. Profilaksis/pencegahan dan penyembuhan penyakit ringan.
d. Penyakit kronis yang sebelumnya sudah pernah didiagnosis dokter atau tenaga medis profesional lainnya, seperti asma dan artritis.
e. Pada pengobatan sendiri harus mampu menilai kondisi yang dialami pasien. Memungkinkan atau tidak untuk diupayakan pengobatan sendiri.
Jika tidak, sarankan untuk mengatasi gejala yang sangat mengganggu dan sarankan untuk pemeriksaan ke dokter (Departemen Kesehatan RI, 2006).
2.2.5 Golongan Obat Untuk Swamedikasi
Obat-obat yang diizinkan untuk swamedikasi di Indonesia yaitu obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (Sholiha et al., 2019).
a. Obat bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam (Departemen Kesehatan RI, 2006).
b. Obat bebas terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (Departemen Kesehatan RI, 2006).
c. Obat wajib apotek
Penggolongan obat wajib apotek yaitu obat yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Namun terdapat ketentuan yang harus dipatuhi apoteker dalam memberikan obat wajib apotek kepada pasien (Menteri Kesehatan, 1990).
d. Obat tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Obat tradisional tidak boleh digunakan dalam keadaan kegawatdaruratan dan keadaan yang potensial membahayakan jiwa (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
2.3 Demam
2.3.1 Pengertian demam
Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke dalam tubuh ketika suhu meningkat melebihi suhu tubuh normal (>37,5°C) (Wowor, 2017). Demam merupakan suatu keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus. Sebagian besar demam pada anak merupakan akibat dari perubahan pada pusat panas (termoregulasi) di hipotalamus. Penyakit-penyakit yang ditandai dengan adanya demam dapat menyerang sistem tubuh. Selain itu demam mungkin berperan dalam meningkatkan perkembangan imunitas spesifik dan non spesifik dalam membantu pemulihan atau pertahanan terhadap infeksi (Wardiyah, 2016).
2.3.2 Etiologi Demam
Secara garis besar, ada dua kategori demam yang seringkali diderita anak yaitu demam non-infeksi dan demam infeksi (Widjaja, M, 2008).
1) Demam Non-infeksi
Demam non-infeksi merupakan demam yang bukan disebabkan oleh masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh. Demam ini jarang diderita oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Demam non-infeksi dapat timbul karena adanya kelainan pada tubuh yang dibawa sejak lahir dan tidak ditangani dengan baik. 7 8 Contoh demam non-infeksi adalah demam yang disebabkan oleh adanya kelainan degeneratif atau kelainan bawaan pada jantung, demam karena stres, atau demam yang disebabkan oleh adanya penyakit-penyakit berat misalnya leukimia dan kanker (Widjaja, M, 2008).
2) Demam infeksi
Demam infeksi merupakan demam yang disebabkan oleh masukan patogen, contohnya kuman, bakteri, virus, atau binatang kecil lainnya ke dalam tubuh.
Bakteri, kuman atau virus dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
berbagai cara, misalnya melalui makanan, udara, atau persentuhan tubuh.
Imunisasi juga merupakan penyebab demam infeksi karena saat melalukan imunisasi berarti seseorang telah dengan sengaja memasukan bakteri, kuman atau virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh balita dengan tujuan membuat balita menjadi kebal terhadap penyakit tertentu. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan infeksi dan akhirnya menyebabkan demam pada anak antara lain yaitu tetanus, mumps atau parotitis epidemik, morbili atau measles atau rubella, demam berdarah, TBC, tifus dan radang paru-paru (Widjaja, M, 2008).
Menurut Febry dan Marendra (2010) penyebab demam dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Demam infeksi, antara lain infeksi virus (cacar, campak dan demam berdarah) dan infeksi bakteri (demam tifoid dan pharingitis).
2) Demam non infeksi, antara lain karena kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun (penyakit yang disebabkan sistem imun tubuh itu sendiri).
3) Demam fisiologis, bisa karena kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara terlalu panas dan kelelahan setelah bermain disiang hari.
Dari ketiga penyebab demam tersebut yang paling sering menyerang anak adalah demam akibat infeksi virus maupun bakteri (Febry & Marendra, 2010).
3. Patofisiologi Demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen.
Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α,
dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Hasday, J. D, 2011).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Hasday, J. D, 2011) . Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanismemekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, L, 2014).
4. Penanganan Demam
Penatalaksanaan demam pada umumnya bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh yang tinggi ke dalam batas suhu tubuh normal, bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaannya terdiri dari dua prinsip yaitu pemberian terapi farmakologi dan non farmakologi.
a. Terapi Non Farmakologi
Demam Menurut Febry dan Marendra (2010) Penanganan yang termasuk ke dalam terapi non farmakologi untuk penatalaksanaan demam yaitu :
1. Memberikan kompres hangat.
2. Cukupi cairan tubuh untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan beristirahat dengan cukup.
3. Penderita demam tidak diberikan pakaian panas atau selimut yang terlalu berlebihan, karena memakai pakaian yang nyaman dan satu lapis selimut sudah cukup dan nyaman.
4. Tidak memberikan kompres dingin. Mendinginkan menggunakan air es atau alkohol kurang bermanfaat (justru terjadi vasokonstriksi pembuluh darah), sehingga panas sulit disalurkan baik lewat mekanisme evaporasi maupun radiasi.
b. Terapi Farmakologi Demam
Ada berbagai macam obat untuk mengatasi demam atau antipiretik yang beredar di Indonesia diantaranya yaitu parasetamol dan obat- obatan golongan Non Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAID). Namun yang biasanya digunakan yaitu parasetamol karena lebih mudah didapat dan harganya murah (Soedibyo dan Souvriyanti, 2016). Meski begitu obat antipiretik tidak disarankan diberikan pada penderita demam dengan suhu tubuh <38°C kecuali jika ada riwayat kejang demam. Untuk menurunkan demam pada anak dapat diberikan terapi non farmakologi saja atau kombinasi terapi non farmakologi dan farmakologi (Soedjatmiko, 2005). Menurut Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas Anak harus dibawa ke dokter: (Kemenkes RI, 2007)
2.4 Parasetamol
2.4.1 Pengertian Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen merupakan analgetik antipiretik yang populer dan banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk sediaan tunggal ataupun kombinasi (Oktaviana, E, 2019). Di Indonesia, parasetamol tersedia sebagai obat dengan golongan bebas. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin yang mempunyai efek antipiretik yang sama. Dalam dosis yang sama, parasetamol
mempunyai efek analgesik dan antipiretik sebanding dengan aspirin, tetapi efek anti inflamasinya sangat lemah (Bertram G. Katzung, 1998). Pada umumnya parasetamol dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman, juga bila digunakan untuk swamedikasi (Tjay, T. H. dan Rahardja, K, 2015).
2.4.2 Rumus kimia paracetamol
Gambar 2.1 struktur kimia parasetamol
2.4.3 Sifat Fisika
BM :151,16
Rumus Molekul : C₈H₉NO₂
Pemerian :Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.
Kelarutan :Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1N; mudah larut dalam etanol (FI. V, 2014). Sedikit larut dalam air sangat mudah larut dalam alcohol, sangat sedikit larut dalam diklorometana. Larut 1:20 dalam air mendidih, 1:10 dalam alcohol, dan 1:15 dalam sodium hidroksida 1N (Sweetman, 2009).
Wadah dan penyimpanan :Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
Simpan dalam suhu ruang, hindari dari kelembapan dan panas (FI. V, 2014).
2.4.4 Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol sama dengan salisilat yaitu dapat menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang, serta dapat menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Parasetamol tidak dapat digunakan untuk antireumatik karena efek anti inflamasinya sangat lemah. Mekanisme kerja parasetamol menghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa (Ganiswarna, 2016).
2.4.5 Farmakokinetik
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat (Tjay, T. H. dan Rahardja, K, 2015). Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. konsentrasi paling tinggi dalam plasma di capai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar di seluruh tubuh Parasetamol 25% terikat oleh plasma protein, dan di metabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian parasetamol di konjugasi (80%) dengan asam glukoronat dari sebagian kecil lainnya dengan aam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Hasil dari metabolit hidroksilasi ini menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Parsetamol ini di eksresi melalui ginjal, dan sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Ganiswarna, S, 2016).
2.4.6 Dosis
Dosis Parasetamol menurut PIONAS BPOM (2015) dan Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas (Kemenkes RI, 2007) yaitu sebagai berikut: oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga maksimum 4 gram.
1. Dewasa : 1 tablet (500 mg) 3 – 4 kali sehari, (setiap 4 – 6 jam) 2. Anak :
a) 0 – 1 tahun : ½ - 1 sendok teh sirup, 3–4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam) b) 1 – 5 tahun : 1 – 1 ½ sendok teh sirup, 3 – 4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam) c) 6-12 tahun : ½ - 1 tablet (250-500 mg), 3 – 4 kali sehari (setiap 4 – 6 jam)
2.4.7 Indikasi
Indikasi parasetamol yaitu untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang dan untuk pengobatan demam. Parasetamol merupakan obat analgesik dan antipiretik yang digunakan untuk meredakan sakit kepala, nyeri ringan sampai sedang dan demam (ISO volume 52, 2019).
2.4.8 Kontra Indikasi
Penderita gangguan fungsi hati yang berat dan penderita hipersensitif terhadap obat parasetamol (ISO volume 52, 2019).
2.4.9 Efek Samping
Jika parasetamol digunakan sesuai dosis yaitu dengan dosis maksimum 4g/hari akan jarang terjadi efek samping yang serius. Adapun efek samping yang dapat terjadi yaitu reaksi alergi pada kulit, mual, muntah, penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan hati (Tjay, T. H. dan Rahardja, K, 2015).
2.4.10 Interaksi Obat
Parasetamol dapat berinteraksi dengan beberapa golongan obat diantaranya:
a) Resin penukar ion : Kolestiramin dapat menurunkan absorpsi parasetamol.
b) Antikoagulan : penggunaan parasetamol secara rutin dalam jangka panjang mungkin meningkatkan warfarin.
c) Metoklopramid dan Domperidon : Metoklopramid mempercepat absorpsi parasetamol (meningkatkan efek).
d) Etanol : penggunaan berlebihan kronis dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas (Tatro, 2003).
e) Hydantoins, sulfinpyrazone : Dapat menurunkan efek terapi dari parasetamol; bersamaan penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas (Tatro, 2003).
2.4.11 Hal yang Harus Diperhatikan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan parasetamol menurut Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas yaitu sebagai berikut:
(Kemenkes RI, 2007)
a. Dosis harus tepat, tidak berlebihan, bila dosis berlebihan dapat menimbulkan gangguan fungsi hati dan ginjal.
b. Sebaiknya diminum setelah makan.
c. Hindari penggunaan campuran obat demam lain, karena dapat menimbulkan overdosis.
d. Hindari penggunaan bersama dengan alkohol, karena meningkatkan risiko gangguan fungsi hati.
e. Konsultasikan ke dokter atau Apoteker untuk penderita gagal ginjal.
2.4.12 Sediaan
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg dan untuk sirup yang mengandung 120mg/5ml. selain itu parasetamol juga sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet ataupun cairan (Ganiswarna, 2016). 25 Parasetamol tersedia dalam bentuk tablet, kaplet, sirup, drop, infus, dan suppositoria (PIONAS BPOM, 2015)
2.4.13 Cara Penyimpanan
Cara penyimpanan obat di rumah tangga sebagai berikut: (Menkes, 2011) Umum :
Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
Simpan obat didalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
Simpan obat ditempat yang sejuk dan terhindar dari sinar matahari langsung atau ikuti aturan yang tertera pada kemasan.
Jangan tinggalkan obat di dalam mobil dalam jangka waktu lama karena suhu yang tidak stabil dalam mobil dapat merusak sediaan obat.
Jangan simpan obat yang telah kadaluarsa.
Khusus :
Tablet dan kapsul Jangan menyimpan tablet atau kapsul ditempat panas atau lembab.
Sediaan obat cair Obat dalam bentuk cair jangan disimpan dalam lemari pendingin (freezer) agar tidak beku kecuali disebutkan pada etiket atau kemasan obat. Menurut Zulkarnain (2014), sirup parasetamol yang disimpan pada suhu kamar 15°-30°C lebih stabil dibandingkan suhu dingin 2°-8°C.