KAJIAN TEORITIK PENGARUH MEDAN MAGNET TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS)
Oleh :
NI LUH PUTU TRISNAWATI, S.SI, M.SI [Divisi Biofisika]
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA
2016
ii HALAMAN PENGESAHAN
1 Judul Karya Tulis Ilmiah : Kajian Teoritik Pengaruh Medan Magnet Terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih (Rattus Norvegicus) 2 Penulis
a. Nama lengkap dengan gelar
: Ni Luh Putu Trisnawati, S.Si., M.Si.
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Pangkat/Golongan/NIP : Penata Muda Tk 1/III-b/19720212 200003 2 001 d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Fakultas/Jurusan : MIPA/Fisika
f. Universitas : Udayana
g. Bidang Ilmu yang diteliti : Biofisika: Pergeseran Medan Magnet 3 Jumlah Penulis : 1(satu) orang
4 Lokasi : Divisi Biofisika, Fisika FMIPA Unud 5 Kerjasama
a. Nama Instansi : -
6 Jangka Waktu Penelitian : 5 (lima) bulan
Denpasar, 21 Juni 2016
Mengetahui, Penulis
Dekan FMIPA Unud
Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M.Si Ni Luh Putu Trisnawati, S.Si., M.Si.
NIP. 19660611 199702 1 001 NIP. 19720212 200002 2 001
iii KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sanghyang Widhi Wasa penulis panjatkan, karena atas perkenan Beliaulah penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul “Kajian Teoritik Paparan Medan Magnet terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih (Rattus Norvegicus)”.
Penulisan karya tulis ini banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada I Nengah Artawan atas saran dan bantuannya di dalam penyelesaian karya tulis ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya sesuai alokasi waktu.
Tidak lupa penulis mohon kritik dan saran dari pembaca, karena penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Atas masukannya penulis ucapkan terima kasih.
Denpasar, Juni 2016
Penyusun
iv ABSTRAK
Telah dilakukan analisis pengaruh paparan medan magnet terhadap jumlah leukosit pada tikus putih (Rattus Norvegicus). Besar medan magnet yang digunakan adalah 300 Gauss dan 500 Gauss dengan waktu paparan yang bervariasi yaitu 2, 3, 4, 5, dan 6 jam perhari masing-masing selama tiga hari dan masa pemulihan selama 5 hari. Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara paparan medan magnet dengan jumlah leukosit. Tikus yang diberikan aparan medan magnet cenderung mengalami penigkatan jumlah leukosit, dan setelah mengalami masa pemulihan jumlah leukosit cenderung mengalami penurunan atau mendekati normal. Namun ada beberapa sampel yang mengalami penurunan jumlah leukosit setelah diberikan paparan medan magnet. Hal ini dapat diduga bahwa komposisi utama dari leukosit mengandung kalsium dengan nilai suseptibitas +40 x 10-6 cm3mol-1 yang tergolong sebagai bahan paramagnetik.
Kata Kunci : Medan Magnet, tikus putih, leukosit
v
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
ABSTRAK iv
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN ... ...1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Medan Magnet ... 3
2.1.1 Gaya yang dikerahkan oleh Medan Magnet ... 4
2.1.2 Gerak Muatan Titik dalam Medan Magnet... 5
2.2 Sifat Bahan Magnetik ... 8
2.2.1 Bahan Diamagnetik...8
2.2.2 Bahan Paramagnetik ...9
2.2.3 Bahan Feromagnetik ...9
2.2.4 Bahan Anti-feromagnetik ...10
2.2.5 Bahan Ferimagnetik ...10
2.2.6 Bahan Superparamagnetik ...10
2.3 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus Norvegicus) ...11
2.4 Sruktur Darah ...12
2.3.1. Leukosit (Sel Darah Putih) ...13
2.3.2. Eritrosit (Sel Darah Merah) ...13
2.3.3. Trombosit ...14
2.5 Efek Medan terhadap Sel Biologis ...14
2.5.1 Induksi Magnetik ...15
2.5.2 Efek Magnetomekanik ...16
2.5.3 Interaksi Elektronik ...16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...17
vi 4.1. Pengaruh Variasi Waktu Paparan Medan Magnet 300 dan 500 Gauss terhadap
Jumlah Leukosit Tikus Putih. ...18 4.2. Korespondensi Teoritik Magnetisasi ...20 4.3 Hubungan Waktu pemulihan terhadap Normalisasi jumlah Leukosit pada tikus putih
...23
BAB V PENUTUP... 25 PUSTAKA ... 26
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi dimasa sekarang ini memberikan kemudahan bagi manusia di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sebagian besar aktivitas kehidupan manusia tidak terlepas dari penggunaan alat-alat elektronik. Disadari atau tidak, penggunaan alat-alat elektronik tersebut akan mengakibatkan manusia terpajan oleh medan elektromagnetik yang kompleks. Menurut Hans Christian Oerstead, arus listrik yang mengalir akan menimbulkan medan magnet disekitarnya yang dikenal sebagai medan elektromagnetik. Penelitian yang dilakukan Wetheimer dan Leeper di Amerika, yang menyatakan adanya hubungan antara jaringan listrik tegangan tinggi dengan kenaikan resiko kematian karena penyakit kanker pada anak-anak yang bertempat tinggal dibawahnya, membuat para peneliti kemudian terusik untuk melakukan penelitian berkaitan dengan hubungan medan magnet terhadap kesehatan manusia.
Sesungguhnya keseluruhan bumi ini ditembus oleh medan magnetik. Efek medan magnet telah menarik perhatian para ilmuwan karena adanya efek perusakan terhadap kesehatan manusia maupun bentuk kehidupan yang lebih rendah. Medan magnet AC menghasilkan aliran arus di dalam tubuh manusia yang dapat menyebabkan efek fisik dan psikologi dikarenakan adanya komponen logam di dalam tubuh (Moechtar, 1999).
Fenomena mengenai bagaimana medan magnet dapat mempengaruhi sistem biologis merupakan suatu tantangan tersendiri dalam menyelesaikan masalah perlindungan kesehatan, dan dalam waktu yang sama, hal tersebut justru membuka kemungkinan baru dalam penggunaan medan magnet untuk terapi. Penelitian mengenai perlindungan kesehatan difokuskan terutama pada dua daerah frekuensi dengan interaksi biologis yang cukup berbeda: jangkauan frekuensi rendah dengan frekuensi 50 atau 60 Hz dan jangkauan frekuensi tinggi yang digunakan untuk alat-alat radiokomunikasi dan pemanasan diathermik (Glaser, 1996).
Aplikasi medan magnetik dalam bidang medis telah mengalami tradisi yang panjang.
Berbagai metode eksitasi dengan menggunakan medan magnet frekuensi rendah telah digunakan dalam aplikasi tersebut, misalnya penggunaan medan magnet dalam penyembuhan luka dan tulang, regenerasi jaringan syaraf, dan sebagainya (Glaser, 1996).
Dari uraian diatas penulis akan mengkaji secara teoritis pengaruh paparan medan magnet pada sistem biologis yang dalam hal ini penulis tinjau pada se-sel darah putih (leukosit) tikus putih (Rattus Norvegicus).
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah : bagaimana pengaruh paparan medan magnet dalam hal ini pergeseran medan magnet terhadap jumlah leukosit tikus putih (Ratus Norvegicus).
1.3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah : hanya membahas tentang pengaruh paparan medan magnet terhadap sistem biologis terutama pada komponen sel-sel darah yaitu leukosit (sel darah putih) pada tikus putih (Rattus Norvegicus).
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paparan medan magnet terhadap sistem biologis terutama pada komponen sel-sel darah yaitu leukosit pada tikus putih (Rattus Norvegicus).
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengetahui tentang pengaruh paparan medan magnet pada kesehatan manusia terutama pada komponen sel-sel darah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Medan Magnet
Seorang ahli fisika yang bernama Orstead, mengemukakan bahwa arus dalam sebuah penghantar dapat menimbulkan efek-efek magnetik. Menurut Oerstead, arus yang berada didalam penghantar tersebut dapat mempengaruhi arah jarum kompas. Penemuan penting ini telah mengaitkan ilmu-ilmu pengetahuan yang terpisah mengenai magnetisme dan listrik.
Medan magnet didefinisikan sebagai ruang disekitar penghantar yang mengangkut arus.
Secara kuantitatif, medan magnet dinyatakan sebagai induksi magnetik. Hubungan medan magnet (B) dan garis-garis induksi adalah :
1. Arah medan magnet (B) disuatu titik ditentukan oleh garis singgung dari garis-garis induksi pada titik tersebut.
2. Jumlah garis-garis induksi persatuan luas penampang yang tegak lurus garis-garis induksi tersebut adalah sebanding dengan besarnya medan magnet. Semakin rapat garis-garis induksi, medan magnetnya semakin besar. Sedangkan semakin renggang garis-garis induksi, maka medan magnetnya semakin kecil.
Seperti medan listrik (E), maka vektor medan magnet B adalah sangat penting, dan garis-garis induksi hanyalah sekedar memberikan sebuah representasi grafik mengenai cara B berubah diseluruh bagian ruang tertentu.
Gambar 2.1 Garis-garis gaya magnet pada berbagai sumber medan magnet.
Fluks untuk sebuah medan magnet dapat didefinisikan sebagai Φ𝐵 = ∫ 𝐵. 𝑑𝑆, integral diambil diseluruh permukaan (tertutup atau terbuka) dimana Φ𝐵 didefinisikan. Medan
magnet dinyatakan dalam besaran H (kuat medan magnet) atau B (rapat fluks magnet) dengan satuan Tesla atau Gauss (T atau G). Konversi nilai T dan G adalah sebagai berikut : 1T = 10.000 G.
Medan magnet berbentuk lingkaran konsentris berlapis-lapis, dimana setiap lapis kekuatannya berbeda, dengan medan magnet terkuat berada pada intinya sebagai sumber medan magnet. Medan magnet dapat menembus sebagian besar benda atau medium apa saja yang berada di dekatnya. Medan magnet dinyatakan dalam besaran H (kuat medan magnet) atau B (rapat fluks magnet), dengan satuan Tesla atau Gauss (T dan G). Konversi nilai T dan G adalah sebagai berikut: 1T = 10.000 G.
2.1.1. Gaya yang dikerahkan oleh Medan Magnet
Muatan bergerak berinteraksi satu sama lain melalui gaya magnetik. Karena arus listrik terdiri atas muatan yang bergerak, arus listrik itu juga mengerahkan gaya magnetic satu sama lain. Gaya ini diuraikan dengan mengatakan bahwa suatu muatan bergerak atau arus menciptakan medan magnetik yang selanjutnya mengerahkan gaya pada muatan bergerak atau arus lain. Akhirnya, seluruh medan magnetik itu diakibatkan oleh muatan yang bergerak (Tipler, 1998)
Apabila muatan q bergerak dengan kecepatan v dalam medan magnetik, akan terdapat gaya yang tergantung pada muatan q, besar kecepatan v dan arahnya.
a. Gaya tersebut sebanding dengan muatan q. Gaya pada muatan negatif memliki arah yang berlawanan dengan arah gaya pada muatan positif yang bergerak dengan kecepatan yang sama.
b. Gaya tersebut sebanding dengan kecepatan v.
c. Gaya tersebut tegak lurus terhadap arah medan magnetik maupun kecepatannya.
d. Gaya tersebut sebanding dengan sin θ, dengan θ merupakan sudut antara kecepatan v dan medan magnetik B. Jika v sejajar baik searah maupun berlawanan arah dengan B, maka gayanya sama dengan nol.
Secara sistematik, apabila suatu muatan q bergerak dengan kecepatan v dalam medan magnetik B, gaya magnetik F pada muatan ialah :
𝐹 = 𝑞𝑣⃗ × 𝐵⃗⃗ (2.1) Adapun persamaan besar gaya yang dikerahkan medan magnetik adalah :
𝐹 = 𝑞𝑣𝐵 𝑠𝑖𝑛 𝜃 (2.2)
Gambar 2.2 Muatan +q bergerak dengan kecepatan v dalam medan magnet B.
2.1.2. Gerak Muatan Titik dalam Medan Magnet
Karakteristik penting gaya magnetic pada partikel bermuatan yang bergerak melalui suatu medan magnetik ialah bahwa gaya tersebut selalu tegak lurus terhadap kecepatan partikelnya. Gaya magnetic mengubah arah kecepatan tetapi tidak besarnya.
Apabila kecepatan partikel tegak lurus terhadap medan magnetik seragam, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4, partikel tersebut bergerak dalam orbit melingkar. Gaya magnetik memberikan gaya sentripetal yang diperlukan agar terjadi gerak melingkar. Kita dapat menghubungkan jari-jari lingkaran r dengan medan magnetik B dan kecepatan partikel v dengan membuat gaya total yang sama dengan massa m partikel kali percepatan sentripetal v2/r yang bersesuaian dengan hukum kedua Newton. Gaya total pada kasus ini sama dengan qvB karena v dan B saling tegak lurus. Dari hukum kedua Newton didapatkan:
𝐹 = 𝑚𝑎 𝑞𝑣𝐵 =𝑚𝑣2
𝑟 Atau
𝑟 =𝑚𝑣
𝑞𝐵 (2.3)
Gambar 2.3 Partikel bermuatan yang bergerak dalam bidang tegak lurus terhadap medan magnet seragam B. Gaya magnetik ini tegak lurus terhadap percepatan partikel yang
menyebabkan partikel itu bergerak dalam orbit melingkar.
Kuat medan magnet (H) berhubungan dengan kerapatan fluks magnet (B) melalui persamaan B = μH, yaitu medan magnet didefinisikan sebagai medan vektor kerapatan fluks magnet B. Dengan nilai μ (permeabilitas magnetik) ditentukan oleh sifat bahan dan untuk sebagian besar bahan biologis nilainya setara dengan μo, yaitu besarnya permeabilitas udara (IPCS International Programme on Chemical Safety. 1989).
Jumlah total dari garis-garis gaya dinamakan fluks magnet, φ, dengan satuan Weber.
Induksi magnet atau rapat fluks magnet, B, adalah besaran vektor yang bila dihubungkan dengan garis-garis gaya, besarnya dapat didefinisikan sebagai banyaknya garis gaya yang melewati suatu permukaan secara tegak lurus. Hal ini dapat tuliskan sebagai :
𝐵 =∅
𝐴 (2.4) dimana:
B = Induksi magnet atau rapat fluks magnet (Tesla atau Gauss)
∅ = Fluks magnet (Weber)
A = Luas bidang yang ditembus (meter2)
Kawat panjang yang dililikan didalam sebuah helix yang terbungkus rapat dan yang mengangkut sebuah arus I disebut solenioda. Medan solenoida merupakan jumlah vektor dari medan-medan yang ditimbulkan oleh semua lilitan yang membentuk solenoida tersebut.
Sebuah solenoida dapat menghasilkan sebuah medan magnet uniform.
Gambar 2.4. Solenoida yang dialiri arus I dan panjang kumparan L
Medan magnet yang dihasilkan pada pusat solenoida dapat dinyatakan sebagai : 𝐵 =𝜇0𝑁𝑖
𝐿 (2.5) 𝐵 = 𝜇0𝑛𝑖 (2.6)
Sedangkan besarnya medan magnet di tepi solenoida:
𝐵 =𝜇0𝑁𝑖
2𝐿 (2.7) 𝐵 =𝜇0𝑛𝑖
2 (2.8) Dimana:
N = Banyaknya lilitan pada solenoida n = N/L = Banyak lilitan per meter I = Arus yang mengalir pada solenoida
L = Panjang solenoid
2.2 Sifat Bahan Magnetik
Sebuah elektron dalam orbitnya serupa dengan arus kecil (arusnya berlawanan arah dengan arah gerak elektron) dan dapat mengalami torka dalam medan magnetik eksternal.
Torka ini cenderung mensejajarkan medan magnetik yang ditimbulkan oleh elektron dengan medan magnet eksternal. Jika momen magnetik lainnya diabaikan, maka dapat disimpulkan bahwa semua elektron yang berorbit dalam bahan akan bergeser sedemikian rupa sehingga akan menambahkan medan magnetiknya pada medan magnet eksternal, sehingga medan magnetik resultan pada setiap titik dalam bahan tersebut menjadi lebih besar.
Momen lainnya (yang kedua) yang timbul yaitu dari spin elektron. Melalui matematika teori kuantum relativistik dapat ditunjukkan bahwa elektron mempunyai momen magnetik spin sekitar ±9 × 10−24𝐴. 𝑚2 , tanda plus minus menyatakan bahwa penjajaran yang mungkin sesuai atau berlawanan dengan medan magnetik luar. Dalam atom yang mempunyai banyak elektron, yang memberi kontribusi pada momen magnetik atom hanyalah spin elektron dalam kulit yang tidak lengkap.
Kontribusi ketiga pada momen sebuah atom ditimbulkan oleh spin nuklir, tetapi pengaruh dari faktor ini biasanya dapat diabaikan. Jadi tiap atom mengandung banyak momen komponen yang berbeda-beda, dan kombinasinya menentukan karakteristik magnetik bahan tersebut dan menyajikan cara untuk melakukan klasifikasi bahan magnetik yang umum, diantaranya bahan diamagnetik, paramagnetik, feromagnetik, anti-feromagnetik, ferimagnetik, dan superparamagnetik. (William, 1991)
2.2.1 Bahan Diamagnetik
Tinjau atom dengan medan magnetik yang kecil yang ditimbulkan oleh gerak elektron pada orbitnya dan digabungkan dengan medan magnetik yang ditimbulkan oleh spin elektronnya dan menghasilkan medan netto nol, dalam hal ini tidak ada medan magnet eksternal. Dapat dikatakan bahwa bahan ini terdiri dari atom yang momen magnetik permanennya 𝒎𝟎 sama dengan nol untuk masing-masing atom. Bahan ini disebut diamagnetik. Jika elektron yang mengorbit momen m nya searah dengan medan magnet terpasang B0 , maka medan magnetik menimbulkan gaya luar pada elektron yang mengorbit.
Karena jejari orbitnya terkuantisasi dan tidak dapat berubah, maka gaya Coulomb dibagian dalam yang menarik elektron tidak berubah. Gaya tak seimbang yang ditimbulkan oleh gaya magnetik dibagian luar harus dikompensasi dengan mengurangi kecepatan putarannya. Jadi
momen yang terjadi karena putaran pada orbitnya berkurang, sehingga menimbulkan medan internal yang lebih kecil.
Jika dipilih sebuah atom dengan m dan B0 nya berlawanan, gaya magnetiknya akan mempunyai arah kedalam dan kecepatannya akan bertambah, sehingga momen orbitnya akan bertambah, sehingga terjadi peniadaan medan B0 yang lebih banyak. Dalam hal ini juga hasilnya ialah medan internal yang lebih kecil.
2.2.2 Bahan Paramagnetik
Tinjau atom yang efek spin elektron dan gerak pada orbitnya tidak saling meniadakan.
Atom secara keseluruhan memiliki momen magnetik kecil, tetapi orientasi acak (random) dari atom-atom tersebut dalam sampel yang cukup besar menghasilkan momen magnetik yang rata-rata besarnya nol. Bahan tersebut tidak memperlihatkan efek magnetik jika medan magnetik eksternalnya tidak ada. Jika diberikan medan magnet eksternal, timbul torka kecil pada masing-masing momen atomik, dan momen ini cenderung untuk menjajarkan dengan medan eksternal. Penjajaran ini menimbulkan pertambahan besar B dalam bahan tersebut (melebihi medan eksternal). Namun efek diamagnetik tetap bekerja pada elektron yang mengorbit dan melawan perubahan diatas. Jika hasil akhirnya adalah turunnya B, maka bahan tersebut tetap disebut diamagnetik. Tetapi jika hasilnya pertambahan B, maka bahan tersebut disebut paramagnetik. Contoh bahan paramagnetik seperti : kalium, oksigen, tungsten, unsur tanah jarang, serta banyak garam-garam seperti klorida erbium, oksida neodimium dan oksida itrium.
2.2.3 Bahan Feromagnetik
Dalam bahan feromagnetik, masing-masing atom memiliki momen dwikutub yang relatif besar, yang terutama ditimbulkan oleh momen spin elektron yang tak terkompensasi.
Gaya antar atom menyebabkan momen ini mempunyai arah yang sejajar dalam suatu daerah yang terdiri dari banyak atom. Daerah ini disebut domain, dan bentuk serta ukurannya dapat bermacam-macam berkisar dari ukuran satu mikrometer sampai beberapa sentimeter, tergantung pada ukuran, bentuk, bahan, dan sejarah magnetik sampel yang ditinjau. Bahan feromagnetik yang belum terjamah memiliki domain yang momen magnetiknya kuat, tetapi momen domain ini mempunyai arah yang berbeda-beda dari suatu domain ke domain lainnya. Dalam medan magnet eksternal, ukuran domain yang memiliki momen magnetik searah dengan medan eksternal akan bertambah sedangkan ukuran domain disekitarnya akan
berkurang, sehingga medan magnet internalnya menjadi bertambah besar dan melebihi medan eksternalnya. Unsur-unsur yang bersifat feromagnetik pada temperatur kamar ialah nikel dan cobalt, dan bahan-bahan ini kehilangan ciri feromagnetiknya diatas suatu temperatur yang disebut temperatur Curie. Temperatur Curie untuk besi adalah 1043 K (770oC).
2.2.4 Bahan Anti-feromagnetik
Dalam bahan ini, gaya antara atom-atom yang berdekatan menyebabkan momen atomik berbaris dalam pasangan anti sejajar (anti paralel). Momen magnetik nettonya adalah nol, dan bahan anti-feromagnetik hanya dipengaruhi sedikit oleh adanya medan magnetik eksternal. Efek seperti ini mula-mula ditemukan dalam oksida mangan, kemudian beberapa ratus bahan anti-feromagnetik lainnya ditemukan. Bahan ini terdapat pada temperatur yang relatif rendah, seringkali pada temperatur yang jauh lebih rendah dari temperatur kamar. Efek ini belum termasuk efek yang penting dalam bidang perekayasaan saat ini.
2.2.5 Bahan Ferimagnetik
Bahan ferimagnetik juga menunjukkan arah yang antisejajar untuk momen atomik yang berdekatan, tetapi momennya tidak sama. Akibatnya bahan ini mempunyai respon yang besar terhadap medan magnetik eksternal, walaupun tidak sebesar bahan feromagnetik.
Kelompok terpenting bahan ferimagnetik ialah ferit yang mempunyai konduktivitas rendah, beberapa orde lebih rendah dari semikonduktor. Kenyataan bahwa bahan ini mempunyai resistansi yang lebih besar dari bahan feromagnetik mengakibatkan timbul arus induksi yang jauh lebih kecil, jika dipasang medan bolak-balik seperti dalam teras transformatoryang bekerja pada frekuensi tinggi. Arus yang terdeteksi (arus eddy) menghasilkan kerugian ohmik yang lebih kecil pada teras transformator. Contoh bahan ini adalah : oksida besi magnetik 𝐹𝑒3𝑂4, ferit nikel seng (𝑁𝑖1/2𝑍𝑛1/2𝐹𝑒2𝑂4).
2.2.6 Bahan Superparamagnetik
Bahan superparamagnetik terdiri dari kelompok partikel feromagnetik dalam kisi non- feromagnetik. Walaupun domain terdapat dalam diri partikelnya, dinding domain tersebut tidak dapat menembus kisi bahan pengantar ke partikel didekatnya. Contoh bahan seperti ini terdapat pada pita magnetik yang dipakai dalam rekorder/pita video atau audio. Pada Tabel 2.1 disajikan ringkasan karakteristik keenam jenis bahan magnetik yang diuraikan diatas.
Tabel 2.1 Karakteristik Bahan Magnetik
Klasifikasi Momen-momen Magnetik Nilai-nilai B Keterangan Diamagnetik 𝑚𝑜𝑟𝑏+ 𝑚𝑠𝑝𝑖𝑛 = 0 𝐵𝑖𝑛𝑡< 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙 𝐵𝑖𝑛𝑡= 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙
Paramagnetik 𝑚𝑜𝑟𝑏+ 𝑚𝑠𝑝𝑖𝑛 = 𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 𝐵𝑖𝑛𝑡> 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙 𝐵𝑖𝑛𝑡= 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙 Ferromagnetik |𝑚𝑠𝑝𝑖𝑛| ≫ |𝑚 𝑜𝑟𝑏| 𝐵𝑖𝑛𝑡≫ 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙 Domain
Anti-ferromagnetik |𝑚𝑠𝑝𝑖𝑛| ≫ |𝑚 𝑜𝑟𝑏| 𝐵𝑖𝑛𝑡= 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙 momen-momen yang didekatnya
Ferimagnetik |𝑚𝑠𝑝𝑖𝑛| > |𝑚 𝑜𝑟𝑏| 𝐵𝑖𝑛𝑡> 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙 momen-momen yang didekatnya tidak sama, berlawanan 𝜎 rendah Supermagnetik |𝑚𝑠𝑝𝑖𝑛| ≫ |𝑚 𝑜𝑟𝑏| 𝐵𝑖𝑛𝑡> 𝐵𝑎𝑝𝑝𝑙 matriks non-magnetik pita
rekorder
Bahan ferromagnetik, anti-ferromagnetik, ferimagnetik, dan supermagnetik semuanya memiliki momen atomik yang kuat. Interaksi antara atom-atom yang berdekatan menimbulkan penjajaran momen magnetik atom-atom tersebut sehingga berarah sejajar atau antisejajar.
2.3 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Tikus putih tergolong dalam Ordo Rodentia. Ordo Rodentia adalah ordo terbesar bagi kelas mamalia. Tikus putih termasuk dalam Famili Muridae.
Gambar 2.5. Tikus Putih (Rattus Norvegicus)
Klasifikasi tikus :
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus
Spesies : Rattus Norvegicus Galur/Starin : Sprague Dawley
Tikus putih tergolong hewan mamalia dengan ekor panjang, bertubuh panjang dan kepala lebih kecil. Mata tikus putih merah, telinganya tebal dan pendek serta bulu yang halus.
Bobot tikus putih jantan dan betina masing-masing 240 dan 200 gram. Umur tikus putih berkisar antara empat sampai lima tahun, dengan berat badan antara 267-500 gram untuk jantan, dan 225-325 gram untuk betina. Suara yang yang dapat didengar tikus adalah ultrasonik dengan intensitas pendengaran 70 dB dengan rentang frekuensi 250 Hz – 70 kHz. Tempat hidup tikus biasanya di tempat yang lembab, di sawah, hutan, dan di daerah pantai.
2.4 Struktur Darah
Tubuh makhluk hidup seperti manusia, sebagian besar terdiri dari darah. Fungsi darah adalah sebagai sarana transportasi, mengatur temperatur, memelihara keseimbangan cairan tubuh,dan keseimbangan basa. Darah mengandung plasma dan sel darah dengan masing- masing 55% dan 45% di dalam tubuh. Jika darah disentrifuge, akan terlihat komponen- komponen darah tersebut. Sel-sel darah mengapung dalam cairan jernih berwarna jerami yang disebut serum. Sel-sel darah juga disebut leukosit ditemukan dalam lapisan tipis yang dikenal sebagai buffy coatt. Sel-sel darah merah yang juga disebut eritrosit lebih padat dibandingkan sel-sel darah putih dan karenanya kedalam bagian dasar tabung. Komposisi darah terdiri dari :
2.4.1 Sel Darah Merah (Eritrosit)
Sel darah merah tidak memiliki inti sel ataupun organela. Sel darah merah ini mengandung hemoglobin dan bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Kekurangan sel darah merah menyebabkan penyakit anemia.
2.4.2. Sel Darah Putih (Leukosit)
Sel-sel darah putih merupakan tulang punggung sistem kekebalan tubuh, muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran serta memiliki banyak fungsi yang berbeda. akan tetapi ada tiga karakteristik yang sama. Pertama, masing-masing mempunyai nukleus, yaitu bagian dalam sel yang mengandung bahan-bahan untuk pertumbuhan, gizi, dan reproduksi. Kedua, masing-masing melayani satu fungsi kekebalan tertentu. Ketiga, semua sel darah putih datang dari induk yang sama, yang disebut sel stem, yang ada dalam sumsum tulang.
Salah satu tipe sel darah putih yang memainkan peranan penting dalam sistem kekebalan tubuh adalah sel-T (Thymus), yaitu kelenjar yang tepat berada di bawah tulang dada. Sel-T ini memberikan respon terhadap penyusup asing yang berada di dalam limpa atau kelenjar getah bening. Selain sel-T ada juga sel-B (Bursa), yang jug berada di limpa. Ketika sel-B diaktifkan oleh serangan asing, beberapa diantaranya berubah bentuk menjadi sel-sel plasma. Inilah sel-sel B yang menghasilkan antibodi, yang merupakan zat kimia khusus yang melekat ke organisme menular dan memberi tanda pada sistem kekebalan tubuh untuk menghancurkan penyusup asing tersebut.
Sel darah putih lain yang berkembang di dalam sumsum tulang adalah monosit. Sel ini berkembang sangat cepat, kemudian pindah ke aliran darah dan dibawa ke bagian-bagian tubuh yang jauh. Kendati monosit dalam jumlah besar ketika infeksi terjadi, tujuan utamanya adalah berubah bentuk menjadi tipe sel darah putih lain yaitu makrofag. Makrofag adalah sel- sel berukuran besar untuk membunuh dan memakan bakteri atau sel-sel darah tua yang telah ditandai untuk dihancurkan oleh sel-sel B, sel-sel T dan komplemennya. Beberapa diantaranya bebas bergerak dan mencari mangsa, sedangkan yang lain tetap berada di limpa, kelenjar getah bening, sumsum tulang, paru-paru dan hati.
Makrofag bukanlah satu-satunya sel darah putih yang membunuh dan memakan bakteri. Fungsi tersebut juga dilakukan oleh neutrofil. Neutrofil biasanya, sebelum masuk ke dalam darah, mengalami proses pematangan di dalam sumsum tulang. Infeksi bakterial
umumnya ditanggulangi oleh produksi neutrofil dalam jumlah berlimpah oleh sumsum tulang. Namun kadang-kadang infeksi begitu parahnya sehingga produksi tersebut tidak cukup, dan neutrofil yang belum matang yang disebut batang meluap ke dalam aliran darah.
Dalam dunia kedokteran, ketika peningkatan jumlah sel darah putih digunakan untuk mendiagnose infeksi bakterial, biasanya mengacu kepeningkatan jumlah neutrofil.
Istilah fagosit pada umumnya diberikan ke sembarang sel yang mampu memakan sel lain. Neutrofil dan makrofag jelas termasuk dalam kategori ini. Selain itu ada kesepakatan bahwa eosinofil adalah fagosit. Tidak banyak yang diketahui mengenai eosinofil, tetapi kebanyakan ilmuwan percaya eosinofil melakukan dua fungsi penting yaitu membantu mengatur tingkat keparahan reaksi alergi, dan membunuh sejumlah parasit yang bisa menginfeksi tubuh.
Basofil mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga sel mastosit dan mengandung semua pasokan histamin bagi darah. Ketika seseorang terkena substansi yang menyebabkan alergi, seperti tepung sari atau debu, sel mastosit dan basofil akan mengeluarkan histamin.
Histamin menyebabkan gejala-gejala khas yang diasosiasikan dengan sebagai alergi atau hayfever. Substansi penyebab alergi disebut alergen.
2.4.3. Trombosit
Trombosit merupakan partikel kecil berdiameter 2 – 4 mm yang terdapat dalam sirkulasi plasma darah. Trombosit dapat mengalami penguraian yang cepat sehingga jumlahnya dapat berubah dalam rentang 150.000 hingga 450.000/mm3 darah, serta bagaimana trombosit tersebut digunakan. Trombopoetin berfungsi untuk memproduksi trombosit. Fungsi trombosit yaitu untuk membantu proses pembekuan darah jika terjadi luka dengan cara menempel dijaringan ikat subendotel yang terbuka. Proses ini disebut dengan adhesi.
Selanjutnya akan terjadi reaksi pelepasan (agregasi reversibel atau primer) yang diikuti dengan pelepasan ADP. Jika ADP bersentuhan dengan trombosit, proses penempelan atau kohesi dimulai.
2.5 Efek Medan terhadap Sel Biologis
Medan magnet menembus tubuh dan setiap sel tunggal secara sempurna. Sehingga dalam medan elektromagnet, hanya komponen medan magnet yang dapat mempengaruhi tubuh atau sel biologi. Ion di dalam sel dan sistem koloid juga terpengaruhi melalui magnetisme. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui interaksi medan magnet tersebut dengan
bahan biologis (Moulder, 2004). Terdapat tiga mekanisme fisis interaksi antara medan magnet statik dan medan magnet bergantung-waktu dengan bahan biologis (IPCS International Programme on Chemical Safety, 1989):
2.5.1 Induksi Magnetik
Mekanisme ini relevan untuk medan statik dan medan bergantung-waktu dan merupakan akibat dari berbagai macam interaksi.
a) Interaksi elektrodinamik dengan elektrolit yang bergerak
Medan statik dan medan bergantung waktu mengerahkan gaya pada pembawa muatan ionik yang bergerak, dan dengan demikian memberikan kenaikan pada medan listrik dan arus yang dihasilkan. Interaksi ini merupakan dasar pada potensial aliran darah yang dihasilkan secara magnetik yang telah diteliti dibawah pengaruh medan statik dan medan bergantung waktu. Gerakan elektron dan ion pada larutan akan dihambat oleh medan magnet yang kuat, dan terdapat dugaan bahwa hal tersebut dapat mengarah pada modifikasi arus depolarisasi bergantung-medan yang bertanggung jawab dalam propagasi (perambatan) potensial aksi syaraf dan otot. Jika jalan bebas rata-rata arus pembawa dan waktu antar tumbukan cukup panjang, resistivitas efektif akan meningkat dan akan terbentuk medan listrik transversal (efek Hall) ketika konduktor ditempatkan dalam medan magnetik. Akan tetapi, potensial aksi jaringan syaraf dan otot bergantung pada aliran ionik. Ion tersebut memiliki jalan bebas rata-rata yang sangat pendek (~ 1 Amstrong) dan waktu tumbukan (10-12 detik) dan oleh karena itu, efek medan magnet terhadap arus yang berhubungan dengan potensial aksi dapat diabaikan (Schenck, 2000).
b) Arus Faraday
Medan magnet bergantung-waktu menyebabkan arus (arus eddy) pada jaringan hidup sesuai dengan hokum induksi Faraday. Bukti yang ada menyatakan bahwa mekanisme ini dapat mendasari berbagai efek pada jaringan yang dapat dirangsang secara elektrik, termasuk stimulasi visiosensori yang menghasilkan magnetophosphenes.
2.5.2 Efek Magnetomekanik
Medan magnet statik mempunyai dua jenis efek mekanik terhadap bahan biologis.
a) Orientasi Magnetic
Dalam medan magnet statik yang seragam, molekul diamagnetik dan paramagnetik mengalami torsi (tenaga putaran) yang cenderung menyesuaikan molekul tersebut dengan medan. Ketika bahan magnetik seperti fibrin, kolagen, osteoblas dan sel otot halus dikenai medan magnet statik, bahan tersebut akan mensejajarkan diri baik secara paralel atau tegak lurus terhadap arah medan magnet, tergantung dari anisotrofi bahan tersebut. Torsi magnet yang beraksi terhadap komponen diamagnetik dalam sel biologis mengakibatkan fenomena orientasi magnetik.
b) Translasi Magnetokimia
Variasi kuat medan magnet static terhadap jarak menghasilkan gaya netto dalam bahan paramagnetik dan ferromagnetik yan mengarah pada gerak translasi. Dikarenakan terbatasnya jumlah bahan magnetic pada sebagian besar jaringan hidup, pengaruh efek ini terhadap fungsi biologis dapat diabaikan.
2.5.3 Interaksi Elektronik
Golongan tertentu reaksi kimia yang melibatkan keadan intermediet electron radikal dimana interaksi dengan medan statik dapat menyebabkan efek terhadap keadaan spin elektron. Terdapat kemungkinan bahwa waktu hidup keadaan intermediet electron relevan secara biologi cukup pendek sehingga interaksi medan magnetik hanya menghasilkan pengaruh yang kecil terhadap produk reaksi kimia, dan bahkan dapat diabaikan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi pustaka. Data yang diperoleh dari penelitian Ni Komang Mas Sastikawati tentang Studi Pengaruh Lamanya Pemaparan Medan Magnet terhadap Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) akan ditinjau dengan mencari hubungan antara paparan medan magnet dalam hal ini pergeseran medan magnet dengan perubahan jumlah leukosit tikus putih.
Tikus putih digunakan sebagai objek pada penelitian ini. Dipilihnya tikus putih, karena tikus putih mempunyai banyak keunggulan. Pertama, banyak gen tikus putih relatif mirip dengan manusia. Kedua, tikus putih merupakan golongan binatang menyusui atau mamalia yang memiliki kemampuan berkembangbiak yang sangat tinggi, sangat cocok digunakan untuk penelitian. Selain itu tikus putih ini mudah didapat namun harganya agak mahal, tikus putih memiliki ukuran tubuh yang sedang, sehingga memudahkan tempat paparan di bandingkan dengan manusia yang akan memakan biaya yang sangat mahal, waktu serta tempat yang cukup besar dan juga faktor etika (kesopanan).
Tikus putih yang digunakan berumur kurang lebih tiga bulan dengan berat badan kira- kira 150 – 300 gram. Hewan uji ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok, dimana dua kelompok akan dikenai paparan medan magnet, dan satu kelompok lagi sebagai kontrol.
Medan magnet yang digunakan adalah medan magnet homogen dengan kuat medan 300 Gauss dan 500 Gauss. Waktu paparan untuk tiap sampel divariasikan dalam interval waktu 2, 3, 4, 5, dan 6 jam per hari masing-masing selama 3 hari. Waktu pemulihannya diambil batas minimal 5 hari setelah pemaparan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Variasi Waktu Paparan Medan Magnet 300 dan 500 Gauss terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan jumlah sel-sel darah pada tikus putih adalah faktor fisiologis. Perubahan fisiologis ada dua yaitu perubahan fisiologis internal dan eksternal. Perubahan fisiologis internal antara lain : pertambahan umur, berat badan, status gizi, kesehatan, stress, proses produksi darah, dan suhu tubuh. Sedangkan perubahan fisiologis eksternal meliputi : infeksi kuman dan penyakit, perubahan suhu lingkungan, sanitasi dan sebagainya (Raja P. Manurung, 2006).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Mas Sastika Wati diperoleh data pengamatan sebagai berikut :
Tabel 4.1. Data Hasil Pengamatan jumlah Leukosit Tikus Putih Kontrol
Awal Akhir
BB (gram) WBCx103 (1/mm3) t (Hari) BB (gram) WBCx103 (1/mm3)
175 5,4 60 250 8,9
Tabel 4.1. Data Hasil Pengamatan jumlah Leukosit Tikus Putih dengan paparan medan magnet 300 Gauss
No
Sebelum Paparan Setelah Paparan Pemulihan (t = 120 Jam) BB
(gram)
WBCx103 (1/mm3)
t (jam)
BB (gram)
WBCx103 (1/mm3)
BB (gram)
WBCx103 (1/mm3)
1 175 11,45 6 200 7,85 200 7,7
2 175 5,3 9 175 16,9 215 8,75
3 175 8,45 12 200 4,55 265 5,3
4 185 5,15 15 175 7,35 225 11,75
5 175 5,55 18 175 6,35 175 5,8
Tabel 4.1. Data Hasil Pengamatan jumlah Leukosit Tikus Putih dengan paparan medan magnet 500 Gauss
No
Sebelum Paparan Setelah Paparan Pemulihan (t = 120 Jam) BB
(gram)
WBCx103 (1/mm3)
t (jam)
BB (gram)
WBCx103 (1/mm3)
BB (gram)
WBCx103 (1/mm3)
1 150 8,1 6 150 9,05 165 10,05
2 175 6,5 9 190 9,25 220 8,2
3 160 5,7 12 150 5,5 180 7,3
4 155 9,45 15 160 8,25 170 10,85
5 150 6,65 18 150 11,85 160 5,25
Keterangan :
BB = Berat Badan (gram), WBC = White Blood Cell ( sel darah putih), t = waktu paparan (jam)
Gambar 4.1 Diagram Hasil Pengamatan Jumlah Leukosit pada Tikus Putih dengan medan magnet 300 Gauss
Gambar 4.2 Diagram Hasil Pengamatan Jumlah Leukosit pada Tikus Putih dengan medan magnet 500 Gauss 0
2 4 6 8 10 12 14 16 18
1 2 3 4 5
Jumlah WBC (x 1000)
t (jam)
Hasil Pengamatan Jumlah Leukosit pada Tikus Putih dengan Medan Magnet 300 Gauss
WBCo WBCt WBCp
0 2 4 6 8 10 12 14
1 2 3 4 5
Jumlah WBC (x1000)
t (jam)
WBCo WBCt WBCp
WBCo = Jumlah leukosit sebelum diberikan paparan medan magnet WBCt = Jumlah leukosit setelah diberikan paparan medan magnet
WBCp = Jumlah leukosit saat pemulihan selama lima hari setelah
diberikan paparan medan magnet
Pada Gambar 4.1. ditunjukkan hasil pengamatan jumlah leukosit dengan besar medan magnet 300 Gauss. Dilihat dari keseluruhan sampel, terdapat tiga sampel yang menunjukkan peningkatan jumlah leukosit. Sedangkan pada sampel pertama dan ketiga mengalami penurunan jumlah leukosit. Pada saat pemulihan, sampel pertama, kedua dan kelima jumlah leukosit cenderung mengalami penurunan atau mendekati keadaan normal, namun ada beberapa yang mengalami peningkatan setelah diberikan paparan medan magnet. Demikian pula pada Gambar 4.2, dilihat dari keseluruhan sampel, terdapat tiga sampel yang menunjukkan peningkatan jumlah leukosit yaitu sampel pertama, kedua dan kelima.
Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Raja P. Manurung yang menganalisa kandungan leukosit dengan besar medan magnet 400 – 450 Gauss menunjukkan hasil yang cenderung meningkat masing-masing 23% dan 27 %. Dengan kata lain pengaruh medan magnet pada perlakuan ini sangat signifikan.
Dari penelitian yang dilakukan ada beberapa data yang menunjukkan penurunan jumlah leukosit yaitu sampel pertama dan ketiga pada besar medan magnet 300 Gauss dan sampel ketiga dan keempat pada medan magnet 500 Gauss. Hal ini dapat diduga bahwa komposisi utama dari leukosit mengandung unsur kalsium (Ca), dimana nilai suseptibilitas magnetik Ca sebesar 𝜒𝑚 = +40 × 10−6 tergolong sebagai bahan paramagnetik.
4.2. Korespondensi Teoritik Magnetisasi
Dari hasil uraian sub bab 4.1 diatas, akan diajukan proposisi formulasi pergeseran medan magnet dalam sel darah putih. Adapun rumusan penunjang untuk penurunan formulasi ini diuraikan sebagai berikut :
1) Momen dipol magnet
Elektron tidak hanya berspin, tetapi juga berevolusi disekitar inti. Elektron mengorbit inti dengan periode 𝑇 = 2𝜋𝑅/𝜐 dan momen dipol orbital sebesar 𝑚 =
−1
2𝑒𝑣𝑅𝑘̂. Tinjau kesetimbangan gaya Coulomb dengan gaya sentripetal dari elektron yaitu :
1 4𝜋𝜀0
𝑒2
𝑟2
= 𝑚
𝑒𝑣2𝑟
Sisi kiri persamaan ini merupakan akumulasi pengaruh lingkungan dari sistem gerak orbital elektron, yaitu berupa lingkungan listrik dan magnet. Sehingga persamaan ini dapat dituliskan :
1 4𝜋𝜀0
𝑒2
𝑟2+ 𝑒𝑣′𝑩 = 𝑚𝑒𝑣′2
𝑟
Selanjutnya diperoleh perubahan kecepatan : 𝑒𝑣′𝑩 =𝑚𝑒
𝑟 (𝑣′2− 𝑣2) =𝑚𝑒
𝑟 (𝑣′+ 𝑣)(𝑣′− 𝑣) asumsi perubahan Δ𝑣 = 𝑣′− 𝑣 adalah kecil, maka
Δ𝑣 = 𝑒𝑟𝐵
2𝑚𝑒
Sehingga perubahan kecepatan orbital ini mempengaruhi momen dipol yaitu : 𝚫𝒎 = −1
2𝑒(Δ𝑣)𝑟𝑘̂ = −𝑒2𝑟2
4𝑚𝑒𝑩 (4.1) v merupakan kecepatan elektron.
2) Magnetisasi oleh medan magnet luar : 𝑯 ≡ 1
𝜇0𝑩 − 𝑴 (4.2) 3) Suseptibilitas Kemagnetan
𝑴 = 𝜒𝑚𝑯 (4.3) 4) Gaya Magnetik dalam sel
Penurunan gaya magnetik pada sel diperoleh dengan menganalogikan satu satuan sel sebagai monopol titik, sehingga untuk dua titik monopol terdekat diasumsikan sebagai hubungan momen dipol yang selanjutnya disebut sebagai momen dipol efektif dari sel sebesar 𝑚𝑐,𝑒𝑓𝑓. Sehingga diperoleh hubungan gaya magnetik dituliskan sebagai berikut (EP. Furlani).
𝑭𝑚 = 𝜇𝑓(𝑚𝐶,𝑒𝑓𝑓∙ ∇)𝑯𝑎 (4.4) 5) Medan Magnet komponen sel darah
Untuk menentukan pengaruh gaya magnet pada sel, diperlukan paparan medan magnet luar 𝑯𝑎. ini merupakan superposisi dari dua medan magnet yang berbeda yaitu medan magnet bias 𝑯𝑏𝑖𝑎𝑠 , dan medan magnet unsur 𝑯𝑒 , yang dituliskan sebagai berikut (E.P Furlani) :
𝑯𝒂= 𝑯𝒃𝒊𝒂𝒔+ 𝑯𝒆
𝑯𝒂= 𝑯𝒆,𝒙𝒙̂ + (𝑯𝒃𝒊𝒂𝒔,𝒚+ 𝑯𝒆,𝒚)𝒚̂
Akan tetapi 𝑯𝒃𝒊𝒂𝒔 dan 𝑯𝒆 keduanya tidak saling bebas. Secara spesifik, 𝐻𝑒 tergantung pada 𝑯𝒃𝒊𝒂𝒔 sebagai medan bias yang mengakibatkan termagnetisasinya unsur magnet.
Dengan kata lain 𝑯𝒃𝒊𝒂𝒔 mengimbas 𝑯𝒆. Dengan pendekatan model linier, magnetisasi pada unsur magnetisasi sel darah dituliskan sebagai berikut,
𝑴𝒆 = 𝝌𝒆𝑯𝒊𝒏
Dimana 𝜒𝑒 =𝜇𝑒
𝜇0− 1 dan 𝜇𝑒 masing-masing merupakan suseptibilitas dan permeabilitas unsur. Untuk keadaan magnetisasi jenuh yang memenuhi hubungan 𝑴𝒆 = 𝑴𝒆𝒔 , dimana 𝑀𝑒𝑠 merupakan saturasi magnetisasi dari unsur. Dari persamaan diatas 𝑯𝒊𝒏 = 𝑯𝒂+ 𝑯𝒅𝒆𝒎𝒂𝒈 merupakan medan internal unsur. Secara khusus, 𝑯𝒅𝒆𝒎𝒂𝒈 = −𝑵𝒅𝑴𝒆 , dimana 𝑁𝑑 adalah faktor demagnetisasi, sehingga 𝑴𝒆 = 𝝌𝒆(𝑯𝒃𝒊𝒂𝒔− 𝑵𝒅𝑴𝒆), yang dapat ditulis sebagai berikut :
𝑴𝒆 = 𝝌𝒆
𝟏+𝑵𝒅𝝌𝒆𝑯𝒃𝒊𝒂𝒔 (4.5) Dari kelima persamaan diatas yaitu persamaan (4.1), (4.2), (4.3), (4.4), dan persamaan (4.5), dapat diturunkan pengaruh medan magnet luar yang mengganggu leukosit yaitu gangguan gaya sebesar :
𝑭𝒎= −𝝁𝒇𝑒2𝑟2
4𝑚𝑒 [(𝑩⃗⃗ ∙ 𝛁⃗⃗ ) {1
𝜇0𝑩⃗⃗ − 𝝌𝒆
1+𝑵𝒅𝝌𝒆𝑯𝒂}] (4.6) Untuk bahan paramagnetik persamaan (4.6) dapat disederhanakan menjadi :
𝑭𝒎= −𝝁𝒇𝑒2𝑟2
4𝑚𝑒 [(𝑩⃗⃗ ∙ 𝛁⃗⃗ ) {1
𝜇0𝑩⃗⃗ −𝑯𝒂
𝑵𝒅}] (4.7)
Dari persamaan (4.7) diatas dapat diajukan alasan bahwa kontribusi gaya magnet positif pada suku kedua persamaan, merupakan besaran gaya magnet yang bekerja pada sistem sel darah. Gangguan gaya magnet ini mengakibatkan gangguan termal, yang secara hematologi gangguan ini mengganggu sistem pembentuk leukosit yang berupa sel stem pluripotensial hematopoietic sehingga merangsang pembentukan granulosit dan monosit pada sumsum tulang belakang.
Hubungan waktu pemaparan medan magnet terhadap jumlah leukosit dengan asumsi kelima tikus sampel mempunyai berat badan yang hampir sama sebesar 175 gram. Asumsi ini diambil untuk mengasosiasikan seolah-olah variasi waktu paparan medan magnetnya diberlakukan untuk satu jenis tikus, sehingga diperoleh pendekatan gambaran variasi waktu paparan berkaitan dengan jumlah leukosit. Dari penelitian ini teramati kecenderungan bahwa akibat dari paparan medan magnet menyebabkan produksi leukosit meningkat.
4.3 Hubungan Waktu pemulihan terhadap Normalisasi jumlah Leukosit pada tikus putih
Pengaruh waktu pemulihan terhadap normalisasi jumlah leukosit dapat dilihat dari jumlah leukosit sebelum diberikan paparan medan magnet dengan jumlah leukosit setelah diberikan paparan serta setelah melewati masa pemulihan selama lima hari. Pemulihan disini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu terhadap jumlah leukosit setelah mengalami paparan medan magnet, apakah membutuhkan waktu yang lebih lama atau cukup hanya dengan lima hari pemulihan agar jumlah leukositnya bisa kembali normal atau setidaknya mendekati normal. Untuk lebih jelasnya hubungan waktu pemulihan dengan normalisasinya dapat dirumuskan sebagai berikut :
ΔWBC𝑇 = 𝑊𝐵𝐶𝑇− 𝑊𝐵𝐶0 ΔWBC𝑃 = 𝑊𝐵𝐶𝑃− 𝑊𝐵𝐶0 Dan dapat dirumuskan normalisasi sebagai berikut :
𝑁 = |Δ𝑊𝐵𝐶𝑃 Δ𝑊𝐵𝐶𝑇|
|Δ𝑊𝐵𝐶𝑃
Δ𝑊𝐵𝐶𝑇| {> 1, 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑚𝑢𝑙𝑖ℎ𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑎𝑡𝑎𝑠 5 ℎ𝑎𝑟𝑖
< 1, 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑚𝑢𝑙𝑖ℎ𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡𝑖 5 ℎ𝑎𝑟𝑖 Dimana :
ΔWBC𝑇 = jumlah leukosit pada saat teratment dikurangi jumlah leukosit dalam keadaan normal (sebelum dipapar medan magnet)
ΔWBC𝑃 = jumlah leukosit pada saat pemulihan (setelah ditreatment) dikurangi jumlah leukosit dalam keadaan normal (sebelum dipapar medan magnet)
N = Normalisasi (pemulihan kembali ke keadaan awal/normal)
Untuk tikus pertama dengan medan magnet 300 gauss dapat dihitung hubungan waktu pemulihan dengan normalisasinya sebagai berikut :
ΔWBC𝑇 = 𝑊𝐵𝐶𝑇− 𝑊𝐵𝐶0 = 7,850 − 11,450 = −3,600 ΔWBC𝑃 = 𝑊𝐵𝐶𝑃− 𝑊𝐵𝐶0 = 7,700 − 11,450
= −3,750 𝑁 = |Δ𝑊𝐵𝐶𝑃
Δ𝑊𝐵𝐶𝑇| = |−3,750
−3,600|
= 1,04
Dengan cara yang sama diperoleh data hubungan waktu pemulihan dengan normalisasi seperti pada tabel 4.1 berikut :
Tabel 4.1. Hubungan waktu pemulihan terhadap normalisasi jumlah leukosit dengan besar medan magnet 500 Gauss
No 𝚫𝑾𝑩𝑪𝑻 𝚫𝑾𝑩𝑪𝑷 N
1 -3600 -3750 1,04
2 11600 3450 0,2
3 -3900 -3150 0,8
4 2200 6600 3
5 800 250 0,31
Dari Tabel 4.1. diatas, untuk sampel pertama dan keempat waktu pemulihannya diperkirakan diatas lima hari, karena jumlah leukositnya masih jauh diatas normal yang disebabkan oleh pengaruh paparan medan magnet yang masih mempengaruhi kadar leukosit dan kemungkinan tikus tersebut mengalami stress yang berkepanjangan. Untuk sampel kedua, ketiga dan kelima waktu pemulihannya diperkirakan mendekati lima hari, karen jumlah leukositnya berangsur-angsur mangalami penurunan atau mendekati normal.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas tentang pengaruh paparan medan magnet terhadap sel darah putih pada tikus putih, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil analisis menunjukkan kecenderungan bahwa akibat paparan medan magnet menyebabkan produksi leukosit meningkat. Untuk masing-masing variasi paparan medan magnet 300 Gauss dan 500 Gauss dalam interval waktu paparan 2,3,4,5,dan 6 jam perhari selama tiga hari terdapat 60% tikus mengalami peningkatan jumlah leukosit. Hal ini dapat diduga bahwa komposisi utama dari leukosit mengandung kalsium (Ca), dimana nilai suseptibilitas magnetik Ca sebesar 4 × 10−6 yang tergolong sebagai bahan paramagnetik. Secara hematologi gaya 𝑭𝒎 = −𝝁𝒇𝑒
2𝑟2 4𝑚𝑒 [(𝑩⃗⃗ ∙
𝛁⃗⃗ ) {1
𝜇0𝑩⃗⃗ − 𝝌𝒆
1+𝑵𝒅𝝌𝒆𝑯𝒂}] mengakibatkan gangguan termal pada sistem pembentuk leukosit berupa sel stem pluripotensial hematopoietic sehingga merangsang granulosit dan monosit pada sumsum tulang belakang
2. Tikus putih yang diberikan paparan medan magnet 300 Gauss, terdapat 20% yang membutuhkan waktu pemulihan diatas lima hari dan 30% mendekati lima hari.
Sedangkan untuk paparan medan magnet 500 Gauss, 30% membutuhkan waktu pemulihan diatas 5 hari dan 20% mendekati lima hari. Sehingga dapat ditarik kesimpilan bahwa paparan medan magnet yang lebih tinggi memerlukan waktu pemulihan yang lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Furlani, E.P. 2003. J. Apll. Phys. 99. 024912, 1-11.
Ganong WP. 1998. Reveiw of Medical Physiology. California: Long Medical Publ. Los Atos Griffiths David, J., 1999, Introduction to Electrodynamics, Prentice-Hall, Inc, Englewood
Cliffs, New Jersey
Guyton, AC and Hall JE, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Diterjemakan oleh Irawati S, Ken AT dan Alex S. Jakarta EGC, Penerbit Buku Kedokteran
LPM ITB dan Fakultas Kedokteran UI, 1997, Penelitian Pengaruh Medan Listrik dan Medan Magnet SUTET terhadap Kesehatan Manusia
Manurung, Raja, 2006, Pengaruh Medan Magnet terhadap Leukosit dan Hemoglobin pada mencit (muc Musculus), jur. Fisika FMIPA Unud
Mas Sastikawati, Ni Komang, 2013, Studi Pengaruh Lamanya Pemaparan Medan Magnet terhadap Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus), Jur Fisika FMIPA UNUD
William H, 1991, Elektromagnetika Teknologi, Jakarta, Penerbit Erlangga.