LAPORAN PRAKTIKUM ILMU PENYAKIT PARASIT VETERINER ACARA II
METODE PEMERIKSAAN FESES
DISUSUN OLEH
NAMA : Marcellinus Evan Julian W.P
NIM : 19/445439/KH/10208
KELOMPOK : 9
ASISTEN : Gusti Luthfi Awitchandra
DEPARTEMEN PARASITOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2020
I. JUDUL PRAKTIKUM Metode Pemeriksaan Feses II. TUJUAN PRATIKUM
a. Mengetahui metode pemeriksaan feses
b. Mengetahui jenis telur parasite yang ditemukan III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Morfologi Telur Cacing 1. Ruminansia
a. Telur Hamonchus contortus.
Gambar 1. Telur Haemonchus contortus (Supriadi et al,2020) Haemonchus contortus adalah cacing yang berhospes pada ruminansia seperti kambing dan domba. Predileksi parasite ini pada abomasum ruminansia (Griffiths, 1978) Ciri ciri telur cacing ini memiliki dinding tipis dan bertipe telur segmented (Supriadi et al, 2020). Siklus hidup Haemonchus contortus mulai dari fase telur dalam feses selama 6 hari. Setelah itu, berkembang hingga larva 3 (infektif) dan berdiam diri di rumput.
Lalu, kambing memakan rumput yang ada larva 3 Haemonchus contortus. Cacing masuk ke abomasum lewat per os ( Khattak et al, 2018).
Gambar 2. Siklus hidup Haemonchus contortus (Khattak et al, 2018)
b. Telur Toxocara vitulorum
Gambar 3. Telur Toxocara vitulorum (Supriadi et al, 2020) Toxocara vitulorum adalah cacing yang berhospes di sapi.
predileksinya terdapat pada intestinum tenue. (Holland and Smith, 2006). Ciri ciri telur ini berbentuk oval (ovoid) dan berdinding tebal. Selain itu tipe telur ini adalah bergelatin (Supriadi et al, 2020). Siklus hidup parasit ini dimulai dari feses yang terinfestasi telur parasite. Lalu, berkembang menjadi larva 3 (Infektif) dan termakan oleh sapi. Stadium infektif kemudian parasite bermigrasi
ke intestinum tenue lewat jaringan.(Holland and Smith, 2006).
Gambar 4. Skema hidup Toxocara vitulorum (Holland and Smith, 2006)
2. Non Ruminansia
a. Telur Strongyloides westeri
Gambar 5. Telur Strongyloides westeri (Gugosyan et al, 2018) Strongyloides westeri adalah cacing yang berhospes pada kuda, tetapi biasanya pada kuda muda (foal). Parasite ini berpredileksi pada intestinum tenue kuda. Tipe telur parasite ini adalah larvated.
Siklus hidup Strongyloides westeri mulai dari telur yang berkembang selama 7-14 hari. Lalu, berkembang menjadi larva fase satu dana dua. Kemudian, berkembang menjadi larva 3 infektif.
Lalu, masuk ke tubuh lewat ingesti dan ke jantung dan pulmo hingga
saluran pencernaan hingga cacing dewasa. (Lyons dan Tolliver, 2015)
Gambar 6. Siklus hidup Strongyloides westeri. (Lyons dan Tolliver, 2015).
b. Telur Ascaris suum
Gambar 7. Telur Ascaris suum (Urquhart et al, 1996)
Ascaris suum banyak berhospes pada babi. Cacing ini berpredileksi pada organ intesnium tenue. Tipe telur Ascaris suum adalah
bergelatin kasar. Siklus hidup dimulai dari telur yang terdapat dalam feses babi. Ketika telur ter ingesti, maka telur akan menetas menjadi larva 2, lalu berkembang menjadi larva 3 yang akan berpredileksi pada intestinum tenue. (Urquhart et al, 1996).
Gambar 8. Siklus hidup Ascaris suum (Sardjono, 2020) 3. Unggas
a. Telur Ascaridia galli
Gambar 9. Telur Ascaridia galli (Urquhart, 1996)
Ascaridia galli adalah parasite yang berhospes pada ayam.
Predileksinya pada usus halus ayam. Stadium infektfnya terdapat pada larva 2 dalam telur. Tipe telur A.galli adalah unsegmented (Urquhart, 1996). Siklus hidup pada awalnya dimulai dari telur yang diekskresikan dalam feses lalu berkembang menjadi telur brembrio berisi larva stadium 2 infektif. Setelah itu, telut bisa dimakan oleh
cacing tanah dan berperan sebagai hospes parateknik atau termakan oleh ayam. Lalu berkmbang dalam usus halus ayam (Sardjono, 2020)
Gambar 10. Siklus hidup A.galli (Sardjono, 2020) b. Telur Davainea proglottina
Gambar 11. Telur Davainea proglottina (Kauffman, 1996)
Davainea proglottina adalah cacing yang ber hospes pada ayam.
Predileksi cacing ini terdapat pada duodenum ayam. Telur parasite ini bertipe kait dengan ukuran 55 x 36 µm. Siklus hidup cacing ini dimulai ketika telur di makan oleh hospes intermediet yaitu siput seperti Agriolimax, limax atau arion. Lalu berkembang menjadi stadium infektif sistiserkoid yang termakan oleh ayam dan menjadi cacing dewasa dalam duodenum. (Taylor et al, 2015)
Gambar 12. Siklus hidup Davainea proglottina. (Kauffman, 1996) 4. Karnivora
a. Telur Dipylidium caninum
Gambar 13. Telur Dipylidium caninum (Urquhart et al, 1996) Dipylidium caninum adalah cacing yang berhospes pada anjing kucing. Parasit ini berpredileksi pada intestinum tenue dan mempunyai stadium infektif pada fase sistiserkoid. Tipe telur Dipylidium caninum adalah berkait, bisa sampai 6 buah kait setiap telur. Telur nya terbungkus oleh sebuah kapsul yang berisi 15-20 telur (Urquhart et al, 1996). Siklus hidup parasite ini dimulai dari telur yang dimakan oleh hospes intermediet (Ctenocephalisde canis, Ctenocephalides felis, atau Trichodectes canis) dan berkembang menjadi sistiserkoid. Lalu pinjal atau kutu yang mengandung sistiserkoid akan termakan oleh anjing/kucing sehingga akan berkembang pada intestinum tenue (Urquhart et al, 1996)
Gambar 14 Siklus hidup Dipylidium caninum. (CDC-DPDx, 2019) b. Telur Ancylostoma caninum
Gambar 15. Telur Ancylostoma caninum (Pramestuti dan Widiastuti, 2015).
Ancylostoma caninum adalah parasite yang berhospes pada anjing, kucing. Telur Ancylostoma caninum memiliki ciri ciri bentuk lonjong, ukuran 60 x 40 µm dan bertipe telur segmented. Predileksi terjadi pada intestinum tenue. Siklus hidup Ancylostoma caninum dimulai dari telur dalam feses. Lalu, selama 5 hari, ia berkembang selama 5 hari menuju larva 3 (stadium infektif). Larva 3 dapat menginfeksi melalui peroral atau percutaneous. Setelah itu, larva 3 melalui pembuluh darah menuju predileksi intestinum tenue dan berkembang menjadi larva 4 (Taylor,2015)
Gambar 16. Siklus Hidup Ancylostoma caninum (Baker et al, 1995).
B. Metode Pemeriksaan Feses 1. Metode Natif
Metode natif adalah cara memeriksa feses hewan dengan cepat dan meminimalisir perlakuan terhadap sampel sehingga metode ini terlihat simple (Winarso, 2019). Prinsip metode natif adalah pemeriksaan mikroskopis pada feses yang telah diencerkan dengan larutan saline/air sehingga mampu membuat jernih object glass. (Winarso, 2019).
2. Metode Sentrifus
Metode sentrifus dilakukan untuk memisahkan telur dari debris dengan alat sentrifugal. Pengujian ini dibutuhkan bahan pengapung untuk memisahkan debris dengan telur cacing yang akan mengapung nanti. (Kaufmann, 1996)
3. Metode Parfit and Banks
Metode Parfit and Banks digunakan untuk mengidentifikasi telur trematoda Fasciola sp. Dengan Paramphistomum sp. Metode ini menggunakan prinsip sedimentasi yaitu menggunakan larutan untuk memisahkan telur cacing yang akan tenggelam di dasar tabung kemudian diberi pewarna sehingga bisa membedakan
antara telur Fasciola sp. Dengan Paramphistomum sp.
(Kaufmann, 1996).
4. Metode Mc Master
Metode McMaster digunakan untuk perhitungan telur atau larva dari per gram sampel feses. McMaster menggunakan prinsip pengapungan dengan mencampurkan larutan yang akan membuat telur cacing mengapung dan debris akan tenggelam.
(Kaufmann, 1996) IV. MATERI DAN METODE
A. Pemeriksaan Nafif 1. Materi
a. Alat:
1. Mortir dan Alu : untuk menghaluskan sampel feses 2. Object Glass : Untuk peletakkan sampel feses 3. Deck Glass : Untuk menutup sampel pada pada
Object glass
b. Bahan:
1. Feses : Sampel yang akan diuji 2. Aquades : Untuk mencairkan feses 2. Metode
Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dan ambil secukupnya sampel feses yang diuji
Haluskan feses dengan mortar dan alu, lalu tambahkan sedikit aquades untuk melarutkan feses.
Campurkan sehingga menjadi larutan.dan pastikan larut dalam air
Ambil sampel yang sudah dilarutkan dengan alu kemudian teteskan diatas permukaan object glass.
Tutup permukaan object glass degan deck glass, bersihkan dengan tisu lalu amati dibawah mikroskop
B. Pemeriksaan Sentrifus 1. Materi
a. Alat:
1. Object glass : Untuk meletakkan sampel feses
2. Deck glass : Untuk menutup sampel pada object glass
3. Sentrifugator : Alat untuk melakukan Sentrifugasi
4. Tabung sentrifus : Tempat sampel saat proses Sentrifugasi
5. Mortir dan alu : Penghalus sampel feses 6. Pipet : Untuk mengambil supernatant 7. Rak dan tabung : Untuk meletakkan tabung
reaksi b. Bahan
1. Feses : Sampel yang akan diuji 2. Aquades : Untuk menacairkan feses
3. NaCl jenuh : Untuk mengapungkan telur 2. Metode
Persiapkan alat dan bahan, kemudian masukan feses secukupnya ke dalam mortar dan alu.
Haluskan feses dalam mortir kemudian tambahkan akuades secukupnya untuk melarutkan feses.
Masukan larutan feses kedalam tabung hingga ¾ tabung kemudian masukan ke dalam mesin sentrifugator
Tutup sentrifugator kemudain diatur kecepatan dan waktunya.
Lalu tekan tombol mulai
Tunggu 5 menit dengan kecepatan 1500 rpm
Ambil kedua tabung dari sentrifugator dan supernatant dibuang, hanya menyisakan endapan saja.
Tambahkan NaCl jenuh sebanyak ¾ tabung lalu aduk
Masukan tabung yang telah ditambahi NaCl jenuh kedalam sentrifugator dengan 1500 rpm selama 5 menit
Angkat tabung dari sentrifugator lalu tambahan NaCl jenuh hingga tabung penuh dan membentuk permukaan cembung.
Tunggu selama 5-10 menit lalu ambil object glass lalu tempelkan pada permukaan cembung kemudian ditutup dengan
deck glass. Setelah itu, amati dibawah mikroskop.
C. Pemeriksaan Parfit and Banks 1. Materi
a. Alat
1. Mortir dan alu : Untuk menghaluskan sampel feses 2. Rak tabung : Untuk meletakkan tabung reaksi 3. Timbangan : Untuk menimbang feses
4. Object glass : Tempat peletakkan sampel feses 5. Pengaduk : Untuk menghomogenkan larutan 6. Pipet : Untuk meneteskan pewarna
methylene blue dan NAOH 10%
7. Saringan : Menyaring debris feses
8. Tabung reaksi : Untuk tempat larutan larutan feses 9. Deck glass : Penutup sampel pada object glass b. Bahan
1. Feses : Sebagai sampel yang akan diuji 2. Aquades : untuk melarutkan feses
3. NAOH 10% : Untuk melisiskan dinding telur parasite dan membuka operculum 4. Methylene blue : Sebagai pewarna telur cacing
2. Metode
Persiapkan alat dan bahan. Ambil feses sebanyak kurang lebih 2 gram.
Haluskan feses dalam mortir dan alu kemudian tambahan air agar menjadi larutan. Lalu tuang larutan kedalam tabung reaksi
hingga setinggi 2 cm dari permukaan tabung.
Letakkan dalam rak tabung dan diamkan selama 10 menit agar mengendap.
Larutan jenih di atas endapan dibuang hingga sisa setinggi 1 cm lalu tambahkan air sampai 2 cm dari permukaan tabung
Aduk dan tunggu hingga terbentuk endapan
Buang cairan diatas endapan dan sisakan 1 cm lali, teteskan NaOH 10% sebanyak 3 tetes
Tambahkan air setinggi 2 cm dari permukaan. Kemudian aduk hingga tercampur kemudian diamkan selama 10 menit hingga
ada endapan.
Cairan jenuh di atas endapan dibuang hingga tersisa 1 cm kemudian, tetesi Methylene blue sebanyak 2 tetes dan diaduk.
Lalu letakkan diatas rak tabung.
Larutan yang telah ditetesi dengan Methylene blue diletakkan diatas object glass kemudian ditutup dengan deck glass
kemudian diamati dengan mikroskop perbesaran 10 x D. Pemeriksaan Mc Master
1. Materi a. Alat :
1. Magnetic strirrer : Untuk menghomogenkan feses dengan air
2. Timbangan : Untuk menimbang berat feses 3. Spuit : Untuk mengambil feses dan gula
jenuh
4. Mortir dan alu : Untuk menghaluskan sampel feses 5. Double objct glass : Sebagai tempat peletakkan sampel 6. Gelas beker : Untuk menaruh feses dan larutan 7. Pipet : Untuk mengambil feses
8. Stirer : Alat untuk menggerakan magnetic stirer
9. Gelas ukur : Untuk mengukur air yang digunakan b. Bahan :
1. Feses : Sebagai bahan sampel 2. Gula Jenuh : Untuk mengapungkan telur 3. Air : Untuk melarutkan feses 2. Metode
Ambil dan timbang 3gr am feses
Masukkan 3gram feses kedalam gelas beker lalu tambahkan air hingga perbandingan feses dan air menjadi 1:14 dan masukkan
magnet pengaduk
Letakkan gelas beker diatas stirrer lalu nyalakan untuk mengaduk larutan
Masukkan 0.3 ml gula jenuh ke double object glass dengan spuit secara perlahan.
Selagi dalam keadaan stirrer menyala, ambil larutan sampel feses sebanyak 0.3 ml lalu letakkan di double object glass.
Aduk secara merata campuran lalu tunggu selama 3 menit.
Amati preparat sampel dengan mikroskop perbesaran 10 x
V. HASIL PRAKTIKUM
No Metode Gambar telur Keterangan
Hasil praktikum Litelatur
1. Sentrifus
(Plumeriastuti, et al, 2018)
Hasil pratikum pada
pemeriksaaan feses dengan metode sentrifus
dapat
diidentifikasi telur parasite Trichuris globulosa dengan ciri khusus yaitu sumbat di kedua ujung telur.
2. Natif
(Supriadi, et al, 2020)
Hasil pratikum pada
pemeriksaaan feses dengan metode natif dapat
diidentifikasi telur parasite Haemonchus contortus dengan ciri khusus telur bersegmen
3. McMaster
-
Hasil pratikum pada
pemerikasaan dengan metode McMaster tidak dapat
diidentifikasi telur parasite
sehingga
pehitungan telur parasit nya kurang dari 50 Perhitungannya dihitung dari jumlah telur yang terlihat dikalikan 50 (Suandhikaet al, 2017)
4.
Parfitt and Banks
Paramphistomum cervi
(Darmin, et al, 2016)
Fasciola sp. (Kristiyani et al, 2019)
Hasil pratikum pada
pemeriksaan dengan metode Parfitt and banks dapat diidentifikasikan telur Paramphis tomum cervi yang tercat biru dikarenakan menyerap zat pewarna methylene blue (Darmin et al, 2016)
VI. PEMBAHASAN
Pratikum kali ini kita melakukan percobaan pemeriksaan feses.
Kita mempelajari 4 metode pemeriksaan feses yaitu natif, sentrifus,
parfit and banks, dan mcmaster. Pada pemerksaan dengan metode natif secara lansung. Hal ini sesuai dengan literatur oleh Winarso (2019) bahwa pemeriksaan metode natif dapat dilakukan secara dengan cepat.
Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan telur Haemonchus controtus dengan ciri spesifik yaitu bersegmen. Ciri ciri ini sesuai dengan literatur oleh Taylor (2015) yang menyebutkan bahwa tipe telur adalah segmented yang jelas dengan ukuran (74 x 44 µm) dengan hospes pada ruminansia serta predileksi pada abomasum.
Pada percobaan pemeriksaan dengan metode mcmaster kita melakukan percobaan dengan prinsip pengapungan. Hal ini sesuai dengan literatur oleh Kauffman (1996) yang menyebutkan bahwa metode mcmaster menggunakan prinsip penenggelaman debris dan pengapungan telur parasit. Perhitungan metode ini menurut Suandhika et al (2017) adalah jumlah telur dikalikan 50. Pada pemeriksaan dengan metode ini tidak ditemukan telur strongyl. Sehingga telur parasite kurang dari 50/gram. Fungsi gula jenuh dalam metode ini untuk pengapungan telur. Tetapi menurut literatur Kauffman (1996) menggunakan NaCl jenuh untuk pengapungan telur.
Pada percobaan pemeriksaan dengan metode sentrifus dengan prinsip pengapungan. Hal ini sesuai dengan literatur oleh Kauffman (1996) yang menyebutkan metode sentrifus termasuk flotation dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis. Pada pemeriksaa menggunakan metode ini ditemukan telur Trichuris globulosa yang menurut literatur oleh Taylor (2015) ciri ciri telurnya adalah bersumbat di kedua ujung dan berbentuk lemon shape. Trichuris globulosa berhospes pada sapi dengan predileksi kolon dan sekum (Taylor, 2015).
Pada percobaan pemeriksaan dengan metode Parfitt and Banks dengan prinsip sedimentasi. Hal ini sesuai dengan literatur oleh Kauffman (1996) bahwa metode Parfitt and Banks menggunakan metode sedimentasi yang dimana telur parasite akan di tenggelamkan.
Metode Parfitt and Banks bertujuan untuk membedakan telur
Paramphistomum sp dengan Fasciola sp. Menurut literatur oleh Darmin et al (2016) menyatakan telur Paramphistomum sp akan bewarna biru karena memiliki kulit yang transparan sehingga menyerap zat pewarna methylene blue.
VII. KESIMPULAN
• Morfologi telur parasite yang ditemukan ada berbagai macam.
Telur Trichuris globulosa mempunyai sumat pada kedua ujung telur dan berbentuk lemon shape. Telur Paramphistomum cervi memiliki dinding telur yang tipis sehingga bisa menyerap zat pewarna dari methylene blue. Telur Haemonchus contortus memilik ciri yang bersegmen.
• Dalam pemeriksaan feses ada berbagai metode, yaitu natif, sentrifus, Parfitt and banks dan mcmaster.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Baker, J., Muller, R., & Rollinson, D. (1995). Advences in Parasitology. San Diego: Academic Press.
CDC-DPDx. (2019, July 10). Parasitic-Diphylidium Infection. Retrieved from Center for Disease Control and Prevention:
https://www.cdc.gov/dpdx/dipylidium/index.html
Darmin, Yuliza, S., & Sirupang, F. (2016). Prevalensi Paramphistomum pada Sapi Bali di Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 2(2): 149-161.
Griffiths, H. (1978). A Handbook of Veterinary Parasitology. USA: University of Minnesota Press.
Gugosyan, Y., Yevstafyeva, V., Gorb, O., Melnychuk, V., & Yasnolob, I. ( 2018).
Morphologcal Features of Development of Strongyloides westeri.
Regulatory Mechanisms in Biosystems, 9(1) 75-79.
Holland, C., & Smith H. (2006). Toxocara: The Enigmatic Parasit. UK: CABI Publishing.
Kauffman, J. (1996). Parasitic Infection of Domestic Animal. Berlin: CABI Publishing.
Khattak, B., Safi, A., Sindhu, Z., Attaullah, M., Jamal, Q., Khan, T., . . . Khan, I.
(2018). Biological Control of Haemonchus contortus by Fungal Antagonis In Small Ruminants. Applied Ecology and Enviromental Research, 16(5):
5825-5835.
Kristiyani, F., Aini, N., & Wijayanti, A. (2019). Evaluasi Pengamatan
Trematodiasis Menggunakan Albendazol pada Sapi di Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner, 37(1): 104- 111.
Lyons, E., & Tolliver, S. (2015). Review of Some Feature of the Biology of Strongyloides westeri with Emphasis on the Life Cycle. Helminthologia, 52(1): 3-5.
Plumeriastuti, H., Hastutiek, P., Suwanti, L., Yuniarti, W., Triakoso, N., &
Arimbi. (2018). Pemanfaatan Temulawak Molases Blok untuk
Meningkatkan Peformance Kambing yang Terinfeksi Cacing Saluran Pencernaan di Wonorejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Journal of Parasite Science, 2(2): 77-81.
Pramestuti, N., & Widiastuti, D. (2015). Infection of Helminth Eggs Louse on House Rats in Human Residental Area. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, 5(3): 121-125.
Sardjono, T. (2020). Helminthologi Kedokteran dan Veteriner. Malang: UB Press.
Suandhika, P., Dwinata, I., & Arjana, A. (2017). Prevalensi Nematoda
Gastrointestinal pada Gajah Sumatera di Bakas Elephant Tour dan Taro Elephant Safari Park. Indonesia Medicus Veterinus, 6(3): 213-221.
Supriadi, Kutbi, M., & Nurmayan, S. (2020). Identifikasi Parasit Cacing
Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Desa Taman Ayu Kabupaten Lombok Barat. Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi, 8(1): 58-66.
Taylor, M., Coop, R., & Wall, R. (2015). Veterinary Parasitology Fourth Edition.
Glasgow: Blackwell Science.
Urquhart, G., Armour, J., Duncan, J., Dunn, A., & Jennings, F. (1996). Veterinary Parasitology. Glasgow: Blackwell Science.
Winarso, A. (2019). Teknik Diagnosis Laboratorik Parasitologi Veteriner Sistem Digesti. Blitar: Penerbit VIP.