MAKALAH
ANALISIS HUKUM CV SEBAGAI PEMEGANG HAK KONTRAK EKSKLUSIF DAN PENGELOLA LIMBAH
Dosen Pengampu : Susiana, S.H., M.Hum NIP : 198101282006042002
Disusun Oleh :
Raissa Sundari ( 2203101010108 ) Nazwa Zulaikha Faisal ( 2203101010376 ) Sella Novita ( 2203101010041 )
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah yang kami buat ini adalah mengenai “Analisis Hukum CV Sebagai Pemegang Hak Kontrak Eksklusif Dan Pengelola Limbah”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pengampu : Susiana, S.H., M.H. Dalam mata kuliah Hukum Perusahaan, yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami jauh dari kata sempurna, dan tentu tugas ini merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.
Terima Kasih.
Banda Aceh, 10 Maret 2025
Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian hukum perdata dan hukum lingkungan di Indonesia, terdapat permasalahan hukum yang muncul dalam perkara antara CV. Fajar Indah dan PT.
NSK Bearing Manufacturing Indonesia. Perkara ini menimbulkan dua persoalan utama yang harus dianalisis secara hukum, yaitu mengenai kedudukan CV sebagai pemegang hak kontrak eksklusif dan legalitas CV dalam pengelolaan limbah industri.
Kedua isu ini perlu dikaji berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata, hukum lingkungan, serta asas-asas hukum kontrak guna menentukan apakah tindakan hukum yang terjadi dalam kasus ini telah sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.
Dalam sistem hukum perdata Indonesia, CV atau Commanditaire Vennootschap merupakan bentuk persekutuan perdata yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). CV bukanlah badan hukum yang memiliki kekayaan terpisah dari sekutunya, melainkan merupakan persekutuan antara sekutu aktif dan sekutu pasif.1 Sekutu aktif bertanggung jawab penuh atas segala perikatan CV dan dapat bertindak atas nama persekutuan, sementara sekutu pasif hanya berperan sebagai penyedia modal tanpa kewenangan bertindak. Karena CV bukan badan hukum yang memiliki kepribadian hukum terpisah, maka kapasitasnya dalam mengadakan perjanjian harus dianalisis lebih lanjut berdasarkan ketentuan hukum perdata.2
1 Setiawan, R. (2011). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 123.
2 Evelyne Theresia, "Perkembangan dan Status Kedudukan Hukum atas Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) di Indonesia," Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1, 2022, hlm.
114-124.
Dalam hukum perdata, syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus memenuhi empat unsur utama, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk melakukan perikatan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.3 Dalam konteks CV sebagai pemegang hak kontrak eksklusif, unsur kecakapan hukum menjadi sorotan utama. Karena CV bukan badan hukum, maka ia tidak memiliki kecakapan hukum yang sama dengan Perseroan Terbatas (PT). Dengan demikian, pemberian hak eksklusif kepada CV dapat dianggap cacat hukum, karena dalam hal ini, yang seharusnya menerima hak eksklusif adalah sekutu aktif atas nama pribadi atau badan hukum berbentuk PT.4 Apabila suatu perjanjian dibuat dengan subjek hukum yang tidak memiliki kecakapan hukum yang cukup, maka perjanjian tersebut dapat dianggap tidak sah atau batal demi hukum.5
Selain itu, pemberian hak eksklusif kepada CV juga menimbulkan persoalan dalam hukum persaingan usaha. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, setiap bentuk monopoli yang menyebabkan ketidakadilan dalam persaingan usaha dilarang. Pemberian hak eksklusif kepada CV.6 Fajar Indah sebagai satu-satunya perusahaan yang dapat membeli limbah industri dari PT. NSK berpotensi menutup peluang bagi pelaku usaha lainnya yang ingin mengelola limbah tersebut. Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa larangan praktik monopoli berlaku bagi pelaku usaha yang menguasai lebih dari 50%
3 Bella Thalia Akay, "Sahnya Suatu Perjanjian yang Diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata," Lex Privatum, Vol. 7, No. 3, 2019, hlm. 1-10.
4 Aditya Hilmawan Prabowo, "Tinjauan Yuridis tentang Kedudukan CV sebagai Subyek Hukum dalam Berperkara di Pengadilan," Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Katolik Parahyangan, 2017.
5 Khotijah Suprapti, Afrizal, Sumarni, dan Kholid Hidayatullah, "Tinjauan Hukum Islam terhadap Transaksi Jual Beli yang Dilakukan oleh Orang yang Tidak Cakap Hukum (Studi Analisis Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah)," Jurnal Pendidikan Tambusai, Vol. 6, No. 3, 2022, hlm. 17184–17196.
6 Aisya Puteri Hutami, "Analisis Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Merek terkait Praktik Bisnis dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha," Brawijaya Law Student Journal, Sarjana Ilmu Hukum, Juni 2023.
pangsa pasar apabila mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam konteks kasus ini, CV yang diberikan hak eksklusif berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat dalam industri pengelolaan limbah.7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, terdapat perumusan masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan hukum CV sebagai pemegang hak kontrak eksklusif dalam sistem hukum perdata di Indonesia?
2. Apakah pemberian hak eksklusif kepada CV dapat menimbulkan praktik monopoli yang bertentangan dengan hukum persaingan usaha?
3. Bagaimana legalitas CV dalam pengelolaan limbah industri berdasarkan hukum lingkungan di Indonesia?
4. Apa implikasi hukum dari Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/Pdt/2007 terhadap aspek hukum perdata, persaingan usaha, dan lingkungan?
C. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah menganalisis kedudukan hukum CV dalam perjanjian kontrak eksklusif berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), mengkaji potensi pelanggaran hukum persaingan usaha dalam pemberian hak eksklusif kepada CV sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta menelaah legalitas CV dalam pengelolaan limbah industri berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan terkait lainnya. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk mengevaluasi implikasi hukum dari Putusan Mahkamah Agung
7 Andi Wijaya, "Evaluasi Kebijakan Pemberian Hak Eksklusif dalam Industri Pengelolaan Limbah Ditinjau dari Perspektif Hukum Persaingan Usaha," Jurnal Kebijakan Publik, Vol. 15, No. 1, 2024, hlm.
95-110.
No. 587 PK/Pdt/2007 dalam perspektif hukum perdata, persaingan usaha, dan lingkungan.
BAB II PEMBAHASAN
1. Kedudukan CV Dalam Perjanjian Dan Hukum Perdata
Dalam sistem hukum Indonesia, CV adalah bentuk persekutuan perdata yang diatur dalam Pasal 19-21 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). CV bukanlah badan hukum, melainkan hanya bentuk persekutuan yang terdiri dari sekutu aktif dan sekutu pasif. Sekutu aktif bertanggung jawab penuh atas segala perikatan CV dan bertindak atas nama persekutuan, sementara sekutu pasif hanya berperan sebagai penyedia modal tanpa kewenangan bertindak.8
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, disebutkan bahwa kecakapan hukum merupakan syarat sahnya suatu perjanjian. Karena CV bukan badan hukum, maka ia tidak memiliki kecakapan hukum yang sama dengan Perseroan Terbatas (PT). Oleh karena itu, dalam suatu kontrak eksklusif, seharusnya yang menerima hak tersebut adalah sekutu aktif atas nama pribadi atau badan hukum berbentuk PT. Jika suatu perjanjian dibuat dengan subjek hukum yang tidak memiliki kecakapan hukum yang cukup, maka perjanjian tersebut berpotensi batal demi hukum.9
Dalam doktrin hukum perdata, keabsahan suatu perjanjian didasarkan pada subjek hukum yang memiliki kapasitas untuk bertindak. CV, yang hanya merupakan persekutuan perdata, tidak memiliki hak untuk memiliki atau menguasai aset secara mandiri, melainkan hanya berfungsi sebagai bentuk kerja sama antara sekutu aktif dan sekutu pasif. Dengan demikian, kontrak eksklusif yang diberikan kepada CV
8 Mulhadi, Hukum Perusahaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2020.hlm. 72.
9 Fricilia Eka Putri, "Kedudukan dan Kekuatan Hukum Kontrak Ditinjau dari Hukum Perikatan dalam KUH-Perdata," LEX PRIVATUM, Vol. 2, No. 7, 2014, hlm. 13.
dapat dianggap cacat hukum karena tidak memenuhi unsur kecakapan hukum sebagaimana diatur dalam hukum perdata Indonesia.10
Selain itu, dari sudut pandang teori hukum, keabsahan suatu perjanjian juga ditentukan oleh adanya pemisahan kekayaan antara badan usaha dengan pemiliknya.
CV tidak memiliki pemisahan kekayaan yang jelas antara persekutuan dengan sekutu aktifnya. Dalam kasus CV. Fajar Indah vs. PT. NSK Bearing Manufacturing Indonesia, pemberian hak eksklusif kepada CV menimbulkan risiko di mana tanggung jawab hukum tidak dapat dibebankan kepada entitas yang memiliki perlindungan hukum yang jelas, seperti PT. Dengan demikian, dalam hal terjadi sengketa hukum, tanggung jawab sekutu aktif menjadi tidak terbatas, yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.11
CV tidak memiliki kapasitas hukum sebagai subjek mandiri. Dalam sistem hukum perdata Indonesia, CV (Commanditaire Vennootschap) diatur dalam pasak 19-21 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). CV bukan badan hukum, melainkan bentuk persekutuan perdata dengan dua jenis sekutu, yaitu sekutu aktif yang bertanggung jawab penuh atas perikatan CV dan dapat melakukan perbuatan hukum atas nama CV. Sedangkan sekutu pasif hanya menanamkan modal saja dan tidak memiliki kewenangan bertindak.12
Dalam pasal 1618 KUH Perdata, CV adalah persekutuan perdata yang didasarkan pada perjanjian. Namun, tidak seperti Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki kepribadian hukum (rechtspersoonlijkheid). CV tidak memiliki kekayaan sendiri
10 Raysha Anggarani Sitompul dan Mohamad Fajri Mekka Putra, "Keabsahan Akta Pendirian Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap) oleh Pasangan Suami-Istri Tanpa Perjanjian Pisah Harta," JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan), Vol. 6, No. 3, 2022, hlm. 3356-3365.
11 Roy Fachraby Ginting dan Agusman Sitanggang, "Perbedaan Persekutuan Komanditer (CV) dan Perseroan Terbatas (PT)," Jurnal Juristic, Vol. 2, No. 2, 2022, hlm. 45-60.
12 Herman Susetyo, "Kedudukan Firma dan CV Beserta Anggota Sekutunya dalam Hukum Kepailitan,"
Law, Development and Justice Review, Vol. 4, No. 1, 2021, hlm. 1-15.
yang terpisah dari para sekutunya. Oleh karena itu, secara hukum CV tidak memiliki kapasitas untuk menjadi pemegang hak eksklusif dalam perjanjian.13
Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan, bahwa syarat sahnya perjanjian adalah:
1. Kesepakatan para pihak
2. Kecakapan untuk melakukan perikatan 3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal
Dalam kasus ini, CV. Fajar Indah sebagai pemegang hak eksklusif mengalami cacat hukum dalam kecakapan hukum, karena bukan merupakan badan hukum. Jika terjadi sengketa, tanggung jawab hukum menjadi tidak jelas karena CV tidak memiliki kepribadian hukum yang mandiri. Seharusnya, hak eksklusif hanya diberikan kepada badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT).
2. Persaingan Usaha dan Dugaan Monopoli
Pemberian hak eksklusif kepada CV juga menimbulkan permasalahan dalam hukum persaingan usaha. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 secara tegas melarang praktik monopoli dan penguasaan pasar yang dapat menghambat persaingan sehat.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999: Monopoli adalah penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha tertentu. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
13 Evelyne Theresia, "Perkembangan dan Status Kedudukan Hukum atas Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) di Indonesia," Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1, 2022, hlm. 114-124
menyebutkan bahwa larangan monopoli berlaku bagi pelaku usaha yang menguasai lebih dari 50% pangsa pasar jika mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.14
Dalam kasus CV. Fajar Indah vs. PT. NSK Bearing Manufacturing Indonesia, CV diberikan hak eksklusif sebagai satu-satunya perusahaan yang dapat membeli limbah industri dari PT. NSK. Hal ini berpotensi melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat karena menghalangi peluang perusahaan lain yang ingin terlibat dalam pengelolaan limbah. Akibatnya, konsumen atau pelaku usaha lain tidak memiliki alternatif dalam melakukan transaksi bisnis terkait limbah industri.15
Dari sudut pandang ekonomi hukum, praktik monopoli semacam ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam pasar dan merugikan para pelaku usaha lain yang ingin bersaing secara sehat. Oleh karena itu, pemberian hak eksklusif kepada CV seharusnya dikaji ulang dengan mempertimbangkan kepentingan persaingan usaha yang adil dan tidak diskriminatif.16
Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa CV. Fajar Indah adalah satu- satunya pihak yang berhak membeli limbah dari PT. NSK menunjukkan adanya penguasaan pasar secara eksklusif, yang berpotensi menghambat persaingan usaha sehat.
3. CV Dalam Pengelolaan Limbah Industri : Legalitas Dan Tanggung Jawab Hukum
14 Muhamad Ari Apriadi, Desty Anggie Mustika, & Ibrahim Fajri, "Analisis Hukum Persaingan Usaha terhadap Penyalagunaan Hak Eksklusif Pemegang Merek," Yustisi, Vol. 11, No. 1, 2024, hlm. 525–528.
15 Aisya Puteri Hutami, "Analisis Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Merek terkait Praktik Bisnis dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha," Brawijaya Law Student Journal, 2023.
16 Muhamad Ari Apriadi, Desty Anggie Mustika, & Ibrahim Fajri, "Analisis Hukum Persaingan Usaha terhadap Penyalahgunaan Hak Eksklusif Pemegang Merek," Yustisi, Vol. 11, No. 1, 2024, hlm. 525–
528.
Selain aspek persaingan usaha, aspek hukum lingkungan juga menjadi perhatian utama dalam pengelolaan limbah oleh CV. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 mengatur bahwa pengelolaan limbah harus dilakukan secara hati-hati dan sesuai standar yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkannya. Namun, tidak sembarang badan usaha dapat melakukan pengelolaan limbah industri. Dalam Pasal 59 ayat (4) dinyatakan bahwa pengelolaan limbah B3 hanya boleh dilakukan oleh badan usaha yang memiliki izin dari instansi yang berwenang.17
Dalam konteks pengelolaan limbah B3, izin merupakan faktor utama yang menentukan sah atau tidaknya suatu badan usaha melakukan pengelolaan limbah. Jika suatu badan usaha, termasuk CV, tidak memiliki izin resmi, maka segala aktivitasnya dalam pengelolaan limbah dianggap ilegal. Hal ini tidak hanya dapat mengarah pada sanksi administratif, tetapi juga konsekuensi hukum yang lebih berat, termasuk sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar regulasi lingkungan.18
Dalam kasus CV. Fajar Indah vs. PT. NSK, CV telah kehilangan izin sebelum mendapatkan kontrak eksklusif. Pada saat kontrak eksklusif diberikan, izin CV untuk mengelola limbah telah kedaluwarsa. Hal ini berarti CV tidak lagi memiliki dasar hukum yang sah untuk mengelola limbah industri. Jika suatu badan usaha melakukan pengelolaan limbah tanpa izin yang sah, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum lingkungan yang berpotensi menimbulkan sanksi administratif, perdata, maupun pidana. Ini menunjukkan adanya kelalaian baik dari
17 Gunawan Widjaja & Affandi, "Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Pelaku Pengelolaan Limbah B3 yang Tidak Memiliki Izin: Studi Kasus Putusan Nomor 2132 K/Pid.Sus-LH/2016," SINERGI: Jurnal Riset Ilmiah, Vol.
1, No. 4, 2024, hlm. 243–251.
18Ibid, hlm. 243–251.
pihak CV maupun PT. NSK dalam memastikan legalitas pengelolaan limbah. Tanpa izin yang sah, pengelolaan limbah oleh CV tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat menimbulkan dampak lingkungan yang serius, seperti pencemaran air, tanah, dan udara.
Tanggung jawab hukum dalam hal pencemaran lingkungan sangat jelas diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa setiap pihak yang menyebabkan pencemaran wajib melakukan pemulihan dan membayar ganti rugi atas kerusakan lingkungan. Karena CV bukan badan hukum, maka dalam kasus pencemaran, tanggung jawab akan jatuh kepada sekutu aktif secara pribadi. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada entitas yang secara mandiri dapat bertanggung jawab atas tindakan CV. Oleh karena itu, pengelolaan limbah seharusnya hanya dilakukan oleh badan usaha yang memiliki status badan hukum seperti PT guna menjamin kepastian hukum dalam aspek perizinan dan pertanggungjawaban hukum.19
4. Kritik Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 587 PK/Pdt/2007, CV. Fajar Indah dinyatakan sebagai satu-satunya perusahaan yang sah sebagai pembeli limbah dari PT. NSK Bearing Manufacturing Indonesia dan perusahaan terkait. Putusan ini menimbulkan berbagai persoalan hukum yang harus dikritisi lebih lanjut. Salah satu permasalahan utama dalam putusan ini adalah kesalahan dalam penerapan hukum perdata, di mana CV diberikan hak eksklusif meskipun tidak memiliki status badan hukum. Selain itu, putusan ini berpotensi menciptakan praktik monopoli yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Selain itu, putusan ini
19 Erna Susanti & Khristyawan Wisnu Wardana, "Tanggung Jawab Korporasi Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup," Risalah Hukum, Vol. 1, No. 2, 2005, hlm. 20–25.
juga mengabaikan aspek hukum lingkungan, karena CV yang diberikan hak eksklusif ternyata tidak memiliki izin yang sah dalam pengelolaan limbah industri.20
Dalam konteks hukum perdata, putusan ini bertentangan dengan prinsip dasar mengenai kecakapan hukum suatu badan usaha dalam perjanjian. Seperti telah diuraikan sebelumnya, CV bukan merupakan badan hukum yang memiliki kepribadian hukum terpisah dari sekutu-sekutunya. Oleh karena itu, pemberian hak eksklusif kepada CV berarti menciptakan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian tersebut, khususnya dalam hal tanggung jawab hukum jika terjadi wanprestasi atau perselisihan hukum antara para pihak. Mahkamah Agung dalam putusannya tidak memberikan pertimbangan yang mendalam mengenai kapasitas CV dalam menerima hak eksklusif, yang seharusnya hanya dapat diberikan kepada badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT) yang memiliki kapasitas hukum yang jelas.21
Dari perspektif hukum persaingan usaha, putusan Mahkamah Agung ini juga dapat berpotensi menciptakan penguasaan pasar yang tidak sehat. Ketika suatu badan usaha diberikan hak eksklusif secara mutlak, maka peluang bagi pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam sektor tersebut menjadi tertutup. Dalam konteks ini, putusan Mahkamah Agung tampak bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan kompetitif. Seharusnya, pengelolaan limbah industri dilakukan melalui mekanisme persaingan yang sehat, di mana lebih dari satu badan usaha memiliki kesempatan yang sama untuk mengelola limbah industri dari PT. NSK Bearing Manufacturing Indonesia. Dengan adanya pemberian hak eksklusif ini, CV mendapatkan posisi
20 Muhamad Ari Apriadi, Desty Anggie Mustika, & Ibrahim Fajri, "Analisis Hukum Persaingan Usaha terhadap Penyalahgunaan Hak Eksklusif Pemegang Merek," Yustisi, Vol. 11, No. 1, 2024, hlm. 525–
528
21 Evelyne Theresia, "Perkembangan dan Status Kedudukan Hukum atas Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) di Indonesia," Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1, 2022, hlm. 114–124.
dominan yang dapat berpotensi menyalahgunakan kekuatan pasarnya dan menciptakan efek anti-kompetitif bagi perusahaan lain di sektor yang sama.
Dari perspektif hukum lingkungan, putusan ini juga menunjukkan adanya pengabaian terhadap prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan limbah industri. Dalam sistem hukum lingkungan di Indonesia, setiap badan usaha yang mengelola limbah industri harus memenuhi standar perizinan yang ketat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014. Namun, dalam perkara ini, CV. Fajar Indah justru menerima hak eksklusif meskipun izin pengelolaan limbahnya telah kedaluwarsa. Hal ini menimbulkan preseden yang berbahaya dalam sistem hukum Indonesia, di mana badan usaha yang tidak memenuhi syarat legalitas tetap mendapatkan perlindungan hukum melalui putusan pengadilan. Seharusnya, sebelum memberikan putusan yang menguntungkan salah satu pihak, Mahkamah Agung terlebih dahulu mempertimbangkan aspek legalitas CV sebagai pengelola limbah, termasuk status izinnya.22
Lebih lanjut, putusan ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pengawasan terhadap badan usaha yang bergerak dalam bidang pengelolaan limbah.
Jika pengadilan tertinggi di Indonesia dapat mengesahkan pemberian hak eksklusif kepada CV yang tidak memiliki izin, maka hal ini dapat membuka peluang bagi badan usaha lain untuk beroperasi tanpa izin yang sah. Dampaknya tidak hanya pada aspek hukum, tetapi juga pada aspek lingkungan, di mana pengelolaan limbah yang tidak sesuai standar dapat menyebabkan pencemaran yang merugikan masyarakat luas. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga peradilan untuk lebih berhati-hati dalam meninjau aspek legalitas badan usaha sebelum mengeluarkan putusan yang dapat berdampak jangka panjang bagi sektor lingkungan dan ekonomi.
22 Lia Nurhasanah, "Eksistensi Pasal 59 dan Pasal 102 UU PPLH terhadap Pengelolaan Limbah B3 Pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014," GERECHTIKEIT: Jurnal Riset Peradaban Hukum, Vol. 1, No. 1, 2021, hlm. 1–15.
Selain itu, putusan Mahkamah Agung ini juga perlu dikritisi dari perspektif keadilan hukum. Seharusnya, dalam setiap putusan pengadilan, aspek kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan harus menjadi dasar pertimbangan utama. Namun, dalam perkara ini, putusan justru cenderung menguntungkan satu pihak tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak lain yang juga berhak mendapatkan akses terhadap peluang usaha dalam pengelolaan limbah. Dalam perspektif hukum bisnis, pemberian hak eksklusif yang tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang kuat dapat menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha lain yang ingin berpartisipasi dalam industri yang sama.23
Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung Nomor 587 PK/Pdt/2007 ini menimbulkan berbagai implikasi hukum yang cukup serius dan perlu dikaji ulang.
Pemberian hak eksklusif kepada CV yang bukan badan hukum, tidak memiliki izin yang sah, serta berpotensi menciptakan monopoli dalam pengelolaan limbah menunjukkan adanya kelemahan dalam penerapan prinsip hukum yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan kepastian hukum yang lebih baik, putusan ini perlu dikaji kembali oleh Mahkamah Agung atau setidaknya dijadikan sebagai pelajaran bagi kasus serupa di masa depan agar tidak terjadi penyimpangan dalam penerapan hukum perdata, persaingan usaha, dan lingkungan.24
Sebagai langkah konkret, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap pemberian izin pengelolaan limbah, serta memastikan bahwa setiap badan usaha yang diberikan hak eksklusif benar-benar memenuhi persyaratan hukum yang berlaku.
Selain itu, Mahkamah Agung seharusnya lebih berhati-hati dalam memberikan
23 Aisya Puteri Hutami, "Analisis Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Merek Terkait Praktik Bisnis dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha," Brawijaya Law Student Journal, Vol. 1, No. 1, 2023, hlm.
1–15.
24 Lia Nurhasanah, "Eksistensi Pasal 59 dan Pasal 102 UU PPLH terhadap Pengelolaan Limbah B3 Pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014," GERECHTIKEIT: Jurnal Riset Peradaban Hukum, Vol. 1, No. 1, 2024, hlm. 12–19.
putusan yang berdampak luas bagi sektor industri dan lingkungan, dengan mempertimbangkan aspek kepastian hukum dan persaingan usaha yang sehat.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kedudukan CV sebagai pemegang hak kontrak eksklusif dalam sistem hukum Indonesia menimbulkan berbagai permasalahan hukum yang kompleks. CV bukanlah badan hukum yang memiliki kepribadian hukum sendiri, sehingga tidak seharusnya memperoleh hak kontrak eksklusif dalam suatu perjanjian. Dalam hukum perdata, CV hanya dapat bertindak melalui sekutu aktifnya, yang bertanggung jawab penuh terhadap segala kewajiban hukum yang timbul dari aktivitas usaha yang dilakukan CV. Oleh karena itu, pemberian hak eksklusif kepada CV menimbulkan cacat hukum dalam aspek kecakapan hukum dalam berkontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu, dalam perspektif hukum persaingan usaha, pemberian hak eksklusif kepada CV berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kontrak eksklusif yang diberikan kepada CV dapat menyebabkan penguasaan pasar secara tidak wajar, yang pada akhirnya menghambat peluang usaha bagi pihak lain yang bergerak dalam bidang pengelolaan limbah industri. Dengan adanya kontrak eksklusif, akses pelaku usaha lain untuk berpartisipasi dalam pengelolaan limbah menjadi tertutup, sehingga berpotensi menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem ekonomi yang berbasis persaingan sehat.
Dari perspektif hukum lingkungan, pengelolaan limbah oleh CV juga harus sesuai dengan regulasi yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3. Tanpa izin yang sah,
pengelolaan limbah yang dilakukan oleh CV dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang berpotensi menimbulkan sanksi administratif maupun pidana. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap badan usaha yang bergerak dalam bidang pengelolaan limbah industri agar tidak terjadi penyimpangan dalam praktik pengelolaan limbah yang dapat berdampak buruk pada lingkungan hidup.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 587 PK/Pdt/2007 yang menetapkan CV sebagai satu-satunya pihak yang berhak membeli limbah dari PT. NSK Bearing Manufacturing Indonesia perlu dikritisi lebih lanjut. Putusan ini tidak hanya berimplikasi terhadap aspek hukum perdata, tetapi juga menimbulkan konsekuensi yang signifikan dalam konteks persaingan usaha dan hukum lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi lebih lanjut agar putusan tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan memberikan dampak negatif bagi pihak lain dalam industri yang sama.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dijabarkan, terdapat beberapa saran yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan hukum yang muncul dalam kasus ini:
Pertama, pemerintah dan lembaga peradilan seharusnya lebih memperhatikan aspek legalitas dalam pemberian hak eksklusif, khususnya dalam kaitannya dengan entitas usaha yang bukan badan hukum. Hak eksklusif dalam suatu perjanjian bisnis sebaiknya hanya diberikan kepada badan hukum yang memiliki kepribadian hukum yang jelas, seperti Perseroan Terbatas (PT). Hal ini penting untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam hal tanggung jawab dan status hukum pihak yang memperoleh hak eksklusif.
Kedua, regulasi yang berkaitan dengan persaingan usaha harus diterapkan dengan lebih ketat untuk mencegah terjadinya praktik monopoli. Kontrak eksklusif yang berpotensi menciptakan penguasaan pasar yang tidak sehat harus ditinjau ulang agar tidak merugikan pelaku usaha lain yang juga ingin berpartisipasi dalam industri yang sama. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu mengambil peran aktif dalam memastikan bahwa kontrak eksklusif yang diberikan kepada suatu badan usaha tidak melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
Ketiga, dalam aspek hukum lingkungan, pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap badan usaha yang bergerak dalam pengelolaan limbah industri.
Pemberian izin operasional bagi badan usaha yang mengelola limbah harus dilakukan dengan seleksi yang ketat, agar hanya perusahaan yang memiliki kompetensi dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan yang diizinkan beroperasi. Selain itu, sanksi yang lebih tegas harus diberikan kepada badan usaha yang melakukan pengelolaan limbah tanpa izin atau dengan cara yang tidak sesuai dengan standar lingkungan yang berlaku.
Keempat, Mahkamah Agung perlu mempertimbangkan aspek kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam setiap putusannya, terutama dalam kasus yang berdampak luas terhadap sektor industri dan lingkungan hidup. Putusan yang memberikan hak eksklusif kepada CV dalam kasus ini dapat menciptakan preseden hukum yang kurang baik dan berpotensi merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel dalam pengambilan keputusan hukum yang berkaitan dengan kontrak bisnis dan pengelolaan lingkungan.
Kelima, akademisi, praktisi hukum, serta pemangku kebijakan di bidang bisnis dan lingkungan harus terus melakukan kajian mendalam terkait implikasi hukum dari pemberian hak kontrak eksklusif kepada badan usaha yang bukan badan hukum.
Diskusi akademik dan penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk memberikan
masukan kepada pembuat kebijakan dalam menyusun regulasi yang lebih baik dan lebih sesuai dengan perkembangan hukum bisnis dan lingkungan di Indonesia.
Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi berbagai pihak dalam memahami implikasi hukum dari pemberian hak kontrak eksklusif kepada CV serta dampaknya terhadap persaingan usaha dan lingkungan hidup di Indonesia. Selain itu, dengan adanya saran yang telah dikemukakan, diharapkan dapat tercipta sistem hukum yang lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum bagi seluruh pelaku usaha yang beroperasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, R. (2011). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 123.
Evelyne Theresia, "Perkembangan dan Status Kedudukan Hukum atas Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) di Indonesia," Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1, 2022, hlm. 114-124.
Andi Wijaya, "Evaluasi Kebijakan Pemberian Hak Eksklusif dalam Industri Pengelolaan Limbah Ditinjau dari Perspektif Hukum Persaingan Usaha,"
Jurnal Kebijakan Publik, Vol. 15, No. 1, 2024, hlm. 95-110.
Mulhadi, Hukum Perusahaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2020.hlm. 72.
Fricilia Eka Putri, "Kedudukan dan Kekuatan Hukum Kontrak Ditinjau dari Hukum Perikatan dalam KUH-Perdata," LEX PRIVATUM, Vol. 2, No. 7, 2014, hlm.
13.
Raysha Anggarani Sitompul dan Mohamad Fajri Mekka Putra, "Keabsahan Akta Pendirian Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap) oleh Pasangan Suami-Istri Tanpa Perjanjian Pisah Harta," JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan), Vol. 6, No. 3, 2022, hlm. 3356-3365.
Roy Fachraby Ginting dan Agusman Sitanggang, "Perbedaan Persekutuan
Komanditer (CV) dan Perseroan Terbatas (PT)," Jurnal Juristic, Vol. 2, No. 2, 2022, hlm. 45-60.
Herman Susetyo, "Kedudukan Firma dan CV Beserta Anggota Sekutunya dalam Hukum Kepailitan," Law, Development and Justice Review, Vol. 4, No. 1, 2021, hlm. 1-15.
Evelyne Theresia, "Perkembangan dan Status Kedudukan Hukum atas Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) di Indonesia," Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1, 2022, hlm. 114-124
Muhamad Ari Apriadi, Desty Anggie Mustika, & Ibrahim Fajri, "Analisis Hukum Persaingan Usaha terhadap Penyalagunaan Hak Eksklusif Pemegang Merek,"
Yustisi, Vol. 11, No. 1, 2024, hlm. 525–528.
Aisya Puteri Hutami, "Analisis Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Merek terkait Praktik Bisnis dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha," Brawijaya Law Student Journal, 2023.
Muhamad Ari Apriadi, Desty Anggie Mustika, & Ibrahim Fajri, "Analisis Hukum Persaingan Usaha terhadap Penyalahgunaan Hak Eksklusif Pemegang Merek," Yustisi, Vol. 11, No. 1, 2024, hlm. 525–528.
Gunawan Widjaja & Affandi, "Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Pelaku Pengelolaan Limbah B3 yang Tidak Memiliki Izin: Studi Kasus Putusan Nomor 2132 K/Pid.Sus-LH/2016," SINERGI: Jurnal Riset Ilmiah, Vol. 1, No.
4, 2024, hlm. 243–251.
Erna Susanti & Khristyawan Wisnu Wardana, "Tanggung Jawab Korporasi Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup," Risalah Hukum, Vol. 1, No. 2, 2005, hlm.
20–25.
Muhamad Ari Apriadi, Desty Anggie Mustika, & Ibrahim Fajri, "Analisis Hukum Persaingan Usaha terhadap Penyalahgunaan Hak Eksklusif Pemegang Merek," Yustisi, Vol. 11, No. 1, 2024, hlm. 525–528
Evelyne Theresia, "Perkembangan dan Status Kedudukan Hukum atas Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) di Indonesia," Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 1, 2022, hlm. 114–124.
Aisya Puteri Hutami, "Analisis Pembatasan Hak Eksklusif Pemegang Merek Terkait Praktik Bisnis dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha," Brawijaya Law Student Journal, Vol. 1, No. 1, 2023, hlm. 1–15.
Lia Nurhasanah, "Eksistensi Pasal 59 dan Pasal 102 UU PPLH terhadap Pengelolaan Limbah B3 Pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014," GERECHTIKEIT:
Jurnal Riset Peradaban Hukum, Vol. 1, No. 1, 2024, hlm. 12–19.