• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-Prinsip Pengterjemahan Bahasa"

N/A
N/A
Erwin Auto

Academic year: 2024

Membagikan " Prinsip-Prinsip Pengterjemahan Bahasa""

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

TRANSLATION STUDIES

“DWIBAHASAWAN PENERJEMAH”

Disusun Oleh : Kelompok 5

Ismi Nurul Hikmah (200230043)

Mujahida (200230045)

Aulia Bela Marinda (200230039) Fitrha Rizky Ramadhana (200230041) Muh. Imam Syalfa (200230044)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA

2023

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...i

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...3

1.3 Tujuan ... 3 BAB II PEMBAHASAN ... 4 2.1 Kedwibahasaan ... 4 2.2 Penerjemah dan Dwibahasawan ... 5 2.3 Tingkat Kedwibahasaan Penerjemah...9

2.4 Tingkat Alternasi Penerjemah...11

2.5 Prinsip-Prinsip Penerjemah...14

BAB III PENUTUP ... 18 3.1 Kesimpulan ... 18 DAFTAR PUSTAKA...20

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat untuk mengkomunikasikan dan mengekspresikan pikiran dan per asaan kepada orang lain. Bahasa memiliki kedudukan yang amat penting dalam kehidupan m anusia, bahasa sebagai perantara dalam mengekspresikan suatu gagasan dalam kehidupan se hari-hari. Dari waktu ke waktu bahasa mengalami perkembangan yang amat pesat, ragam ba hasa banyak kita jumpai dimana saja. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan ma nusia, termasuk bermasyarakat. Peranan bahasa mencakup seluruh aspek kehidupan seseoran g. Seseorang menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi antar sesama. Penggunaan ba hasa sebagai alat komunikasi menjadi kebutuhan primer bagi seseorang untuk berinteraksi sa tu dengan yang lainnya. Fungsi bahasa yang paling mendasar ialah untuk berkomunikasi, yai tu alat pergaulan atau penghubung antara sesama.

Banyaknya bahasa di dunia mendorong manusia beradaptasi dengan bahasa baru sehingg a mereka dapat menguasai dua bahasa atau bahkan lebih. Tutur kata yang beragam dan keuni kan masing-masing dalam pengucapannya, mengakibatkan manusia menggunakan bahasa- bahasa tersebut secara bergantian. Fenomena penggunaan dua bahasa ini disebut juga dengan kedwibahasaan yang mana mereka mampu berbicara menggunakan dua bahasa semisal baha sa Indonesia sebagai bahasa pertama dan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua mereka. Istila h kedwibahasaan menurut Chaer, (2004: 84) merupakan hal yang berkenaan dengan pemakai an dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitas sehari-hari. Dalam pengertian kedwibaha saan seseorang tidak perlu mahir dalam menggunakan bahasa kedua mereka, walaupun hany a beberapa kata yang mereka gunakan tidak mengurangi entitas dari kedwibahasaan itu sendi ri.

Kedwibahasaan adalah salah satu topik yang dikaji dalam sosiolinguistik dengan fenomena kebahasaan yang ada di dalam masyarakat. Kedwibahasaan terjadi akibat dari kontak bahasa antara kelompok masyarakat yang berbahasa minoritas dengan kelompok masyarakat yang berbahasa mayoritas.Kedwibahasaan ini digunakan sebagai istilah kemampuan dalam menggunakan dua bahasa. Maka dari itu, kedwibahasaan merupakan kondisi pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam interaksi sosialnya. Kedwibahasaan merupakan penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Mackey (Chaer dan Agustina, 2014:87) mengatakan dengan tegas bahwa kedwibahasaan adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Seseorang agar dapat menggunakan dua bahasa tersebut tentunya harus menguasi kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau (B1), dan yang kedua bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2).Namun B2 tidak dikuasai secara lancar oleh seorang penutur seperti penguasaan

(4)

terhadap B1.Penggunaan B2 hanya sebatas penggunaan sebagai akibat mengenal bahasa tersebut.

Penerjemahan interlingual pada dasarnya adalah perbandingan dinamis antara dua bahasa dan dua budaya sekaligus. Memang, perbandingan ini sering menyoroti perbedaan di antara keduanya. Cluver (dalam Osimo, 2004), mengatakan bahwa sebuah teks terjemahan sudah b arang tentu tidak akan ekuivalen dengan teks aslinya. Bisa dipastikan, sebuah teks terjemaha n mengandung sesuatu yang kurang (loss) atau sesuatu yang berlebihan (redundant) bila diba ndingkan dengan teks sumber. Dalam kaitan inilah penerjemah yang baik pada akhirnya haru s menentukan bagian mana yang harus dikorbankan dari sebuah teks sumber. Sementara Nid a dan Charles R. Taber (1969:24) menjelaskan bahwa menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali dalam bahasa sasaran, bentuk yang sewajarnya sesuai dengan pesan d alam bahasa sumber, yang pertama term makna dan yang kedua term gaya bahasanya. Karen a kegiatan terjemahan tidak hanya menerjemahkan makna bahasa sumber ke dalam bahasa sa saran tetapi juga menerjemahkan gaya bahasa yang digunakan dalam bahasa sumber ke dala m bahasa sasaran sesuai dengan aturan aturan kebahasaan yang berlaku dalam bahasa sasara n tersebut.

Setidaknya ada dua bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan, yaitu bahasa sumbe r dan bahasa sasaran, dengan segala aspek budayanya. Dari sudut pandang sosiolinguistik, fe nomena seperti itu disebut gejala bilingualisme. Ketika menelusuri aktivitas penerjemahan, d iduga terdapat berbagai kelompok sosial dari berbagai bangsa yang berkomunikasi untuk sali ng memahami perbedaan masalah agama, politik, sosial, budaya dan ekonomi melalui bahas a. Sehubungan dengan fenomena kontak bahasa ini, penerjemah dapat digolongkan sebagai b ilingual. Oleh karena itu, dari sudut pandang sosiolinguistik, masalah penerjemahan bermula dari kontak bahasa yang terjadi antar bilingual. Saat menerjemahkan sebuah teks, seorang bil ingual menggabungkan atau mengidentifikasi unsur-unsur linguistik dalam bahasa sumber d an bahasa penerima.

Padahal, seorang penerjemah tidak hanya harus mahir dalam bahasa sumber dan bahasa s asaran, tetapi juga memiliki pemahaman yang baik tentang budaya yang melekat pada kedua nya. Dengan kata lain, penerjemah yang ideal adalah seorang dwibahasa dan bikultural, beke rja tidak hanya sebagai penerjemah bahasa tetapi juga sebagai penerjemah budaya. Hal ini ti dak dapat dihindari karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Terjemahan sejatinya dipahami tidak hanya sebagai alih bentuk dan makna, tetapi juga sebagai alih budaya. Oleh k arena itu, penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak hanya menghadapi hambatan baha sa tetapi juga hambatan budaya. Oleh karena itu, komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dalam praktiknya. Itu sangat tergantung pada sejauh mana perbedaan budaya antara bahasa s umber dan bahasa penerima.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kedwibahasawan?

2. Apa yang dimaksud dengan Penerjemah dan Dwibahasawan?

3. Bagaimana Tingkat Kedwibahasaan Penerjemah?

4. Bagaimana Tingkat Alternasi Penerjemah?

5. Apa saja Prinsip-Prinsip Penerjemah?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kedwibahasawan?

2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Penerjemah dan Dwibahasawan?

3. Mengetahui bagaimana Tingkat Kedwibahasaan Penerjemah?

4. Mengetahui bagaimana Tingkat Alternasi Penerjemah?

5. Mengetahui apa saja Prinsip-Prinsip Penerjemah?

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kedwibahasaan

Sejak permulaan abad kedua puluh, pengertian kedwibahasaan telah mengalami perkemb angan yang cukup pesat, yakni mengalami perluasan konsep dan pengertian. Kekuasaan kon sep dan pengertian ini disebabkan kemafhuman dan kemakmuran bahwa seseorang menjadi dwibahasawan itu sukar sekali, kalau tidak mungkin, untuk dapat kita tentukan kriterianya.

Uriel Weinreich dalam disertasi doktornya itu (1953) menyebutkan bahwa kedwibahasaan da pat dianggap sebagai praktik penggunaan dua Bahasa atau lebih secara bergantian. Kemudia n Weinreich memandang pengertian Bahasa secara luas tanpa kualifikasi mengenai tingkat p erbedaan kedua sistem Bahasa apakah kedua system itu disebut Bahasa dalam pengertian seh ari-hari, apakah itu dialek suatu Bahasa, atau variasi dari suatu dialek, dan seterusnya, sehing ga pengertian tentang kedwibahasaan itu semakin luas.

Kedwibahasaan adalah fenomena Bahasa dan merupakan karakteristik penggunaan Baha sa, demikian pendapat ahli pendidikan Bahasa William Mackey. Kedwibahasaan adalah mili k pribadi dwibahasawan, sementara Bahasa itu sendiri adalah milik masyarakat pemakai Bah asa. Pengguna dua Bahasa akan memerlukan dua masyarakat Bahasawan. Masyarakat dwiba hasawan hanya dapat dianggap sebagai sekelompok orang yang mempunyai alasan untuk me njadi dwibahasawan. Kedwibahasaan merupakan akibat dari kontak bahasa antara kelompok masyarakat yag berbahsa minioritas degan kelompok masyarakat yang berbasa mayoritas. Bl oomfield (dalam Chaer, 1994:65) menjelaskan bahwa bilingual merupakan kemampuan sese orang menguasai dua bahasa sama baiknya. Bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut k edwibahsaan Chaer (2004:84). Dapat disimpulkan dari kedua pengertian tersebut bahwa ked wibahsaan merupakan kemampuan seseorang dalam memakai dua bahasa secara bergantian dalam aktivitas sehari-hari.

Lado (Chaer, 2004:80) mengungkapkan bahwa kedwibahsaan adalah kemampuan mengg unakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya. Secara teknis pe ndapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimana tingkkatnya oleh seseorang. Pe rnyataan ini lebih sederhana dari pendapat Bloomfield sehingga memberi ruang terhadap ora ng lain yang tidak sempurna dalam penggunaan dua bahasa untuk disebut dwibahasa. Weinr eich (1970:1) menitikberatkan pengertian kedwibahsaan bukan pada kefasihan penguasaan d ua bahasa yang sama baiknya. melainkan pada kemampuan praktik menggunakan dua bahas a secara bergantian dalam berkomunikasi. Dengan demikian Weinreich menggunakan istilah kedwibahasaan dengan konsep yang lebih luas, tanpa memberikan ketentuan tingkat perbeda annnya yang dipentingkan adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian oleh individu yang sama. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Mackey (Fisman, 1972: 555-556), Mackey mendefinisikan kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih secara b

(7)

ergantian oleh individu yang sama. Berbeda dengan Weinrich dan Mackey, Hugen (1997: 30 9) mengembangkan lagi makna kedwibahsaan sebagai kemampuan untuk menghasilkan bun yi-bunyi ujaran yang bermakna dalam bentuk bahasa lain. Jadi, menutur Haugen kedwibahsa an tidaklah harus diukur dengan penggunaan tapi cukuplah dengan mengetahui kedua bahasa itu.

Kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Weinreich (1970:1) menitikberatkan pengertian kedwibahasaan bukan hanya pada kefasihan penguasaan dua bahasa yang sama baiknya, melainkan pada kemampuan pengguna bahasa dalam menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam berkomunikasi. Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2014:85) mengemukakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi seseorang dapat disebut billingual apabila dapat menggunakan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) dengan derajat sama baiknya.

Berdasarkan beberapa teori di atas, menunjukkan bahwa istilah kedwibahasaan dan istilah bilingualisme itu artinya sama, membahas tentang penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Maka dari itu yang menjadi pembeda adalah istilahnya, sedangkan maksud dan tujuannya sama. Bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah dapat dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam berinteraksi sosial atau beraktivitas sehari-hari.

Kedwibahsaan muncul karena suatu kebisaan masyarakat dalam bertutur. Bahasa yang di peroleh dari ibu atau bahasa pertama dan bahasa kedua yang bersumber dari masyarakat atau pendidikan menjadi bahasa kedua mereka. Misal bahasa pertama si A menggunakan bahasa s unda yang diperoleh dari kedua orangtuanya. Kemudian si A juga mendapat bahasa Indonesi a di lingkungan sekolah, sehingga bahasa kedua si A adalah bahasa Indonesia. Hal demikian itu menjadikan si A sebagai pengguna dwibahasa yakni bahasa sunda dan bahasa Indonesia.

2.2 Penerjemah dan Dwibahasawan

Secara etimologis kata penerjemahan merupakan turunan dari kata dasar tarjemah yang diserap dari kata bahasa Arab yang berarti memindahkan atau mengalihkan. Selanjutnya padanan kata penerjemahan dalam bahasa foggrisnya disebut translation. Kata ini secara harfiah mengadung tiga makna: pertama, translation mengacu kepada suatu hasil atau produk . tulisan atau ujaran yang telah diterjemahakan dari bahasa yang berbeda; kedua, kata translation mengacu kepada kegiatan menerjemahkan ujaran atau tulisan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain; dan ketiga, translation mengacu kepada pengungkapan sesuatu dengan cara yang berbeda, yang dilakukan dalam satu bahasa yang juga disebut Jacobson intralingual translation.

(8)

Dari ketiga pengertian translation secara harfiah ini, yang paling relevan dibicarakan adalah translation dalam pengetian kedua yakni kegiatan menerjemahkan ujaran atau tulisan dari satu bahasa ke dalam bahasa lain yang berbeda, dengan demikian menjadi dasar formulasi dan pemahaman makna penerjemahan secara terminologis.

Dalam lietartur penerjemahan, juga dalam tulisan ini, bahasayang hendak dialihkan umunya disebut bahasa sumber (selanjutnya disingkat dengan BSu), dan bahasa yang menjadi tujuan pengalihan bahasa disebut bahasa sasaran (selanjutnya disebut dengan BSa), walaupun ada juga yang menyebutnya bahasa penerima, sedangkan mengenai teks yang hendak dialihkan disebut teks bahasa sumber (selanjutnya disebut TSu) dan teks hasil pengalihan disebut teks bahasa sasaran disebut teks bahasa sasaran (selanjutnya disebut TSa).

Sejauh berkaitan dengan pemahaman makna penerjemahan secara terminologis, para pakar penerjemahan memberikan batasan tentang penerjemahan secara berbeda-beda baik dari rumusan bahasa, cakupan maupun penekanannya. Sebagian batasan tersebut akan ditelaah untuk dijadikan landasan pemahaman terhadap hakikat penerjeman.

Menurut David Crystal istilah penerjemahan adalah istilah netral yang digunakan untuk semua jenis tugas di mana makna ungkapan dalam satu bahasa ( BSu) diubah ke dalam makna ungkapan bahasa yang lain (BSa), apakah mediumnya lisan, tulis, ataupun tanda.

Dalam batasan ini adalah makna ungkapan yang menjadi tekanan utama dalam pengalihan bahasa, sedangkan media bahasa tulis maupun lisan bahkan tanda atau isyarat sekalipun tidak menjadi masalah. Batasan serupa juga diberikan Roda. Ia percaya bahwa kata 'penerjemahan' secara global mengacu kepada pengalihan pesan teks dari BSu ke dalam BSa, apakah bahasa tersebut dalam bentuk tulis atau lisan."4 Batasan lain lagi yang mendukung pandangan ini adalah yang dikemukakan Brislin bahwa penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu kepada pengalihan pikiran atau gagasan dari BSu ke dalam BSa, apakah bahasa tersebut adalah bahasa lisan maupun tulis.

Walaupun tiga batasan ini memberikan penekanan yang agak berbeda, yang pertama menekankan pada pengalihan makna, yang kedua memfokuskan pada pengalihan pesan teks, clan yang ketiga mengutamakan pengalihan pikiran atau gagasan, namun ketiganya menyepakati istilah penerjemahan berlaku untuk semua jenis teks tulis clan teks lisan.

Berbeda dengan kedua batasan ini, Newmark membedakan penerjemahan tertulis clan lisan secara tidak langsung. Ia mengatakan bahwa penerjemahan merupakan keterampilan yang terdiri dari upaya mengganti pesan atau pemyataan tertulis dalam satu bahasa dengan pesan atau pemyataan yang sama dalam bahasa lain. Sementara dalam karyanya yang lain, A Textbook of Translation, penulis yang sama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penerjermahan adalah menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.

(9)

Dalam buku yang lain lagi Newmark juga memberikan batasan penerjemahan. Ia menyatakan bahwa penerjemahan adalah pengalihan makna suatu teks (yang bisa hanya berupa sebuah kata ataupun sebuah buku) dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain untuk khalayak pembaca baru." Ketiga batasan ini nampaknya sating melengkapi: kalau batasan pertama hanya menekankan bahwa penerjemahan melibatkan pengalihan pesan, dalam batasan kedua, menekankan pada isi pesan pengarang, sedang pada pada batasan ketiga ia mengingatkan bahwa khalayak pembaca perlu diperhatikan, yakni kahalayak pembaca baru dalam bahasa sasaran.

Pergeseran batasan Newmark ini nampaknya lebih merupakan refleksi dari perkembangan pandangannya mengenai teori penerjemahan sebagaimana dikatakannya sendiri: "J have modified my ideas about translation and changed my terminologJ in the course of these twenty years.”

Sementara itu pandangan yang lain lagi menyatakan bahwa penerjemahan bisa didefinisikan sebagai proses menemukan padanan bahasa sasaran bagi ujaran bahasa sumber.

Berbeda dengan batasan-batasan sebelumnya, batasan ini menekankan padanan makna atau materi teks sebagimana juga ditekankan dalam batasan klasik Catford. la mendefiniskan penerjemahan sebagai penggantian materi teks dalam satu bahasa (bahasa sumber) dengan padanan materi teks dalam bahasa lain (bahasa sasaran). Kedua definisi ini menekankan bahwa dalam proses penerjemahan harus melibatkan usaha menemukan · padanan bahasa sumber dalam bahasa sasaran, namun tidak secara tegas menunjukan pada jenis apa dan hingga tingkatan mana padanan itu bisa diterapkan: padanan makna, stilistika, bentuk, atau bahkan pragmatika. Oleh sebab itu batasan Wilss (1981), yang agaknya lebih representatif untuk menjawab masalah ini perlu dilihat. la menyatakan bahwa . "Translation isa series of reformulation processes transposing a source · language text into target language text which is as closefy equivalent to the former as possible; these processes suppose a .ryntactic, semantic and pragmatic comprehension of the content of the text."

Dalam batasan ini dengan tegas dinyatakan bahwa padanan yang dimaksudkan dalam penerjemahan adalah padanan yang paling sesuai dari sudut semantik, sintaktik, dan kalau perlu pragmatik tergatung dari jenis dan penting tidaknya teks yang hendak diterjemahan.

Oleh sebab itu pula Willss menggunakan istilah tranposisi yang berarti proses penggantian struktur teks bahasa sumber dengan struktural gramatikal yang bebeda dalam bahasa sasaran guna menghasilkan efek yang serupa dalam bahasa sumber, karena maknalah yang yang penting bukan bentuk.

Dari deskripsi di atas dapat ditarik bebarapa kesimpulan. Pertama, istilah penerjemahan digunakan untuk mengacu kepada: a) penerjemahan bahasa tulis, bahasa lisan, dan bahasa issyarat, dan b) penerjemahan khusus untuk bahasa tulis. Di antara dua pendapat ini, pendapat kedua yang dipilih yakni penerjemahan (translation) tulis yang hasil kegiatannya berupa teks tulis untuk dibaca, sedangkan penerjemahan lisan adalah penerjemahan langsung

(10)

yang hasil kegiatannya berupa teks lisan untuk didengar, dan masing-masing pasangan pelakunya disebut translator-reader clan interpreter-listener.

Kedua, penerjemahan melibatkan tiga komponen utama yakni: a) bahasa sumber, sebagai media untuk menyampaikan pesan penulisnya, b) materi teks tulis yang menganclung pesan penulsinya, bisa berupa kata ataupun buku, clan c) bahasa sasaran, sebagai media yang digunakan penerjemah untuk menyampaikan ulang pesan penulisnya clalam bahasa yang berbeda, bahasa penerima. Ketiga, walaupun kegiatan pengalihan bahasa diacu dengan ungkapan yang berbecla namun pacla clasarnya kata-kata tersebut mengandung maksud yang serupa seperti menerjemahkan (rendering, mengalihkan (transfer), menggantikan (replace), penggantian (replecement), clan mengubah (turned into), serta kesemunaya menyanclarkan makna sebagai kata kuncinya. Makna teks bahasa sumberlah yang harus dialihkan clan dicarikan paclanan seclekat mungkin clalam teks bahasa sasaran baik clari segi semantik, sintaktik, stilistik, maupun pragmatic sesuai clengan tujuan penerjemahan clan orientasi penerjemahnya.

Adapun prioritas paclanan yang perlu diutamakan aclalah makna, yang kemudian disusul clengan yang lainnya termasuk gaya clan bentuk bahasa. Keempat, penerjemahan bisa dipahami sebagai rangkaian proses untuk mengalihkan makna pesan clalam teks bahasa sumber ke clalam makna pesan yang sepaclan clalam teks bahasa sasaran sesuai clengan yang dikehendaki penulisnya clengan mempertimbangkan khalayak pembacanya yang baru (clalam bahasa sasaran).

Dwibahasawan

Dwibahasawan adalah masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing- masing. Dwibahasawan merupakan orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa, seperti bahasa nasional dan bahasa asing, bahasa daerah dan bahasa nasional. Contohnya:

masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok. Terdapat beberapa jenis dwibahasawan, yakni:

• Dwibahasawan terpadu adalah seseorang yang dapat memasukan kedua sistem bahasa yang dikuasainya. Sering terjadi dwibahasawan jenis ini menggunakan sistem B2 di saat dia menggunakan B1.

• Dwibahasawan koordinatif adalah seseorang yang tidak dapat memadukan kedua sistem bahasa yang dikuasainya. Kedua bahasa yang dikuasainya itu tetap berdiri sendiri, karena itu biasanya orang yang bersangkutan adalah penerjemah yang berkualitas tidak bagus.

• Dwibahasawan tambahan adalah pembicaraan yang dapat menggunakan dua bahasa yang bergengsi dan bermanfaat. Kedua bahasa itu saling melengkapi, saling memperkaya dan sejalan.

2.3 Tingkat Kedwibahasaan Penerjemah

(11)

Tingkat penguasaan kedua Bahasa, bahsa sumber dan Bahasa sasaran seorang penerjema h, atau tingkat kedwibahasaan penerjemah sudah tentu, akan mempengaruhi hasil karya terje mahannya. Yang pertama yang harus dilakukan memeberikan tingkat kedwibahasaan penerje mah, sudah tentu, akan mempengaruhi hasil karya terjemahnya. Yang pertama yang harus dil akukan dalam memberikan tingkat kedwibahasaan yang lebih akurat, perlu diadakan semaca m tes yang dapat mengukur penerjemah dalam menggunakan Bahasa-bahasa itu. Hal ini aka n melibatkan dua jenis tes yang terpisah; yaitu tes pemahaman (comprehension) dan pengun gkapan (expression) baik dalam bentuk lisan maupun bentuk tulisan dari kedua Bahasa terse but. Pengetesan ini harus dilakukan karena setiap penerjemah tentunya tidak mempunyai pen guasaan yang sama dari keempat keterampilan dasar berbahasa: menyimak, membaca, berbic ara, dan menulis.

Dalam tataran fonologi, misalnya, bias kita temukan seorang penerjemah yang mengalam i kesulitan-kesulitan tertentu dalam pelafalan kosakata asing. Tentunya, kekurangan-kekuran gan ini bakal mempengaruhi penguasaanya terhadap Bahasa asing itu. Apalagi bagi seorang penerjemah lisan (interpreter) kekurangan-kekurangan ini akan jelas tampak.

Pada ranah tatabahasa, misalnya, dapat kita temukan seorang penerjemah yang mungkin menghadapi kesulitan dalam mencocokkan pengetahuannya dalam menggunakan struktur Ba hasa tertentu dengan kemampuannya dalam menggunakan kosakata yang beragam, baik dala m Bahasa sumber maupun dalam Bahasa sasaran. Pada akhirnya, penguasaan serta pengguna an gaya Bahasa yang bias merupakan ciri khas seorang penerjemah, pengalaman, dan materi bahasan atau bidang ilmu yang diterjemahkannya.

Disamping factor-faktor yang telah kita perbincangkan di atas, ada beberapa factor lain yang pentinga dan akan menentukan enis dan tingkat kedwibahasaan seorang penerjemah.

Factor-faktor itu antara lain:

a. Peranan Susunan Keadaan (Setting) Social Budaya Penerjemah

Peranan Bahasa tersebut bagi mobilitas social, nilai sastra dan budaya yang terkandung dalam Bahasa tersebut. Selain itu, factor-faktor yang lainnya bias merupakan factor-ekolog i Bahasa, yakni factor-faktor lingkungan (ideology, politik, social, budaya, perekonomian) yang akan menentukan keunggulan Bahasa tersebut dalam satu situasi Bahasa tertentu.

b. Fungsi Bahasa Dalam Kelompok Dwibahasawan

Fungsi eksternal Bahasa itu kerapkali ditentukan oleh banyak sedikitnyaa kontak nahas a yang terjadi pada seorang penerjemah. Disamping itu, keragaman selang waktu (duratio n) penggunaan, frekuensi penggunaan, dan tekanan-tekanan linguistis lainnya yang memak sa penerjemah menggunakan Bahasa-bahasa itu, juga merupakan factor yang menentukan fungsi eksternal Bahasa.

Penggunaan Bahasa di dalam masyarakat luas, pemakaian Bahasa di sekolah atau di kam pius, dan pemakaian Bahasa dalam media massa, radio, televise, serta Bahasa dalam barang cetakan seperti jurnal, surat kabar, buku, majalah, dan lain-lainnya.

(12)

Apabila seorang penerjemah telah dapat menunjukkan ekspresi sikap yang hakiki dari dir inya biasanya ekspresi non komunikatif dan menemukan jati diri kepengarangannya, dalam h al ini penerjemah itu telah menggunakan fungsi internalnya.

Selain factor yang berpengaruh diatas , variable lain yang akan mempengaruhi sikap berb ahasa seorang penerjemah adalah antara lain jenis kelamin/sex, umur, intelegensi, daya ingat, dan motivasi. Pemilihan bahan yang akan diterjemahkan, dalam pemilihan padanan terjema h yang dianggapnya paling mendekati dalam Bahasa sasaran, dan dalam motivasi yang melat arbelakangi kegiatannya.

Tingakat kedwibahasaan seorang penerjemah juga ditentukan oleh masa-masa belakjar b ahasnaya, terutamoleh motivasi belajarnya. Motivasi belajar bahsa itu akan sangat dipengaru hi oleh status Bahasa, baik Bahasa sumber maupun Bahasa sasaran, itu sendiri. Motivasi unt uk mengetahui Bahasa asing (foreign language) bagi bangsa Indonesia barangkali relative re ndah bila dibangding dengan motivasi penguasaaan Bahasa Indonesia yang merupakan Baha sa kedua mereka setelah mereka menguasai Bahasa derah mereka yang merupakan Bahasa p ertamanya.

Tingkat kecakapan dalam penerjemahan dapat bervariasi dari individu ke individu. Ada b eberapa tingkat kecakapan yang umum digunakan untuk menggambarkan kemampuan seseo rang dalam penerjemahan dwibahasa. Berikut adalah beberapa tingkat kecakapan umum yan g sering digunakan dalam konteks penerjemahan:

1. Penerjemah profesional: Ini adalah tingkat tertinggi dalam penerjemahan dwibahasa. Pene rjemah profesional memiliki keahlian yang luas dalam kedua bahasa sumber dan bahasa targ et. Mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang nuansa linguistik, budaya, dan ter minologi dalam kedua bahasa. Mereka mampu mentransfer makna dan pesan dengan akurat dan tepat antara kedua bahasa, dan sering kali memiliki pendidikan formal atau pelatihan kh usus dalam penerjemahan.

2. Penerjemah terlatih: Penerjemah terlatih memiliki keterampilan yang baik dalam penerjem ahan dwibahasa. Mereka mungkin memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang bahasa atau penerjemahan, atau telah memperoleh pengalaman kerja yang signifikan dalam bidang t ersebut. Mereka mampu mengenali dan mengatasi tantangan yang muncul dalam penerjemah an, tetapi mungkin masih membutuhkan bantuan atau referensi tambahan dalam beberapa ka sus.

3. Penerjemah berpengalaman: Penerjemah berpengalaman telah bekerja dalam bidang pener jemahan selama beberapa waktu dan memiliki pengetahuan yang solid tentang kedua bahasa yang terlibat dalam penerjemahan. Mereka memiliki pemahaman yang baik tentang struktur bahasa, kosakata, dan konvensi penerjemahan. Penerjemah berpengalaman mampu menghasi lkan terjemahan yang cukup akurat dan memadai, tetapi mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks.

(13)

4. Penerjemah amatir: Penerjemah amatir adalah mereka yang memiliki beberapa pengetahu an dalam penerjemahan dwibahasa, tetapi tidak memiliki pelatihan formal atau pengalaman yang signifikan dalam bidang tersebut. Mereka mungkin dapat melakukan terjemahan dasar untuk keperluan sehari-hari, tetapi terjemahan mereka mungkin tidak selalu akurat atau tepat.

Penerjemah amatir sering kali membutuhkan bantuan dari sumber referensi tambahan atau p enerjemah berpengalaman.

2.4 Tingkat Alternasi Penerjemah

Tingkat alternasi penerjemah mengacu pada berbagai pendekatan dan teknologi yang dig unakan sebagai alternatif untuk penerjemah manusia atau metode tradisional penerjemahan.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi telah mengarah pada kemajuan yan g signifikan dalam penerjemahan otomatis, dengan tujuan untuk memfasilitasi komunikasi li ntas bahasa secara cepat dan efisien. Di bawah ini, saya akan menjelaskan materi ini secara l ebih panjang.

Teori Tingkat Alternatif Penerjemah Menurut Para Ahli

Tingkat alternatif penerjemah telah menjadi subjek penelitian dan diskusi di kalangan par a ahli dalam bidang penerjemahan dan pengolahan bahasa alami. Berikut adalah pandangan beberapa ahli terkemuka dalam hal ini:

1. Alex Waibel: Alex Waibel adalah seorang ahli di bidang penerjemahan mesin dan salah s atu pendukung utama tingkat alternatif penerjemah. Ia percaya bahwa penerjemah otomatis d apat menjadi alat yang berguna untuk mendorong komunikasi lintas bahasa dan mengatasi ha mbatan komunikasi global. Waibel telah melakukan penelitian yang luas dalam pengembang an penerjemah otomatis berbasis statistik dan neural.

2. Philipp Koehn: Philipp Koehn adalah seorang profesor di bidang penerjemahan otomatis di Universitas Edinburgh. Dia adalah salah satu ahli utama dalam penerjemahan mesin dan te lah berkontribusi pada pengembangan dan pemahaman tentang metode statistik dalam penerj emahan otomatis. Koehn juga mendukung ide tingkat alternatif penerjemah dan telah mendo rong penggunaan teknologi ini dalam konteks yang berbeda.

3. John Hutchins: John Hutchins adalah seorang penerjemah dan ahli penerjemahan otomatis.

Ia telah meneliti tentang penggunaan teknologi penerjemahan otomatis dan menyajikan pan dangannya tentang manfaat dan tantangan tingkat alternatif penerjemah. Hutchins menyoroti pentingnya pengembangan teknologi penerjemahan otomatis yang mempertimbangkan aspek budaya dan kontekstual dalam terjemahan.

4. Andy Way: Andy Way adalah seorang profesor di bidang penerjemahan otomatis di Dubli n City University. Ia telah menyumbangkan pengetahuannya dalam pengembangan penerjem ah otomatis berbasis statistik dan neural. Way juga telah mendorong penelitian dalam mengg

(14)

abungkan pendekatan berbasis aturan dan statistik dalam penerjemahan otomatis untuk meng hasilkan terjemahan yang lebih baik.

5. François Yvon: François Yvon adalah seorang profesor di bidang pengolahan bahasa alam i dan penerjemahan otomatis di Universitas Paris-Saclay. Ia telah melakukan penelitian tenta ng penerjemahan mesin dan terlibat dalam pengembangan sistem penerjemah otomatis. Yvo n mendukung tingkat alternatif penerjemah dengan memanfaatkan kekuatan metode statistik dan neural dalam menghasilkan terjemahan yang lebih baik.

Pandangan para ahli ini mencerminkan pentingnya tingkat alternatif penerjemah dalam p erkembangan teknologi penerjemahan otomatis. Mereka menyajikan kontribusi dan perspekt if yang berbeda dalam pengembangan dan penerapan teknologi ini.

1. Mesin Penerjemah

Mesin penerjemah adalah salah satu bentuk penerjemahan otomatis yang menggunakan komputer dan algoritma untuk menerjemahkan teks dari satu bahasa ke bahasa lain. Mesin penerjemah terkenal yang banyak digunakan adalah Google Translate. Mesin penerjemah bekerja dengan menganalisis struktur tata bahasa, kosakata, dan pola frase dalam teks sum ber untuk menghasilkan terjemahan yang memadai dalam bahasa target. Mesin penerjema h terus diperbarui dan ditingkatkan dengan penggunaan data bahasa baru serta pemrosesan bahasa alami yang lebih canggih.

2. Penerjemah Berbasis Aturan

Sistem penerjemahan berbasis aturan menggunakan aturan tata bahasa dan aturan pema haman yang ditulis secara manual oleh penerjemah manusia. Aturan-aturan ini menggamb arkan struktur dan kaidah tata bahasa, serta pemahaman konteks dan makna kata-kata. Pen erjemah berbasis aturan lebih terstruktur dibandingkan mesin penerjemah, karena aturan-at uran ini telah diprogram secara spesifik. Namun, mereka sering kali memiliki keterbatasan dalam memahami konteks yang kompleks, idiom, dan perubahan dalam penggunaan bahas a sehari-hari.

3. Penerjemah Berbasis Statistik

Sistem penerjemahan berbasis statistik menggunakan model statistik yang dilatih denga n menggunakan pasangan kalimat terjemahan dalam bahasa sumber dan bahasa target. Mo del ini menganalisis statistik kemungkinan setiap kata dan frase dalam teks sumber untuk menghasilkan teks terjemahan yang paling mungkin dalam bahasa target. Penerjemah berb asis statistik memiliki keunggulan dalam menghasilkan terjemahan yang lebih baik daripa da penerjemah berbasis aturan. Namun, mereka juga memiliki keterbatasan dalam memaha mi konteks yang lebih luas dan mungkin menghasilkan terjemahan yang kurang alami.

4. Penerjemah Neural

(15)

Penerjemah neural menggunakan jaringan saraf buatan (artificial neural networks) untu k mempelajari pola-pola dan hubungan antara kalimat dalam bahasa sumber dan bahasa tar get. Model ini dilatih dengan menggunakan data paralel yang besar, yaitu pasangan kalima t yang sudah diterjemahkan secara manual oleh penerjemah manusia. Penerjemah neural m emiliki kemampuan untuk memahami konteks yang lebih baik daripada metode sebelumny a. Mereka dapat menangkap nuansa linguistik, idiom, dan struktur bahasa dengan lebih bai k, menghasilkan terjemahan yang lebih alami dan akurat.

5. Penerjemah Hibrida

Penerjemah hibrida adalah kombinasi dari pendekatan berbasis aturan, statistik, dan ne ural untuk menghasilkan terjemahan yang lebih baik. Metode ini menggabungkan kekuata n masing-masing pendekatan untuk meningkatkan kualitas hasil terjemahan. Misalnya, pen erjemah hibrida dapat menggunakan penerjemah berbasis aturan untuk menangani struktur tata bahasa yang kompleks, penerjemah berbasis statistik untuk memperhitungkan kemung kinan kata dan frase, serta penerjemah neural untuk memperbaiki hasil dan memahami kon teks dengan lebih baik. Penerjemah hibrida adalah area penelitian yang aktif dalam penge mbangan sistem penerjemahan.

Meskipun teknologi penerjemahan otomatis terus berkembang, penerjemah manusia m asih dianggap sebagai standar emas dalam hal kualitas terjemahan yang paling akurat dan alami, terutama dalam konteks yang sangat sensitif atau kreatif. Kemampuan manusia untu k memahami nuansa budaya, penggunaan idiom, dan konteks yang kompleks masih sulit u ntuk dipertandingkan oleh sistem otomatis. Namun, pengembangan teknologi penerjemaha n terus berlanjut dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan penerjemah otomatis aga r semakin mendekati kualitas penerjemah manusia.

Kelebihan dan Kekurangan

Tingkat alternatif penerjemah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berikut adalah beberapa contoh:

Kelebihan:

1. Kecepatan: Penerjemah otomatis dapat menerjemahkan teks dengan cepat, bahkan dala m waktu nyaris instan. Ini sangat berguna dalam situasi yang membutuhkan respons segera atau ketika ada kebutuhan untuk memahami teks dalam bahasa asing secara cepat.

2. Skala dan Efisiensi: Penerjemah otomatis dapat mengatasi volume besar teks dalam wa ktu yang singkat. Mereka dapat digunakan untuk menerjemahkan dokumen, situs web, atau bahkan percakapan dalam bahasa yang berbeda dengan efisiensi tinggi.

(16)

3. Ketersediaan: Penerjemah otomatis tersedia secara online atau dapat diakses melalui pe rangkat lunak yang dapat diunduh. Ini membuatnya mudah diakses dan digunakan oleh ban yak orang di seluruh dunia.

4. Biaya: Menggunakan penerjemah otomatis bisa lebih hemat biaya daripada menggunak an penerjemah manusia. Terjemahan otomatis dapat diakses secara gratis dalam banyak ka sus, sementara biaya penerjemah manusia biasanya melibatkan pembayaran yang lebih ting gi.

Kekurangan:

1. Kualitas Terjemahan: Meskipun penerjemah otomatis terus ditingkatkan, mereka masih belum seakurat penerjemah manusia dalam hal keakuratan dan kealamian terjemahan. Pene rjemah otomatis seringkali menghasilkan terjemahan yang kurang alami, dengan kemungki nan kesalahan pemahaman dan penafsiran.

2. Konteks dan Idiom: Penerjemah otomatis seringkali mengalami kesulitan dalam memah ami konteks yang kompleks, penggunaan idiom, dan nuansa linguistik tertentu. Ini dapat m engakibatkan terjemahan yang tidak tepat atau kehilangan makna yang spesifik dalam teks sumber.

3. Budaya dan Kepekaan: Penerjemah otomatis mungkin tidak memiliki kepekaan budaya yang sama seperti penerjemah manusia. Mereka mungkin tidak memahami nuansa budaya tertentu yang dapat mempengaruhi pemilihan kata atau makna dalam terjemahan.

4. Kemampuan Adaptasi: Penerjemah otomatis sulit untuk beradaptasi dengan bahasa yan g terus berkembang dan perubahan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Meskipun merek a diperbarui secara teratur, mereka mungkin masih memiliki keterbatasan dalam mengenali kata-kata atau frasa baru atau dalam memahami perubahan dalam struktur bahasa.

Penting untuk mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan ini ketika menggunakan penerjemah otomatis. Dalam situasi yang membutuhkan akurasi tinggi dan pemahaman ko nteks yang mendalam, penerjemah manusia masih dianggap lebih unggul. Namun, penerje mah otomatis dapat menjadi alat yang berguna dalam situasi yang membutuhkan terjemaha n cepat dan kasar atau dalam komunikasi yang sederhana dan umum.

2.5 Prinsip-Prinsip Penerjemah

Penerjemahan adalah proses mengubah teks dari satu bahasa ke bahasa lain dengan mem pertahankan makna dan pesan yang terkandung di dalamnya. Penerjemahan memiliki peran penting dalam memungkinkan komunikasi lintas bahasa dan memfasilitasi pertukaran inform asi antar budaya. Proses penerjemahan melibatkan pemahaman mendalam terhadap teks asal dan kemampuan untuk mengekspresikan makna yang sama dengan menggunakan bahasa tar get.

(17)

Penerjemah harus mampu menangkap nuansa, konteks, dan tujuan komunikasi dalam tek s asli, dan mentransfernya secara akurat ke dalam bahasa target. Ini melibatkan pemilihan ka ta yang tepat, penyesuaian struktur kalimat, dan perhatian terhadap aspek budaya yang releva n. Selain kemampuan bahasa yang kuat, seorang penerjemah juga harus memiliki keterampil an penelitian yang baik, kepekaan terhadap budaya, pemahaman yang mendalam tentang stru ktur bahasa, dan kemampuan menafsirkan dengan akurat bahasa sumber ke bahasa target.

Penerjemahan bukanlah proses yang sederhana atau mekanis. Penerjemah harus berhada pan dengan tantangan linguistik, budaya, dan kontekstual dalam memastikan bahwa pesan ya ng disampaikan dalam teks asli dapat dipahami dengan baik dalam bahasa target. Maka untu k mendapatkan hasil penerjemahan yang baik seorang penerjemah harus mengikuti prinsip-p rinsip dasar penerjemahan.Penerjemahan memiliki dua prinsip, yakni prinsip dasar dan prins ip umum;

a. Prinsip Dasar

Terdapat beberapa tokoh yang mengemukakan prinsip-prinsip dasar penerjemahan. Bebe rapa diantaranya yaitu Marthin Luther (1483-1546), yang mengemukakan bahwa seoran g penerjemah haruslah mampu:

1. Mengalihkan aturan kata-kata;

2. Mempergunakan kata kerja bantu (auxiliary verbs);

3. Mempergunakan kata penghubung (conjunction) bila memang di perlukan;

4. Tidak memasukkan kata-kata atau istilah-istilah yang tidak ada padanan-terjemahnya d i dalam bahasa sasaran;

5. Mempergunakan frase-frase tertentu atau ungkapan-ungkapan tertentu apabila salah sa tu kata bahasa sumber itu tidak ditemui padanan terjemahnya dalam bahasa sasaran;

6. Mampu mengamati ragam dan gaya bahasa sumber.

Eltiene Dollet yang mengemukakan prinsip-prinsip dasar penerjemahan. Menurutnya pe nerjemah harus memiliki kemampuan antara lain:

1. Penerjemah haruslah sepenuhnya memahami isi dan maksud pengarang yang tertua ng di dalam bahasa sumber;

2. Penerjemah haruslah mempunyai pengetahuan bahasa yang sempurna, baik bahasa s umber maupun bahasa sasaran;

3. Penerjemah haruslah menghindari kecenderungan menerjemahkan kata per kata, ole h karena apabila teknik demikian ia lakukan maka ia akan merusak makna kata asli dan keindahan ekspresi;

4. Penerjemah haruslah mampu menggunakan ungkapan-ungkapan yang biasa digunak an sehari-hari;

5. Penerjemah haruslah berkemampuan menyajikan nada (tune) dan warna asli bahasa sumber dalam karya terjemahannya.

b. Prinsip Umum

(18)

Abdurrahman Suparno dan M. Azhar menyebutkan sembilan prinsip umum penerjemaha n yang baik:

1. Menggunakan kalimat pendek. 30-45 kata per kalimat lebih dari mencukupi.

2. Menghilangkan kata mubazir.

3. Singkat, simpel, langsung bisa dipahami.

4. Menghindari bahasa yang sulit dipahami. Jika ada, menyertakan maknanya.

5. Tidak mengulang-ngulang kata yang sama.

6. Mematuhi EYD yang benar.

7. Kata bervariatif.

8. Tidak terpengaruh struktur asing.

Selain prinsip-prinsip penerjemahan yang telah dikemukakan diatas, seorang penerje mah juga harus mengerti betul prinsip-prinsip terjemahan sebagai pedoman penerjemahan, prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Ketepatan dan Keakuratan

Seorang penerjemah haruslah tepat dan akurat dalam menerjemahkan karya dari baha sa sumber ke dalam bahasa sasaran, ketika penerjemah tidak fokus pada terjemahan seh ingga mengakibatkan ketidaktepatan terjemahan maka akan terjadi kekeliruan yang fata l terutama bagi penafsiran pembaca tentang apa yang sudah diterjemahkan.

2. Kejelasan

Kejelasan yang dimaksud disini adalah kejelasan hasil dari terjemahan, artinya, penerjemah harus menguasai betul bahasa sasaran, sehingga apa yang hendak disampai kan oleh penerjemah benar-benar bisa dipahami dan dimengerti oleh masyarakat dalam bahasa sasaran. Jangan sampai seorang penerjemah hanya mahir bahasa sumber tapi lal ai dalam bahasa sasaran, ini akan menyulitkan bagi pembaca jika terjadi kekurangan kej elasan dari hasil.

3. Terjemahan, kewajaran atau kealamiahan

Seorang penerjemah harus mengerti tentang prinsip kewajaran dan kealamiahan. Kos a kata “wajar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti:

Biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apa pun;

Menurut keadaan yang ada; sebagaimana mestinya.

Merujuk definisi kata wajar tersebut, maka bisa diartikan, wajar di sini adalah bagai mana seorang penerjemah menerjemahkan karya dengan sewajarnya, namun memang, penerjemah boleh saja menambahkan materi dalam terjemahan, dan juga mengurangi materi yang tidak perlu, tapi harus tetap dalam batas wajar, tidak perlu terlalu berlebiha n sehingga terlihat karya terjemahan tersebut justru seperti karya hasil pemikiran tungg al si penerjemah.

(19)

4. Tidak mengubah maksud pengarang teks asal.

Prinsip ini sudah sangat jelas untuk penerjemah. Tetapi, pada praktiknya, penerjemah kesulitan untuk tidak mengubah maksud pengarang asal (teks sumber) secara 100%, ini dikarenakan banyak perbedaan budaya dan bahasa antara bahasa sumber dan sasaran, te tapi alasan ini tidak berarti memperbolehkan penerjemah mengubah maksud pengarang dengan sengaja dan berlebihan atau bahkan melenceng dari maksud sebenarnya.

5. Menghasilkan terjemahan yang mudah dipahami pembaca.

Penerjemahan merupakan bagian dari komunikasi, oleh karena itu, suatu terjemahan hendaknya mudah dipahami dan dimengerti agar tujuan komunikasi antara pembaca da n pengarang bisa tercapai.

6. Menghormati tatabahasa penerima.

Dalam proses menerjemahkan, tata bahasa untuk bahasa sasaran harus dihormat. Ini berarti tata bahasa sumber tidak seharusnya dipaksakan dalam teks terjemahan (teks sas aran).

7. Menerjemahkan makna bahasa bukan bentuk bahasa.

Dalam proses penerjemahan, makna harus menjadi prioritas utama. Penerjemah hend aknya jangan terlalu memaksakan diri untuk menerjemahkan bentuk bahasa sumber seh ingga menghasilkan terjemahan yang tebrelit-belit, kaku, dan sulit dipahami, jadi, selalu prioritaskan makna dan tujuan pengarang, bukan terpaku pada bentuk bahasa.

(20)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penerjemahan merupakan usaha dalam menciptakan kembali pesan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan padanan yang sedekat mungkin dalam hal makna dan gaya.

Untuk menjadi penerjemah yang baik modal pertama memang membutuhkan keterampilan bahasa, namun tidak semua bilingual mampu menjadi penerjemah yang baik. Seorang penerjemah (translator) harus mampu membaca, memahami, dan menguasai ide – ide orang lain, yang pada poin ini penerjemah membutuhkan keterampilan bahasa. Kemudian penerjemah bertugas menerjemahkan ide-ide tersebut secara akurat, komplet, dan berterima dalam BSu maupun BSa tanpa distorsi dalam bahasa lain.

Dengan kata lain, bisa disimpulkan bahwa seorang penerjemah adalah pembaca yang pandai dalam bahasa sumber dan penulis yang pandai juga dalam bahasa sasaran. Meskipun seorang bilingual lebih dekat mengartikan sebuah kata dengan makna yang saling mendekati dari unsur kebudayaan, mereka memiliki pendekatan yang berbeda dengan penerjemahan kamus dalam menerjemahkan sebuah kata dan cenderung lebih bermakna dalam menerjemahkan. Kata-kata yang menunjukkan ide atau emosi etnis maupun politik biasanya memiliki arti yang berbeda dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Meskipun kata-kata ini ada dalam budaya dan bahasa lain, arti yang dikaitkan dengannya berbeda dari budaya ke budaya. Itu mengapa penerjemah kerap kali kesulitan dalam menerjemahkan bahasa yang jauh berbeda dari segi budaya dan fakta itu menjelaskan mengapa bilingual berbeda dengan terjemahan kamus karena mereka sering mengaitkan atau menyesuaikan makna dengan yang lain (budaya misalnya) untuk beralih antar bahasa. Hal di atas dimungkinkan karena bilingual juga berarti bikultural.

Bahasa tidak saling memetakan secara langsung. Mereka memiliki urutan kata yang berbeda; mereka menggunakan idiom yang mungkin tidak ada di yang lain; ada referensi budaya dan sosial yang harus Anda kenali dan pahami; Anda harus melihat perbedaan register, misalnya antara dokumen bisnis dan kolom surat kabar. Dari sini kita menyadari bahwa banyak penutur asli bahasa Inggris bahkan kesulitan ketika diminta untuk membuat dokumen tertulis dengan bahasa mereka sendiri, dan bagaimana sulitnya jika diminta untuk melakukan hal yang sama dengan bahasa lain. Terlebih mengingat bahwa beberapa jenis terjemahan tidak untuk setiap penerjemah. Seorang penerjemah sastra akan kehilangan arah saat mencoba mengerjakan manual teknis, dan keduanya akan jatuh tak berdaya saat dihadapkan dengan dokumen hukum pun seterusnya.

Maka dapat disimpulkan bahwa seorang penerjemah membutuhkan kemampuan bilingualisme untuk mendukung proses terjemahan agar menghasilkan terjemahan yang baik.

Namun, tidak setiap bilingual akan menjadi penerjemah yang baik. Terjemahan yang

(21)

baik memiliki tiga kriteria, yakni ketepatan, kejelasan, dan kewajaran. Ketepatan berarti bahwa terjemahan harus menyampaikan pesan sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang dalam teks sumber –dalam tahapan ini kemampuan bilingualisme sangat berperan. Yang kemudian, kejelasan yang berarti terjemahan harus mudah dipahami oleh pembaca sasaran dan kewajaran yang mengacu pada gaya serta bentuk gramatikal yang harus wajar sesuai dengan kaidah dalam bahasa sasaran.

Sama halnya dengan keterampilan bahasa, keterampilan menerjemahkan juga dapat dipelajari. Terdapat teknik, metode, dan cara dalam terjemahan yang harus menjadi dasar yang kuat untuk menjadi seorang penerjemah disamping keterampilan bahasa.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Nida, and Charles R Taber, The Theory and Practice of Translation, Leiden: E. J. Brill, 1969:

Baker, Mona, In Other Words: A Coursebook on Translation London: Routledge, 1992.

Baker, Mona, ed., Rnutledge Eryclopedia of Translation Studies, London: Routledge, 2000.

Bassnett-McGuire, Susan, Translation Studies London : Routledge, 1988.

Bell, Roger T., Translation and Translating London: Longman, 1991.

Catford, J.C. A Llnguistic Theory of Translation. Oxford : Oxford University Press, 1965.

Crystal, David English as a Global Language. Cambridge : Cambridge University Press, 1997.

https://arerariena.wordpress.com/2011/02/02/kedwibahasaan/

Nord, C. (2005). Text Analysis in Translation: Theory, Methodology, and Didactic Application of a Model for Translation-Oriented Text Analysis. Peter Lang Publishing.

Chesterman, A. (1997). Memes of Translation: The Spread of Ideas in Translation Theory. John Benjamins Publishing Company.

UIN, BAB II landasan teoritis penerjemahan.pdf hal 14-15

Abdurrahman Suparno dan Mohammad Azhar, MAFAZA Pintar Menerjemahkan Bahasa Arab- Indonesia, (Yogyakarta: 2005), hlm.15.

http://gelorakata.blogspot.com/2010/09/prinsip-prinsip-terjemahan_5469.html

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang berjudul “Prosedur dan Metode Penerjemahan Bahasa Slang dalam Komik Crayon Shinchan Karya Yoshito Usui” membahas tentang kategori dan frekuensi

a) Penerjemahan kalimat dalam bahasa Indonesia ke bentuk ekspresi matematika. b) Penerjemahan kalimat dalam bahasa Mandarin ke bentuk ekspresi matematika. c) Penerjemahan

Dokumen ini membahas tentang penggunaan elektronik kamus untuk belajar bahasa

Dokumen ini membahas tentang makna dan penggunaan kata "seppuku" dalam bahasa

Dokumen ini membahas tentangTingkatan Perbandingan dalam Bahasa Inggris, yaitu Comparison

Dokumen ini membahas tentang pengembangan e-modul Bahasa Inggris untuk meningkatkan hasil belajar bahasa

Dokumen ini membahas tentang bahasa pemrograman berbasis objek Alice dan lingkungan

Dokumen ini membahas penggunaan jurnalisme sebagai metode belajar bahasa