• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar Silvikultur Hutan

N/A
N/A
Azriel Handoko Junior

Academic year: 2024

Membagikan "Pengantar Silvikultur Hutan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Silvikultur Hutan

Pengantar Ilmu Kehutanan

(2)

Silvikultur: pemanfaatan praktek-praktek pengelolaan hutan secara lestari untuk membangun tegakan hutan dalam rangka memenuhi tujuan sumberdaya alam.

Tujuan:

Produksi kayu (timber production)

Pengelolaan satwa liar (management for wildlife)

Biodiversitas (biological diversity)

Pengelolaan aestetika (aesthetics management)

Restorasi ekologi tegakan dan lansekap terdegradasi (ecological restoration of degraded stands and

lanscapes).

Silvikultur Hutan

(3)

Evolusi Praktek Silvikultur

• Kebanyakan praktek silvikultur dasar berasal dari Eropa bagian barat pada abad ke-14 sampai 19 sebagai respon ketakutan akan terjadinya kekurangan kayu pertukangan.

• Pada abad pertengahan, banyak lansekap/bentang lahan di Eropa telah ditebang habis untuk pertanian.

• Inggris: Kawasan berhutan tidak lebih dari 10%, populasi meningkat muncul tekanan terhadap sisa kawasan hutan.

Hutan diganggu oleh penggembalaan, eksploitasi terhadap sisa tegakan hutan dan berulang-ulang ditebang trubusannya untuk kayu bakar berdiameter kecil.

(4)

Evolusi Praktek Silvikultur

Di Inggris, pada abad ke-13 sudah disadari alarm terhadap kondisi terdegradasinya hutan dan dirasakannya pasokan kayu yang terbatas sehingga muncul peraturan yang mengatur penggembalaan dan tipe pohon yang dapat ditebang. Aksi legal ini untuk memperlambat laju eksploitasi dan mencegah berlanjutnya kerusakan hutan.

(5)

Evolusi Praktek Silvikultur

• Pada 1359, tebangan serampangan terhadap tegakan hutan diganti dengan pemanenan terencana untuk menjaga

kelangsungan pasokan kayu pertukangan.

• Pengelolaan hutan secara bijaksana dapat meningkatkan kondisi dan produktivitas hutan dan mencegah kerusakan.

Pemanenan harus dikonsentrasikan pada petak-petak

tertentu, pertumbuhan kembali berikutnya dilindungi dari penggembalaan sampai dengan tingkatan sapling yang cukup tinggi untuk dijangkau ternak.

(6)

Evolusi Praktek Silvikultur

• Jika pemilik hutan ingin menebang pohon pada usia 50 tahun, traktat tersebut dibagi menjadi 50 petak dan setiap petah dipanen setiap tahun. Ide ini merepresentasikan even- aged management for sustained yield.

• Di German pada 1368, kota Nurenberg mencoba perbenihan buatan pada pine, spruce dan fir. Pejabat kehutanan

mempelajari regenarasi alami jenis konifer dalam luasan yang lebar melalui membiarkan pohon benih (seed trees) tetap

hidup secara tersebar. Tegakan dengan metode pohon benih (seed tree method) dipanen pada 1454.

(7)

Evolusi Praktek Silvikultur

Buku ditulis untuk mengumpulkan pengetahuan pada praktek

pengelolaan hutan salah satunya ditulis oleh John Evelyn disebut Sylva, or a Discourse on Forest Trees dipulikasikan di Inggris pada 1664.

Kehutanan mulai diarahkan berdasarkan observasi ilmiah dan prinsip- prinsip ekonomi di awal abad ke-19. Dipunlikasi textbook: planting and natural regeneration of new forests, thinning and improvement of

existing stands, control of wildfires and disease, and estimates of forest growth and yield.

Doktrin kelestarian hasil (sustainable yield) dimodifikasi dengan

finansial maturity” dari kayu yang menentukan umur optimal saat pohon harus ditebang.

if profit is considered, every tree of every kind ought to be cut down and sold when the annual increase in value of the tree by its growth is less than the annual interest of the money it would sell for

(8)

Model kehutanan Jerman yang dipraktekan pada pertengahan abad ke- 19 dipandang sebagai “cultivated forest” dan kehutanan dipandang

sebagai “tree farming”. Model ini diterapkan di Amerika Serikat pada abad ke-20. Pengelolaan hutan secara konservatif ini lebih memilih metode tebang pilih dibandingkan tebang habis dengan permudaan alam daripada penanaman.

Berkembang hutan untuk tujuan lain memenuhi tuntutan masyarakat seperti untuk wisata, berburu dan memancing.

Pada 1960-1970, tebang habis dipandang sebagai cara yang lebih tepat untuk meregenerasi jenis-jenis utama. Tebang habis seringkali

memberikan regenerasi yang bagus dan lebih efisien secara ekonomi.

Hutan campur diganti dengan hutan tanaman dari jenis bernilai komersial.

Praktek Silvikultur

(9)

Compared to the older management philosophy of sustained timber yield, ecosystem management recognizes that true long-term

sustainability can be assured only if the integrity of natural ecological processes—ranging from nutrient cycling to predator-prey relations—are maintained.

Silvicultural practices, when modified by ecosystem management princi- ples, typically result in forests and landscapes that are more structurally complex than those main- tained under traditional systems.

More attention is given to retention of older trees, standing and fallen woody debris, soil organic matter, and other fea- tures. These are

recognized as being important for maintaining ecosystem health and species diversity, but represent a departure from more economically driven approaches to forest management.

Praktek Silvikultur

(10)

Perlakuan silvikultur di hutan menurut Pinchot (1905) didasarkan pada sifat hutan itu sendiri dan terutama meniru apa yang terjadi di hutan tanpa campur tangan manusia.

Praktek pemanenan kebanyakan dianggap untuk

mempertahankan kesehatan ekosistem dan diversitas jenis/spesies jika praktek ini meniru pola

bencana/gangguan alami yang organisme dapat beradaptasi secara lokal.

Gangguan pada hutan: kebakaran, hurricane/taifun, tornado, epidemi serangga, petir dan sebagainya yang secara rutin merusak kanopi hutan.

Silvikultur Hutan

(11)

Silvikultur Hutan

Regenerasi hutan paska kebakaran Praktek Regenerasi hutan paska pemanenan

(12)

Pertumbuhan dan Perkembangan Tegakan Hutan

Perbedaan dalam asal tegakan seumur dan tidak seumur mengarahkan pada perbedaan struktur, cara pengembangan dan nilai sebagai habitat satwa liar.

Hutan Seumur

Tegakan hutan seumur tersusun atas pohon-pohon yang berumur sama.

Merupakan respon terhadap gangguan alami atau campur tangan manusia yang menyebabkan hilangnya secara mendadak tegakan sebelumnya.

Hutan seumur umumnya diklasifikasikan berdasarkan tingkat

perkembangan yang merefleksikan umur atau rata-rata diameter pohon.

Pada hutan temperate:

Tegakan seedling (1-5 tahun)

Tegakan sapling (5-15 tahun)

Tegakan pole (15-60 tahun)

Tegakan masak (60-150 tahun)

Tegakan tua (>150 tahun)

(13)

Pertumbuhan dan Perkembangan Tegakan Hutan Hutan Seumur

• Hutan seumur pada umur muda biasanya sangat padat

dengan ribuan pohon per hektar. Tetapi pada tegakan dewasa hanya tersedia sedikit ruang untuk sejumlah ratusan pohon untuk setiap hektarnya. Ketika individu pohon menjadi

semakin besar dan tua, kompetisi menjadi semakin keras.

Tajuk dari pohon (jenis lambat tumbuh) meningkat menjadi semakin crowded dan akhirnya bersinggungan atau tingginya dilampaui pohon sebelahnya. Pohon cepat tumbuh bertunas disekitar mereka.

(14)

Pertumbuhan dan Perkembangan Tegakan Hutan Hutan Seumur

• Tegakan menampilkan stratifikasi pada arah vertical

• Pohon dominan: pohon yang bergabung dengan kanopi, menerima sinar matahari secara langsung

• Pohon kodominan: pohon dalam kanopi yang menerima sinar matahari langsung tapi mendapat sedikit naungan

• Pohon intermediate/menengah: tajuk pohon kepanjangan dr kanopi tetapi crowded dari berbagai sisinya dan

menerima sinar matahari di bagian atas tajuk

• Pohon tertekan: pohon yang tajuknya dilampaui oleh pohon sekeliling dan tidak menerima sinar matahati secara langsung

(15)

Pertumbuhan dan Perkembangan Tegakan Hutan

Pohon seumur

Pohon tertekan yang kalah berkompetisi berpeluang untuk mengalami kematian, sehingga terjadi pengurangan jumlah pohon per hektar sampai pohon dewasa. Dalam 40 tahun, jumlah pohon berkurang 50-60% atau lebih.

Pengurangan jumlah pohon dalam tegakan seumur karena kompetisi disebut “self-thinning process” atau proses

penjarangan alami.

(16)

Pertumbuhan dan Perkembangan Tegakan Hutan

Pohon tidak seumur

Tegakan tidak seumur umumnya didefinisikan sebagai tegakan yang paling tidak campuran dari 3 kelas umur.

Tegakan tidak seumur biasanya sulit dikenali secara visual dari tegakan dewasa seumur tanpa determinasi umur aktualnya.

Karakteristik tegakan tidak seumur adalah kanopi tidak teratur dengan tinggi yang tidak seragam, dengan banyak dijumpai gap atau celah pada kanopi dari berbagai tahapan pohon.

Variasi dalam tinggi kanopi dan ukuran pohon

menguntungkan untuk sejumlah jenis hewan khususnya burung.

(17)

Pertumbuhan dan Perkembangan Tegakan Hutan

Pohon tidak seumur

Jika tegakan tidak seumur tersusun atas beberapa kelas umur dan setiap kelas umur menempati proporsi yang sama, bisa disebut

“balanced all aged stand” atau tegakan umur seimbang.

Balanced all aged stand dapat memberikan volume produksi kayu yang konstan dari dekade ke dekade berikutnya.

Prinsip: pohon-pohon individual yang tersebar dipanen dengan cara tertentu untuk mencapai kesetimbangan kelas umur.

Pengelolaan tegakan tidak seumur dapat menyediakan pasokan kayu yang konstan dari sebuah tegakan.

Tegakan tidak seumur menarik untuk pemilik hutan dengan luasan yang sempit.

(18)

Perlakuan untuk Peningkatan Tegakan Hutan

Buat penjelasan pada berbagai praktek silvikultur berikut ini:

Release treatments

Improvement cuts

Thinnings

Fertilization

Prunning

Salvage cuts

Regeneration of Forest Stands

The Role of Site Preparation

Natural Regeneration

Tugas kelompok sama dengan yang kemarin,

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya secara teoritis, semua Sistem Silvikultur di atas dapat digunakan untuk mengelola hutan secara lestari pada suatu kawasan konsesi hak pengusahaan hutan

Pemanfaatan sumber daya alam (hutan) seharusnya dapat dilakukan apabila akan memberikan manfaat yang lebih besar dari nilai valuasi ekonomi sumber daya alam..

Sumber-sumber daya alam banyak sekali macamnya merupakan bahan dasar bagi pengelolaan untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Sumber daya alam akan benar-benar berguna apabila

aspek-aspek yang perlu dicermati berkaitan dengan evaluasi sistem silvikultur di hutan rawa gambut adalah jumlah dan volume pohon inti, pohon ditebang, proporsi setiap jenis

Hasil akhir diperoleh kesim- pulan bahwa; (1) LSM Koling adalah gerakan lingkungan yang bervisi pada tercapainya pengelolaan sumber daya alam (khu- susnya pengelolaan sumber

Penerapan sistem silvikultur TPTII pada hutan alam produksi terjadi dinamika nilai keanekaragaman jenis yang berfluktuatif, secara keseluruhan tingkat keanekaragaman jenis

Berdasarkan Pedoman TPTII (2005), sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan secara jalur pada areal pasca penebangan tebang

Kesadaran akan peran hukum kehutanan dalam pelestarian hutan dan lingkungan alam adalah langkah pertama yang penting menuju pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan...