SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S.H )
OLEH :
SEPTI LISTIANI NIM: 1611150029
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA / SIYASAH FAKUTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2020 M/ 1442 H
ii
iii
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO
“Janganlah Engkau Bersedih, Sesungguhnya Allah Bersama Kita” (QS. At- Taubah ayat 40)
Katakan Sekali Kebohongan Maka, Kata-Katamu Berikutnya Akan Di Pertanyakan Kebenarannya.
Persembahan
Skripsi Ini Saya Persembahkan Kepada:
Kepada Ayah (Samsul Bahri) dan Ibu Tercinta (Romiatun) Yang Telah Memberikan Segala Usaha, Do’a nya dalam Memperjuangkan Untuk Kesuksesan Saya Hingga Saat Ini.
Kepada adik-adik ku Ema Sela Wati , Tri Selpi Yanti Yang selalu ikut mendukung ku
Kepada Keluarga Besar ku yang selalu ada untuk ku.
Kepada Bapak Firnandes Maurisya, S.H, M.H yang selalu sabar dan banyak berperan dalam penulisan skripsiku
Kepada Organisasiku Resimen Mahasiswa Mahadwiyudha Provinsi Bengkulu
Kepada sahabat sekaligus saudara ku Nurina Tia Gita, Yesa Putriani, Rahma Dwi Satri, Mela, Indah Safitri, Vivin Hanaviyah, susmita Sari, Gangga Prasetyo, Ari Bachtiar yang menjadi pendengar keluh kesah ku.
Sahabat sekaligus adik ku Uswatun Nur Khasanah, Arni Tiyulia, Irma Wati, Mesi Susilawati, Aprilia Dwi Lestari, Wiwin Angelina, yang turut menemani hari-hariku.
Kepada Teman Seperjuangan Apriski Wijaya, S.H, Ego Sudarman, Novi Pebrianti, Klambit Debi Saputra, Deka Surya Mandala yang banyak berperan dalam Proses perkuliahan
vi
Kepada kelas HTN A Angkatan 2016 yang menemani hari- hari di kampus.
Kepada Vera Oktaviya, Nopita Sari, Desti Umila Sari, Rensi Endang Sari, Suci Maharani, Lena, Aren, Uci, yang menerima ku di Kos Permata 2 dengan sabar dan selalu ada.
Sahabat sekaligus keluarga KKN Kelompok 39 Ds. Padang Mumpo ( Aset Kondiono, Ahmad Jamaludin, Ela Gusanti, Feni Martha Yusiadi, Deta Marlini, Selvya Feronica, Lisa Liana, Titin Karlina yang telah berbagi suka duka selama KKN.
Kepada keluarga Kedua Ku di Desa Padang Mumpo Kec.
Pino Kab. Bengkulu Selatan
Semua Teman-Teman Seperjuangan ku yang lain yang aku sayangi
Almamater yang Telah Menempahku Menjadi Pribadi “BE SMART
vii ABSTRAK
Analisis Yuridis Kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu No.
800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian Perspektif Siyasah Dusturiyah Oleh: Septi Listiani NIM. 1611150029
Pembimbing I: Masril.,MH. dan Pembimbing II: Wahyu Abdul Jafar.,M.H.I
Skripsi ini adalah hasil penelitian hukum normatif dengan judul “Analisis Yuridis Kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu No. 800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian Perspektif Siyasah Dusturiyah”. Terdapat dua persoalan dikaji dalam skripsi ini, yaitu: (1) Bagaimana kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu di dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (2) Apakah Surat Edaran Walikota Bengkulu boleh memuat Sanksi dan Larangan jika dikaji berdasarkan asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Untuk mengungkap persoalan tersebut secara sistematis dan komprehensif, peneliti mengkaji studi dokumen dengan menggunakan berbagai data sekunder yang berhubungan dengan kedudukan Surat Edaran berdasarkan asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa (1) kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu Nomor : 800/31/B.III/2019 tentang Himbauan Larangan Perceraian adalah sebagai suatu produk hukum akan tetapi bukan Peraturan Perundang-Undangan, namun lebih tepatnya disebut sebagai kebijakan. (2) Dalam proses pembentukannya Surat Edaran tersebut sudah dibentuk dengan berpedoman kepada asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu berdasarkan kajian Siyasah Dusturiyah kedudukan dan Materi muatan Surat Edaran tersebut sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dikaji di dalam Siyasah Dusturiyah, dimana mengenai Surat Edaran berdasarkan kajian Siyasah Dusturiyah termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasan di dalam cabang Siyasah Syar’iyah dan Siyasah Wadl’iyah dimana kewenangan untuk menerbitkan Surat Edaran tersebut menjadi kewenangan lembaga Ahlul Halli Wall Aqdi.
Kata Kunci: Surat Edaran, Walikota Bengkulu, Analisis, Siyasah Dusturiyah.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada allah SWT atas segala nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal skripsi yang berjudul
“Analisis Yuridis Kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu No.
800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian”.
Salawat dan Salam untuk Nabi besar Muhammad SAW, yang telah berjuang untuk menyampaikan ajaran Islam sehingga umat mendapatkan petunjuk kejalan yang lurus baik di dunia maupun akhirat.
Penyusunan Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat guna untuk memperoleh gelar sarjana hukum (SH) pada program studi Hukum Tata Negara Islam (Siyasah) Jurusan syariah pada fakultas syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu. Dalam penyusunan Skripsi ini penyusun mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof.Dr. H. Sirajuddin M,M.Ag.,M.H. Rektor IAIN Bengkulu.
2. Dr.Imam Mahdi, SH, M.H. Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu.
3. Dr. Yusmita, M.Ag. Ketua Jurusan syariah fakultas syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu.
4. Ade Kosasih,.S.H.,.M.H. Kaprodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu.
5. Masril, S.H, M.H. pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, motivasi, semangat dan arah dengan penuh kesabaran.
6. Wahyu Abdul Jafar, M.H.I. pembimbing II yang juga telah memberikan bimbingan, motivasi, semangat dan arah dengan penuh kesabaran.
7. Dr.Imam Mahdi, SH, M.H. dosen Pembimbing akademik Penulis yang telah memeberikan dukungan, semangat dan motivasi.
ix
8. Kepada Kedua Orang Tuaku Tercinta yang selalu mendo‟akan untuk kesuksesanku.
9. Bapak dan Ibu Dosen fakultas syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu yang telah mengajar dan memberikan berbagai ilmunya dengan penuh keikhlasan.
10. Staf dan Karyawan fakultas syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu yang telah memberikan Pelayanan dengan baik dalam hal administrasi.
11. Semua Pihak yang telah berkontribusi nyata dalam penulisan ini.
Penulis menyadari, dalam penyusunan proposal ini, tentu tidak luput dari kekhilafan dan kekurangan dari berbagai sisi. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini ke depan.
Bengkulu,...M Penulis
Septi Listiani NIM. 1611150029
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Error! Bookmark not defined. PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. SURAT PERNYATAAN ... Error! Bookmark not defined. MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... ii
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Kegunaan Penelitian ... 9
1. Secara Teoritis ... 9
2. Secara Praktis ... 9
E. Penelitian Terdahulu ... 10
F. Metode Penelitian ... 12
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 12
2. Sumber Bahan Hukum ... 14
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II KAJIAN TEORI ... 17
A. Teori Kewenangan ... 17
1. Pengertian Kewenangan ... 17
2. Jenis-Jenis Kewenangan ... 19
3. Sumber-Sumber Kewenangan ... 20
4. Sifat Kewenangan ... 21
B. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ... 22
1. Pengertian Pembentukn Peraturan Perundang-Undangan ... 22
2. Jenis dan Karakteristik Peraturan Perundang-Undangan ... 24
3. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan ... 26
4. Fungsi Peraturan Perundang-undangan ... 28
5. Tahapan Proses Pembentukan Undang-undang ... 31
6. Sistematika dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan . 34 C. Siyasah Dusturiyah ... 42
1. Pengertian Siyasah Dusturiyah ... 42
2. Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah ... 44
3. Konsep Negara Hukum Dalam Siyasah Dusturiyah... 49
xi
D. Dasar Hukum Tentang Pembuatan Surat Edaran ... 54
BAB III PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 57
A. Kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu No. 800/31/B.III/2019 ... 58
1. Landasan Penerbitan ... 58
2. Kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu dalam sistem Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ... 65
B. Substansi Surat Edaran Walikota Bengkulu No. ... 73
C. Kajian Siyasah Dusturiyah Terhadap Proses Penerbitan Surat Edaran .... 87
1. Kewenangan Penerbitan Surat Edaran dalam Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah ... 87
2. Pembentukan Surat Edaran dalam Siyasah Tashri‟iyah ... 89
BAB IV PENUTUP ... 92
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
BUKU-BUKU ... 94
PERUNDANG-UNDANGAN ... 95
JURNAL ... 96
INTERNET ... 97
LAMPIRAN ... 98
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum yang tercantum dengan tegas dalam rumusan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.1 Dalam prinsipnya dapat dipahami bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan berdasarkan atas Hukum “rechsstaat” tidak berdasarkan kekuasaan belaka “machtsstaat”. Dalam konsep Negara Hukum itu diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.2
Cita-cita negara hukum sejatinya ialah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak bergulirnya kemerdekaan. Konsep negara hukum pasti menjadi panglima dalam kehidupan bernegara, hal ini menyiratkan bahwa eksistensi Peraturan Perundang-Undangan menjadi salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan berdasar atas hukum. Hal tersebut berdasar atas pelopor ide negara hukum, Friedrich Julius stahl. Iya berpendapat bahwa unsur utama negara hukum ada 4, yaitu :3
1) Perlindungan terhadap hak asasi manusia 2) Pemisahan kekuasaan
1Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), h. 45
3Hotma P Sibuea, “Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik”, (Jakatra: Penerbit Erlangga, 2010), h.29
3) Penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur)
4) Adanya peradilan administrasi yang peradilan sendiri.
Peraturan Perundang-Undangan merupakan elemen pokok dalam suatu sistem hukum nasional. Sebagai suatu sistem kaidah aturan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hirarkis, berpuncak pada konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, sesuai dengan asas “lex superior derogat legi inferiori”. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah Pembuatan Peraturan Perundang- Undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau penetapan, dan pengundangan.4 Peraturan Perundang- Undangan memuat aturan dan mekanisme hubungan antar warga negara, dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah), dan antar lembaga negara.5
Di dalam ilmu Perundang-Undangan dikenal adanya teori hirarki.
Teori hirarki adalah merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum disusun secara berjenjang. Dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga. Di Indonesia rantai norma hukum ini di aktualisasikan ke dalam hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana di atur didalam Undang- Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
4Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
5Laurensius Arliman S, “Ilmu Perundang-Undangan Yang Baik Untuk Negara Indonesia”, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), h.1
3
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Kemudian, Pasal 7 Ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 menentukan bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Ini berarti bahwa Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945 dijadikan norma dasar. Selanjutnya Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjadi dasar pembuatan dan penyusunan peraturan di Indonesia.6 Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang No.
12 tahun 2011 mengatur sebagai berikut : a. Undang-Undang
b. Peraturan Daerah Provinsi atau c. Peraturan daerah Kabupaten/Kota
Kemudian berdasarkan Lampiran II Bab I huruf C.3 angka 112 UU No. 12 tahun 2011 ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma Larangan atau Norma Perintah.7
Di dalam Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dari peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Peraturan Daerah meliputi :
6Ida Zuraidah, “Teknik Penyusunan Peraturan Daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah”, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), cetakan k-3, h. 15-16
7Yuliandri, “apakah materi muatan perpu sama dengan undang-undang”, Https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5cad588c33712/apakah-materi-muatan- perppu-sama-dengan-undang-undang/ (diakses pada tanggal 15 januari 2020) pukul 13:20
1. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Gubernur).
2. Peraturan daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota 3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, ditetapkan oleh kepala
desa dan BPD dalam rencana kerja pemerintah desa.8
Sedangkan Pembentukan Peraturan Daerah, menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2014 pasal 237 antara lain sebagai berikut :
1. Asas pembentukan dan materi muatan perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip NKRI.
2. Pembentukan perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan dan pengundangan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan.
3. Masyarakat berhak memberikan masukkan secara lisan dan/
tertulis dalam pembuatan perda.
4. Pembentukan perda sebagaimana dimaksud dilakukan secara efisien dan efektif.9
Kewenangan pembentukan Perda merupakan salah satu wujud kemandirian daerah dalam mengatur urusan rumah tangga daerah atau urusan Pemerintah Daerah. Salah satunya seperti pembuatan peraturan daerah Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh Bupati/Walikota bersama DPRD Kabupaten/Kota. Bukan hanya kewenangan saja yang masuk kedalam Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Kepala Daerah juga termasuk kedalam Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah “mencakup peraturan yang ditetapkan” harus digaris bawahi berarti peraturan adalah masuk kedalam jenis Peraturan Perundang-Undangan.10
8PERMENDAGRI No.111 tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa
9Pasal 237, Undang-Undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
10Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
5
Bertitik pada hal tersebut, maka Walikota diberi kewenangan untuk membuat Surat Edaran. Walikota sudah lazim mengeluarkan Surat Edaran sepanjang perjalanan, eksistensi Surat Edaran Walikota dalam ketatanegaraan Indonesia, nyaris tidak banyak yang mempermasalahkan kewenangannya, namun reaksi berbeda justru muncul ketika walikota Bengkulu pada bulan November 2019 yang tidak tercantum tanggalnya, yang mengatur tentang himbauan larangan perceraian bagi ASN, PTT, dan Masyarakat kota Bengkulu dan menerapkan Sanksi di dalamnnya. Surat Edaran tersebut tak pelak banyak terjadi pro dan kontra, karena Surat Edaran yang dikeluarkan Walikota itu atas dasar keresahannya terhadap tingkat perceraian dikalangan ASN, namun pembahasan masalah perceraian bukanlah ranah dari Walikota, jika mengacu pada peraturan khusus untuk ASN itu sudah ada Peraturan Pemerintah tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 dan Nomor 48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 jo Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Isi Surat Edaran Nomor : 800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian yaitu sebagai berikut:
Mengingat saat ini tingginya tingkat perceraian dikalangan aparatur sipil negara (ASN) dilingkungan pemerintah kota Bengkulu yang mengakibatkan kurangnya perhatian dan kasih sayang terhadap anak- anak dengan ini diminta perhatian saudara sebagai berikut:
1) Bahwa untuk selalu menjaga, membina keluarga dan menghidupkan suasana agama didalam rumah tangga sehingga akan terwujud keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah
2) Bahwa pejabat Eslon II, III, IV seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Tidak Tetap (PTT)dilingkungan pemerintah kota Bengkulu dan seluruh Masyarakat Kota Bengkulu dilarang cerai karena cerai itu membawa kebencian Allah SWT cerai itu menyusahkan anak-anak, cerai itu menyusahkan keluarga, cerai itu menyusahkan bangsa dan negara.
3) Bahwa bagi pejabat yang masih melakukan tindakan percerai tanpa ada proses mediasi dari pemerintah maka pejabat yang bersangkutan akan dikenakan sanksi begitu pun seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), dan Pegawai Tidak Tetap (PTT).
4) Bahwa bila mana setelah dilakukan mediasi masih juga mau cerai maka perceraian itu dibolehkan ketika laki-laki senyum , wanita senyum anak-anaknya senyum, keluarga senyum artinya perceraian itu membawa kepada kebaikan.
Berdasarkan surat edaran sebagaimana tersebut di atas, dapat dipahami bahwa begitu pentingnya Pemerintah kota Bengkulu untuk ikut campur mengenai urusan perceraian yang terjadi dikota Bengkulu sehingga dapat mengukuhkan urgensi penerbitan dan eksistensi Surat Edaran yang dibuat oleh Walikota Bengkulu tersebut. Surat Edaran Nomor : 800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian yang memuat Larangan dan Sanksi memunculkan persoalan hakiki yang memuat tanda tanya di mana posisi Surat Edaran Walikota Bengkulu? Dan sejauh mana batasan Materi yang dapat di atur oleh Surat Edaran Walikota Bengkulu? mengacu pada Undang-undang No. 12 tahun 2011 bahwa Norma Larangan dan Sanksi hanya terdapat didalam ketentuan pidana.
Permendagri Nomor 55 tahun 2010 tentang Naskah Dinas Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri, menyebutkan bahwa:
7
“Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak”.
Menurut Bayu Dwi Anggoro:
“Surat Edaran bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan (Reggeling), bukan pula keputusan tata usaha negara (beschikking) melainkan sebuah peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan ialah produk hukum yang isinya secara materil mengikat secara umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan karena ketiadaan wewenang pembentukannya untuk membentuknya sebagai Peraturan Perundang-Undangan”`11
Selain itu, dalam fiqih siyasah terdapat salah satu cabang siyasah yang membahas mengenai pembentukan perundang-undangan. Siyasah Wadl’iyah adalah peraturan perundangundangan yang dibuat oleh manusia atau lembaga negara yang berwenang yang digali dan bersumber pada manusia sendiri dan lingkungannya, seperti pendapat para pakar, al-urf, adat, pengalaman-pengalaman dan aturan-aturan terdahulu. Menurut Abd. Salam, dalam padangan Islam, hukum yang dibuat oleh penguasa yang digali dari nilainilai budaya yang bersumber dari lingkungan masyarakat yang disebut siyasah wadl’iyah itupun harus diterima, nilainya sama dengan siyasah syar’iyah, selama siyasah wadl’iyah itu sejalan dan atau tidak bertentangan dengan prinsip prinsip umum syari‟at. Karena hal yang demikian ini juga merupakan perintah agama (syariat).12
Surat Edaran Walikota Bengkulu nomor 800/31B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian ditinjau berdasarkan kajian Siyasah
11http://www.hukumonline.com/ berita/ baca/ 1t54b1f62361f81/ surat- edaran- kerikil dalam - perundang- undangan, di akses pada tanggal, 16 Mei 2020, pukul 13:00 WIB
12M. Muhtarom, “kedudukan peraturan perundang-undangan negara dalam institusi hukum islam karya drs. H. Abd. Salam, s.h.m.h”, Jurnal SUHUF, Vol. 27, No. 1, Mei 2015:
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, h. 22-37
Dusturiyah, maka hal tersebut diklasifikasikan atau termasuk ke dalam lingkup kajian tentang siyasah syari’yah dan siyasah wadl’iyah. di mana kewenangan untuk menerbitkan Surat Edaran tersebut menjadi kewenangan lembaga Ahlul HalliWall Aqdi atau juga bisa di terbitkan oleh kepala pemerintahan yang dalam hal ini adalah seorang khalifah. Akan tetapi untuk lebih jelas memahami mengenai bagaimana kedudukan dan mekanisme penerbitan Surat Edaran berdasarkan kajian Siyasah Dusturiyah maka perlu dilakukan kajian secara lebih spesifik dan sistematis.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang penulis dengan judul “Analisis Yuridis Kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu No.800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian Perspektif Siyasah Dusturiyah”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang akan menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas didalam rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu di dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
2. Apakah Surat Edaran Walikota Bengkulu boleh memuat Sanksi dan Larangan di dalam pembentukan peraturan Perundang-undangan ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
9
1. Untuk mengetahui kedudukan Surat Edaran Walikota Bengkulu di dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui bolehkah Surat Edaran Walikota Bengkulu memuat ketentuan Sanksi dan larangan di dalam Pembentukan Peratuuran Perundang-Undangan.
D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis
a. Diharapkan dapat dijadikan sebagai literasi dan referensi bagi akademis, dalam rangka pembangunan Ilmu Hukum Tata Negara.
b. Menambah pengetahuan dan menunjang ilmu bagi penulis khususnya di bidang ilmu Hukum Tata Negara.
2. Secara Praktis
a. Sebagai salah satu syarat penulis mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Institut Agama Islam Negeri Bengkulu.
b. Memberikan inforemasi kepada masyarakat dan kalangan akademis khususnya mahasiswa fakultas Syari‟ah mengenai Surat Edaran Walikota Bengkulu tentang Himbauan Larangan Perceraian bagi ASN, PTT, dan Masyarakat kota Bengkulu.
c. Menjadi salah satu referensi bagi pembangunan dan pengetahuan kepada praktisis akademisi hukum tentang Sanksi dan Larangan Ditinjau Dari Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
d. Menjadi pedoman dan kerangka acuan bagi penlitian yang akan datang yang berhubungan dengan tema yang di bahas.
E. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran dan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, hingga saat ini ada namun jarang ditemukan penelitian ini, tulisan, maupun karya ilmiah yang membahas tentang Surat Edaran Walikota. Namun ada perbedaan dalam isi surat edaran tersebut. Untuk mengetahui penulis dalam melakukan penelitian, maka perlu dilakukan tinjauan pada penelitian yang telah ada dan berkaitan dengan objek bahasan.
Pertama, Skripsi yang disusun oleh Icha Satriani dengan judul kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung. Skripsi tersebut membahas tentang dimana posisi Surat Edaran Mahkamah Agung dan bagaiamana mekanisme pengujian surat edaran Mahkamah Agung ? persamaan penelitian terdahulu dengan yang sekarang terletak pada kedudukan surat edarannya, sedangkan perbedaannya terletak pada kajiannya, karena penelitian terdahulu mengkaji Surat Edaran Mahkamah Agung sedangkan penelitian saya Surat Edaran Walikota Bengkulu, kemudian terletak pada pengajuan mekanisme pengujian surat edaran mahkamah agung pada penelitian terdahulu sedangkan penelitian saya isi muatan dari surat edaran tersebut. Selanjutnya penelitian terdahulu membahas dasar pembentukan surat edaran Mahkamah Agung sedangkan saya tidak membahasnya. 13
Kedua, Skripsi yang di susun oleh Wiwit Sugiarti yang berjudul tentang Analisis surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor:
SE/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian. Yang membahas tentang
13Icha Satriani, “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung, (Skripsi Makassar:
Universitas Hasanuddin, 2015)
11
surat edaran di dalam hirarki perundang-undangan, kemudian faktor-faktor penyebab terbitnya surat edaran Kapolri.14 Persamaan dalam penelitian saya dan penelitian terdahulu terletak pada permasalahan hirarki peraturan perundang-undangan, sedangkan perbedaanya terdapat pada kajian surat edarannya penelitian terdahulu mengkaji surat edaran kapolri saya surat edaran walikota Bengkulu, kalau penelitian terdahulu faktor-faktor terbitnya surat edaran tersebut sedangkan saya muatan materi dalam surat edaran tersebut.
Ketiga, skripsi yang disusun oleh Josua Elie Tampubolon yang berjudul Implementasi Kebijakan Surat Edaran Walikota tentang kedisiplinan PNS dilingkungan pemerintah kota Bandar Lampung. Yang membahas tentang komunikasi, disposisi, serta struktur birokrasi yang berkenaan dengan kebijakan Walikota dan membahas kebijakan Walikota tersebut.15 Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis terletak pada kajian surat edarannya, akan tetapi perbedaan penelitian terdahulu dengan yang penulis teliti adalah tentang kedudukan surat edaran dalam hirarki perundang- undangan, kemudian di dalam isi surat edaran, dan menyinggung tentang faktor penyebab walikota mengelurkan surat edaran tersebut. Sedangkan penelitian terdahulu diatas lebih cenderung kepada pengimplementasiannya.
14Wiwit Sugiarti, Analisis surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor:
SE/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian. (Skripsi:Jakarta, 2017).
15Josua Elie Tampubolon “Implementasi Kebijakan Surat Edaran Walikota tentang kedisiplinan PNS dilingkungan pemerintah kota Bandar Lampung” (Skripsi Bandar Lampung ; 2018).
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Menurut Soekanto menyatakan bahwa “peneitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisanya.16 Jenis dalam penelitian hukum adalah penelitian normatif atau doktrinal. Penelitian normatif atau penelitian doktrinal yang juga penelitian pustaka atau studi dokumen sebab penelitian ini dikerjakan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan hukum lainnya.17 Metode penelitian yang yang dipakai dalam penelitian ini:
a. Jenis Penelitian
Pada intinya penelitian yang digunakan dengan cara penelitian bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian yang ditulis dilakukan adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif atau yang biasa disebut penelitian pustaka (library reaserch).18
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, Permendagri No. 54 tahun 2009 tentang tata naskah dinas di lingkungan pemerintah Daerah. ,Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat
16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitia Hukum, (Jakarta : UI Press, 2012), cetakan ke-3, h. 42
17Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cetakan ke-8, h.14.
18Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum, (rev.ed), (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), h.35.
13
(3), Peraturan Walikota Bengkulu No.4 tahun 2018 Pola Hubungan Kerja, Jalur Koordinasi, Harmonisasi, Sinkronisasi Dan Konsultasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Bengkulu, Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian adalah cara berpikir yang akan digunakan peneliti tentang bagaimana penelitian dilakukan. Sebagaimana dikatakan oleh Piter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian hukum.19 Bahwa dalam penelitian hukum pendekatan yang digunakan antara lain adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan kasus
2) Pendekatan perundang-undangan 3) Pendekatan komseptual
4) Pendekatan perbandingan 5) Dan pendekatan historis
Dalam penelitian ini, pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan.
Pendekatan perundang-undangan penulis gunakan dalam rangka menganalisis semua ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Sedangkan pendekatan perbandingan penulis lakukan dalam rangka membandingkan peraturan erundang-undangan dengan tema tersebut dengan sistem pemebntukan peraturan berdasarkan kajian Siyasah Dusturiyah dalam sistem ketatanegaraan islam.
19Piter Mahmud Marzuki, “penelitian hukum, (Rev.ed), (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), h.133.
2. Sumber Bahan Hukum
Menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa,
“Penelitian hukum normatif tidak ada namanya mengenal data.
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus persepsi mengenai apa yang diperlukan sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dibedakan menjadi sumber penelitian berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.20
Dalam penyusunan dan memperoleh data yang akurat, relevan dan dapat di pertanggung jawabkan, jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi tiga yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.
Sumber hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas Peraturan Perundang-Undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki Perundang-Undangan, catatan resmi, risalah dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Dan Putusan Hakim. Kemudian juga buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi iniDalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan ialah :
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) ndang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
4) PERMENDAGRI No. 54 tahun 2009 tentang tata naskah dinas di lingkungan pemerintah Daerah.
5) Peraturan Walikota Bengkulu No. 4 tahun 2018 Pola Hubungan Kerja, Jalur Koordinasi, Harmonisasi, Sinkronisasi Dan
20Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum...,h.181.
15
Konsultasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Bengkulu.
6) Surat Edaran Walikota Bengkulu No.800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian bagi ASN,PTT, dan Masyarakat kota Bengkulu
7) Buku-buku ilmiah dibidang hukum 8) Makalah-makalah
9) Jurnal ilmiah 10) Artikel ilmiah
11) Situs internet yang berkaitan dengan yang dikaji 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum
a. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksud untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpula bahan hukum yang berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan) studi dokumen merupakan suatu langkah untuk mengumpulkan bahan hukum tertulis dengan menggunakan Analisis (content Analisys).21
b. Teknik Analisis Bahan Hukum
Menurut Piter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon memaparkan metode induktif sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode induktif berawal dari pengajuan premis minior (pernyataan yang bersifat khusus). Lalu dijadikan premis mayor (bersifat umum), dari premis kedua itu tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.22
21Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum...,h.21.
22Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum...,h.47.
Teknik analisisis data menggunakan logika induktif, logika induktif atau penggelolaan bahan hukum dengan cara induktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat khusus kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih analisis dilakukan dengan melakukan telaah kepada kasus yang umum. Berkaitan dengan isu yang dibahas.
G. Sistematika Penulisan
Rencana Outline adalah pola dasar pembahasan proposal skripsi yang dibagi kedalam bentuk bab-bab dan sub bab-sub bab yang secara logis saling berhubungan. Sesuai dengan permasalahannya:
Bab I : Pendahuluan, dalam hal ini penulis akan menguraikan tentang:
Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, penelitian Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II : Kajian Teori, di dalam bab ini penulis membahas secara terperinci tentang teori- teori yang penulis gunakan yaitu teori kewenangan, teori Peraturan perundang-undangan, dan Siyasah Dusturiyah.
Bab III : Pembahasan Surat Edaran Walikota Bengkulu No.800/31/B.III/2019 Tentang Himbauan Larangan Perceraian, Mekanisme dan Sistematika Pembentukan, Materi Muatan/substansi, Kajian siyasah dusturiyah terhadap Penerbitan Surat Edaran Walikota.
BAB IV : Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.
Daftar pustaka Lampiran-lampiran
17 BAB II KAJIAN TEORI
A. Teori Kewenangan
1. Pengertian Kewenangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan yang artinya adalah sebagai hak kekuasaan unutuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, Pemerintahan dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain/ badan lainnya.23
Menurut pendapat dari H.D Stout:
“Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan yang berkenaan dengan penggunaan atau perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.24
Teori kewenangan berasal dari dua suku kata yaitu teori dan kewenangan, sebelum dijelaskan teori kewenangan tersebut berikut adalah konsep teoritis tentang teori kewenangan H.D Stoud, seperti dikutip dari Ridwan HR, menyajikan pengertian kewenangan ialah keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.25 Ada dua unsur yang terdapat didalam pengertian konsep kewenangan yang di buat oleh H.D Stoud, ialah :
23Kamal Hidjaz, “Efektifitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”, (Makassar: Pustaka Refleksi, 2010), h.35.
24Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 71.
25Ridwan HR, “ Hukum Administrasi Negara,,,h.110
a. Adanya aturan-aturan hukum b. Sifat hubungan hukum
Sebelum kewenangan itu dilimpahkan kepada institusi yang melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan, apakah dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun aturan yang lebih rendah tingkatnya. Sifat hubungan hukum ialah sifat yang berkaitan dan mempunyai sangkut paut dan ikatan atau pertalian yang berkaitan dengan hukum. Hubungan hukumnya ada yang bersifat publik dan ada yang bersifat privat.
Ateng Syarifudin menyajikan pengertian kewenangan dan mengemukakannya bahwa :
“Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.
Kewenangan adalah apa yang disebut dengan kekuasaan formal, kekuasaan yang diberikan dari undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu kewenangan saja.
Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintah, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi liputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya diterapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan”.26
Menurut pendapat Bagir Manan:
“Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan, kekuasaan hanyalah menggambarkan hak untuk berbuat dan hak untuk tidak berbuat, wewenang sekaligus yang artinya hak dan kewajiban”.27
26Ateng Syafrudin, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Bersih Dan Bertanggung Jawab”, jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), h.22
27Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, (Bandar Lampung: Universitas Bandar Lampung, 2009), h. 26.
19
Pada hakikatnya kewenangan merupakan kekuasaan yang diberikan kepada alat-alat perlengkapan negara untuk menjalankan roda pemerintahan.
Teori kewenangan (authorty theory) merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang “kekuasaan dari organ pemerintahan untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat”.28
2. Jenis-Jenis Kewenangan
Kewenangan dapat dibedakan menurut sumbernya, kepentingannya, teritoria, ruang lingkup, dan menurut urusan pemerintah.
Kewenangan menurut sumbernya dibedakan menjadi dua macam yaitu : a) Wewenang Personal
Wewenang personal ialah wewenang yang bersumber pada inteligensi, pangalaman, nilai, atau norma dan kesanggupan untuk memimpin.
b) Wewenang Ofisial
Wewenang Ofisional adalah wewenang resmi yang di terima dari wewenang yang berada di atasnya.
Fungsi-fungsi pemerintah yang menjadi hak dan kewajiban yang menjadi setiap tingkatan atau susunan pemerintah untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut menjadi kewenangan dalam rangka melindungi, dan mensejahterakan masyarakat.29
28Indrati, Maria Farida, “Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi, Muatan”, (Yogjakarta: Kanisius, 2007), h.67
29Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Perintah
3. Sumber-Sumber Kewenangan
Sebagaimana yang disampaikan oleh Indroharto dalam bukunya, mengemukakan bahwa:
“Wewenang diperoleh secara atribusi, mandat dan delegasi, yang masing-masing dijelaskan sebagai wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberitahuan wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pada delegasi terjadilah pelimpahan wewenang yang telah ada pada badan atau pejabat TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan TUN lainnya. Pada mandat disitu tidak terjadi pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari badan atau jabatan TUN yang satu kepada yang lain”.30
Berdasarkan penjelasan diatas, untuk memberi batasan pengertian kewenangan dalam ini, penulis menyampaikan bahwa kewenangan itu ialah kekuasaan dalam melaksanakan kewajiban ataupun tugas-tugas yang diemban pada seseorang atau suatu lembaga negara.
a. Atribusi
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, dalam tinjauan hukum tata negara, atribusi ini ditunjukkan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menjurus pada kewenangan asli atas dasar konstitusi UUD dan peraturan perundang-undangan.31
30Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Harapan, 1993), h.68.
31M. Jefri Arlinandes Chandra dan JT. Pareke, Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankkan di Indonesia Setelah Terbitnya UU No. 21 Tahun 2011 Tentang OJK, (Bengkulu: Zigie Utama, 2018), h. 60
21
b. Delegasi
Delegasi dalam istilah hukum ialah penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi. H.D. Van Wijk berpendapat bahwa pengertian dari delegasi adalah penyerahan wewenang pemerintah dari suatu badan atau pejabat pemerintahan kepada pejabat pemerintahan lainnya.32 Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu ke pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi.
c. Mandat
Dalam hukum administrasi negara mandat diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan atasan, kewenagan dapat diberikan sewaktu-waktu oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab. Pada mandat tidak terjadi pemindadan kewenangan tetapi memberi mandat untuk memberikan suatu putusan atas namanya.
Umumnya mandat diberikan dalam hubungan internal antara atasan dan bawahan.33
4. Sifat Kewenangan
Sifat kewenangan secara umum di bagi menjadi tiga macam yaitu, bersifat terikat, bersifat fakultatif (piihan), dan bersifat bersifat bebas.
Menurut Indroharto, kewenangan yang bersifat terikat terjadi apabila peraturan dasarnya menetukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana kewenangan tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit
32Asmaeny Aziz Izlindawati, Constitutional Complaint & Constitutional Question dalam Negara Hukum, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 51
33M. Jefri Arlinandes & JT. Pareke, “kewenangan bank...,” h.64.
banyak menetukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil. Pada kewenangan fakultatif apabila dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan kewenangannya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu. Dan selanjutnya kewenangan kebebasan ialah yang terjadi apabila peraturan dasarnyamemberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri isi dari keputusan yang akan dikeluarkan.
B. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
1. Pengertian Pembentukn Peraturan Perundang-Undangan
Apa yang dimaksud dalam Undang-Undang itu seluruh Peraturan Perundang-Undangan yang diakui didalam sistem hukum ketatanegaraan dan bukan hanya berupa undang-undang. Sedangkan dalam arti formil, Undang-Undang ialah keputusan tertulis yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, yang bersifat mengikat secara umum. Dalam konteks di negara Indonesia dalam sistem ketatanegaraannya, undang-undang dalam arti ini merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama Presiden.
Jadi yang di maksud undang-undang dari sudut pandang ini ialah hanya undang-undang saja. Bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan lainnya.
Seperti Peraturan Presiden, Peraturan Daerah dan sebagainya.34
Istilah Perundang-Undangan menutut S.J Fockema Andreae,35 :
34Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunannya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), h.40.
35I Gede Panjtja, Suprin Na‟a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, (bandung: PT. Alumni, 2008), h.14.
23
1) Perundang-Undangan merupakn proses pembentukan / proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
2) Peraturan Perundang-Undangan ialah segala peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan baik dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.
Jadi dari rumusan tersebut, menunjukkan bahwa dalam membahas perundang-undangan, selain mempersoalkan proses Pembentukan Peraturan-Peraturan Negara, juga kita melihat sisi hakikat segala peraturan negara yang di hasilkan melalui proses Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan , baik dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah.
Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar dalam bukunya Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan pengertian peraturan perundang-undangan sebagai
“Setiap putusan yang tertulis dibuat, ditetapkan, dan dikeluarkan, oleh sebuah lembaga atau pejabat negara yang mempunyai dan menjelmakan fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku”.36
Undang-Undang No.12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa :
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ialah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Dapat disimpulkan Bahwa Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan adalah serangkaian kegiatan pihak yang berwenang dengan kewenanangannya untuk memebentuk suatu produk hukum.
36Bagir Manan, Kunta magnar, “Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional” (Bandung: Armico, 1987), h.16
2. Jenis dan Karakteristik Peraturan Perundang-Undangan
Ada tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa dikenal Norm Control Mechanism. Ketiganya sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari sebuah proses pengambilan keputusan hukum, yaitu :37
a. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling).
b. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan admistrative (beschikking).
c. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa di sebut vonis.
Secara terminologi, norma hukum mengandung dua prihal, yaitu :38 1) Patokan penilaian
2) Patokan tingkah laku
Patokan penilaian maksudnya adalah merupakan hukum menilai kehidupan di masyarakat, dengan menyampaikan apa yang di anggap baik.
Dan penilaian itu kemudian, dibuat sebagai petunjuk tingkah laku dan perbuatan-perbuatan mana yang termasuk kedalam katagori mana yang harus di kerjakan dan mana yang harus di tinggalkan. Dan mana hukum yang kita pahami diartikan sebagai suatu perintah, maka kita hanya berfokus pada kandungan norma hukum yang terikat saja.
Menurut Achmad Ruslan, norma hukum yang tergolong dalam kategori peraturan perundang-undangan ialah norma hukum yang dapat memenuhi secara intergal sembilan karakteristik dasar sebagai berikut :39
37Jimly Asshiddiqie, “Hukum Acara Pegujian Undang-Undang”, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005), h.1
38Ahmad Ruslan, “Teori dan Panduan Praktik Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan di Indonesia”, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2011), h.38
25
1) Mengatur perilaku subyek hukum bersifat imperatif, yaitu hak, kewajiban, kewenangan, tugas, fungsi serta larangan, yang berimplikasi pada ancaman sanksi (perdata dan/atau administrasi) dan bersifat fakultatif ialah yang bersifat kebolehan/menambah.
2) Berlaku kedalam dan keluar dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia;
3) Bersifat mengikat ( mengikat umum dan/atau impersonal dari segi subyeknya);
4) Objek yang diaturnya bersifat abstrak dan konkrit
5) Melambangkan suatu tatanan nilai-nilai hukum tertentu yang bersifat intrinsik.
6) Menentukan dan memastikan segi waktu keberlakuannya, yang bersifat terus menerus atau untuk waktu tertentu saja tapi tidak einmaghlig;
7) Menentukan dan memastikan segi tempat berlakunya, yaitu bersifat teritorial.
8) Menentukan dan memastikan mekanisme atau prosedur pembentukannya sesuai dengan dasar pembentukannya yang didalamnya memuat pilar organ pelaksana/penegaknya.
9) Menentukan dan memastikan dasar validitasnya pembentukan dari norma hukum yang membentuknya (aspek hierarkis) serta dana penegaknya.
Kesembilan karakteristik diatas mutlak terpenuhi secara teoritis dalam sebuah norma hukum agar dapat di kualifikasikan Sebagai Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, Peraturan Perundang-Undangan dapat menjadi dasar teoritis membedakan suatu norma apakah terkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan ataukah bukan. Karena mengingat terdapat berbagai macam jenis norma hukum selain Peraturan Perundang- Undangan, Misalnya Putusan Hakim, Perbuatan Administrasi yang berkatagori keputusan administrasi negara (beschikking), norma hukum
39Ahmad Ruslan, “Teori dan Panduan Praktik...,45
yang berkatagori perbuatan keperdataan, perjanjian internasional yang belum diratifikasi menjadi undang-undang.40
Ditinjau dari aspek muatan Materinya, Peraturan Perundang- Undangan adalah bersifat mengatur (regeling) secara umum dan abstrak tidak konkrit maupun individual sepertikeputusan penetapan. Itu lah yang membedakan dengan keputusan penetapan dengan keputusan tertulis pejabat atau lingkungan yang berwenang yang bersifat individual dan konkret.
3. Hirarki Peraturan Perundang-Undangan
Hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia merujuk pada undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan pengganti dari undang-undang No.14 tahun 2004. Sebelum diatur dalam bentuk Undan-Undang, Hirarki Peraturan Perundang-Undangan mengacu pada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPR/MPRS).
Pertama, TAP MPRS NO. Xx/mprs/1966 Tentang memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI. Kedua, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan. Berikut ulasan evolusi hirarki Peraturan Perundang-undangan.
1) Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang momerandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undanganRI.
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
40Ahmad Ruslan, “Teori dan Panduan Praktik...,46
27
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang
d) Peraturan Pemerintah e) Keputusan Presiden dan;
f) Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya seperti Praturan Menteri, Instruksi Menteri dan lainnya.
2) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-undang
d) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang e) Peraturan Pemerintah
f) Keputusan Presiden g) Peraturan daerah
3) Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b) Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang
c) Peraturan Pemerintah d) Keputusan Presiden dan;
e) Peraturan Daerah
i. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan Gubernur.
ii. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
d) Peraturan Pemerintah e) Peraturan Presiden f) Peraturan Daerah Provinsi
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa hirarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dari tahun 1966 hingga tahun
2011 terjadi empat kali perubahan terhadap jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan yang ada di negara Indonesia ini. Hal ini sangat mendasar di dalam kehidupan dalam ketatanegaraan masyarakat Republik Indonesia.
4. Fungsi Peraturan Perundang-undangan
Mengenai fungsi Peraturan Perundang-Undangan dapat di bedakan menjadi dua yaitu :
a. Fungsi Internal
Fungsi Internal ialah fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sitem hukum, terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal. Peraturan Perundang-Undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum fungsi poembaharuan hukum, fungsi integrasi plularisme hukum, fungsi kepastian hukum. Peraturan perundsng- undangan menjalankan beberapa fungsi :41
1) Fungsi Penciptaan Hukum
Penciptaan Hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi).
Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang secara umum.
41http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/ilmuperundang-undangan. Diakses pada tanggal 16 Mei 2020 , Pukul 08.14 WIB
29
2) Fungsi Pembaharuan Hukum
Peraturan Perundang-Undangan tidak hanya melakukan fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang- undangan antara lain ialah dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia-Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat.
3) Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum
Pada saat ini masih berlaku berbagai sistem hukum yaitu : sistem hukum Kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama(khususnya Islam), sistem hukum nasional. Pluralisme yang masih berlaku pada saat ini merupakan sesuatu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Sistem hukum nasional ialah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut.
4) Fungsi Kepastian Hukum
Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupakan asas penting dalam tindakan hukum dan penegakkan hukum. Telah menjadi penegtahuan umum bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dari hukum kebiasaan, hukum adat, hukum yurisprudensi.
b. Fungsi eksternal
Fungsi Eksternal ialah keterkaitan dengan peraturan perrundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini juga dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi perubahan, fungsi stabilitas, fungsi kemudahan. Fungsi ini dapat berlaku juga pada hukum kebiasaan, hukum adat, hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia fungsi ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang- undangan, karena sebagai pertimbangan yang sudah disebutkan:
1) Fungsi Perubahan
Telah lama dikalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan.
Peraturan ini diciptakan untuk mendorong perubahan masyarakat dibidnag ekonomi, sosial, budaya, dan perkawinan.
2) Fungsi Stabilisasi
Peraturan Perundang-Undangan dapat pula menjadi stabilitas. Undang-Undang dibidang pidana, dibidang ketertiban dan keamanan ialah kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat. Selain itu fungsi stabilitasi juga dimaksudkan untuk mencipatakan keadaan stabil atau tertib di dalam masyarakat.
3) Fungsi kemudahan
Peraturan juga dapat menjadi saran kemudahan peraturan yang intensif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan.
31
5. Tahapan Proses Pembentukan Undang-undang
Secara garis besar tahan Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan terbagi menjadi 5 tahap, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
a. Perencanaan
Perencanaan ialah dimana DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun kedepan.
Proses ini umumnya dikenal sebagai penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Hasil pembahasan tersebut kemudian dituangkan dengan keputusan DPR. Ada dua jenis prolegnas yakni yang disusun dalam jangka waktu 5 tahun (prolegnas jangka menengah/proleg JM) dan tahunan (prolegnas prioritas tahunan/proleg PT) sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam prolegnas tahunan, DPR/pemerintah terlebih dahulu sudah harus menyusun naskah akademik dan RUU tersebut.
Namun proglenas bukanlah satu-satunya acuan dalam perencanaan pembentukan UU. Secara umum ada 5 tahap yang dilalui dalam penyusunan prolegnas:
1) Tahap pengumpulan masukkan 2) Tahap pejaringan masukkan 3) Tahap penetapan awal 4) Tahap pembahasan bersama 5) Tahap penetapan prolegnas
Tahap perencanaan pada hakikatnya merupakan tahapan yang paling penting dalam pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan. Karena pada tahap ini ditentukan bagaimana mengenai tahap selanjutnya.
b. Penyusunan
Tahap penyusunan RUU merupakan tahap penyiapan sebelum sebuah RUU dibahas bersama DPR dan pemerintah. Tahap ini terdiri dari:
1) Pembuatan naskah akademik
2) Penyusunan perancangan Undang-undang
3) Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsep
Naskah akademik ialah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Penyusunan RUU ialah pembuatan rancangan peraturan pasal demi pasal dengan mengikuti ketentuan dalam lampiran II uu 12/11. Harmonisasi pembulatan, dan pemantapan konsepsi adalah suatu tahapan:
1) Memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan;
2) Pancasila, UUD NRI 1945, dan UU lainnya
3) Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
4) Menghasilkan kesepaakatan terhadap substansi yang diatur RUU.
c. Pembahasan
Pembahasan materi RUU antara DPR dan presiden (juga dengan DPD, khusus untuk topik tertentu) melalui 2 tingkat pembicaraan, tingkat 1 ialah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitia khusus. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat paripurna. Pengaturan sebelum adanya
33
keputusan MK 92/2012 hanya “mengijinkan” DPD untuk ikut serta dalam pembahasan tingkat 2. Namun peran DPD tidak sampai ikut memberikan persetujuan terhadap suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap sesuatu RUU tetapi menjadi kewenangan presiden dan DPR.
Apa yang terjadi pada tahap pembahasan ialah saling keritik terhadap RUU, jika RUU tersebut berasal dari presiden maka DPR dan DPD yang akan memberikan pendapat dan masukkan. Jika pendapat itu dari DPR maka presiden dan DPR yang memberikan masukkan, jika RUU tersebut berasal dari DPD maka yang memberikan masukkan ialah DPR dan presiden.
d. Pengesahan
Setelah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait RUU yang dibahas bersama, presiden mengesahkan RUU tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan pada naskah RUU. Penanda tanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui oleh presiden.
Oleh karena itu, Jika presiden tidak menandatangani Rancangan Undang-Undang tersebut sesuai dengan waktu yang ditetapkan maka Rancangan Undang-Undang tersebut otomatis menjadi Undang-Undang wajib untuk diundangkan. Segera setelah presiden menandatangani sebuah RUU menteri sekertaris negara memberikan nomor dan tahun pada Undang-Undang tersebut.
e. Pengundangan
Pengundangan ialah penempatan UU yang telah disahkan ke dalam lembaran negara(LN), yakni untuk batang tubuh UU, dan tambahan lembar negara(TLN) yakni untuk memperjelas UU dan lampirannya. Jika ada LN sebelum sebuah UU ditempatkan dalam LN dan TLN, menteri hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan tanda tanggan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU. Tujuann dari pengundangan ini ialah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan mengikat mereka.42
6. Sistematika dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2011tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yakni dlam pasal 64 ditegaskan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa: “penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan”.
Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud, tercantum secara tegas dan terperinci diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang tersebut. Sistematika setiap Peraturan Perundang-Undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun
42http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnaspengantarhtml diakses pada tanggal 16 Mei 2020, pukul 09.40 WIB