• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS SEJARAH INDONESIA

N/A
N/A
Ginting 271

Academic year: 2024

Membagikan "TUGAS SEJARAH INDONESIA "

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

DISUSUN OLEH :

NAMA : SALSABILLA ISLAMIAH

KELAS : XI IPA 1

MATA PELAJARAN : SEJARAH INDONESIA GURU PEMBIMBING : NELLY WATIE, SPd.M.Si

NIP : 197002072007012005

SMA NEGERI 12 PALEMBANG TAHUN AJARAN 2021-2022

KATA PENGANTAR

TUGAS

SEJARAH INDONESIA

(2)

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin- nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh ummatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah indonesia yaitu “Perang melawan kolonialisme”.

saya mengucapkan terimakasih kepada ibu NELLY WATIE, SPd.M.Si.

selaku guru mata pelajaran sejarah indonesia yang telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya memperoleh banyak manfaat setelah menyusun makalah ini.

Akhirul kalam, Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Karena itu saya mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi perbaikan makalah di masa mendatang. Harapan saya semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi harapan berbagai pihak.

Demikian makalah ini saya susun, semoga bisa memberikan manfaat kepada pembaca.

Palembang, 30 November 2021

DAFTAR ISI

(3)

COVER……… ………i

KATA PENGANTAR……….ii

DAFTAR ISI………...………iii

BAB I PENDAHULUAN….………..1

A. Latar Belakang……… ..1

B. Rumusan masalah……… …..1

C. Tujuan……… …2 BAB II PEMBAHASAN……….……….………..3

1.1. Perlawanan Aceh kepada Portugis..……… . ………..3

1.2. Perlawanan Demak kepada Portugis…..……. ………6

1.3. Perlawanan Rakyat Ternate kepada Portugis…..……… ………..10

2.1. Perlawanan Rakyat Maluku kepada VOC……….. ……… .….13

2.2. Perlawanan Sultan Agung Raja mataram kepada VOC ..………..17

2.3. Perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said…………. ………...21

3.1. Peperangan Aceh Melawan Belanda……… ……….…26

3.2. Peperangan Patimura melawan Belanda…………. ………..32

3.3. Peperangan Paderi Melaawan Belanda……… ……….36

3.4. Peperangan Diponegoro Melawan Belanda………. …….40

3.5. Peperangan Bali Melawan Belanda………… ………..44

3.6. Peperangan Banjar melawan Belanda……….. ……….47

3.7. Peperangan Batak Melawan Belanda……… …51

(4)

A.LATAR BELAKANG

Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah, khususnya para penjajah Belanda.

Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang- wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.

Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.

Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi

(5)

yang masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.

B. RUMUSAN MASALAH

1) Memahami perang Indonesia melawan Bangsa Portugis 2) Memahami perang Indonesia melawan VOC

3) Memahami perang Indonesia melawan Belanda C. TUJUAN

1) Untuk Mengetahui peperangan Indonesia melawan Portugis 2) Untuk mengetahui peperangan Indonesia melawan VOC 3) Untuk mengetahui peperangan Indonesia melawan Belanda

(6)

1.PORTUGIS

1.1Perlawanan Aceh

Sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis sudah terjadi sejak abad ke-14 Masehi. Kronologi awalnya, kala itu Aceh menjadi tujuan perdagangan ketika Portugis menguasai Malaka pada 1511 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Portugis merupakan salah satu bangsa Eropa, selain Spanyol, pertama yang melakukan penjelajahan samudera dengan misi 3G, yakni Gold (kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (penyebaran agama).

1

.

Latar Belakang terjadinya perlawanan Aceh terhadap Portugis

Karena rakyat Aceh menganggap Portugis sebagai saingan mereka khususnya di dalam perihal perdagangan di kawasan sekitar Selat Malaka.dan karena Portugis ingin menyebarkan agama Katholik di wilayah Aceh. Ingin menyebarkan agama Katholik di wilayah Aceh sangat tidak bisa diterima oleh masyarakat Aceh. Hal tersebut dikarenakan Aceh merupakan sebuah kerajaan Islam rakyat Aceh ingin sekali mematahkan kekuatan Portugis di daerah Asia Tenggara.

Bumi Serambi Mekkah yang kala itu merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam memiliki bandar perdagangan yang ramai, bahkan bersaing dengan Malaka. Portugis menganggap Kesultanan Aceh Darussalam sebagai ancaman terhadap posisi mereka di Malaka. Maka, pada 1523 Portugis menyerang Aceh. Dikutip dari buku Perlawanan Tokoh-tokoh Masyarakat Aceh Terhadap Rezim Kolonial Belanda (2002), serangan tersebut dapat dipatahkan.

(7)

Penyebab Perlawanan Aceh Terhadap Portugis Selama bertahun-tahun lamanya, Portugis menjadi musuh Kesultanan Aceh Darussalam yang saat itu dipimpin Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Penyebab terjadinya perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis adalah sebagai berikut: Ambisi Portugis yang ingin memonopoli perdagangan di wilayah Aceh. Portugis melarang orang-orang Aceh berlayar untuk berdagang melewati Laut Merah.

Penangkapan kapal-kapal Aceh oleh Portugis. Portugis memburu kapal-kapak dagang Aceh di Laut Merah pada 1524-1525. Beberapa kapal Aceh tersebut ditangkap Portugis dan semakin memicu kemarahan rakyat Aceh. Sebagai upaya pertahanan diri kapal-kapal dagang Aceh, dikutip dari buku Sejarah Indonesia Kelas XI (2014), berikut ini langkah-langkah yang dilakukan:

Melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan seperti meriam dan menempatkan prajurit untuk pengawalan. Mendatangkan bantuan persenjataan, tentara, dan tenaga-tenaga ahli dari Turki. Mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut (India) dan Jepara. . Pada 1568, pasukan Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Portugis di Malaka pada. Namun, serangan ini gagal lantaran kekutan militer Portugis lebih tangguh. Setahun kemudian, gantian Portugis menyerang Aceh namun dapat digagalkan pasukan Aceh. Kesultanan Aceh Darussalam beserta rakyatnya terus melakukan perlawanan kepada Portugis yang memonopoli perdagangan dan pelayaran

2.Kronologi Perlawanan di Era Sultan Iskandar Muda

Rakyat Aceh kembali menyerang Portugis pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Serangan di tahun 1629 itu mampu membuat Portugisdi Malaka kewalahan. Kesultanan Aceh Darussalam mempersiapkan armada laut yang memiliki kapasitas mengangkut prajurit sampai 800 orang. Armada.

Kesultanan Aceh merapat di Sumatera Timur dan Sumatera Barat saat melakukan serangan ke Malaka.

Kendati semua kekuatan telah dilancarkan, namun serangan ini belum mampu mengusir Portugis. Aceh

(8)

tidak hanya melakukan serangan fisik. Sultan Iskandar Muda juga melakukan blokade perdagangan agar kekuatan Portugis di Malaka goyah karena ketiadaan barang yang bisa dibawa ke Eropa. Hanya saja, rencana ini terkendala dengan adanya beberapa raja kecil yang tetap berdagang dengan Portugis. Mereka melakukan itu dengan diam-diam karena memerlukan uang. Lantaran kebijakan blokade tidak berhasil sepenuhnya, maka Kesultanan Aceh Darussalam melakukan langkah-langkah lanjutan, yakni: Aceh menjalin hubungan dengan Turki, Persia, dan Gujarat (India). Aceh memperoleh bantuan yaitu kapal, prajurit, dan makanan dari komunitas muslim di Jawa. Kapal-kapal dagang Aceh dilengkapi persenjataan yang memadai dan prajurit tangguh.

Meningkatkan kerja sama dengan Kesultanan Demak di Jawa dan Kesultanan Gowa di Makassar. Sebenarnya tidak ada pemenang dalam pertikaian antara Aceh kontra Portugis. Pada 1641, kekuasaan Portugis di Malaka melemah seiring kehadiran VOC dari Belanda yang kemudian merebut wilayah itu.

(9)

1.2. Perlawanan Demak

Perlawanan kesultanan Demak terjadi karena kesultanan-kesultanan islam yang lain juga terancam terhadap kedudukan Portugis di Malaka. Kedatangan bangsa Portugis ke Pelabuhan Malaka yang dipimpin oleh Diego Lopez de Sequeira menimbulkan kecurigaan rakyat Malaka. Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Akibatnya, aktivitas perdagangan di pelabuhan Malaka menjadi terganggu karena banyak pedagang Islam yang merasa dirugikan.

Akibat dominasi Portugis di Malaka telah mendesak dan merugikan kegiatan perdagangan orang-orang Islam. Oleh karena itu, Sultan Demak R. Patah mengirim pasukannya di bawah Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Perlawanan rakyat Demak tersebut dipimpin oleh Adipati Unus. Pati Unus melancarkan serangannya pada tabun 1512 dan 1513. Dengan kekuatan 100 kapal laut dan lebih dari 10.000 prajurit Adipati Unus menyerang Portugis.

Namun, serangan tersebut mengalami kegagalan dan belum berhasil. Kemudian pada tahun 1527, tentara Demak kembali melancarkan serangan terhadap Portugis yang mulai menanamkan pengaruhnya di Sunda Kelapa. Di bawah pimpinan Fatahillah tentara Demak berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Nama Sunda Kelapa kernudian diubah menjadi Jayakarta.

1. Latar belakang perlawanan Demak

Latar belakang Demak melakukan perlawanan terhadap Portugis adalah ancaman kedatangan Portugis dan gangguan Portugis terhadap hubungan dagang antara Demak dan Malaka. Perdagangan yang dijalankan antara Demak dan Malaka adalah beras dan bahan pangan Malaka dikuasai Portugis di bawah

(10)

Jenderal Afonso de Albuquerque dengan mengalahkan Kerajaan Malaka.

Tujuan Portugis menguasai Malaka yaitu untuk menguasai perdagangan yang melalui selat Malaka atau yang melakukan perdagangan dengan Malaka.Sejak Malaka pada tahun 1511 jatuh ke tangan Portugis, penjajah ini memaksakan sistem monopoli kepada pedagang yang telah biasa dengan sistem perdagangan bebas. Sejak itu, pedagang dari Persia, India, Cina, dan wilayah lain yang biasanya datang pada musim angin tertentu dan bertemu di Malaka mulai menghindari kota pelabuhan tersebut.

Pedagang-pedagang yang datang ke Malaka harus mendapat izin dahulu dari pemerintah Portugis di Malaka. Untuk menghindarkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan tersebut, pedagang-pedagang mencari jalan yang tidak memerlukan izin, yaitu melalui selat Sunda.

Monopoli Portugis di Malaka membuat kekacauan sistem perdagangan di wilayah Asia karena tidak ada pelabuhan pusat transaksi komoditas. Di samping itu, Malaya tidak dapat lagi menjaga ketertiban dan keamanan jalur perdagangan di Selat Malaka. Kondisi ini menyulut kemarahan saudagar Islam sehingga tidak mau lagi berdagang di Malaka.Kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah lalu mengutus Pati Unus dan pasukan untuk melakukan penyerangan ke kota pelabuhan Malaka. Penyerangan ini bertujuan untuk mencegah penyerangan ke Demak dan membantu kembalinya kekuatan Kerajaan Malaka. Penyerangan dilakukan dua kali pada tahun 1513 dan 1521.

Serangan ini mengalami kegagalan.Penyebab kegagalan tersebut di antaranya karena perlawanan ini tidak mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan di kawasan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, sementara kekuatan Portugis dilengkapi persiapan dan benteng-benteng yang sudah didirikan, seperti benteng A-Farmosa.

Di saat yang sama, penguasa Kerajaan Syiwo-Budho Padjajaran melakukan kerja sama dengan bangsa Portugis karena terancam oleh kekuatan Islam di pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Cirebon dan Banten. Hal ini melemahkan upaya perlawanan kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap kekuatan Barat tersebut.

(11)

Pati Unus meninggal di serangan kedua Demak terhadap Portugis.

Pada 1527, tentara Demak di bawah pimpinan Fatahillah melancarkan serangan terhadap Portugis yang mulai menanamkan pengaruh dan menguasai jalur tempuh perjalanan di pelabuhan Sunda Kelapa.

Perlawanan rakyat Demak terhadap Portugis di Sunda Kelapa dibantu oleh rakyat Cirebon dan Banten. Serangan ini berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Nama Sunda Kelapa kemudian diubah jadi Jayakarta.

Perlawanan Adipati Unus (1518 – 1521)

Hanya kurang lebih satu tahun setelah kedatangan Portugis di Malaka (1511), perlawanan terhadap dominasi Barat mulai muncul. Jatuhnya Malaka ke pihak Portugis sangat merugikan jaringan perdagangan para pedagang Islam dari Kepulauan Indonesia. Solidaritas sesama pedagang Islam terbangun saat Malaka jatuh ke pihak Portugis. Kerajaan Aceh, Palembang, Banten, Johor, dan Demak bersekutu untuk menghadapi Portugis di Malaka. Pada tahun 1513, Demak mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Adipati Unus, putra Raden

Patah. Namun karena faktor jarak yang begitu jauh dan peralatan perang yang kurang seimbang serta strategi perang kurang jitu, penyerangan tidak berhasil.

Dipati Unus atau Yunus adalah putra Raden Patah, penguasa Kerajaan Demak di Jawa. Dipati Unus mendapat sebutan “Pangeran Sabrang Lor“ karena jasanya memimpin armada laut Demak dalam penyerangan ke Malaka. Pemerintahan Pangeran Sabrang Lor tidak berlangsung lama, dari tahun 1518 – 1521.

Perlawanan Fatahillah (1527 – 1570) Dalam rangka memperluas ekspansinya ke daerah Barat, Demak mengirim Fatahillah

(12)

untuk menggagalkan rencana kerja sama antara Portugis dan Pajajaran. Pada tahun 1527, Fatahillah mengadakan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa. Serangan tersebut berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.

Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1527 nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kemenangan yang sempurna. Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai wakil Sultan Demak yang memerintah di Banten dan Jayakarta.

Fatahillah dilahirkan sekitar tahun 1490 di Pasai, Sumatra Utara. Nama lain Fatahillah adalah Falatehan, Fadhilah Khan, Ratu Bagus Pase, dan Ratu Sunda Kelapa. Ayahnya bernama Maulana Makhdar Ibrahim selaku guru agama Islam di Pasai kelahiran Gujarat, India Selatan.

(13)

1.3.Perlawanan rakyat Terate

Perlawanan Ternate terhadap portugis didorong oleh tindakan bangsa Portugis yang sewenang-wenang dan merugikan rakyat. Perlawanan Ternate dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate. Seluruh rakyat dari Irian sampai ke Jawa diserukan untuk melakukan perlawanan. Pada awalnya Portugis diterima dengan baik oleh raja setempat dan diijinkan mendirikan benteng, namun lama- kelamaan, rakyat Ternate mengadakan perlawanan. Kesultanan Ternate yang pada saat itu sedang berselisih dengan Kesultanan Tidore. Keadaan ini dimanfaatkan Portugis yang langsung mendukung Ternate. Akibatnya, Portugis diizinkan mendirikan benteng (loji) dengan alasan untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore. Bersamaan dengan itu, pada 1521 datang armada Spanyol yang mempunyai tujuan yang sama dengan Portugis. Melihat kondisi di Maluku, Spanyol berusaha mendukung Tidore.

Persaingan di antara ke dua imperialis Barat tersebut dalam memperebutkan wilayah Maluku tidak dapat dihindari. Persaingan tersebut dapat diselesaikan melalui Perjanjian Saragosa pada 22 April 1529. Isi perjanjian tersebut mengharuskan Spanyol meninggalkan Maluku, sehingga Portugis dapat menguasai Maluku sepenuhnya.

1.Latar belakang perlawanan Ternate

Perlawanan Ternate terhadap portugis didorong oleh tindakan bangsa Portugis yang sewenang-wenang dan merugikan rakyat. Perlawanan Ternate dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate. Seluruh rakyat dari Irian sampai ke Jawa diserukan untuk melakukan perlawanan. Pada awalnya Portugis diterima dengan baik oleh raja setempat dan diijinkan mendirikan benteng, namun lama- kelamaan, rakyat Ternate mengadakan perlawanan. Kesultanan Ternate yang

(14)

pada saat itu sedang berselisih dengan Kesultanan Tidore. Keadaan ini dimanfaatkan Portugis yang langsung mendukung Ternate. Akibatnya, Portugis diizinkan mendirikan benteng (loji) dengan alasan untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore. Bersamaan dengan itu, pada 1521 datang armada Spanyol yang mempunyai tujuan yang sama dengan Portugis. Melihat kondisi di Maluku, Spanyol berusaha mendukung Tidore.

Persaingan di antara ke dua imperialis Barat tersebut dalam memperebutkan wilayah Maluku

tidak dapat dihindari. Persaingan tersebut dapat diselesaikan melalui Perjanjian Saragosa pada 22 April 1529. Isi perjanjian tersebut mengharuskan Spanyol meninggalkan Maluku, sehingga Portugis dapat menguasai Maluku sepenuhnya. Kegiatan-kegiatan imperialis Portugis, akhirnya mendapat perlawanan dari Raja Ternate, yaitu Sultan Hairun. Dengan kelicikan Portugis, perlawanan Sultan Hairun dapat dipatahkan pada 1570. Namun, perlawanan rakyat Ternate terus berlanjut di bawah pimpinan Sultan Baabullah. Dengan perlawanan Sultan Baabbullah inilah, Portugis dapat diusir dari bumi Maluku pada 1575.

Perlawanan Ternate Dipimpin Sultan Hairun

Pada tahun 1565, rakyat Ternate bangkit kembali di bawah pimpinan Sultan Hairun.

Raja Ternate yang sangat gigih melawan Portugis adalah Sultan Hairun yang bersifat sangat anti-Portugis. Portugis berusaha menangkap Sultan Hairun, namun rakyat bangkit untuk melawan Portugis dan berhasil membebaskan Sultan Hairun dan tawanan lainnya. Beliau dengan tegas menentang usaha Portugis untuk melakukan monopoli perdagangan di Ternate. Rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Rakyat menyerang dan membakar benteng-benteng Portugis.

(15)

Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut. Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi perlawanan. Oleh karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian. Sehari setelah sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang Sultan Hairun untuk menghadiri pesta perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan Portugis. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah, anak Sultan Hairun.

Perlawanan Ternate Dipimpin Sultan Babullah

Perlawanan rakyat Ternate dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Hairun). Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis. Pasukan Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate.

Lima tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun 1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis melarikan diri ke Timor Timur. Pada tahun 1574 benteng Portugis dapat direbut, kemudian Portugis menyingkir ke Hitu dan akhirnya menguasai dan menetap di Timor-Timur sampai Tahun 1975.

(16)

2. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 2.1 Perlawanan rakyat Maluku

Pada tahun 1635 hadir perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke sekian banyak daerah. Oleh sebab kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) guna menegakkan dominasi Kompeni. Bagi mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni menjanjikan akan menyerahkan hadiah besar untuk siapa saja yang bisa membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat sukses membunuh Kakiali.

(17)

Dengan gugurnya Kakiali, untuk sedangkan Belanda sukses mematahkan perlawanan rakyat Maluku, karena setelah tersebut muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru bisa dipadamkan pada tahun 1646.

Pada tahun 1650 hadir perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi.

Perlawanan meluas ke wilayah lain, laksana Seram, Maluku, dan Saparua.

Pihak Belanda agak terdesak, lantas minta pertolongan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala pertolongan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah peperangan sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.

Sampai akhir abad ke-17 tidak terdapat lagi perlawanan membangkang VOC.

Pada akhir abad ke-18, hadir lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, tetapi segera dapat diciduk dan dipisahkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku sukses merebut pulang Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi sesudah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC bisa menguasai kembali distrik Tidore.

Tidakan sewenang-wenang yang dilaksanakan VOC di Maluku pulang dilanjutkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda sesudah berkuasa

(18)

berpulang kepada tahun 1816 dengan berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia tahun 1811-1816. Berbagai perbuatan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda inilah ini menyebabkan munculnya perlawanan rakyat Maluku. Hal-hal tersebut ialah :

 Penduduk mesti kerja paksa guna kepentingan Belanda contohnya di perkebunan-perkebunan dan menciptakan garam.

 Penyerahan mesti berupa ikan asin, dendeng dan kopi.

 Banyak guru dan pegawai pemerintah dibebastugaskan dan sekolah hanya dimulai di kota-kotabesar saja.

 Jumlah pendeta dikurangi sampai-sampai kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang.

 Secara eksklusif yang mengakibatkan kemarahan rakyat ialah penolakan Residen Van den Berg terhadap tuntutan rakyat untuk menunaikan harga perahu yang dipisah cocok dengan harga sebenarnya.

Tahun 1817 rakyat Saparua menyelenggarakan pertemuan dan menyepakati guna memilih Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) guna memimpin perlawanan. Keesokan harinya mereka sukses merebut benteng Duurstede di Saparua sampai-sampai residen Van den Berg tewas. Di samping Pattimura figur lainnya ialah Paulus Tiahahu dan puterinya Christina Martha Tiahahu.

Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina, Said Perintah dan lain-lain. Perlawanan pun berkobar di pulau-pulau lain yakni Hitu, Nusalaut dan Haruku penduduk berjuang merebut benteng Zeeeland.

Untuk merebut pulang benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon dibawah pimpinan Mayor Beetjes tetapi pendaratannya digagalkan oleh warga dan mayor Beetjes tewas. Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara besar-besaran dan mengerjakan sergapan pada malam hari Pattimura dan kawan-kawannya tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung pada bulan Desember 1817 di Ambon.

(19)

Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di Nusalaut.

Christina Martha Tiahahu dilemparkan ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia tutup mulut dan mogok santap yang mengakibatkan sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada mula Januari tahun 1818.

2.2.Perlawanan Sultan Agung Raja Mataram

Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Terhadap VOC

Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: (1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan (2) mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara.

Terkait dengan cita-cita Sultan Agung ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para

(20)

pedagang Pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan monopoli VOC juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia sebagai pusat VOC.

Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung (Mataram) merencanakan serangan ke Batavia (VOC). Alasan Sultan Agung menyerang VOC yakni:

1. Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,

2. VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka,

3. VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan

4. keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa.

Serangan Sultan Agung (Mataram) ke VOC yang pertama

Serangan Sultan Agung (Mataram) ke VOC yang pertama. Pada tahun 1628 telah dipersiapkan pasukan dengan segenap persenjataan dan perbekalan. Pada waktu itu yang menjadi gubernur jenderal VOC adalah J.P. Coen. Sebagai pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Tepat pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia (VOC). Pasukan Mataram berusaha membangun pos pertahanan, tetapi kompeni VOC berusahamenghalang-halangi, sehingga pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan.

Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa. Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram. Tumenggung Baureksa sendiri gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.

(21)

Serangan Sultan Agung (Mataram) ke VOC yang kedua

Serangan Sultan Agung (Mataram) ke VOC yang kedua. Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. Ia segera mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, Ia juga membangun lumbung- lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon.

Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai

pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya.

Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung- lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia.

Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram.

Dengan demikian serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan.Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang

mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para

(22)

pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai

perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya Dengan mengetahui sejarah tentang perlawanan rakyat Mataram pada masa Sultan Agung dalam melawan penjajah, semoga kita bisa lebih memahami bagaimana perjuangan bangsa Indonesia ketika masih dalam masa kolonial, terutama pada masa penjajahan. Demikian artikel kami tentang perlawanan Mataram pada masa Sultan Agung dalam melawan penjajah terutama VOC.

Semoga artikel kami tentang perlawanan Mataram pada masa Sultan Agung dalam melawan penjajah terutama VOC bermanfaat bagi para pembaca.

Serangan VOC ke Mataram

Serangan VOC ke Mataram. Dengan kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun di balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga- jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan.Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC memang mengalami kegagalan. Tetapi semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing di Nusantara terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para

pengikutnya. Sayangnya semangat ini tidak diwarisi oleh raja-raja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC.Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. Ia memerintah pada tahun

(23)

1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC. Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat I itu timbul berbagai

perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunaja

2.3 PERLAWANAN BANTEN TERHADAP VOC

Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara

geografis, Banten terletak di ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis mengambilalih Malaka pada tahun 1511.

Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

(24)

Selain dari potensi alam dan letak geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi kegiatan perdagangan.

a.Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai Rendez-vous, yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker hendak menguasai Banten.

Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653 sampai 1678. Menurut Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan kedudukan selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC mengalami masa keemasannya.

Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan dan kegiatan perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC.

Akan tetapi, VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian tahun 1645, akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayas

Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar membuat

(25)

VOC pada sekitar bulan November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata. Pertempuran antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal.

Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi.

Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga jalan satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke VOC pada tanggal 11 Mei 1658.

Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-16), pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.

Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC. Lurah Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).

Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan senjata, maka VOC membujuk sultan

(26)

Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut. Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara Banten dan VOC.

Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti Gubernur Jendral Joan Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan Banten (Tjandrasasmita, 1967:35).

Tokoh Perlawanan Banten Terhadap VOC

Berikut ini terdapat beberapa tokoh perlawanan banten terhadap voc, yaitu sebagai berikut:

Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 – 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.

Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar.

(27)

Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.

Pangeran Purbaya

Angeran Purbaya yang kedua adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten (1651–1683). Ia mendukung perjuangan ayahnya dalam perang melawan VOC tahun 1656.

Pangeran Purbaya juga diangkat menjadi putra mahkota baru karena Sultan Haji (putra mahkota sebelumnya) memihak VOC.

Setelah berperang sekian lama, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya tertangkap bulan Maret 1683, dan Banten pun jatuh ke tangan VOC. Pangeran Purbaya dan istrinya yang anti VOC bernama Raden Ayu Gusik Kusuma lalu melarikan diri ke Gunung Gede. Penderitaan Purbaya membuat dirinya memutuskan untuk menyerah. Namun, ia hanya mau dijemput oleh perwira VOC yang berdarah pribumi.

Saat itu VOC sedang sibuk menghadapi gerombolan Untung Suropati. Kapten Ruys pemimpin benteng Tanjungpura berhasil membujuk Untung Suropati agar bergabung dengan VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung Suropati bersedia. Ia pun dilatih ketentaraan dan diberi pangkat Letnan. Untung Suropati kemudian ditugasi menjemput Pangeran Purbaya di tempat persembunyiannya.

(28)

Namun datang pula pasukan VOC lain yang dipimpin Vaandrig Kuffeler, yang memperlakukan Purbaya dengan tidak sopan. Sebagai seorang pribumi, Untung Suropati tersinggung dan menyatakan diri keluar dari ketentaraan. Ia bahkan berbalik menghancurkan pasukan Kuffeler.

Pangeran Purbaya yang semakin menderita memutuskan tetap menyerah kepada Kapten Ruys di benteng Tanjungpura. Sebelum menjalani pembuangan oleh Belanda pada April 1716, Pangeran Purbaya memberikan surat wasiat yang isinya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan. Sedangkan istrinya Gusik Kusuma konon pulang ke negeri asalnya di Kartasura dengan diantar Untung Suropati.

2.4 PERLAWANAN MANGKUBUMI DAN RADEN MAS SAID Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said

(29)

Sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1645, Kerajaan Mataram Islam jutru menjalin hubungan dekat dengan VOC. Akibatnya, VOC memiliki pengaruh dalam pemerintahan kerajaan.

Sebagian besar bangsawan Mataram juga melakukan kerja sama dengan VOC.

Keadaan ini menyebabkan rakyat menderita, sebab parabangsawan hanya mementingkab dirinya sendiri.

Akibanya, muncul beberapa pemberontakan seperti pemberontakan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi

1.Proses Peperangan

Pasukan Mataram yang dibantu oleh VOC merasa kewalahan mengatasi perlawanan Raden Mas Said. Untuk mengatasi pemberontakan tersebut,

Pakuwibowo II menjanjikan hadiah tanah di Sukowati bagi siapapun yang dapat menumpas pemberontakan Raden Mas Said.

(30)

Pemberontakan Raden Mas Said akhirnya berhasil dipadamkan oleh Pangeran Mangkubumi, saudara Pakubuwono II. Akan tetapi, Pakubuwono II

mengingkari janjinya untuk memberikan sebidang tanah di Sukowati.

Oleh karena itu, Pangeran Mangkubumi akhirnya bergabung dengan Raden Mas Said untuk melancarkan pemberontakan.

Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mataram. Pangeran Mangkubumi mendapat dekungan dari rakyat dan bupati di daerah pesisir utara Jawa yang wilayahnya dikuasai VOC.

2.Akhir Peperangan

Setelah mengalami banyak kekalahan, VOC berusaha berdamai dengan Pangeran Mangkubumi melalui perundingan.

Dalam perundingan itu VOC menawarkan apabila Pangeran Mangkubumi bersedia mengakhiri perlawanannya, Ia akan mendapat setengah dari wilayah kerajaan Mataram.

Akhirnya, pada tanggal 13 Februari 1755 Pangeran Mangkubumi, Pangeran Pakubuwono II, dan VOC menandatangani Perjanjian Giyanti yang isinya membagi wilayarah Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu

1. Kasunanan Surakarta 2. Kasultanan Yogyakarta

Pangeran Mangkubumi kemudian menjadi raja Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono. Setelah menjadi raja Kasultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi tidak lantas tunduk kepada VOC.

Pangeran Mangkubumi terus melakukan perlawanan terhadap VOC dan mencegah VOC ikut campur dalam pemerintahan Kasultanan Yogyakarta.

(31)

Sementara itu, melalui perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757, Raden Mas Said diangkat menjadi Adipati Mangkunegara dan berhak atas wilayah Karanganyar, Wonogiri, dan Ngawen (Kadipaten Mangkunegaran).

3.PEPERANGAN TERHADAP BELANDA 3.1 .PERANG TONDANO

(32)

Tondano merupakan salah satu kawasan di Minahasa, Sulawesi Utara. Rakyat Tondano pernah melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dibawah bendera VOC maupun pemerintah Kolonial Hinda Belanda.

Kontak awal Belanda dengan rakyat Minahasa dilakukan dengan damai. Dalam buku Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme Imperialisme di Sulawesi Utara (1984) karya Drs J.P Tooy dkk, disebutkan bahwa VOC menyatakan perjanjian persahabatan dengan rakyat Minahasa pada awal kedatangannya di tahun 1967.

Namun, perjanjian persahabatan pada akhirnya hanyalah sebuah siasat dari VOC agar mereka diterima dan bisa mengambil langkah untuk menguasai kawasan Sulawesi Utara.

1. Latar belakang Perlawanan Tondano melawan pemerintah kolonial Belanda dimulai ketika memasuki abad ke 19, sekitar tahun 1807-1809.

Upaya mobilisasi pemuda Minahasa untuk dijadikan pasukan Belanda demi menghadapi serangan dari Inggris.

(33)

Dilanggarnya Verbond 10 Januari 1679 yang menyatakan bahwa walak-walak (persekutuan kekerabatan) di Minahasa memiliki kedudukan yang setara dengan Belanda.

2Jalannya perlawanan

Sebanyak 15 dari 26 Kepala Walak bersekutu untuk memerangi Belanda pada pertemuan tahun 1806. Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk membahas strategi yang akan digunakan untuk memerangi Belanda pada 1807.

Strategi tersebut mengatur tentang pemusatan perlawanan, pembagian tugas antar walak dan pengaturan logistik perang.

Pasukan Belanda dibawah kepala residen Prediger mulai melakukan penyerangan terhadap Tondano pada Januari 1807. Penyerangan tersebut lansung diarahkan menuju perbentengan dan danau Tondano.

Namun, karena kuatnya pertahanan dari rakyat Tondano, Belanda belum mampu memperoleh kemenangan hingga pada Juli 1809.

Kedua belah pihak mengalami pasang-surut dalam kemenangan dan kekalahan, demikian pula korban dari masingmasing pihak tak bisa terhindarkan.

Pihak Belanda berusaha untuk mengadakan perundingan dengan Tondano, namun ajakan tersebut selalu ditolak oleh Tondano.

3.Akhir perlawanan

Pihak Belanda pada 2 Agustus 1809 mengirimkan pasukan dan armada perang bantuan menuju Tondano di bawah pimpinan Kapten Weintre.

Pada tanggal 4-5 Agustus terjadi serangan besar-besaran menggunakan ratusan perahu, rakit dan kapal Kora-Kora oleh Belanda.

(34)

Pasukan Belanda mampu mengepung rapat benteng dan kampung Tondano sehingga bantuan dari luar tidak bisa masuk. Pertempuran berlangsung sangat sengit dari pagi hingga dinihari tanggal 5 Agustus 1809.Namun, kerana kalah dalam logistik peperangan, Tondano mengalami kekalahan dan benteng Moraya serta Paapal dapat ditak

3.2.

PERANG PATTIMURA

(35)

Perang Pattimura adalah perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Pattimura melawan pasukan Belanda. Perang ini terjadi pada tahun 1817 di Maluku.

Perlawanan tersebut terjadi karena kedatangan Belanda di Maluku membawa banyak kesengsaraan bagi rakyat. Tentu saja hal tersebut membuat geram para pejuang Maluku, termasuk Pattimura.

1. LATAR BELAKANG TERJADINYA PERANG PATIMURA Terdapat beberapa hal yang menyebabkan meletusnya Perang Pattimura.

Hal tersebut diantaranya:

1. Kebijakan Pelayaran Hongi dan Hak Ekstirpasi.Pelayaran Hongi sendiri adalah monopoli rempah-rempah, sedangkan hak ekstirpasi adalah kebijakan untuk tidak menanam rempah-rempah yang tidak ikut dalam monopoli (pala dan cengkeh). 2. Belanda yang mengambil alih kekuasaan Inggris.

3. Hal ini membuat rakyat Maluku harus beradaptasi kembali dengan kebijakan yang baru. 4. Kebijakan

Belanda yang memberatkan rakyat Maluku (kerjawa wajib, pembayaran wajib, serta pajak yang tinggi). 5.

Pergantian mata uang yang membuat rakyat Maluku harus beradaptasi lagi kembali dengan sistem pembayaran.

6. Rakyat Maluku dipaksa untuk menjadi prajurit perang.

(36)

2.AWAL PEPERANGAN

Perang ini mulai meletus pada tahun 1817. Kapitan Pattimura berlaku sebagai pimpinan perang dengan dibantu oleh beberapa pejuang lain, yaitu Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwael, Anthony Reebok, serta Philip Latumahina.

Serangan pertama kali dilancarkan oleh masyarakat Maluku pada tanggal 15 Mei 1817.

Tempat yang pertama kali diserbu adalah Pos Perahu di Pelabuhan Porto. Hasil dari serangan pertama tersebut adalah hangusnya perahu-perahu milik Belanda.

Kemudian, esok harinya pasukan Pattimura kembali melakukan perlawanan.

Tempat yang diserang adalah Benteng Duurstede. Tidak lama, pasukan Pattimura berhasil mengepung tempat tersebut hingga menewaskan Residen Van Den Berg. Akhirnya Benteng Duurstede bisa jatuh ke tangan pasukan Pattimura.

Perang Balasan dari Belanda

Kekalahan membuat Belanda tersulut api amarah. Mereka langsung mengirim pasukan dengan perlengkapan senjata yang memadai. Pasukan tersebut

dipimpin oleh Mayor Beetjess. Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 1817 pertempuran kembali meletus di Saparua.

Kemenangan jatuh ke tangan pasukan Patimura, sedangkan Mayor Beetjess tewas dalam pertempuran tersebut. Pasukan Pattimura terus melakukan serangan hingga membuat Belanda kewalahan. Belanda akhirnya meminta bantuan dari pasukannya yang ada di Ambon. Setelah mendapatkan pasukan bantuan, Belanda kembali menyerang pasukan Pattimura secara besar-besaran.

Pasukan Belanda kala itu dipimpin oleh Kapten Lisnet dan Kapten Mayer.

Serangan pertama dilancarkan ke benteng pertahanan Pattimura di Benteng Duurstede.

(37)

3.Akhir Perlawanan

Pasukan Pattimura akhirnya terdesak. Mereka mengosongkan Benteng Duurstede dan melarikan diri. Akhirnya benteng tersebut kembali jatuh ke tangan Belanda. Satu demi satu, teman seperjuangan Pattimura yang menjadi pemimpin pasukan tertangkap. Bahkan, Pattimura juga ikut menjadi tawanan.

Ini adalah masa-masa kekalahan pasukan Pattimura.

Setelah berhasil menangkapnya, Belanda mengajak Pattimura untuk berunding, tetapi selalu ditolak. Hukuman gantung diberikan kepada Pattimura pada tanggal 16 Desember 1817. Proses hukuman gantung Pattimura dilakukan di Benteng New Victoria Ambon.

Kata-kata terakhir yang diucapkan Pattimura sebelum kematiannya adalah

“Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tapi sekali waktu kelak Pattimura- Pattimura muda akan bangkit”. Sebagai penghormatan atas jasanya, Pattimura dinobatkan sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan. Nama beliau juga diabadikan menjadi nama bandara dan perguruan tinggi.

(38)

Terdapat banyak tokoh yang terlibat dalam Perang Pattimura. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya:

1. Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy 2. Lucas Latumahina

3. Thomas Pattiwael 4. Anthony Reebok 5. Ulupaha

6. Johannes Matulessy 7. Philip Latumahina 8. Paulus Tiahahu

9. Chritina Martha Tiahahu

3.3.Perang Paderi

(39)

Perang Padri adalah perang saudara yang pernah terjadi di Minangkabau, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung yang kini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Latar belakang sejarah Perang Padri berawal dari masalah agama (Islam) dan adat, sebelum penjajah Belanda ikut campur tangan.

Pertikaian antara sesama orang Minang ini berlangsung pada awal abad ke-17 Masehi, tepatnya dari tahun 1803 hingga 1838. Ada beberapa golongan yang terlibat, yakni kaum Padri (kelompok agamis), kaum adat, serta Belanda yang kemudian menerapkan taktik licik untuk memecah-belah rakyat Minangkabau.

Pada akhirnya, peperangan ini menjadi ajang perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajah Belanda yang dimotori oleh beberapa tokoh terkemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Tuanku Nan Renceh, dan lainnya.

1.Latar Belakang Perang Padri

Sejarah atau latar belakang Perang Padri dimulai pada 1803 ketika tiga orang Minangkabau pulang dari Makkah usai menjalankan ibadah haji di tanah suci. Mereka dikenal dengan nama Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tulisan Azyumardi Azra dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (2004), menyebutkan, ketiga haji ini awalnya berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum sepenuhnya dijalankan. Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh tertarik untuk ikut andil dan mendukung niat ketiga haji yang baru saja pulang dari tanah suci itu. Akhirnya, Tuanku Nan Renceh bergabung dan mengajak orang- orang lain untuk turut serta. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Harimau nan Salapan. Harimau nan Salapan meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang (Pagaruyung), Sultan Arifin Muningsyah, dan kerabat kerajaan bernama Tuanku Lintau, untuk bergabung dan meninggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Yang Dipertuan Pagaruyung tampaknya kurang sepakat. Sultan Arifin Muningsyah masih tidak ingin meninggalkan

(40)

tradisi atau kebiasaan yang telah dijalankan secara adat sejak dulu di Minangkabau. Dikutip dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, ada beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman keras, padahal masyarakat adat saat itu sudah banyak yang memeluk agama Islam. Kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum Adat yang beragama Islam. Menanggapi hal ini, kaum Padri atau kelompok agamis terpaksa menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan itu sekaligus dengan misi melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.

2.Kronologi & Tokoh Perang Padri

Peperangan antar saudara di ranah Minang pun tak terelakkan. Pada 1803, seorang tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyang. Perang ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana. Tahun 1815, golongan Padri yang digalang Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat. Beberapa tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan di antaranya adalah Tuanku Nan Receh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun. Lantaran semakin terdesak, orang- orang dari golongan Adat kemudian meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu menjajah wilayah Nusantara, termasuk Minangkabau. Tanggal 4 Maret 1822, pasukan dari Hindia Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel Raff berhasil mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Di Batu Sangkar, Raff membangun benteng pertahanan yang bernama Fort Van der Capellen. Tepat 10 Juni 1822, pasukan Raff yang bergerak dihadang oleh laskar kaum Padri, namun Belanda berhasil melanjutkan perjalanannya ke Luhak Agam. Pertempuran di daerah Baso terjadi

(41)

pada 14 Agustus 1822. Kapten Goffinet dari pihak Belanda mengalami luka berat dan akhirnya wafat pada 5 September 1822.

Perlawanan orang-orang Minangkabau dari kelompok Padri membuat Belanda terdesak hingga akhirnya memutuskan kembali ke Batu Sangkar. Pada 13 April tahun berikutnya, Raff kembali menyerang ke daerah Lintau, markas pertahanan kaum Padri. Pertempuran ini terjadi amat sengit hingga menyebabkan Belanda mundur pada 16 April 1823. Raff kemudian meminta Sultan Arifin Muningsyah untuk datang ke Kerajaan Pagaruyung. Akan tetapi, pada 1825, sang sultan wafat. Tanggal November 1825, Belanda mengajukan gencatan senjata sembari meracik strategi licik berupa Perjanjian Masang.

Belanda saat itu sedang kewalahan dan kehilangan banyak sumber daya untuk membiayai beberapa perang lain, termasuk perang melawan Pangeran Diponegoro di Jawa. Saat masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang notabene adalah salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah Belanda. Buku Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia (2009) yang disusun oleh Gavin W. Jones dan kawan-kawan, menuliskan, perdamaian dan kesepakatan untuk bersatu antara kaum Padri dan kaum Adat akhirnya tercapai. Kesepakatan damai yang diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato". Hasilnya adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.

3.Berakhirnya Perang Padri

Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830 dan ditangkapnya Pangeran Diponegoro dengan siasat licik, Belanda kembali memusatkan fokus ke Minangkabau. Pasukan kolonial membangun benteng di Bukittinggi bernama Fort de Kock. Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum Padri dan kaum Adat. Menyadari hal tersebut, Belanda

(42)

mengatur siasat kembali. Belanda berdalih bahwa kedatangan mereka hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan dengan rakyat Minangkabau. Lagi- lagi, Belanda menerapkan siasat licik yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol pada 1837 yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di sana. Perang kembali berkobar. Kali ini Belanda lebih unggul dan pada 1838 berhasil menembus pertahanan terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat pergi ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan Minangkabau pun melemah dan Belanda pun berkuasa setelah memenangkan perang.

3.4 Perang Diponegoro

(43)

Perang Jawa dengan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh sentralnya merupakan pertempuran melelahkan melawan Belanda yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830). Sebelum peristiwa dalam sejarah Indonesia ini terjadi, terdapat penyebab dan kronologi, begitu pula dengan dampak yang ditimbulkan setelahnya. Meninggalnya pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana (HB) I, pada 24 Maret 1792 membuka peluang bangsa penjajah semakin menancapkan pengaruhnya di lingkungan kerajaan.

Peter Carey dalam The Origins of the Java War (1976) mengungkapkan bahwa campur-tangan bangsa asing menyebabkan terjadinya konflik di internal Keraton Yogyakarta. Pada 1811, Belanda memaksa Sultan HB II turun takhta lalu raja diberikan kepada HB III sebagai Sultan Yogyakarta selanjutnya.

A.Latar belakang Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro merupakan pangeran dari Kesultanan Yogyakarta. Lahir tanggal 11 November 1785, nama aslinya adalah Raden Mas Mustahar yang kemudian diganti menjadi Raden Mas Antawirya seiring usia sesuai tradisi keraton. Raden Mas Antawirya adalah putra dari Raden Mas Suraja atau yang nantinya

(44)

bertakhta dengan gelar Sultan HB III. Sang ayah sebenarnya menginginkan Raden Mas Antawirya menjadi putra mahkota. Namun, keinginan Sultan HB III itu ditolak dengan halus.

Lantaran ibunya bukan istri permaisuri raja, Raden Mas Antawirya merasa tidak berhak duduk di singgasana Yogyakarta meskipun ia adalah anak lelaki tertua.

Selain itu, ia juga tidak terlalu menyukai kehidupan mewah di dalam istana.

Sultan HB III wafat pada 1814 dan digantikan oleh Raden Mas Ibnu Jarot, putra dari istri permaisuri. Saat itu, Raden Mas Ibnu Jarot atau yang kelak bergelar Sultan HB IV masih berusia 10 tahun. Pengaruh Belanda atas keraton semakin kuat di saat istana sedang labil lantaran Sultan HB IV masih kecil. Muak atas situasi itu, Raden Mas Antawirya memutuskan keluar dari keraton dan kemudian tinggal di kediaman neneknya di wilayah Tegalrejo, Yogyakarta.

Dari sinilah perlawanan Raden Mas Antawirya alias Pangeran Diponegoro terhadap Belanda bermula. Sagimun dalam buku Pahlawan Dipanegara Berjuang (1957) menjelaskan, terdapat beberapa alasan mengapa Pangeran Diponegoro berusaha melawan. Pertama, Belanda semakin mencampuri urusan internal Keraton Yogyakarta. Alasan kedua, akibat pengaruh Belanda, beban pajak yang ditanggung rakyat menjadi sangat berat. Dan alasan berikutnya, rencana Belanda membangun jalan kereta api yang melewati kediaman neneknya membuat Pangeran Diponegoro mantap melakukan perlawanan.

Kronologi & Tokoh Perang Jawa Anthonie Hendrik Smissaert, Residen Yogyakarta yang merupakan orang Belanda, berniat membangun jalan kereta api. Rencana ini ditentang oleh Pangeran Diponegoro lantaran rel kereta api tersebut mengenai area kediaman neneknya di Tegalrejo. Perang Jawa tak dapat dihindari, dimulai pada 20 Juli 1825. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya menerapkan strategi gerilya untuk menghadapi Belanda yang jelas lebih unggul jumlah prajurit dan persenjataan.

Kubu Pangeran Diponegoro bermarkas di pedalaman Goa Selarong, suatu kawasan pegunungan (di wilayah Pajangan, Bantul) yang terletak sekitar 26 kilometer ke arah barat daya dari Keraton Yogyakarta. Beberapa tokoh

(45)

pahlawan yang berandil besar membantu Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Sedangkan pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Pasukan Diponegoro selalu bergerak, masuk keluar hutan, naik turun gunung, dan menjelajahi banyak wilayah, dari Yogyakarta, Jawa Tengah, sampai Jawa Timur. Strategi ini sangat merepotkan Belanda yang terpaksa mengeluarkan banyak biaya untuk membiayai Perang Jawa dan mendatangkan pasukan bantuan. Belanda terpaksa menarik pasukan yang sedang menghadapi pertempuran di Sumatera Barat yakni Perang Padri -yang digalang oleh para tokoh Minangkabau termasuk Tuanku Imam Bonjol- untuk diperbantukan di Perang Jawa.

2.Akhir dan Dampak Perang Jawa

Kekuatan Belanda yang semakin bertambah membuat kubu Pangeran Diponegoro mulai terdesak. Satu demi satu, pimpinan pasukan Diponegoro tertangkap, termasuk Kyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Belanda menawarkan gencatan senjata. Pangeran Diponegoro yang semula kukuh akhirnya bersedia demi keselamatan pasukan dan pengikutnya. Ia mau diajak berunding dengan syarat keluarga dan para pengikutnya dibebaskan. Tanggal 28 Maret 1830, diadakan perundingan antara Pangeran Diponegoro dan Jenderal De Kock di Magelang, Jawa Tengah. Rupanya, ini taktik licik Belanda.

Pangeran Diponegoro yang tidak bersenjata justru ditangkap.

Ditahannya Pangeran Diponegoro otomatis membuat Perang Jawa yang melelahkan dan telah belangsung selama 5 tahun (1825-1830) berhenti. Dikutip dari Sulawesi: Island Crossroads of Indonesia (1990) karya Toby Alice Volkman, Pangeran Diponegoro kemudian diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar, hingga wafatnya tanggal 8 Januari 1855. Menurut MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since 1300 (1981), secara keseluruhan dampak Perang Jawa telah merenggut 200.000 korban jiwa, di antaranya 7.000 orang dari pihak pribumi dan 8.000 orang dari pasukan Belanda. Perang Jawa sangat meletihkan bagi Belanda dan menguras banyak

(46)

sumber daya, termasuk pasukan dan uang atau pendanaan yang menyebabkan pemerintah kolonial mengalami krisis keuangan.

3.5 Perang Bali

(47)

Pendudukan Belanda di Nusantara identik dengan kesewenangannya dalam mengusik adat dan peraturan daerah.Hal tersebut juga terjadi di Bali, Hak Tawan Karang yang telah berlaku sebelum Belanda datang diusik eksistensinya oleh Belanda.

Hak Tawan Karang adalah tradisi Bali yang menyebutkan bahwa kapal beserta isinya yang karam dan terdampar di pesisir Bali adalah hak milik raja setempat.

1.Latar belakang

Perlawanan Pemerintah kolonial Belanda menganggap tradisi Hak Tawan Karang tidak dapat diterima dan mengajukan untuk menghapus Hak Tawan Karang. Atas bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk menghapus Hukum Tawan Karang. Namun, sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem masih menolak penghapusan tersebut dan masih menerapkan Hak Tawan Karang.

Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C Ricklefs, latar belakang perlawanan rakyat Bali terhadap Belanda adalah : Dipaksakannya penghapusan Hak Tawan Karang kepada kerajaan-kerajaan di Bali. Kerajaan

(48)

Buleleng tidak terima atas tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh Belanda karena 2 kapal Belanda yang karam di perairan Bali diakuisisi oleh Kerajaan Buleleng. Jalannya perlawanan Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid IV (1975) karya Sartono Kartodirdjo dkk, disebutkan bahwa Belanda datang untuk menyerang Bali pada pertengahan 1846. Armada Belanda terdiri dari 1.700 prajurit gabungan dari Batavia dan Surabaya dan dipimpin oleh komandan tertinggi Van Den Bosch. Selama 2 hari, pasukan dari kerajaan Buleleng, Karangasem dan Kalungkung bertempur mati-matian mempertahankan kedaulatan Bali. Namun, karena persenjataan Belanda yg lebih lengkap dan modern, maka para pejuang mengalami kekalahan. Kekalahan tersebut menyebabkan raja Buleleng I Gusti Ngurah Made dan Ketut Jelantik mundur ke daerah Jagaraga.

Tokoh-tokoh yang Terlibat 1. Raja Buleleng

2. Raja Karangasem

(49)

3. I Gusti Ketut Jelantik

(50)

3.6. Perang Banjar

1.Latar Belakang Perang Banjar

Perang banjar adalah perang perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda yang terjadi di Kesultanan Banjar yang meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Perang Banjar berlangsung antara tahun 1859-1905 (menurut sumber Belanda 1859-1863. Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah dimulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan, kekalutan makin bertambah.

Pada tahun 1785, Pangeran Nata yang menjadi wali putra makota, mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1785-1808) dan membunuh semua putra almarhum Sultan Muhammad.

Pangeran Amir, satu-satunya pewaris tahta yang selamat, berhasil melarikan diri lalu mengadakan perlawanan dengan dukungan pamannya Arung Turawe, tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek Pangeran Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang ke Srilangka.

Jalannya Perang Banjar

(51)

Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning yang dipimpin oleh Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron. Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini.

Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal. Dengan demikian berkobarlah Perang Banjar. Dengan peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjar semakin kacau. Sultan Tamjidillah yang memang tidak disenangi oleh rakyat itu juga tidak bisa berbuat banyak.

Oleh karena itu, Tamjidillah dinilai oleh Belanda tidak mampu memerintah yang diminta untuk turun tahta. Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1859 secara resmi Tamjidillah mengundurkan diri dan mengembalikan legalia Banjar kepada Belanda. Tamjidillah kemudian diasingkan ke Bogor. Mulai saat itu Kesultanan Banjar berada di bawah kendali Belanda. Belanda sebenarnya berusaha membujuk Pangeran Hidayatullah untuk bergabung dengan Belanda dan akan dijadikan Sultan Banjar.

Tetapi melihat kelicikan Belanda, Pangeran Hidayatullah menilai bujukan itu merupakan tipu daya Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah memilih bersama rakyat untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda di Martapura.

Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari para ulama dan punggawa kerajaan yang sudah muak dengan kelicikan dan kekejaman Belanda.

Bulan Agustus 1859, Antasari bersama pasukan Haji Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng Belanda di Tabanio.

Kemudian pasukan Surapati berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Onrust,

(52)

dan merampas senjata yang ada di kapal tersebut di Lontotuor, Sungai Barito Hulu. Dengan demikian, Perang Banjar semakin meluas.

Memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Pertempuran di sekitar Banua Lima dipimpinan oleh Tumenggung Jalil. Pertempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman. Sementara itu, pertempuran di sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh Pangeran Antasari.

Kiai Demang Lehman yang berusaha mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak membawa korban. Sembilan orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah pasukannya. Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri.

Demang Lehman kemudian memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah Laut. Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan matimatian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah banyak pengikutnya yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang melawan Belanda sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil.

Pada bulan September Demang Lehman dan para pemimpin lain seperti Tumenggung Jalil dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan medan pertempuran di Tanah Laut menuju Kandangan untuk mengadakan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang lain. Pertemuan di Kandangan menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda, dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut:

1. Pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai.

Referensi

Dokumen terkait

Rupanya Belanda mulai meniru apa yang dulu pernah ada, yaitu bandar pelabuhan transit bagi pedagang – pedagang di wilayah lain Akan tetapi sedikit berbeda, Belanda tidak

Tindakan yang dilakukkan Belanda adalah mendatangkan pasukan yang dipimpin Letnan Elout dan Mayor Michael dengan tugas pokok menundukan kaum padri yang berpusat di4. Ketiangan

Klausa yang menyatakan hubungan waktu yang tepat untuk mengisi bagian rumpang dalam paragraf di atas adalah ….. sebelum pasukan Belanda sampai ke

• Lahan besi tidak cocok untuk attack padahal pasukan menyerang romawi juga menggunakan besi banyak, maka dari itu desa ini ditaruh didekat lahan gandum, karna nilai serang akan

8 Sebab pikirnya: "Jika Esau datang menyerang pasukan yang satu, sehingga terpukul kalah, maka pasukan yang tinggal akan terluput." 9 Kemudian berkatalah Yakub:

Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh

Pada masa kekuasaan Belanda inilah secara nyata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia, dari ujung

• 12 November Kuota atas penjualan minyak ke Jepang dari Hindia Belanda ditetapkan dalam perjanjian Sejarah Nusantara 1942-1945 Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun