• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled - Jurnal Ilmiah Mahasiswa STKIP PGRI Sumbar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Untitled - Jurnal Ilmiah Mahasiswa STKIP PGRI Sumbar"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

FACTORS THAT ENCOURAGE RICE FARMERS SHARING SYSTEM IN DOING IN JORONG SURABAYO KANAGARIAN LUBUK BASUNG

CONE DISTRICT AGAM

By :

Arni Juli Yanti1 Slamet Rianto 2 Rika Despica3

1.geography education student of STKIP PGRI Sumatera Barat.

2,3 lecturer at geography department of STKIP PGRI Sumatera Barat

ABSTRACT

This study aims to get the data, process, analyze and discuss the factors that encourage rice farmers to carry out a revenue sharing system in jorong surabayo Kanagarian bottom two dozen districts agam seen from: 1) Availability of Land 2), Habit, 3) Location.

This research is classified in qualitative research. The informants are farmers land owners and tenant farmers in jorong Surabayo Kanagarian Lubuk cone Agam District. The research sample with snow ball technique. Data collection using interviews and documentation.

The results showed: Factors that encourage farmers to do the sharing system 1) Availability of land: farmers owners can not afford to work on it by a factor of advanced age, then do not have the time because I was busy with other work. As for the peasants do not have the land, does not have a regular job. 2) Habit: owning farmers and peasants for the result is a custom that has been handed down by farmers, its implementation is very simple verbally without presenting a witness. 3) Location: landowners have a considerable distance between the residence with the land. As for the peasants sometimes the location is not a problem as long as they no effort in meeting the needs of everyday life. But there are also some farmers weigh much nearby location because of the age factor.

Key Words: Availability of land, Habits, location

(3)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu Negara yang dapat dikatakan makmur, kaya akan sumber daya alam. Hal ini menjadikan sektor pertanian menjadi sangat strategis bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Setidaknya terdapat lima alasan mengapa sektor pertanian menjadi strategis. Pertama, pertanian merupakan sektor yang menyediakan kebutuhan pangan masyarakat. Kedua, pertanian merupakan penyedia bahan baku bagi sektor industri (agroindustri). Ketiga, pertanian mampu memberikan kontribusi bagi devisa negara melalui komoditas yang diekspor. Keempat, pertanian mampu menyediakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja pedesaan. Dan kelima, sektor pertanian perlu dipertahankan untuk keseimbangan ekosistem (lingkungan).

Berdasarkan data yang di peroleh dari Dinas Pertanian Lubuk Basung luas lahan sawah di kecamatan Lubuk Basung berkisar 4.498 Ha dengan luas wilayah 278.40 Ha.

Luas lahan yang terluas adalah hutan rakyat yang mencapai 6.524 Ha. Luas lahan yang menggunakan sistem irigasi hanya seluas 4.170 Ha. Produksi tanaman bahan makanan yang terbesar di Kecamatan Lubuk Basng adalah padi sawah dengan produksi di tahun 2014 mencapai 15.389,5 ton. Luas panen padi padi mencapai 9.665 Ha, hal ini berarti rata-rata lahan sawah di Kecamata ini berproduksi dua hingga tiga kali dalam tahun.

Komoditas padi sawah adalah salah satu tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya sebagai sumber penyediaan kebutuhan pokok yaitu berupa beras. Beras berkaitan erat dengan kebutuhan rakyat banyak yang menghasilkan karbohidrat dan merupakan sumber kalori bagi sebagian besar penduduknya. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan

akan beras pun semakin meningkat.

Sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi sangat penting dan strategis. Mengingat pentingnya hal ini, setiap Negara akan mendahulukan pembanguanan ketahanan pangannya sebagai pondasi bagi pembangunan sektor- sektor lainnya.

Dalam tatanan pertanian pedesaan, secara garis besar sistem penguasaan lahan dapat diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai.

Status hak milik adalah lahan yang dikuasai dan dimiliki oleh perorangan atau kelompok atau lembaga/organisasi. Irmayanti (2010) dalam Ely (2014) mengemukakan bahwa status sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai adalah bentuk-bentuk penguasaan lahan dimana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Bentuk kelembagaan ini sudah menjadi bagian dari tatanan masyarakat pedesaan dimana keberadaannya bersifat dinamis antar ruang dan waktu.

Suatu usaha tani yang dilaksanakan secara terpadu pada dasarnya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani agar dapat menghidupi seluruh keluarganya sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani tersebut dalam. Tujuan petani dalam melaksanakan usaha taninya adalah untuk memperoleh produksi yang tinggi dengan biaya yang rendah Isyanto (2012) dalam Pane (2014).

Bagi hasil merupakan salah satu sarana tolong menolong bagi sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pihak yang mempunyai lahan menyerahkan lahannya kepada pihak petani atau penggarap untuk diusahakan sebagai lahan yang menghasilkan, sehingga pihak pemilik lahan dapat menikmati dari hasil lahannya, dan petani yang sebelumnya tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam juga dapat berusaha serta dapat memperoleh hasil yang sama dari lahan tersebut Pane (2014).

(4)

Berdasarkan observasi awal penulis 22 Mei 2015 di jorong Surabayo kenagarian Lubuk Basung kabupaten Agam, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat bermata pencarian sebagai petani yang mengusahakan tanaman padi sawah, dimana status penguasaan lahan yang berbeda yakni petani yang mengolah atau menggarap lahan sendiri (petani pemilik penggarap), petani yang menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil (petani penyakap).

Cara sistem bagi hasil telah lama berlangsung di jorong Surabayo kenagarian Lubuk Basung. Penulis tidak mengetahui pasti sejak kapan mulai berlangsungnya tapi menurut beberapa pemuka masyarakat yaitu Bapak St. Sunaro, dan Bapak Subin. Sistem bagi hasil ini muncul semenjak nenek moyang mereka dahulu sampai sekarang dengan tujuan lahan sawah di jadikan produktif tanpa kerja sendiri. Pelaksanaan perjanjian bagi hasil tersebut dilakukan dengan secara lisan atas dasar kesepakatan dan kepercayaan dengan bahasa yang sangat sederhana, sehingga mudah dimengerti oleh kedua belah pihak tanpa harus didaftar di kantor/intansi terkait.

Meskipun pola hubungan antara para petani penggarap dan pemilik lahan sangat bervariasi, namun yang jelas praktik ini mudah sekali ditemui dimana-mana, disebabkan sistem ini tidak merendahkan derajat petani penggarap, tidak mengenal istilah majikan dan buruh, pranata bagi hasil bersifat tolong menolong, dan kekeluargaan sehingga segala sesuatunya dapat diselesaikan secara musyawarah. (ingat bahwa kedudukan dan hak penggerap itu sama sekali berada dengan kedudukan dan hak buruh tani yang sekedar menerima sejumlah upah atas tenaga yang diberikan kepada pemilik lahan) Todaro ( 2006:533).

Dilingkungan masyarakat jorong Surabayo kenagarian Lubuk Basung, bagi hasil ini sulit untuk di hilangkan karena sudah membudaya dan menjadi kebiasaan di dalam masyarakat.

Pelaksanaan bagi hasil di tiap daerah berbeda-beda, akan tetap di jorong Surabayo kenagarian Lubuk Basung mempunyai tata cara tersendiri yaitu petani pemilik lahan menyediakan lahan sawah serta benih kemudian petani penggarap mengelola lahan sawah tersebut dari mulai membajak sawah, bercocok tanam, hingga masa panen.

Kemudian setelah panen antara petani penggrap dengan petani pemilik lahan memperhitungkan pengeluaran biaya pupuk, dan biaya panen seperti manyabik, mairiak, dan malumbo setelah biaya tersebut di keluarkan, hasil panen yang didapat baru di bagi dua.

Cara sistem bagi hasil menyebabkan orang yang memiliki lahan atau tanah tidak mendapat keuntungan secara penuh dari hasil yang diperoleh. Akan tetapi bagi petani penggrap mereka yang semulanya tidak memiliki lahan dapat memperoleh sebagian hasil dari usaha padi sawah yang mereka kelola, walaupun hasil yang di dapat tidak sepenuhnya di peroleh. Meskipun demikian apa yang menyebabkan mereka mau melakukan cara tersebut.

Adapun tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data, informasi, mengetahui dan membahas tentang Ketersedian lahan yang mendorong petani dalam melakukan sistem bagi hasil pada lahan pertanian sawah di jorong Surabayo kenagarian Lubuk Basung kabupaten Agam, Kebiasaan yang mendorong petani dalam melakukan sistem bagi hasil pada lahan pertanian sawah di jorong Surabayo kenagarian Lubuk Basung kabupaten Agam, Lokasi yang mendorong petani dalam melakukan sistem bagi hasil pada lahan pertanian sawah di jorong Surabayo kenagarian Lubuk Basung kabupaten Agam.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mendorong petani dalam melakukan sistem bagi hasil pada lahan pertanian sawah. Maka

(5)

dalam penelitian ini penulis mangajukan judul “Faktor-Faktor Yang Mendorong Petani Padi Sawah Dalam Melakukan Sistem Bagi Hasil Di Jorong Surabayo Kenagarian Lubuk Basung Kabupaten Agam”.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah kualitatif.

Penelitian ini dilakukan di Jorong Surabayo Kanagarian Lubuk Basung Kabupaten Agam.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah Ketua RK yang mengerti tentang sistem bagi hasil. Dari informan kunci, ditentukan informan penelitian yaitu petani padi sawah yang melakukan bagi hasil, dan pemilik lahan di jorong Surabayo kanagarian Lubuk Basung kabupaten Agam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 23 orang.

Teknik analisa data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertama, Dilihat dari ketersediaan lahan di daerah penelitian luas lahan di jorong Surabayo kanagarian Lubuk Basung Kab Agam berkisar 280 Ha. Mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dan berladang. Timbulnya pelaksanaan sistem bagi hasil di jorong Surabayo kanagarian Lubuk Basung bagi pemilik lahan yaitu di karenakan petani memiliki lahan yang cukup luas kemudian tidak sanggup lagi untuk menggarapnya dengan faktor usia yang sudah lanjut, kemudian tidak memilki waktu di karenakan oleh kesibukan atau pekerjaan lainnya, faktor kemanusiaan memberikan kesempatan kepada orang lain yang tidak punya tanah gerapan sendiri sehingga timbul rasa saling tolong menolong. Oleh karena itu pemilik lahan menyerahkan lahanya kepada orang lain dengan cara memilih petani yang sudah terbiasa bertani bisa di percaya, dan bersedia mengolah tanah pertaniannya.

Bagi pemilik lahan cara seperti ini membuat mereka merasa terbantu dengan menerima hasil tanpa kerja keras, sawah tidak terlantar, dan dapat membantu orang yang tidak memiliki penghasilan.

Sedangkan bagi si penggarap pada umumnya mereka melakukan bagi hasil pertanian sawah adalah tidak mempunyai tanah garapan atau sawahnya sedikit sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kemudian mereka tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga hal seperti inilah yang di anggap lebih baik.

Dalam pertanian sawah tidak selalu mendapatkan keuntungan, akan tetapi terkadang mendapatkan kerugian seperti gagal panen yang di sebabkan oleh gangguan dari hama wereng, tikus dan binatang lainnya. Sehingga petani tidak dapat menerima hasil panen yang di harapkan. Untuk kendala yang dihadapi yaitu pada saat musim penghujan dengan terjadinya intensitas curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan tanaman padi menjadi rebah yang di terjang oleh angin sehingga menimbulkan kerugian bagi petani tersebut.

Untuk mengatasi tanaman pada saat cuaca buruk seperti musim penghujan petani membersihkan saluran air supaya air hujan tidak masuk kedalam sawah secara berlebihan. Karena apabila air masuk dapat merusak tanaman, sedangkan pada saat kekeringan petani mengusahakan mencari air dimalam hari dengan bergotong royong bersama petani lainya untuk membersihkan bendungan. Hak petani penggarap menerima hasil panen, dan kewajibannya menjaga dan merawat tanaman hingga panen.

Hal ini sesuai dengan pendapat Fitriani (2005) lahan merupakan suatu kawasan buatan yang bercirikan segala tanda pengenal, biosfer, atmosfer pedosfer (bentang alam), litosfer (geologi), hidrologi yang secara bersama-sama memberikan

(6)

pengaruh penting terhadap kehidupan manusia.

Kedua: Dilihat dari kebiasaan masyarakat di jorong Surabayo kanagarian Lubuk Basung telah mengenal bagi hasil tanah pertanian, gadai, sewa, dan jual beli.

Sistem bagi hasil tanah pertanian telah membudaya dikalangan masayarakat secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya sebagai adat yang berlaku sejak lama. Karena masyarakat menganggap bahwa adat istiadat dan budaya sebagai bagian dari kehidupan.

Selain itu ditemukan bahwa perjanjian bagi hasil antar petani penggarap dan petani pemilik lahan diadakan secara lisan atau dengan cara mufakat diantara pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak pernah menghadirkan saksi sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lemah. Alasannya karena ada rasa saling percaya dan kebiasaan yang pada umumnya terjadi di jorong tersebut. Hal ini dianggap lebih praktis dan lebih sederhana dibandingkan dengan menerapkan UU No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Yang mana semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala Desa dan dihadiri oleh dua orang saksi masing-masing untuk pemilik dan penggarap Boedi (2008).

Sebenarnya kehadiran saksi adalah untuk menguatkan perjanjian bagi hasil tanah pertanian tersebut agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap itu dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik. Kemudian mereka melakukannya dalam jangka waktu 1 tahun atau lebih.

Hal ini sesuai dengan pendapat Budiyanto (2003:124) kebiasaan adalah semua peraturan yang meskipun tidak

ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat karna mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum.

Ketiga: Dilihat dari lokasi bagi pemilik lahan mendorong untuk mau melakukan sistem bagi hasil. Karena jarak tempuh antara tempat tinggal dengan lahan sawah memiliki jarak yang cukup jauh sehingga pemilik lahan tidak cukup waktu untuk mengelolanya karena kesibukan lain oleh karena itu pemilik lahan lebih memilih orang lain untuk menggarapnya.

Jarak tempuh antara rumah dengan lokasi pertanian bervariasi kendaraan yang di gunakan untuk ke lokasi terkadang menggunakan kendaraan bermotor atau jalan kaki. Dengan kondisi jalan yang cukup bagus tetapi pada saat hujan jalanan menjadi becet.

Sedangkan bagi petani penggarap terkadang lokasi tidak menjadi masalah yang penting mereka ada usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi ada juga sebagian petani menimbang jauh dekatnya lokasi karena faktor usia. Kendraan yang di gunakan tidak ada mereka lebih memilih untuk pergi kesawah dengan jalan kaki, dengan kondisi jalan yang cukup bagus tetapi pada saat hujan jalanan menjadi becet.

Bagi petani pemilik lahan kendala yang di hadapi untuk pergi kesawah yaitu apabila kondisi badan tidak sehat menyebabkan petani mengurungkan waktunya untuk pergi kesawah.

Hal ini sesuai dengan pendapat (Sumaatmaja) lokasi merupakan sangat erat kaitannya dengan jarak di permukaan bumi.

Suatu gejala akan sangat strategis dan mempunyai nilai guna yang tinggi jika terletak pada lokasi yang menguntungkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

(7)

1. Ketersediaan lahan yang mendorong masyarakat di karenakan petani memiliki lahan yang cukup luas kemudian tidak sanggup lagi untuk menggarapnya dengan faktor usia yang sudah lanjut, kemudian tidak memilki waktu di karenakan oleh kesibukan atau pekerjaan lainnya. Sedangkan bagi petani penggarap karena mereka tidak memilki lahan sendiri yang bisa untuk di kelola, tidak memiliki pekerjaan tetap.

2. Kebiasaan yang mendorong masyarakat dikarenakan sistem bagi hasil tanah pertanian atau memperduoi telah membudaya dikalangan masyarakat secara turun temurun yang sulit untuk dihilangkan. Mereka masih berpedoman pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku sejak lama dalam bentuk secara lisan, tanpa harus ada perjanjian dalam bentuk tertulis atas dasar saling percaya, dan kekeluargaan dari masing- masing pihak, baik pemilik lahan maupun petani penggarap tanpa menghadirkan seorang saksi.

3. Lokasi yang mendorong pemilik lahan mendorong dikarena jarak tempuh antara tempat tinggal dengan lahan sawah memiliki jarak yang cukup jauh sehingga pemilik lahan tidak cukup waktu untuk mengelolanya karena kesibukan lain oleh karena itu pemilik lahan lebih memilih orang lain untuk menggarapnya. Sedangkan bagi petani penggarap terkadang lokasi tidak menjadi masalah yang penting mereka ada usaha dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi ada juga sebagian petani menimbang jauh dekatnya lokasi karena faktor usia.

Sedangkan saran yang dapat penulis kemukakan :

1. Sebaiknya perjanjian pelaksanaan bagi hasil di jorong Surabayo kanagrian Lubuk Basung Kab Agam jangan di lakukan dalam bentuk lisan, melainkan dalam bentuk tertulis agar mempunyai kekuatan hukum.

2. Untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, sebaiknya perangkat nagari Lubuk Basung bekerjasama dengan pihak Kecamatan dan Dinas Pertanian untuk lebih banyak lagi mengadakan penyuluhan terhadap

petani yang kurang pengetahuan, guna pemahaman tantang UU No 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Pertanian mengenai seluruh peraturan pelaksanaan bagi hasil pertanian.

3. Bagi peneliti selanjutnya dijadikan bahan rujukan dan pedoman yang bermanfaat dan menambah wawasan pembaca dan peneliti sendiri

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, 2003. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta: Erlangga

http://www.definisi-

pengertian.com/2015/04/lokasi- strategis-dan-pengertian-lokasi.html Pane Astuti Ely, 2014. Sistem Bagi Hasil

Dan Pendapatan Petani Padi Di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu, Skripsi Universitas Bengkulu. Jurnal Harsono Boedi, 2008. Hukum Agraria

Indonesia. Jakarta: Djambatan

P.Todaro Michael dkk, 2006. Pembangunan Ekonomi. : Erlangga

Referensi

Dokumen terkait

3 FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA ILLEGAL LOGGINGDI NAGARI PULASAN KECAMATAN TANJUNG GADANG KABUPATEN SIJUNJUNG Oleh: Dwi Novembria Kartika*Bakaruddin**Rika Despica** Mahasiswa

4.Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif antara pengelolaan tanaman karet, ketersediaan lahandan permintaan karet secara bersama-sama terhadap motivasi masyarakat menanam karet