• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agenda Kebijakan yang Tertunda

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 48-54)

AGENDA REFORMASI BIROKRASI: Membentuk Jati Diri Birokrasi Publik

A. Agenda Kebijakan yang Tertunda

Reformasi birokrasi merupakan upaya dalam melakukan perubahan dan pembaharuan mendasar suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yakni aspek-aspek ketatalaksanaan (Business process), kelembagaan (organisasi), dan sumber daya manusia aparatur. Oleh Sedarmayanti (2008) mengemukakan permasalahan dan kebijakan reformasi aparatur Negara dewasa ini meliputi: (1) manajemen perencanaan dalam pemerintahan Negara belum diselenggarakan secara terpadu dan terintegrasi, (2) peranan lembaga pusat sistem administrasi Negara, (3) kinerja kepegawaian Negara, (4) klasifikasi jabatan, (5) Gender mainstreaming, (6) Asosiasi professional PNS, (7) Model Desentralisasi terbatas, (8) mobilitas PNS daerah terbatas, (9) sistem informasi kepegawaian kurang akuat, (10) Program diklat, (11) sistem penggajian, dan (12) Praktek Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam penerimaan PNS, penempatan dan promosi pejabat sudah menyebar hampir di semua jabatan dan sektor.

Dwiyanto, (2011) mengemukakan bahwa pada tahun 2007 jurusan ilmu administrasi negara fisipol UGM menyelenggarakan seminar nasional dalam rangka merayakan purna bakti Profesor Miftah Thoha sebagai PNS (bukan sebagai guru karena guru tidak pernah mengenal purna bakti). Tema seminar pada waktu itu adalah “meluruskan kembali reformasi birokrasi:, reformasi birokrasi selama beberapa tahun terakhir ini memang sering menjadi topik dalam berbagai seminar, pemberitahuan media, serta perbincangan di kalangan masyarakat mulai dari orang awam hingga seorang presiden. Pada intinya, reformasi birokrasi digugat karena dinilai gagal dalam memperbaiki perilaku aparatur birokrasi, terutama setelah terungkapnya kasus mafia pajak Gayus Tambunan.

Pengembangan sejumlah program reformasi birokrasi yang diikut oleh munculnya sejumlah kasus yang mengindikasikan sangat lemahnya program dari pemerintah merupakan hal yang menurut Dwiyanto (2011) memotivasinya untuk mengkritisi dan mengelaborasi pemikiran yang pernah disampaikan pada seminar tahun 2007 tersebut. Menurut

35 Dwiyanto, (2011), tema seminar itu mengasumsikan setidaknya dua hal. Asumsi yang pertama adalah pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan reformasi birokrasi yang menjadi dasar bagi pengembangan berbagai program pembaruan birokrasi publik baik di pusat maupun daerah. Sedangkan asumsi yang kedua adalah perjalanan reformasi birokrasi di Indonesia telah menyimpang dari arah yang telah disepakati dalam kebijakan reformasi birokrasi dan karena itu perlu diluruskan kembali agar program-program pembaruan birokrasi publik dapat kembali ke jalur yang benar. Pertanyaannya adalah apakah memang demikian situasinya? Apakah selama ini pemerintah telah memiliki kebijakan yang jelas tentang arah pembaruan birokrasi publik di Indonesia? apakah telah terdapat kebijakan pemerintah untuk membenahi karut marut birokrasi publik di Indonesia? Sosok birokrasi publik seperti apa yang akan diwujudkan oleh pemerintah untuk mendukung proses perebutan di Indonesia?

Menurut Dwiyanto (2011), sebenarnya pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan reformasi birokrasi yang visioner, holistis, koheren, dan serius untuk membenahi birokrasinya. Ia menyebut bahwa pemerintah Indonesia gagal merumuskan kebijakan reformasi birokrasi, padahal telah lebih dari 60 tahun merdeka dan selama lima dekade memiliki lembaga yang mengurus reformasi administrasi publik. Sementara itu pemerintah dan sejumlah pemangku kepentingan menyadari bahwa banyak aspek dari birokrasi publik di Indonesia sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan karena memang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian yang sangat berbeda dari birokrasi pemerintah ketika dilahirkan. Banyak di antara nilai, tradisi, peraturan, struktur, dan desain birokrasi publik sekarang ini sebenarnya merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda, yang tentu tidak lagi cocok untuk menjawab tantangan birokrasi publik sekarang ini.

Reformasi birokrasi publik di Indonesia merupakan warisan dari birokrasi kolonial yang telah dirancang berbeda dengan arah dan tujuan negara Indonesia. Akan tetapi, tidak pernah serius dalam melakukannya maka sampai sekarang pemerintah Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam membenahi birokrasinya (Dwiyanto, 2011). Akibatnya, birokrasi publik di Indonesia selama ini cenderung menjadi instrumen kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politis yang sempit, sektoral, dan berjangka pendek. Birokrasi pemerintah cenderung gagal menjadikan dirinya sebagai lembaga publik yang mampu melindungi kepentingan publik, mendorong adanya

36

perubahan sosial dan ekonomi dalam masyarakat, serta sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Akan tetapi, selama ini birokrasi pemerintah selalu memposisikan dirinya sebagai contoh kekuasaan maka tidak mengherankan apabila dari waktu ke waktu birokrasi mengalami krisis kepercayaan publik (Dwiyanto, 2007).

Kepercayaan publik menjadi hilang akibat implementasi birokrasi yang kehilangan legitimasi sosial (Dwiyanto, 2007). Citra birokrasi terus menunjukkan keterpurukan dan menjadi sumber sebuah persoalan publik dimata masyarakat. Dalam bidang sosial politik, birokrasi sering dinilai sebagai penghambat proses demokratisasi yang sekarang sedang berlangsung di tanah air (Dwiyanto, 2003; 2007). Birokrasi pemerintah sering dinilai gagal memfasilitasi berkembangnya masyarakat sipil yang kuat. Bahkan, ketegangan hubungan antara birokrasi pemerintah dan kekuatan masyarakat sipil sering terjadi. Dalam bidang ekonomi dan bisnis, birokrasi pemerintah sering menjadi faktor negatif karena dinilai sebagai penyebab dari ekonomi biaya tinggi yang membuat iklim investasi menjadi kurang menarik (World Bank & IFC, 2009). Banyak regulasi yang dibuat oleh birokrasi publik sering menghambat pelaku usaha masuk ke pasar dan menghalangi terjadinya kompetisi yang wajar di pasar. Kinerja birokrasi yang buruk juga dinilai menjadi salah satu faktor penting dari kegagalan usaha di daerah. Temuan Governace Assessment survey (GAS) tahun 2006 menunjukkan bahwa birokrasi yang korup paling banyak dinilai oleh pemangku kepentingan di daerah (73 persen), terutama dari kalangan pengusaha, sebagai faktor penyebab kegagalan usaha. Hampir separuh dari pemangku kepentingan (42 persen) yang menjadi responden pada survey tersebut juga menilai regulasi di daerah tidak efektif dalam memperbaiki iklim investasi (dalam Dwiyanto, 2007).

Birokrasi masih menjadi beban dan hambatan untuk mendirikan usaha di Indonesia. Menurut studi yang dilakukan oleh Internatinal Bank for Reconstruction and Development dan Bank Dunia, Indonesia pada tahun 2009 berada di urutan 122 di antara 183 negara dalam hal kinerja pemerintah dalam mendukung kegiatan perekonomian, khususnya menyangkut proses pendirian usaha, pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), dan pendaftaran properti. Khusus dalam mengurus izin mendirikan usaha, para pengusaha harus melalui prosedur yang panjang, berbelit-belit, waktu yang lama, dan biaya yang mahal. Senada dengan itu, Dahyar Daraba (2014) mengemukakan bahwa birokrasi perizinan belum berjalan secara

37 efisien dan efektif, sehingga masih ditemukan berbagai masalah dalam pelayanannya. Masalah-masalah ini memiliki dampak langsung terhadap dunia usaha khususnya kegiatan investasi di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat antara lain:

 Pengurusan perizinan menggunakan waktu yang relatif lama

 Proses yang digunakan berbelit-belit sehingga prosedur tidak sesuai standar yang ideal.

 Kurangnya transparansi terhadap pelayanan yang diberikan serta biaya yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Para pengusaha dalam negeri maupun investor yang masuk di Indonesia, membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk pengurusan izin usaha, izin mendirikan bangunan apabila dibandingkan dengan pesaing pada kawasan Asia. Lebih jauh, Dahyar Daraba (2014) menulis bahwa dari beberapa kota di Indonesia pengurusan IMB (izin mendirikan bangunan) menggunakan 12 prosedur dengan menggunakan waktu 118 hari dengan biaya 161 persen dari pendapatan perkapita. Apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti: Thailand yang hanya membutuhkan 8 prosedur dengan menggunakan waktu 33 hari dengan biaya 5,8 persen dari pendapatan perkapita. Malaysia membutuhkan 9 (Sembilan) prosedur, memakan waktu 30 hari atau 19,7 % dari pendapatan per kapita dalam memulai bisnis atau usaha (data ease of doing business 2012). Akibat dari aturan yang banyak dan biaya yang tinggi maka akan akan terjadi pelayanan yang kurang efisien. Dahyar Daraba (2015) dalam studinya di Kabupaten Takalar menemukan bahwa diperlukan 8 prosedur untuk pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dengan memakan waktu kurang lebih 20 hari dan menghabiskan biaya sebesar 4 persen dari rencana anggaran biaya (RAB). Adanya fenomena tersebut mendorong dilakukannya revitalisasi dan restrukturisasi kelembagaan pemerintah daerah, mengawali proses desentralisasi (otonomi daerah) sebagai bagian dari proses menuju terwujudnya “Good Governance”.

Masih terdapat variasi kinerja yang sangat tinggi antarbirokrasi pemerintah daerah dalam mendukung kegiatan usaha di wilayah yurisdiksinya. Memang telah terdapat sejumlah daerah yang menunjukkan prestasinya, seperti Kota Yogyakarta yang mensyaratkan hanya 8 prosedur mengurus IMB (setara dengan peringkat 5 level global) (WORLD BANK & IFC, 2009). Namun, beban dan rintangan birokrasi masih membayangi

38

sebagian besar daerah lainnya dan dalam aspek pendirian usaha lainnya.

Situasi seperti ini tentu tidak menguntungkan, oleh sebab itu harus segera diakhiri. Membiarkan birokrasi pemerintah tumbuh dan eksis sebagaimana sekarang adalah sebuah kesalahan yang harus dibayar mahal oleh Indonesia karena kita kehilangan kesempatan untuk memiliki suatu institusi yang seandainya dapat dikembangkan dengan baik akan dapat memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan bangsa. Lebih dari 60 tahun kita membiarkan birokrasi menuliskan cerita kehidupannya sebagaimana sekarang ini yang jauh dari cita-cita para pendiri bangsa yang menghentikan birokrasi sebagai lembaga yang profesional, modern, efisein, dan peduli kepada kepentingan publik. Yang terjadi sekarang justru sebaliknya, birokrasi pemerintah cenderung berkembang menjadi lembaga yang korup, tidak efisien, berorintasi pada kekuasaan, dan tidak peduli kepada kepentingan publik (Dwiyanto, 2002; 2003;2007).

Kondisi birokrasi seperti sekarang ini tentu tidak boleh dibiarkan dan harus segera diakhiri. Masyarakat dan para pemangku kepentingan harus menekan pemerintah Indonesia untuk segera memutuskan sejarah perkembangan birokrasi dan membangun cerita baru tentang birokrasi yang profesional, modern, efisien, dan peduli terhadap kepentingan publik. Tekanan terhadap pemerintah perlu dilakukan karena tidak mungkin mengharapkan pemerintah yang sedang berkuasa mengambil inisiatif untuk membenahi birokrasinya karena birokrasi yang korup sering kali memberikan privilege (hak-hak istimewa) kepada para penguasa. Dugaan ini menguat setelah melihat lemahnya komitmen pemerintah selama ini untuk membenahi birokrasinya.

Para pemangku kepentingan harus segera menyamakan persepsi tentang perlunya mendorong reformasi birokrasi sebagai agenda kebijakan publik yang penting. Tekanan, dorongan, dan insentif perlu didistribusikan kepada para pemegang kekuasaan, baik di ekskutif maupun legislatif, agar berinisiatif untuk mereformasi berbagai produk hukum yang selama ini menghalangi pembaruan dalam birokrasi publik. Auditing terhadap berbagai peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan cita-cita pengembangan birokrasi publik yang modern, profesional, efisien, dan peduli terhadap kepentingan publik harus segera dilakukan. Sementara itu para pemangku kepentingan harus mendorong wacana publik secara berkelanjutan tentang

39 perlunya melakukan reformasi birokrasi pemerintah (Dwiyanto, 2011).

Sejumlah kegiatan riset telah menghasilkan informasi tentang profil birokrasi di Indonesia dan masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah governance and decentralization survey dan governance assessment survey. Reformasi yang dihasilkan dari kegiatan riset tersebut perlu segera ditransformasi sebagai informasi kebijakan sehingga mudah diakses oleh para pembuat kebijakan. Policy briefs dan policy papers perlu segera dibuat agar menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan. Selama ini jarak yang sangat lebar terjadi antara proses pengumpulan informasi dengan kegiatan pengambilan keputusan dan kebijakan. Akibatnya banyak informasi penting yang dihasilkan oleh kegiatan riset tidak dapat dimanfaatkan dalam proses kebijakan. Komunikasi antaraktor yang terlibat dalam arena riset dan pembuatan kebijakan penting untuk didorong dan diberdayakan (Dwiyanto, 2011).

Pertanyaannya menurut Dwiyanto (2011) adalah apakah serangkaian tindakan di atas cukup efektif untuk memaksa pemerintah segera mengambil inisiatif untuk mereformasi birokrasinya? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, melihat besarnya tekanan publik dan semakin besarnya akumulasi kekecewaan masyarakat sipil dan bisnis terhadap kinerja birokrasi pemerintah maka pemerintah tidak memiliki pilihan untuk menunda reformasi birokrasi. Apalagi dengan adanya perubahan lingkungan pasar global sebagai konsekuensi dari liberalisasi pasar di Indonesia maka senang ataupun tidak senang birokrasi publik di Indonesia harus berubah. Jika tidak, birokrasi pemerintah di Indonesia akan menjadi salah satu lembaga yang keberadaannya justru memperburuk daya saing ekonomi nasional (Dwiyanto, 2011).

Adanya tekanan pasar global yang dimulai dengan diberlakukannya sistem perdagangan bebas di kawasan ASEAN dan Cina menuntut percepatan reformasi birokrasi pemerintah. Bukan lagi menjadi rahasia umum, bahkan sudah lazim diketahui, bahwa birokrasi pemerintah masih menjadi kendala dalam peningkatan daya saing bangsa. Proses kerja birokrasi yang tidak efisien, aparat birokrasi yang korup, dan kualitas regulasi yang buruk membuat birokrasi pemerintah gagal memfasilitasi satuan sosial ekonomi bangsa untuk meningkatan daya tahan dan daya saingnya di pasar regional yang semakin terbuka. Biaya pemerintah dan birokrasi yang terlalu tinggi membuat mereka mengalami kesulitan bersaing dengan satuan sosial ekonomi dari

40

negara lainnya yang beroperasi dalam pemerintahan dan birokrasi yang lebih efisien dan memiliki integritas yang lebih tinggi.

Tekanan untuk melakukan reformasi birokrasi juga muncul dari keinginan mewujudkan tata pemerintahan yang lebih demokratis (democratic governance). Tata pemerintahan yang demokratis membutuhkan adanya birokrasi yang efektif, transparan, akuntabel, dan partisipatif. Namun, semua menyadari bahwa birokrasi pemerintah sangat jauh dari sosok seperti itu. Efektivitas birokrasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial ekonomi sangat rendah. Bahkan, dalam banyak hal birokrasi pemerintah justru menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Perilaku korupsi masih terus menggurita dalam kehidupan birokrasi baik di kalangan legislatif maupun eksekutif. Sangat sulit mendorong birokrasi untuk menjadi transparan karena peluang mereka melakukan praktik korupsi menjadi sempit ketika sistem dan proses dalam birokrasi menjadi tidak akuntabel. Orientasi kekuasaan yang masih sangat besar dalam birokrasi pemerintah membuat mereka gagal mendorong terwujudnya pemerintahan yang partisipatif. Berbagai fenomena ini membuat reformasi birokrasi pemerintah menjadi keniscayaan.

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 48-54)