• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kepercayaan Publik

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 136-142)

MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP PEMERINTAH

A. Konsep Kepercayaan Publik

Pada dekade terakhir ini kepercayaan terhadap pemerintah menjadi perdebatan yang penting di beberapa Negara terkait dengan berbagai krisis domestik yang terjadi di masing-masing Negara. Data menunjukkan adanya tren penurunan kepercayaan terhadap pemerintah di berbagai negara, baik pada negara yang sedang maju maupun berkembang, termasuk Indonesia (WEF, 2005; Blind, 2006; Khan, 2008; Dwiyanto, 2007). Fenomena menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah bahkan kemudian cenderung menjadi fenomena global. Karena, itu krisis kepercayaan publik sangat penting untuk dikaji secara lebih mendalam agar kita dapat memahami kompleksitas dari fenomena itu dan juga upaya untuk memperbaikinya.

Menurut Dwiyanto (2010), di Indonesia, kajian mengenai kepercayaan publik belum banyak dilakukan sehingga belum memperoleh perhatian yang wajar dari para peneliti dan praktisi administrasi publik. Penelitian administrasi publik selama ini lebih memusatkan perhatiannya kepada isu-isu mengenai efisiensi, produktivitas, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, legitimasi, partisipasi, dan berbagai isu-isu lainnya yang terkait dengan kualitas tata pemerintahan. Isu tentang kepercayaan publik belum banyak dilirik oleh para peneliti karena kepercayaan publik cenderung diperlakukan sebagai extraneous variable dalam kepercayaan publik, tetapi juga memiliki peran penting dalam proses penyelenggaraan administrasi publik tersebut.

Lebih jauh, Dwiyanto (2011) mengemukakan bahwa di Indonesia, para ilmuwan baru mulai mendiskusikan kepercayaan terhadap pemerintah setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik yang berakhir dengan jatuhnya rezim orde baru. Kejatuhan rezim itu dimulai dengan terjadinya krisis kepercayaan publik yang meluas akibat ketidakmampuan rezim Soeharto mengatasi krisis ekonomi pada waktu itu. Kegagalan dalam merespons krisis ekonomi itulah yang kemudian menjadi salah satu pemicu meluasnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pemerintah orde baru kemudian kehilangan legitimasi hingga akhirnya muncul gerakan reformasi yang

123 berhasil memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri sebagai presiden.

Walaupun kepercayaan publik mulai memperoleh perhatian dari berbagai pihak, pemahaman terhadap konsep kepercayaan publik masih sangat kabur. Konsep kepercayaan dan ketidakpercayaan publik sering digunakan untuk menjelaskan fenomena yang berbeda-beda yang memiliki cakupan luas, dan merujuk pada berbagai bentuk ketidakpuasan atau kekecewaan publik terhadap lembaga pemerintah yang dinilai gagal untuk memenuhi harapan publik. Beberapa istilah yang berbeda sering digunakan untuk menjelaskan fenomena yang terkait dengan kepercayaan, seperti confidence, reliatibility, dan trustworthiness (Coudhory, 2008). Kecenderungan untuk menggunakan konsep kepercayaan dan ketidakpercayaan secara berbeda-beda serta bergantung pada konteksnya ialah sesuatu yang wajar dan terjadi di banyak negara. Hal itu terjadi karena konsep kepercayaan publik bersifat multidimensional dan dapat dijadikan subjek dari disiplin yang berbeda, seperti psikologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan administrasi publik.

Konsep kepercayaan secara umum dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu political trust (kepercayaan politik) dan social trust (kepercayaan sosial). Dalam perspektif politik, kepercayaan terjadi ketika warga dapat menilai lembaga pemerintah dan para pemimpinnya dapat memenuhi janji, efisien, adil, dan jujur (Blind, 2007). Jika institusi pemerintah, pejabat publik, dan kebijakan yang dibuatnya dinilai baik oleh warga maka warga akan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap lembaga pemerintah. Mereka percaya bahwa pemerintah tidak akan berbuat buruk dan mencelakakan warga, melainkan akan selalu berbuat baik dan melindungi kepentingan warga walaupun tidak ada yang mengawasi. Kepercayaan sering juga diartikan sebagai suatu kondisi di mana warga dapat menyerahkan seluruh nasibnya kepada pemerintah dan para pejabat publik terhadap lembaga pemerintah dan para pejabatnya. Tingkat kepercayaan publik dapat menjadi indikator dari seluruh suasana kebatinan warga terhadap pemerintah dan kebijakannya, tingginya kepercayaan publik menunjukkan warga merasa senang, nyaman, serta mendukung pemerintah dan kebijakannya.

Blind (2007) lebih jauh membedakan kepercayaan politik berdasarkan subjek, yaitu siapa warga menaruh kepercayaan, dan motivasi warga mempercayai pemerintah dan kebijakannya. Dilihat dari subjeknya, kepercayaan publik mencakup kepercayaan terhadap organisasi (organizational political trust)

124

dan kepercayaan terhadap pejabatnya (individual political trust). Kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah pada umumnya selalu terkait dengan isu-isu publik tertentu. Ketika para institusi pemerintah dan para pejabatnya mengambil pilihan kebijakan tertentu kemudian dinilai oleh warga sebagai pilihan yang benar dan sesuai dengan harapan dan aspirasinya, maka warga cenderung akan menaruh kepercayaan penuh pada lembaga pemerintah. Sebaliknya, ketika respon lembaga pemerintah dalam menyelesaikan masalah publik tertentu dinilai sebagai kebijakan yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan harapan warga, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan merosot.

Misalnya, ketika pemerintah berusaha mengurangi defisit anggaran dan menjadikan pengurangan subsidi listrik sebagai pilihan kebijakan yang akan ditempuh untuk mengurangi angka defisit, kepercayaan kepada pemerintah akan menurun apabila warga menilai tindakan pemerintah tersebut sebagai tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Masyarakat menilai penghematan anggaran dapat dilakukan melalui cara lain, misalnya dengan mengurangi perilaku konsumtif para elite politik dan birokrasi. Masyarakat juga menilai biaya produksi listrik sebenarnya dapat ditekan apabila pemerintah mengurangi penggunaan migas dalam proses produksi dan menggantinya dengan batubara. Pemerintah enggan membuat kebijakan untuk menjamin pasokan batubara bagi perusahaan listrik negara (PLN) karena takut berhadapan dengan penguasa tambang batubara yang tidak mau memenuhi kebutuhan batubara dalam negeri karena keuntungannya lebih kecil dibandingkan ketika mereka menjualnya ke luar negeri. Tindakan pemerintah itu dinilai oleh warga sebagai tindakan yang tidak adil. Pada satu sisi pemerintah membiarkan pengusaha batubara menikmati keuntungan yang besar dari penjualan batubara, sementara pada sisi lain pemerintah meminta masyarakat untuk menanggung bahan bakar migas (bukan batubara). Kebijakan seperti itu sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan DPR.

Selain dapat melihatnya dari kepercayaan warga terhadap institusi negara atau pemerintah, kepercayaan publik juga dapat dinilai dari kepercayaan warga terhadap para pejabat publik. Tindakan yang dilakukan atau personalitas yang dimiliki para pejabat publik tertentu dapat memengaruhi kepercayaan warga terhadap mereka. Warga yang tidak menyukai tindakan pejabat publik tertentu atau merasa tidak nyaman dengan personalitas pejabat publik tertentu cenderung kehilangan kepercayaan

125 terhadap pejabat tersebut. Menurunnya kepercayaan warga terhadap pejabatnya tersebut selanjutnya dapat memengaruhi persepsi publik terhadap institusi di mana pejabat tersebut bekerja atau berasosiasi. Krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum sering kali bermula dari penilaian negatif warga terhadap tindakan aparat penegak hukum yang sering kali menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan institusinya. Ketika tindakan dan personalitas dari para penegak hukum dinilai arogan, tidak memedulikan rasa keadilan publik, dan lebih membela kepentingan pribadi korpsnya, warga cenderung kehilangan kepercayaan bukan hanya terhadap aparat penegak hukum tetapi juga terhadap institusi penegakan hukum di Indonesia dapat menjadi bukti bagimana kirisis kepercayaan terhadap pejabat penegak hukum melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Kepercayaan publik terhadap institusi pengambil kebijakan dan kepercayaan publik terhadap para pejabatnya, walaupun dapat dibedakan keduanya saling berkaitan. Kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan yang diambil oleh para pejabat publik, bukan hanya akan berimbas pada terjadinya krisis kepercayaan terhadap institusi pengambil kebijakan tetapi juga terhadap para pejabatnya. Pengalaman dalam pengambilan kebijakan bail-out century menjelaskan bagaimana kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk menyelamatkan bank century telah memicu protes dari berbagai komponen masyarakat terhadap pejabat publik yang terlibat dalam pengambilan kebijakan tersebut. Protes dan demonstrasi di banyak daerah yang menghujat Budiono dan Sri Mulyani Indarwati tidak terhindarkan, walaupun keputusan bail-out bank century sebenarnya merupakan keputusan bersama atau kebijakan sebuah institusi, bukan semata-mata keputusan dari kedua pejabat itu. Kepercayaan publik pada tingkat organisasional dan individual dalam praktiknya selalu mengalami kovariasi dan saling memengaruhi antara satu dengan lainnya (Dwiyanto, 2011).

Kepercayaan publik pada tingkat organisasional dan individual sangat tergantung pada kredibilitas dalam pengambilan kebijakan (Blind, 2007). Ketika institusi pemerintah dan para pejabatnya memiliki kredibilitas yang tinggi dalam pengambilan kebijakan maka kepercayaan publik akan dapat dipertahankan dan ditingkatkan keberadaannya. Kredibilitas dalam pengambilan kebijakan terjadi ketika kriteria yang digunakan untuk menentukan pilihan kebijakan tidak dipertanyakan kebenaran dan ketepatannya oleh para pemangku kepentingan. Ketika para

126

pemangku, seperti DPR, aktivis kelompok masyarakat sipil, dan para mahasiswa, mempersoalkan kriteria yang digunakan oleh pemerintah dalam memutuskan pemberian dana talangan kepada Bank Century, berarti proses pengambilan kebijakan tersebut tidak kredibel. Apalagi pemberian dana talangan itu kemudian juga dipersoalkan oleh Jusuf Kalla, yang pada waktu itu menjadi wakil presiden. Hal itu semakin menunjukkan kredibilitas dari proses pengambilan kebijakan tersebut sangat rendah sehingga ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah semakin menguat (Dwiyanto, 2011).

Kepercayaan publik sebagaimana dijelaskan sebelumnya juga dapat dibedakan berdasarkan motivasi warga ketika menilai kebijakan dan tindakan yang diambil oleh para institusi pemerintah dan para pejabatnya. Motivasi warga dalam menilai kebijakan publik dapat didasarkan pada pertimbangan kesesuaian tindakan pemerintah dengan aspirasi dan kepentingan publik atau atas dasar kesamaan nilai-nilai moral dan etika yang mendasari pengambilan kebijakan atau yang dimiliki oleh para pejabat publik. Kepercayaan publik yang bersifat rasional (rational trust) akan terbentuk apabila warga dan para pemangku kepentingan menilai tindakan yang diambil oleh para institusi pemerintah dan pejabatnya sesuai dengan aspirasi dan harapan warga. Sedangkan kepercayaan publik yang bersifat psikologis terjadi ketika para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan memiliki kesamaan nilai-nilai moral dan etika yang dapat menjustifikasi tindakan yang diambil untuk merespons masalah-masalah publik. Ketika para pemangku kepentingan dan warga menilai para pejabat publik memiliki nilai-nilai moral dan spirit yang sama dengan yang mereka miliki, mereka akan menganggap para pejabat publik tersebut dapat dipercaya (trust worthy). Kepercayaan publik yang seperti itu sering kali sangat dipengaruhi oleh penampilan, pidato, citra, personalitas, dan tindak-tinduk dari para pejabat publik.

Varian kedua dari konsep kepercayaan publik adalah kepercayaan sosial. Kepercayaan sosial merujuk pada kepercayaan warga terhadap warga lainnya dalam suatu komunitas atau masyarakat yang sama. Ketika warga percaya bahwa tetangganya adalah orang baik yang akan selalu menjaga harta bendanya apabila mereka meninggalkan rumah atau sedang berpergian, hal itu menunjukkan bahwa warga tersebut memiliki kepercayaan sosial. Warga menjadi lebih tenang untuk meninggalkan rumah dan harta bendanya karena mereka percaya rumah dan harta bendanya akan tetap aman walaupun ditinggal

127 untuk beberapa lama. Robert putnam (1993) mengatakan keterlibatan warga dalam kegiatan sosial dan kepercayaan antara sesama warga memberikan kontribusi penting dalam terbentuknya kepercayaan politik. Interaksi warga dalam kegiatan sosial dan pemerintah bukan hanya membuat warga memiliki kepercayaan yang semakin tinggi terhadap warga lainnya tetapi juga kepercayaan terhadap pemerintah. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan konsep kepercayaan politik dan kepercayaan sosial tidak bersifat mutually exclusive, melainkan bersifat tumpang tindih dan memiliki keterkaitan yang sangat erat.

Kepercayaan sosial memiliki kontribusi dalam pengembangan kepercayaan politik, yaitu kepercayaan warga terhadap pemerintah dan kebijakannya. Kepercayaan publik kepada pemerintah dan kebijakannya tidak akan terjadi dalam ruang yang kosong, tetapi berada dalam sebuah masyarakat atau komunitas dengan kepercayaan sosial yang ada di dalamnya turut memengaruhi dinamika kepercayaan publik kepada pemerintah dan kebijakannya. Kepercayaan sosial dan kepercayaan politik sering kali terjadi beriringan, namun hubungan kausalitas di antara keduanya sering kali tidak jelas. Tidak jelas apakah kepercayaan sosial menjadi penyebab dari kepercayaan politik atau sebaliknya, kepercayaan politik ikut memberikan kontribusi terhadap menguatnya kepercayaan sosial. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah pemerintahnya yang dipercaya dapat memberikan kontribusi terhadap semakin besarnya modal sosial atau menguatnya kepercayaan sosial? Atau sebaliknya, apakah kepercayaan sosial sebagai bagian dari modal sosial menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan kepercayaan warga terhadap pemerintah dan kebijakan?

Putnam (1993) menjelaskan kepercayaan sosial sebagai salah satu unsur atau bentuk dari modal sosial. Modal sosial dapat bersumber dari interaksi warga, jejaring sosial, dan kepercayaan antarwarga, yang oleh Blind (2006) disebut kepercayaan sosial. Menurut Putnam, modal sosial memiliki setidaknya dua aspek, yaitu keterlibatan warga dalam kegiatan publik pada tingkat komunitas, daerah, dan negara dan kepercayaan interpersonal. Hasil pengamatannya menunjukkan warga yang tidak terlibat dalam kegiatan publik biasanya cenderung memiliki kepercayaan yang rendah terhadap pemerintahnya. Kepercayaan muncul karena adanya kedekatan dan hubungan emosional antara pemerintah dan warga. Dalam konteks ini, kepercayaan terhadap pemerintah sangat dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap pemerintah dan warga. Dalam konteks ini, kepercayaan terhadap

128

pemerintah sangat dipengaruhi oleh kepercayaan sosial atau oleh modal sosial yang terbentuk dalam masyarakat.

Bab ini memusatkan perhatian pada kepercayaan politik, yaitu kepercayaan warga terhadap institusi pemerintah, kebijakan, dan para pejabatnya. Untuk mengkaji konsep kepercayaan publik tersebut, bab ini mengawalinya dengan menjelaskan berbagai pemahaman yang selama ini di miliki oleh para ilmuwan dan mahasiswa mengenai kepercayaan publik, dimensi-mensi penting dari konsep kepercayaan publik, faktor-faktor yang memengaruhi perubahan kepercayaan publik, keterkaitan antara kepercayaan publik dan praktik tata pemerintahan, dan bagaimana reformasi birokrasi dapat memengaruhi perubahan kepercayaan publik, keterkaitan antara kepercayaan publik dan praktik tata pemerintahan, dan bagaimana reformasi birokrasi dapat memengaruhi perubahan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dengan menjelaskan semua itu diharapkan para pembaca dapat memahami secara baik dinamika kepercayaan publik dan memiliki pengetahuan yang tepat tentang tindakan yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kepercayaan publik sehingga keberadaannya dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 136-142)