• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan Kepercayaan Publik

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 192-200)

MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP PEMERINTAH

J. Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan Kepercayaan Publik

Keterkaitan antara reformasi birokrasi dan peningkatan kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat dilihat dari seberapa besar kontribusi reformasi birokrasi terhadap perubahan dimensi-dimensi kepercayaan publik sebagaimana di jelaskan sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga dimensi penting untuk dijadikan kepercayaan publik, yaitu: kompetensi, integritas, dan ketulusan. Apabila reformasi birokrasi di tujukan untuk membangun sosok birokrasi yang profesional, peduli terhadap kepentingan publik, memiliki integritas yang tinggi, dan mampu memberikan pelayanan yang unggul maka keterkaitan antara reformasi birokrasi dan kepercayaan publik menjadi keniscayaan. Dengan demikian, tidak mengehrankan apabila beberapa negara menjadikan kepercayaan publik sebagai salah satu nilai yang

179 ingin dikejar melalui reformasi birokrasi yang dilaksanakannya. Hubungan antara reformasi birokrasi dan kepercayaan publik pararel dengan hubungan antara mean dan end yang terwujudnya sangat di tentukan oleh keseriusan pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi itu sendiri.

Apabila reformasi birokrasi bukan hanya menjadi slogan atau bukan hanya untuk memperbaiki remunerasi pegawai, melainkan dirancang untuk memperbaiki struktur birokrasi, membentuk budaya birokrasi yang berorientasi pada produktivitas dan pelayanan, menjadikan kepentingan publik sebagai sentral dalam kehidupan birokrasi publik, serta membentuk aparatur yang berintegritasi tinggi dan profesional, peningkatan kepercayaan publik adalah sebuah keniscayaan. Struktur birokrasi yang terfragmentasi secara sektoral dan spasial secara berlebihan telah menimbulkan kekacauan pada hubungan antarsatuan birokrasi di daerah dan birokrasi di kementerian dan lembaga nonkementerian. Interkoneksi, kerja sama, dan hubungan yang saling memperkuat tidak terjadi si antara mereka. Sedangkan yang menonjol justru sebaliknya, yaitu terjadi tumpang tindih, konflik, dan kompetisi antar satuan birokrasi pada wilayah, tingkat pemerintahan, dan sektor yang berbeda. Situasi yang demikian membuat birokrasi pemerintah kehilangan kompetensi untuk menyelenggarakn pelayanan yang sederhana, murah dan mudah diakses oleh warga. Salah satu sumber krisis kepercayaan warga terhadap pemerintah, baik di pusat ataupun di daerah, yaitu ketidakpuasan mereka terhadap pelayanan publik dan rendahnya efektivitas kegiatan pemerintahan. Jika reformasi birokrasi mampu memperbaiki struktur birokrasi dengan menjadikannya sebagai fasilitas untuk mempermudah birokrasi dalam melayani warga, reformasi birokrasi akan memberikan kontribusi terhadap perbaikan kompetensi birokrasi pemerintah, yang menjadi salah satu dimensi penting kepercayaan publik.

Kontribusi terhadap perbaikan kompetensi juga dapat muncul dari peningkatan profesionalisme aparatur birokrasi. Sudah banyak sekali temuan dan analisis yang menunjukkan munculnya sejumlah persoalan baru di daerah akibat dari adanya pergeseran akuntabilitas birokrasi di daerah sebagai konsekuensi dari penerapan otonomi daerah. Ketika desentralisasi mengalihkan akuntabilitas aparatur birokrasi kepada otoritas di daerah tanpa diikuti dengan pengaturan yang jelas, pemberian jaminan adanya akuntabilitas publik, dan pelembagaan nilai-nilai profesionalisme maka moral hazards untuk melacurkan loyalitas aparatur birokrasi kepada pemegang kekuasaan politik, partai

180

politik, dan pengendali sumber daya politik di daerah menjadi marak terjadi. Aparatur daerah tidak lagi loyal kepada kepentingan publik, tetapi lebih loyal kepada kepentingan elite politik, elite birokrasi, dan penguasa sumber daya politik di daerah.

Aparatur melihat adanya peluang untuk membangun karier secara cepat dengan cara melacurkan diri dan loyalitasnya kepada pemegang sumber daya politik di daerah. Karena itu banyak di antara mereka yang kemudian menjadi agen-agen kekuatan politik praktis di daerah. Di pihak lain, para petualang politik di daerah yang melihat birokrasi dapat dijadikan sebagai mesin pengumpul suara yang efektif berusaha memengaruhi aparatur birokrasi untuk menjadi bagian dari mesin politik mereka. Akibatnya, pilkada menjadi arena politisasi birokrasi yang luar biasa dan menggeser loyalitas aparatur dari yang seharusnya mengabdi untuk kepentingan publik menjadi menghamba pada kepentingan politik praktis dan kekuasaan.

Reformasi birokrasi dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan kompetensi pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintah secara efektif dan efisien apabila reformasi birokrasi mampu mengembalikan akuntabilitas dan loyalitas aparatur birokrasi kepada kepentingan publik dan menjadikan aparatur birokrasi sebagai profesi yang independen dari kepentingan kekuasaan dan politik. Politisasi birokrasi selama ini bukan hanya mengganggu kompetensi pemerintah tetapi juga telah merusak integritas birokrasi pemerintah dan para pejabatnya. Ketika birokrasi bergeser menjadi instrument politik dari kepentingan elite politik dan birokrasi maka orientasinya dengan sendirinya juga mengalami distorsi. Birokrasi pemerintah akan meninggalkan orientasinya kepada para kepentingan publik dan lebih mengabdi kepada kepentingan elite politik, birokrasi, dan kekuasaan. Padahal orientasi pada kepentingan publik semestinya menjadi alas an yang paling mendasar dari pembentukan birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintah dibentuk untuk membantu dan bersama-sama dengan warga menyelesaikan masalah publik. Jika reformasi birokrasi dilakukan secara serius untuk mengembalikan birokrasi kepada misi utama dan jati dirinya sebagai institusi yang mengabdi kepada kepentingan publik, reformasi birokrasi akan dapat memperbaiki kepercayaan public melalui semua dimensinya, yaitu perbaikan kompetensi, integritas, dan ketulusan.

Pengembangan profesi aparatur birokrasi menjadi instrumen yang digunakan oleh Soekarno untuk menguasai

181 institusi birokrasi, yaitu dengan menjadikan aparatur birokrasi sebagai basis dukungan bagi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan salah satu afiliasi politiknya pada waktu itu. Soeharto yang menjadi penguasa rezim orde baru membangun kekuasaannya dengan menjadikan birokrasi sipil dan militer sebagai poros kekuasaan bagi pasrtai yang dominan pada waktu itu dan menjadi kendaraan politiknya, yaitu golongan karya (golkar). Pada era sekarang, apabila kita memiliki sistem yang bersifat multipartai dan birokrasi yang ada di pusat dan daerah dikuasai oleh partai politik yang berbeda, maka satuan birokrasi di pusat dan daerah cenderung menjadi kapling dari partai politik yang berbeda-beda.

Ketika birokrasi dan elitenya tergelincir dalam kepentingan politik praktis, loyalitas birokrasi kepada kepentingan public dan bangsa akan tergusur dan menjadi lebih banyak mengabdi pada kepentingan politik praktis. Karakteristik yang menonjol dari birokrasi dan para pejabatnya bukan lagi sensitivitas dan kepeduliannya terhadap kepentingan publik, melainkan loyalitas dan orientasinya pada kepentingan politik para pejabatnya. Krisis loyalitas dan orientasi ini sangat berbahaya jika tidak segera dihentikan. Jika reformasi birokrasi dapat berhasil melembagakan nilai-nilai profesi, orientasi pada kepentingan publik, nasionalisme dalam kehidupan birokrasi publik, maka reformasi birokrasi akan mampu memperbaiki tingkat kepercayaan publik. Oleh sebab itu, pengembangan profesi para birokrasi harus menjadi bagian penting dari reformasi birokrasi publik. Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebagai wadah organisasi aparatur birokrasi harus dirombak secara besar-besaran atau sekalian dibubarkan dan segera dibentuk wadah penggantinya yang mampu menjadi organisasi profesi untuk menyantumi pengembangan profesi aparatur Negara. Selama ini, korpri tidak di arahkan dan dikelola sebagai organisasi yang tidak jelas jenis kelaminnya. Orientasi dan jati diri korpri dapat berubah-ubah sesuai dengan kepentingan elite yang menguasainya. Ketidakjelasan orientasi korpri ini menyebabkan profesi aparatur Negara tidak pernah berkembang di Indonesia. Selain itu, tentu ada banyak faktor lainnya yang turut menyebabkan kegagalan membentuk profesi aparatur Negara yang peduli terhadap kepentingan publik. Salah satunya adalah ketakutan dari elite pemimpin nasional untuk kehilangan kesempatan memanfaatkan birokrasi untuk mendukung kepentingan politik praktisnya.

182

Apabila pasar korupsi dalam birokrasi dapat dihapus, program reformasi birokrasi akan dapat meningkatkan integritas institusi pemerintah dan para pejabatnya sehingga kepercayaan publik juga akan meningkat dengan sendirinya. Dengan demikian, kapasitas reformasi birokrasi dalam meningkatkan kepercayaan publik sangat tergantung pada seberapa jauh reformasi birokrasi itu menjadikan penghapusan pasar korupsi sebagai salah satu sarannya. Seperti yang kita ketahui, pasar korupsi di birokrasi public tercipta ketika aktor-aktor dalam birokrasi berburu rente cara mempertukarkan kekuasaan yang dimilikinya untuk membuat regulasi, proyek-proyek pemerintah, dan kebijakan publik dengan sumber daya ekonomi dan keuangan. Kapasitas reformasi birokrasi dalam mengatasi persoalan-persoalan strategis tersebut menentukan kompetensi, integritas, dan ketulusan birokrasi ketika berhubungan dengan warga.

Eksplorasi tentang keterkaitan antara reformasi birokrasi dan dinamika kepercayaan publik tentu dapat dilakukan lebih jauh dan lebih luas, tergantung pada kesungguhan pemerintah menjadikan reformasi birokrasi yang sedang digagasnya itu sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan sangat mendasar yang di hadapi oleh birokrasi pemerintah. Sampai dengan saat ini birokrasi publik belum menjadi institusi yang peduli terhadap kepentingan publik. Birokrasi pemerintah belum dianggap warga dan pemangku kepentingan sebagai institusi yang dapat dipercaya untuk mengelola urusan dan nasib warga. Kepercayaan publik kepada pemerintahan terwujud ketika sebagian besar warga dapat tidur dengan nyenyak tanpa merasa khawtir kalau pemerintah akan gagal memenuhi kebutuhannya. Tingginya kepercayaan publik terlihat dari banyaknya warga yang percaya bahwa pemerintah peduli terhadap kepentingan warga, apa yang menjadi kepentingan warga juga menjadi kepentingan pemerintah, serta percaya bahwa para pejabat publik dengan senang hati akan mengurus kepentingan warga secara tulus dan tidak akan terjadi konflik kepentingan. Pertanyaannya, apakah berbagai aspek kepercayaan publik itu juga mendasari pemikiran pemerintah ketika merancang kebijakan reformasi birokrasi? Apakah di antara program reformasi birokrasi ada yang dirancang untuk memperbaiki persepsi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah?

Apabila pemerintah telah merancang serangkaian program untuk mewujudkan perubahan setidaknya pada ketiga aspek tersebut tentu itu akan dapat memperbaiki kepercayaan

183 publik. Perbaikan kepercayaan publik itu diharapkan dapat mencapai titik optimalnya sehingga keberadaannya dapat mempermudah interaksi antara pemerintah dan warga, memperkecil biaya transaksi dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan dan pemerintah, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah dalam merancang kebijakan reformasi birokrasi tidak memperhatikan kepercayaan publik sebagai salah satu nilai penting yang perlu diwujudkan, sebaiknya jangan terlalu berharap kepercayaan publik dan legitimasi peemrintah akan membaik. Jika hal itu terjadi berarti kita kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan kebijakan tersebut untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bahkan, apabila pelaksanaannya reformasi birokrasi tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat dan para pemangku kepentingan, ketidakpuasan terhadap pelaksanaan reformasi akan menjadi salah satu sumber krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan para pejabatnya.

Krisis kepercayaan publik terhadap institusi peemrintah dan para pejabatnya tidak dapat dibiarkan apabila pemerintah ingin memperkuat legitimasinya di mata warga dan pemangku kepentingan. Rendahnya kepercayaan public terhadap banyak aspek penyelenggaraan pemerintahan, pertumbuhan ekonomi , dan pengembangan demokrasi di Indonesia. Rendahnya kepercayaan publik dapat memperumit hubungan dan interaksi antara pemerintah ,warga dan pemangku kepentingan. Permasalahan semakin kompleks ketika rancang bangun birokrasi pemerintah masih sangat Weberian, yaitu lebih menonjolkan fungsi kontrol dan pola hubungan yang formal daripada fungsi fasilitasi dan pola hubungan yang bersifat informal. Hubungan yang interkatif antara warga dan pemerintah menjadi sulit dikembangkan. Penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pelayanan public semakin rumit, berbelit-belit, serta membuang energi warga pengguna maupun pemerintah.

Semua itu sebenarnya dapat dihindari apabila kepercayaan di antara mereka dapat di bangun sampai pada titik optimalnya. Rendahnya kepercayaan public juga membuat fungsi regulasi yang di jalankan pemerintah lebih berorientasi pada kontrol daripada fleksibilitas dalam merespons dinamika dan kontingensi. Pada masa transisi menuju tata pemerintahnya yang demokratis sekarang ini peningkatan kepercayaan diperlukan untuk mempermudah pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam menyepakati tatanan peemrintahan yang efisien, responsif, transparan, partisipatif, dan akuntabel. Pengembangan tata

184

pemerintahan yang seperti itu membutuhkan perubahan pola piker pemerintah dan para pemangku kepentingan. Ketika pemerintah dan warga dapat menunjukkan kemauan dan niat baik mereka, kepercayaan di antara mereka dapat ditingkatkan. Jika hal itu terjadi, tata peemrintahan yang lebih demokratis dapat diwujudkan secara lebih mudah. Efisiensi dan partisipasi dapat ditingkatkan ketika interaksi antara pemerintah dan warga lebih sederhana dan mudah dilakukan. Prosedur pelayanan menjadi lebih sederhana sehingga energi warga dan pemerintah dapat dihemat dan dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya yang lebih produktif. Keterlibatan warga dalam kegiatan pemerintahan akan semakin tinggi ketika mereka percaya bahwa pemerintah memiliki niat baik dan tulus dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan. Ketika pemerintah memiliki niat baik, pemerintah cenderung bersikap terbuka sehingga warga dapat memahami dan mengontrol tindakan pemerintah secara mudah. Mengelola kepercayaan publik sangat diperlukan sebagai upaya mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis.

Kegagalan membagun kepercayaan publik dapat menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan berubah menjadi semakin kompleks dan sangat jauh dari nilai-nilai dan misi mendasari pembentukan pemerintahan. Salah satu nilai dan misi yang mendasari pembentukan pemerintahan. Salah satu nilai dan misi yang mendasari pembentukan pemerintah adalah melayani dan melindungi kepentingan warga. Namun, pelayanan kepada warga akan sulit diselenggarakan ketika kepercayaan warga terhadap pemerintah sangat rendah. Ketika warga menilai pemerintah tidak lulus dan jujur dalam melayaninya, warga cenderung meninggalkan pelayanan pemerintah dan beralih pada pemberi layanan lainnya. Warga juga enggan berpastisipasi dalam kegiatan pelayanan dan pemerintahan manakala mereka menilai pemerintah tidak jujur dan tulus dalam menyelenggarakan kegiatan tresebut. Kegiatan tersebut juga tidak akan akuntabel oleh warga dan pemangku kepentingan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kegagalan membangun kepercayaan publik membuat cita-cita mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis semakin jauh dari realitas.

Dalam bidang ekonomi ,kepercayaan public diperlukan untuk mendorong investasi yang merupakan prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ketika kepercayaan terhadap pemerintah semakin tinggi maka warga akan semakin tergerak untuk melakukan investasi. Kekhwatiran tentang risiko melakukan investasi yang muncul dari gangguan pemerintah

185 dapat ditekan seminimal mungkin. Semakin mudahnya interaksi antara warga dan pemerintah juga membuat biaya birokrasi menjadi lebih murah. Biaya investasi yang selama ini sangat besar, yang disebabkan oleh buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan perilaku birokrasi, dapat ditekan sehingga iklim investasi menjadi lebih kompetitif. Kepercayaan publik dapat mendorong minat melakukan investasi karena biaya transaksi dalam investasi dan pengembangan usaha dapat ditekan melalui pengembangan layanan berbasis kepercayaan.

Dalam pengembangan demokrasi, kepercayaan publik sangat diperlukan untuk mendorong partisipasi warga dalam kegiatan peemrintahan dan kewargaan. Ketika warga memiliki kepercayaan yang tinggi, keterlibatan warga dalam kegiatan kewargaan akan cenderung meningkat. Menurunnya minat warga untuk berpartisipasi pada pemilu dan pilkada beberapa tahun terakhir ini diduga oleh banyak pengamat sebagai akibat atau manivestasi dari menurunnya kepercayaan warga terhadap manfaat keterlibatannya dalam proses politik. Ketika warga menilai pemimpin yang mereka pilih, baik di dalam pemerintahan ataupun legislatif, gagal memperjuangkan kepentingannya maka mereka menjadi beranggapan keterlibatannya dalam proses politik tidak banyak manfaatnya. Apatisme politik sekarang ini cenderung meluas yang terlihat dari semakin menurunnya angka pemilih pada pilkada di banyak daerah, terutama untuk pemilihan gubernur (Lingkaran Survey Indonesia, 2007).

Menurunnya keterlibatan warga dalam proses politik tentu dapat membahayakan kelangsungan proses demokratisasi yang selama ini telah diperjuangkan dengan susah payah. Para pejabat pemerintah dan wakil rakyat di pusat ataupun di daerah perlu memberikan perhatian terhadap fenomena itu. Pertanyaan yang penting untuk mereka renungkan adalah apa yang salah dengan tindakan mereka selama ini sehingga warga cenderung bersikap apatis dalam politik. Mengapa warga kurang berminat untuk berpartisipasi dalam proses politik? Apakah hal itu terjadi karena ketidakpuasan warga terhadap kinerja pemerintah selama ini yang kurang berhasil memenuhi harapan warga? Apakah itu mengindikasikan terjadinya penurunan kepercayaan warga terhadap pemerintah dan lembaga legislative? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dijadikan sebagai bahan introspeksi para pejabat public agar mereka lebih peduli terhadap kelangsungan proses demokratisasi.

Melihat pentingnya kepercayaan publik bagi perbaikan berbagai aspek kehidupan bangsa, pemerintah dan unsur-unsur

186

penyelenggara Negara lainnya perlu mengelola dinamika kepercayaan publik secara baik. Kepercayaan publik perlu dikelola sedemikian rupa agar mencapai titik optimalnya, yaitu suatu kondisi ketika warga percaya terhadap kompetensi, kejujuran dan ketulusan pemerintah dalam mengelola kegiatan pemerintahan tanpa diikuti oleh hilangnya kesadaran mereka mengenai pentingnya mengawasi pemerintah dan pejabat publik agar tetap mengelola pemerintahan sesuai dengan harapan warga. Titik pengotimalan kepercayaan publik seperti itu tentu tidak hadir dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan secara terus-menerus.

Untuk mengelola kepercayaan publik setidaknya ada tiga aspek yang penting untuk dijaga. Aspek pertama yang perlu dijaga yaitu persepsi publik tentang kapasitas pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Institusi pemerintah dan para pejabatnya harus mampu memahami berbagai persoalan bangsa yang selama ini menjadi perhatian publik, seperti ancaman terhadap integrasi nasional, perilaku korupsi yang meluas, kemiskinan, menurunnya daya saing bangsa, dan kualitas pelayanan publik yang jauh dari harapan warga. Warga ingin melihat institusi penyelenggara Negara dan para pejabat peduli terhadap berbagai masalah tersebut. Bukan hanya itu, mereka juga mengharapkan para pengambil kebijakan guna menunjukkan tindakan yang nyata atau real untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa tersebut.

Warga tidak lagi membutuhkan pernyataan janji dan pencitraan dari para pejabat pemerintah yang ada, apalagi mendegar keluhan presiden dan unsure penyelenggara Negara lainnya tentang berbagai masalah bangsa. Mereka membutuhkan tindakan yang konkret dan manfaatnya dapat segera dirasakan. Warga memilih mereka bukan untuk mengeluh tetapi untuk bertindak secara efektif menyelesaikan berbagai masalah tersebut. Jika pemerintah dan unsure penyelenggara Negara lainnya mampu melakukan itu, penilaian warga tentang kapasitas Negara dan para pejabatnya dalam menyelesaikan masalah bangsa akan terbentuk dengan sendirinya. Dengan demikian, keeprcayaan publik menjadi kompensasi yang pantas bagi institusi pemerintah dan para pejabatnya.

Aspek ketiga yang perlu dikelola dengan baik oleh pemerintah dan unsur penyelenggara Negara lainnya adalah persepsi publik tentang ketulusan pemerintah. Warga dan para pemangku kepentingan telah bosan dengan berpura-pura. Warga ingin menjadikan pemerintah, unsur penyelenggara Negara

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 192-200)