• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosok Birokrasi Pemerintah Masa Depan

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 61-64)

AGENDA REFORMASI BIROKRASI: Membentuk Jati Diri Birokrasi Publik

C. Sosok Birokrasi Pemerintah Masa Depan

Gerakan untuk menjadikan keadilan sosial sebagai salah satu nilai penting dalam penyelenggaraan pemerintah sudah dimulai sejak lama, yaitu empat dekade yang lalu. Pada waktu itu ilmuwan muda administrasi publik melahirkan gerakan new public administration. Mereka menggugat keberadaan ilmu administrasi publik yang dinilainya gagal dalam menuntut praktik adminstrasi publik untuk peduli pada isu tentang keadilan sosial, kebebasan, dan demokrasi (Frederickson, 1971). Sudah lama administrasi publik dijejali dengan dogma-dogma netralitas administrasi publik yang menghendaki adanya pemisahan antara proses politik dan proses administrasi. Dogma tersebut mengajarkan bahwa proses politik dan administrasi merupakan dua proses yang berbeda secara nyata. Menurut dogma tersebut, proses politik bertujuan merumuskan kebijakan, terjadi dalam arena dan institusi politik, dan dilakukan oleh pejabat terpilih. Sedangkan proses administrasi bertujuan melaksanakan apa pun keputusan yang diambil oleh proses politik, terjadi dalam arena birokrasi, dan dilakukan oleh para pejabat karier. Pemisahan proses politik dan administrasi tersebut memunculkan etika netralitas yang mengajarkan bahwa birokrasi publik dan aparatur negara seharusnya bertindak netral atau tidak terlibat dalam alokasi nilai. Birokrasi dan aparatur negara harus melaksanakan apa pun keputusan yang diambil oleh proses politik sebagaimana adanya, serta apa pun alasannya tidak boleh mengkritisi dan memberikan interprestasi terhadap keputusan politik.

Tesis pemisahan antara politik dan administrasi itu yang kemudian ditolak oleh para pembaharu ilmu administrasi publik. Mereka sangat prihatin melihat teori dan praktik administrasi publik gagal memberikan kontribusi terhadap upaya memperbaiki keadilan sosial. Keadilan sosial bahkan menjadi sebuah nilai yang semakin menghilang dari praktik penyelenggara pemerintahan.

48

Ketika para politisi sibuk bermain kekuasaan dan tidak peduli terhadap nasib rakyat, ketika proses kebijakan publik lebih mengabdi pada kepentingan pemegang kekuasaan, dan ketika proses penganggaran lebih didominasi oleh kepentingan elite politik dan birokrasi (elite capture), maka birokrasi publik sebagai salah satu institusi publik gagal memberikan pencerahan dan menunjukkan perannya dalam mendefinisikan what is good for the people. Netralitas birokrasi telah menjadikan birokrasi tidak sensitif terhadap berbagai isu sosial, seperti kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, diskriminasi, dan keadilan sosial (Dwiyanto, 2011).

Apa yang terjadi dalam sejarah perkembangan ilmu administrasi publik setengah abad yang lalu itu relevan untuk melihat masalah yang terjadi di Indonesia. Pemerintah dan birokrasinya telah gagal menujukkan keberpihakannya dalam menghadapi berbagai masalah yang menyinggung rasa keadilan sosial warganya. Terdapat sejumlah bukti mengenai itu, salah satunya adalah penguasaan sumber daya alam oleh elite pengusaha dan kekuatan asing yang berkolaborasi dengan penguasa dan aparatur birokrasi. Mereka bukan hanya menguasai sumber daya alam, tetapi juga merusak lingkungan di sejumlah kawasan. Pengundulan hutan dilakukan untuk membangun vila mewah milik pejabat atau pengusaha. Penggalian bahan tambang dilakukan secara liar di kawasan konservasi. Semua itu mengakibatkan terjadinya bencana alam yang membuat masyarakat menderita terutama kelompok marginal. Banjir membuat para petani merugi dan warga miskin yang tinggal dibantaran sungai terancam kehidupannya. Suku terasing terusir dari tempat tinggalnya di kawasan hutan. Tanah longsor telah mengubur kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Kantong-kantong kemiskinan semakin merata di daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah. Semua itu terjadi begitu saja tanpa ada kepedulian dan keberpihakan yang jelas dari pemerintah dan birokrasinya. Tentu hal itu sangat ironis karena Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia (Dwiyanto, 2011).

Birokrasi publik secara ideologis, konstitusional, dan keilmuan memiliki mandat untuk mewujudkan keadilan sosial. Mandat tersebut bukan hanya untuk para politisi, tetapi juga untuk aparat birokrasi dan warga. Mereka semua harus berkontribusi terhadap setiap upaya perbaikan keadilan sosial. Untuk dapat menjalankan mandat tersebut maka sosok birokrasi yang

49 dikembangkan di masa mendatang haruslah sosok yang mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya keadilan sosial. Birokrasi dan aparaturnya harus mampu mendorong perubahan menuju Indonesia yang lebih adil dengan cara mendistribusikan akses terhadap sumber-sumber mobilitas vertikal, seperti pendidikan, kesehatan, dan sumber daya ekonomi kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Melihat semakin besarnya ketimpangan dalam penguasaan sumber daya sosial dan ekonomi, yang sebagian besar cenderung dikuasai oleh elite penguasa, pengusaha, bahkan kekuatan asing, maka birokrasi pemerintah di masa mendatang harus memiliki perhatian dan kepedulian terhadap permasalahan tersebut. Birokrasi pemerintah harus berpihak pada kelompok warga yang selama ini cenderung terpinggirkan, seperti penduduk miskin, perempuan, suku terasing, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Selama ini terjadi justru sebaliknya, birokrasi publik cenderung berpihak pada kelompok kaya, elite politik, dan pejabat birokrasi. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa mereka yang kaya atau dekat dengan elite penguasa cenderung memiliki provileges ketika berhubungan dengan birokrasi publik (Dwiyanto, 2002;2003). Dalam bidang pendidikan akses terhadap pendidikan yang bermutu cenderung dikuasai oleh penduduk kelas menengah ke atas. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi ketimpangan akses antara penduduk miskin dengan penduduk menengah ke atas. Pelayanan kesehatan yang semakin mahal membuat banyak orang miskin tidak lagi memiliki akses terhadap pelayanan rumah sakit. Sedangkan dalam penyelenggaraan layanan administrasi, warga yang mampu membayar biro jasa (intermediaries) akan menikmati pelayanan istimewah (privileges), yaitu pelayanan yang bermartabat, cepat, dan berkualitas. Begitu pula yang dekat dengan elite politik dn birokrasi, mereka akan memperoleh pelayanan yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki akses apa pun terhadap elite politik dan birokrasi. Kecenderungan pemihakan birokrasi dan aparaturnya kepada kepentingan elite penguasa dengan mudah juga dapat dilihat dari terjadinya elite captures dalam praktik penganggaran, yaitu anggaran pemerintah lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan elite politik dan birokrasi dari pada memenuhi kepentingan publik (Dwiyanto,2007).

Keberpihakan birokrasi publik terhadap kepentingan kelompok penduduk miskin, perempuan, difabel, dan kelompok marginal lainnya sangat penting untuk didorong. Nilai, tradisi,

50

dan praktik yang selama ini kurang berpihak kepada warga miskin dan kelompok marginal lainya harus digusur dan diganti dengan nilai baru yang mengajarkan pentingnya birokrasi untuk peduli terhadap kebutuhan dari berbagai kelompok margin. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan kepentingan penduduk miskin, perempuan, dan kelompok rentan lainnya sebagai sentral dari kehidupan birokrasi pemerintah. Artinya, kepentingan berbagai kelompok rentan tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam merancang desain, struktur, dan proses kerja dalam birokrasi pemerintah. Hanya dengan cara yang demikian orientasi dan keberpihakan pada kepentingan berbagai kelompok marginal dapat dikembangkan dalam kehidupan birokrasi publik. Jarak yang semakin lebar di antara berbagai kelompok sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat juga dapat dikurangi. Jika nilai-nilai itu dapat diinternalisasikan dalam kehidupan birokrasi maka birokrasi akan memiliki kontribusi terhadap terwujudnya keadilan sosial.

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 61-64)