• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi Penting Kepercayaan Publik

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 142-148)

MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP PEMERINTAH

B. Dimensi Penting Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik sebagaimana dijelaskan sebelumnya mencakup kepercayaan warga terhadap negara dan atau pemerintah, yang termasuk di dalamnya ialah institusi, kebijakan, dan para pejabatnya. Pertanyaan yang sering kali diajukan adalah bagaimana kita dapat memahami kepercayaan publik? Bagaimana pelaksanaan kebijakan publik tertentu berpengaruh terhadap dinamika kepercayaan publik? Apakah pelaksanaan kebijakan tertentu dapat menyebabkan terjadinya penurunan kepercayaan publik kepada pemerintah dan pejabatnya? pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab dengan apabila kita memahami konsep kepercayaan publik dan dimensi-dimensi yang melekat dalam konsep tersebut.

Menurut Dwiyanto (2011), kepercayaan publik selama ini cenderung dipahami secara berbeda tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Semakin besarnya minat para ilmuwan dari disiplin yang berbeda terhadap konsep kepercayaan publik membawa berkah sekaligus kebingungan di kalangan praktisi dan peneliti administrasi publik yang tertarik untuk memahami fenomena kepercayaan publik. Para ilmuwan sosial dari berbagai disiplin seperti filsafat, psikologi, ekonomi, politik, dan

129 manajemen telah mengembangkan konsep kepercayaan publik. Keterlibatan banyak pihak dalam pengembangan konsep dan teori kepercayaan publik tentu sangat menggembirakan karena banyaknya kajian tentang kepercayaan publik dari perspektif yang berbeda membuat konsep dan teori kepercayaan semakin kaya dan bermanfaat bagi para praktisi dalam mengelola kepercayaan publik sehingga dapat mencapai titik yang optimal. Namun, pada saat yang sama kontribusi ilmuwan dari perspektif yang berbeda-beda tersebut juga membuat konsep kepercayaan publik menjadi semakin kabur dan memiliki makna yang beragam tergantung pada perspektif yang digunakan. Kekaburan tersebut muncul karena mereka mengembangkan definisi yang berbeda ketika menjelaskan fenomena kepercayaan publik. Meskipun demikian, dari berbagai definisi yang mereka jelaskan terdapat karakteristik umum yang melekat pada sebagaian besar penjelasan yang berbeda-beda tersebut, yaitu kepercayaan publik selalu menggambarkan harapan tentang perilaku pihak lain di masa mendatang yang dapat dipercaya. Konsep kepercayaan publik selalu menggambarkan kepercayaan warga terhadap institusi negara atau pemerintah dan serta para pejabatnya karena mereka menganggap akan selalu bertindak sesuai dengan harapannya. Untuk memberikan gambaran mengenai kompleksitas dan dinamika pengembangan konsep dan teori kepercayaan publik berikut ini dipaparkan bagaimana disiplin keilmuan yang berbeda menjelaskan fenomena kepercayaan publik. Para peneliti psikologi cenderung memahami kepercayaan sebagai sebuah proses kongnitif internal dari orang yang mempercayai dan dipercayai. Seseorang memiliki kepercayaan kepada orang lain ketika memiliki pengetahuan yang memadai tentang orang yang dipercayainya dan menilai bahwa orang tersebut memang dapat dipercaya. Pengetahuan tentang seseorang dapat bersumber dari pengalaman berinteraksi dengan orang yang bersangkutan atau berdasarkan informasi yang diterimanya dari pihak lain. Pengetahuan tersebut akan membentuk persepsi dan harapannya terhadap perilaku orang tersebut di masa mendatang, yaitu apakah cenderung seperti yang diharapkan atau sebaliknya. Ketika seseorang menganggap orang lain pada masa mendatang akan berperilaku seperti yang diharapkannya, dia akan memiliki kepercayaan terhadap orang lain tersebut.

Dalam persektif psikologi, kepercayaan publik melibatkan penilaian warga tentang nilai-nilai moral dan karakteristik yang dimiliki oleh tertentu pemerintah lembaga politik, atau para pejabat publik tertentu. Penilaian tersebut tentu

130

sangat tergantung pada persepsi warga tentang kejujuran dan kredibilitas pemerintah, institusi politik, dan para pejabatnya. Pengalaman berintereksi dan pengetahuan mereka tentang institusi pemerintah dan para pejabatnya akan ikut membentuk persepsi mereka mengenai seberapa jauh pemerintah dan para pejabantnya pada dipercaya. Persepsi tersebut juga akan sangat dipengaruhi oleh personalitas, penampilan pejabat di depan publik, kualitas pidato, dan perilaku para pejabat pemerintah (Blind, dalam Dwiyanto, 2011).

Sementara dalam ilmu ekenomi, kepercayaan seseorang cenderung dapat dilihat dari harapan yang bersifat kalkulatif dan rasional terhadap hasil yang diberikan oleh suatu organisasi atau pihak lain (Klim, 2007; Williamson, 1993). Kepercayaan akan terbentuk ketika harapan seseorang terhadap sebuah institusi pemerintah dapat terpenuhi. Ketika suatu institusi pemerintah berhasil mendistribusikan barang dan jasa yang diharapkan oleh masyarakat, maka masyarakat cenderung akan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap institusi pemerintah tersebut. Tentu sangat sulit bagi warga untuk dapat menilai kinerja sebuah institusi pemerintah. Hal itu disebabkan oleh tidak tersedianya atau tidak mudahnya informasi tentang kinerja institusi pemerintah untuk diakses. Berbeda dari informasi tentang kinerja korporasi yang sering tersedia di pasar, informasi tentang kinerja institusi pemerintah pada umumnya tidak tersedia dan tidak diakses secara mudah oleh publik.

Meskipun demikian, kebanyakan masyarakat sering memperoleh informasi mengenai hal yang terkait dengan pelayanan publik melalui media massa. Informasi yang mereka peroleh dari media massa tentang kemampuan lembaga pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik juga dapat membentuk persepsi mereka tentang para institusi pemerintah dan pejabatnya. Hal tersebut menjelaskan mengapa para institusi pemerintah dan pejabatnya semakin sering membeli slot iklan di media cetak maupun audio visual hanya sekedar menunjukkan kinerja mereka terutama pada saat menjelang pemilu.

Masalah sering muncul ketika informasi yang diperoleh warga tentang kinerja pemerintah tidak sesuai dengan realitas. Politik pencitraan yang dikelola dengan baik oleh pemerintah dan para pejabat di daerah dapat membuat jarak antara persepsi publik dan kinerja pemerintah menjadi semakin lebar. Realitas pelaksanaan program-program pemerintah mungkin tidak seperti yang dicitrakan oleh pemerintah dan para pejabat publik, bahkan mungkin keduanya berkebalikan. Namun, dengan menggunakan

131 strategi komunikasi yang tepat dan efektif, apa yang telah dilakukan oleh kementerian pendidikan nasional untuk membentuk persepsi publik tentang sekolah gratis dapat dijadikan sebagai contoh. Dengan memiliki slot iklan di hampir semua stasiun TV yang ditayangkan kepada prime time secara intensif, pemerintah ingin menunjukkan kepada warga bahwa pemerintah telah menggratiskan biaya pendidikan dasar 9 tahun, padahal, masyarakat mengetahui bahwa pelayanan pendidikan di SD dan SMP tidak gratis, bahkan justru semakin mahal (Dwiyanto, 2011).

Warga cenderung masih memiliki kepercayaan yang sangat tinggi terhadap pemerintah ketika mereka menilai pemerintah mampu mencukupi kebutuhan barang dan jasa mereka. Hal itu didukung oleh fakta bahwa negara-negara Skandinavia, cenderung memiliki kepercayaan publik yang tinggi. Kesungguhan negara dan institusi pemerintah di sana untuk menyelenggarakan berbagai pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial, membuat warga di sana cenderung memiliki persepsi yang positif terhadap peran negara dan pemerintahnya. Angka kepercayaan publik cenderung lebih rendah di negara-negara yang menganut neo-liberal dengan penyelenggaraan layanan publik lebih banyak diserahkan pada mekanisme pasar.

Sedangkan menurut pandangan para sarjana sosiologi, kepercayaan publik merupakan kondisi yang di dalamnya terdapat dua karakteristik yaitu karakteristik kolektif dan institusi (Kim, 2007), ketika banyak orang memiliki kesamaan atribut, sikap, dan perilaku maka mereka cenderung saling percaya antara satu dengan lainnya. Para sarjana sosiologi mencoba memahami konsep kepercayaan publik dengan mengakui bahwa konsep tersebut bersifat multidimensional, yang mencakup dimensi kongnisi, afeksi, dan perilaku.

Percaya kepada para institusi pemerintah dan pejabatnya merupakan keputusan kongnitif dengan warga bersedia menyerahkan seluruh nasibnya pada pemerintah berdasarkan evaluasi mereka terhadap tindakan pemerintah selama ini (Berman, 1996; Hardin, 1998). Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap pemerintah sangat tergantung pada intensitas interaksi dan juga kualitas hubungan antara pemerintah dan warga. Pengalaman berhubungan dengan institusi pemerintah yang berpengaruh terhadap proses pembentukan kepercayaan pada institusi tersebut. Ketika warga berhubungan dengan para institusi pemerintah tertentu dan menilai bahwa institusi tersebut dan pejabatnya bersifat terbuka, mudah diakses informasinya, dan

132

sering melibatkan warga dalam mengambil keputusan maka pengalaman tersebut akan membentuk kepercayaan yang sempurna terhadap pemerintah. Pengalaman tersebut akan membentuk cognitive knowledge yang positif tentang jati diri dan karakteristik institusi pemerintah dan pejabatnya. Pengetahuan kongnitif itulah yang membuat mereka semakin reseptif terhadap keberadaan institusi pemerintah dan kebijakan yang dilaksanakannya. Bagi warga yang jarang berinteraksi dengan pemerintah, pengetahuan kongnitif seperti itu dapat mereka peroleh karena memiliki afiliasi, atau karena memiliki status sosial ekonomi yang tinggi sehingga membuat mereka mampu menilai karakteristik pemerintah (Kim, 2007). Aspek afeksi dari kepercayaan publik dapat menggambarkan hubungan emosional warga dengan pemerintah dan para pejabatnya. Ketika hubungan antara pemerintah dan warganya semakin interaktif serta partisipatif, maka warga akan menjadi semakin familier dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Semakin intesifnya hubungan antara warga dan pemerintah dapat menjadikan warga memiliki emotional attachment dengan pemerintah dan kebijakannya. Apalagi jika pemerintah senantiasa melibatkan warga dan menjadikan warga sebagai pemangku kepentingan dalam setiap pembuatan kebijakan, hubungan afektif pemerintah dengan warganya akan menjadi semakin baik. Ketika institusi sosial semakin berkembang. Jaringan yang melibatkan warga dan institusi pemerintah semakin banyak, dan interaksi di antara mereka semakin intensif maka tingkat kognisi dan afeksi dari kepercayaan publik akan semakin kuat terhadap pemerintah.

Aspek ketiga dari konsep kepercayaan publik menurut para sarjana sosiologi merujuk pada penilaian warga mengenai perilaku institusi penyelenggara negara dan para pejabat didalamnya. Perilaku lembaga pemerintah dan para pejabat publik, yang mencakup kepeduliannya terhadap kebutuhan warga, kemampuannya dalam mengelola kepentingan warga, dan komitmennya dalam memenuhi janji, menentukan tingkat kepercayaan publik. Ketika pemerintah mengabaikan kepentingan warga dan kurang peduli terhadap kebutuhan warga, atau apabila pemerintah mencederai janjinya, atau gagal menyelenggarakan pelayanan publik seperti yang diharapkan warga, hal itu akan menurunkan tingkat kepercayaan publik (Kim, 2005). Sebaliknya, ketika pemerintah berhasil memenuhi kebutuhan warga, menunjukkan kemampuannya dalam menyelenggarakan berbagai program secara efisien dan efektif, serta menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah yang dihadapi warga,

133 pemerintah cenderung akan menikmati kepercayaan publik yang tinggi. Secara ringkas, kepercayaan publik sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kepentingan warga.

Ketiga aspek tersebut di atas, yaitu kognisi, afeksi, dan perilaku pemerintah, menggambarkan dimensi penting kepercayaan publik. Kepercayaan publik dibangun dari penggabungan antara pengetahuan kognitif warga mengenai karakteristik dan jati diri para institusi pemerintah dan pejabatnya, hubungan emosional warga dengan para institusi pemerintah dan pejabatnya, serta penilaian penuh warga tentang perilaku institusi penyelenggaraan layanan publik dan kegiatan pemerintahan. Semua itu, menentukan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah dan pejabatnya. Apabila warga merasa dekat dengan pemerintah, baik secara kejiwaan ataupun secara fisik, dan mereka menilai bahwa pemerintah secara tulus akan selalu melakukan sesuatu yang baik untuk dirinya, warga akan memiliki kepercayaan yang sangat tinggi terhadap pemerintah dan para pejabatnya. Apabila warga menilai tindakan pemerintah selalu didasarkan pada pertimbangan untuk memenuhi kepentingan publik, dan apa yang menjadi kepentingan warga juga menjadi kepentingan pemerintah dan para pejabatnya, warga akan percaya terhadap pemerintah dan para pejabatnya. Pertanyaannya, menurut Dwiyanto (2011) apakah pengukuran tinggi-rendahnya kepercayaan publik dilakukan melalui ketiga dimensi tersebut secara terpisah, atau pengukuran dilakukan melalui berbagai variabel yang dapat merefleksikan kondisi variatif dari dinamika kepercayaan publik? Para peneliti terdahulu memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal itu. Walaupun kepercayaan publik sering dipahami secara berbeda-beda, pada umumnya para peneliti terdahulu menggunakan variabel-variabel tertentu yang dapat mengukur kualitas dari ketiga aspek tersebut secara menyeluruh daripada mengukur ketiganya secara terpisah.

Montgomery, Jordens, & Little (2008) dan Mayor, Davis, & Schoorman (1995) mengukur kepercayaan publik dari penilaian warga tentang tiga hal, yaitu kompetensi, integritas, dan ketulusan (benevolence). Peneliti lainnya seperti Kass (1990), Carnevelle (1995), dan Jennings (1998) menggunakan variabel yang berbeda untuk mengukur kepercayaan publik, tetapi sebenarnya merujuk pada fenomena yang sama. Kim (2005) telah mengkaji kembali variabel-variabel yang telah digunakan oleh para peneliti terdahulu dalam pengukuran kepercayaan publik. Lebih dari tiga puluh model pengukuran kepercayaan publik dikajinya untuk mengidentifikasi variabel yang penting dalam

134

pengukuran kepercayaan publik. Kim sampai pada kesimpulan bahwa kepercayaan publik setidaknya bisa diukur dari lima variabel, yaitu komitmen yang kredibel, ketulusan, kejujuran, kompetensi dan keadilan.

Dalam dokumen Reformasi Birokrasi & Pelayanan Publik (Halaman 142-148)