• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3. Sebab Terjadinya Diskursus Modal Tubuh Sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Pertunjukkan Langen Tayub di Dusun Ngrajek

4.3.2 Ajang Eksistensi Diri dan Tulang Punggung Keluarga

Perempuan dalam bingkai hegemoni laki-laki memandang bahwa perempuan sebagai “makhluk yang lemah”, telah menjadi ideologi umum yang tidak hanya mempengaruhi masyarakat awam, tetapi juga menjadi cara pandang kaum intelektual di dalam melihat dan menempatkan perempuan (Budiman, 1985; Fakih, 1996; Abdullah, 2001).

Tetapi pengertian perempuan yang memandang bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah, nampaknya tidak sesuai dengan fenomena waranggana dalam langen tayub di Desa Ngrajek, Nganjuk Jawa Timur. Seorang waranggana dalam pertunjukkan langen tayub mampu mengaktualisasikan dirinya lewat lantunan tembang yang merdu ditambah dengan jogetan memukau diiringi dengan gamelan yang mengiringi jalannya pertunjukkan tayub.

Bahasa tubuh waranggana yang diekspresikan lewat tembang dan jogetan yang memukau, menggiring tubuh seorang waranggana tidak pada pemahaman yang konvensional, yaitu bukan lagi pada posisi subordinat yang pada pengertiannya menempatkan kelaki-lakian bertahta dalam posisi superior. Akan tetapi, kini tubuh perempuan (waranggana) merupakan tubuh yang membebaskan dirinya sendiri, yang mengeluarkan dirinya sendiri dari penjara kebisuannya. Tubuh waranggana berinteraksi dengan lingkungan dan budayanya sehingga menghasilkan suara yang termanifestasikan di dalam realita kehidupannya. Waranggana dengan segala power atau kekuasaan yang dimilikinya bisa membebaskan apa yang menjadi hasrat dalam dirinya.

Tubuh waranggana adalah tubuh yang berkilau lewat bakat seni yang dimilikinya dan semangat hidupnya. Waranggana adalah seorang perempuan yang cerdas, dengan ide yang luar biasa mengawinkan bakat seni yang dimilikinya dan semangat hidup yang tidak pernah padam. Bakat seni memang menjadi penting, ketika waranggana harus berhadapan dengan

commit to user

gelombang, benturan-benturan peristiwa dan realita hidup yang menerpa. Sehingga membuat waranggana berkontemplasi tentang apa yang terjadi pada dirinya.

Lewat perkawinan dari dua unsur tersebut, waranggana bisa menyihir penonton dan pengibing di atas panggung dengan pesona yang mereka miliki. Kelihaian waranggana dalam menari dan menyanyi di dapat dari bakat yang dimiliki dan latihan yang disiplin untuk penguasaan dalam menari dan menyanyi. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Faucault (Hardiyanta, 1997: 76)

“ Disiplin merupakan mekanisme “kontrol” yang teliti atas tubuh. Melalui disiplin, tubuh dilatih hingga menjadi tubuh yang terampil. Namun juga terus-menerus diuji dan dikoreksi sehingga keterampilan, kecekatan, dan kesiapsediaan ini akhirnya menjadi mekanisme yang dengan begitu saja bekerja di dalam tubuh itu sendiri. Disiplin sekaligus meningkatkan keterampilan, kekuatan, dan daya guna tubuh, tetapi juga menguasai dan menempatkan tubuh ke dalam relasi tunduk dan berguna”.

Untuk menguasai tembang, waranggana berlatih setidaknya dimulai dari umur mereka masih belia, yakni sekitar umur 10 tahun. Melalui latihan-latihan yang terus menerus sampai beberapa tahun kemudian, maka waranggana dapat menguasai tembang tersebut secara utuh. Begitupun dengan menari, waranggana yang luwes menari dan mempunyai kepenarian yang bagus dibentuk oleh latihan dengan disiplin yang terus menerus. Waranggana yang luwes dalam menari biasanya mendapatkan job menari selain dari pertunjukkan tayub. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Musrini,

“Biasanya aku ditanggap Tari Ngremo, tari yang pakai gongseng di salah satu kakinya. Biasane yang nanggap itu orang yang punya hajat, misal mantenan, sunatan, atau tujuh belas Agustusan. Durasinya sekitar enam sampai tujuh menit. Dalam satu kali pementasan Ngremo, biasanya dikasih uang nanggap Rp. 550.000,00”.

Kepiawaian Musrini dalam menarikan Tari Ngremo dan menjadi seorang waranggana meningkatkan kekuatan dan daya guna tubuh terhadap diri Musrini sendiri. Skill yang dimiliki oleh Musrini merupakan modal yang harus dipelihara agar tubuh tersebut selalu membentuk relasi yang menguatkan eksistensi Musrini sebagai seorang waranggana.

commit to user

Terkait dengan pernyataan di atas, tubuh waranggana yang masuk ke dunia publik dan tontonan mengandung sebuah relasi bagi siapapun yang melihatnya, khususnya pihak yang secara persuasi menangkap tanda tersebut yakni pengibing. Sehingga, relasi antara waranggana dan pengibing sangat kuat.

Hal ini berarti power yang dimiliki oleh waranggana melalui tubuhnya menguasai dengan persuasif. Pengibing yang ingin selalu menari tayub dengan waranggana menunjukkan bahwasanya mereka menari bukan atas dasar paksaan, tetapi hal ini dilakukan atas kerelaan dari diri pengibing. Sebagaimana diungkapkan oleh Faucault ( dalam Alimi, 2004: 24) bahwa:

“Power tidak menindas, tetapi produktif. Ia tidak berfungsi melalui hukuman dan memenjarakan tubuh, tetapi malah menambah kegunaannya dan memaksimalkan kekuatannya. Power bersifat membatasi tetapi juga membebaskan”.

Banyaknya pengibing yang menyukai waranggana untuk menari membuat eksistensi waranggana tersebut naik daun. Panggilan untuk mengisi acara atau bahasa lainnya ngejob membanjiri waranggana. Salah satu waranggana Sriyatun merupakan waranggana yang pada sat ini sedang naik daun. Sriyatun dahulu yang tidak dikenal, hanya seorang perempuan desa Kampung Ngrajek. Kini dikenal di daerah lain sebagai seorang waranggana yang terkenal memiliki harga manggung yang fantastis. Popularitas Sriyatun telah menyebar, diantaranya; wilayah Kediri, Nganjuk, Surabaya mengenal Sriyatun. Hal ini menunjukkan menjadi waranggana membuat Sriyatun menunjukkan eksistensi dirinya dan menjadi idaman di panggung pertunjukkan tayub.

Popularitas seorang waranggana yang mengindikasikan eksisnya waranggana tersebut berimplikasi pada besarnya bayaran atau uang nanggap yang diterima oleh waranggana tersebut. Menurut Sriyatun uang nanggap yang diterima olehnya berkisar di atas Rp.5.000.000,00 pada satu pertunjukkan tayub (wawancara, Sriyatun, 10 0ktober 2014). Besarnya bayaran yang diterima oleh waranggana berimplikasi pada terjaminnya

commit to user

kesejahteraan dalam kehidupan waranggana. Sehingga mereka terbebas dari jeratan kemiskinan.

Terjaminnya kehidupan waranggana dalam perekonomian merupakan harapan awal menjadi seorang waranggana yakni menciptakan kehidupan yang seimbang agar tidak berada dalam posisi ketimpangan. Posisi yang ideal dalam kehidupan yakni terpenuhinya kebutuhan ekonomi yang merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Pada kenyataannya, pencapaian posisi stabil dalam perekonomian kehidupan waranggana sudah didapat, tetapi ada hal lain yang terpisahkan dari kehidupan waranggana, yakni pencapaian kebutuhan batiniah. Kebutuhan ini menyangkut relasi waranggana dengan keluarganaya. Hal tersebut yang dirasa waranggana tidak seimbang. Karena, pada dasarnya kestabilan merupakan harapan semu dalam pencarian kestabilan sendiri. Pada titik ini biasanya waranggana mengalami ketimpangan terhadap relasi dengan suami mereka.

Salah satu waranggana bernama Musrini seorang waranggana sebagai fakta lapangan yang berbicara. Musrini mempunyai suami yang tidak mengerti akan kondisi dan profesi ia sebagai seorang waranggana. Ia selalu mendapatkan perlakuan yang kasar dari suaminya. Tamparan, cacian, dan pukulan sering Musrini terima dari suaminya. Terlebih, ketika Musrini tidak menyerahkan uang hasil pendapatan ia setelah selesai manggung sebagai seorang waranggana dalam pertunjukkan langen tayub.

Hal ini menimbulkan respon melalui tindakan tegas dari Musrini. Sikap tegas ia asosiasikan dikarenakan ia mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari suaminya. Musrini tidak tinggal diam. Ia bereaksi (behabities) dan memberikan keputusan (verdictives) atas apa yang nantinya akan ia jalani. Musrini mengajukan cerai terhadap suaminya. Dalam ketidakberdayaan Musrini ketika bersedia untuk dipukuli dan menahan siksaan tersebut selama beberapa waktu. Kondisi ketidakberdayaan tersebut memunculkan sebuah power hebat yang tak terbantahkan yang mengendalikan diri Musrini.

commit to user

Musrini berpandangan (expositives) bahwa Ia adalah seorang manusia. Bukan berarti menjadi waranggana hak kemanusiaan ia sebagai manusia dicabut. Waranggana yang dilabel sebagai perempuan yang “tidak bermoral” oleh masyarakat sekitar, merupakan seorang perempuan yang menerobos mainstream mengenai “wanita yang baik-baik”. Biasanya definisi “Wanita yang baik-baik” diidentikkan dengan diam di rumah, tidak keluyuran, tidak dalam lingkungan yang dominan laki-laki, tidak keluar malam-malam. Oleh karenanya banyak konsekuensi yang harus diterima, dikarenakan waranggana yang menerobos hal-hal yang diidealkan oleh masyarakat pada umumnya.

Banyak sekali bahasa yang tak terbahasakan yang tak mampu terbaca oleh orang lain atau ada alasan ketika waranggana harus keluar malam dan pulang pagi. Ia bekerja membanting tulang. Mendayagunakan segala kemampuan dan modal dari tubuhnya untuk menopang hidupnya dan bisa bertahan dalam kehidupan. Bukankah waranggana sedang dalam proses membangun kesadaran, bahwa kodrat ia sebagai seorang manusia yang menghargai kehidupannya dengan cara bekerja.

Tetapi banyak asumsi kepada waranggana bahwa pekerjaan yang mereka lakukan “rendahan, tak bermoral, dan penghancur rumah tangga orang lain”. Peran yang dimainkan oleh waranggana sangatlah sulit. Banyak pihak yang mengecam dan mengintimidasi kehidupannya. Baik dari keluarga kecilnya sendiri, bahkan sampai orang lain.

Harapan seorang waranggana adalah pemakluman dari keluarga, terutama dari seorang suami yang mempunyai peran yang besar dalam mensupport profesi Musrini. Sedangkan yang ia alami merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan dari suaminya. Musrini tidak merelakan dan bersedia tubuh dan jiwanya ditekan secara tidak manusiawi oleh orang lain. Dengan membiarkan orang lain memukuli ia sebagai bukan manusia. Layaknya sebagai binatang yang diperah tenaganya, bertugas hanya mencukupi kebutuhan ekonominya

commit to user

saja dan melayani kebutuhan seksual suaminya yang tidak memperlakukan ia sebagai seorang Musrini.

Ia juga berhak menuntut hak untuk hidup nyaman tanpa tekanan, hak untuk disayangi sebagai seorang Ibu dan sebagai seorang perempuan, karena sejatinya hubungan rumah tangga adalah saling melengkapi, saling menyayangi, bukan saling menyakiti.

Walaupun kenyataannya batin Musrini merasa berperang dengan sangat hebat dan mengerang ketika harus menjalani proses perceraian dengan suaminya. Tetapi, keputusan tersebut telah dia pilih dan mau tidak mau ia harus mematuhi atas segala konsekuensi yang terjadi.

Tampak jelas bahwa posisi perempuan tidak selamanya berada pada subordinasi dari dominasi laki-laki. Waranggana dalam hal ini adalah perempuan yang menghargai dirinya sendiri sebagai seorang perempuan, menghargai kehadiran jasmaninya sebagai sebuah tubuh yang harus dipelihara bukan untuk dirusak dengan dipukuli. Waranggana mengakui kehadiran haknya sebagai seorang perempuan, dengan tidak membiarkan bahkan mengizinkan orang lain untuk menyakiti tubuh dan jiwa mereka.

Apalagi ketika waranggana menyadari dengan sepenuhnya bahwa tubuh mereka adalah modal untuk hidupnya, modal di atas panggung pertunjukkan tayub. Tanpa modal tubuh mereka, maka mustahil mereka untuk menjadi seorang waranggana. Untuk itu memelihara dan menjaga tubuhnya adalah pekerjaan rumah bagi seorang waranggana yang harus selalu dijaga sepanjang hidupnya, agar selalu terpelihara dan tidak rusak.

Waranggana mempunyai hak hidup dan hak kemanusiaan untuk tetap normal menjalani aktivitas kehidupannya. Oleh karenanya dengan power mereka sebagai seorang waranggana, mereka telah mengukir hak mereka sebagaimana perempuan dalam kehidupan rumah tangga pada umumnya. Berikut hak mereka dalam menjalani kehidupan sebagai waranggana.

commit to user 1. Hak memilih pasangan

2. Hak menceraikan pasangan 3. Hak menentukan kehamilan

4. Hak merawat anak dan mendidik anak.

Melalui power yang dimilki oleh seorang waranggana, maka waranggana memiliki kemandirian yang kokoh. Dengan kemandirian yang mereka bangun. Waranggana dilatih mentalnya untuk mengatasi persoalan hidupnya sendiri. Tanpa menangis dan mengemis-ngemis meminta bantuan kepada orang lain untuk diberi penghidupan dan perlindungan. Kehidupan profesional menjadi primadona dalam pertunjukkan langen tayub membebaskan waranggana dengan kebebasan dalam meraih hasrat yang mereka dambakan.

Gambar 4.29. Waranggana Musrini berdandan sebelum acara pementasan langen tayub dalam rangkaian bersih desa (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014)

commit to user

Gambar 4.30 Foto Waranggana Musrini yang dipajang di ruang tamu rumahnya (dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014)

Sebagaimana yang dikatakan oleh Andriyani mengatakan bahwa menjadi seorang waranggana tidaklah mudah, menjadi seorang waranggana harus mampu menstabilkan emosi dan mengendalikan diri di atas panggung pertunjukkan langen tayub, dikarenakan kebanyakan pengibing minum-minuman keras, yang merupakan kebiasaan yang sudah mendarah daging dalam pertunjukkan tayub. Jadi, sikap pengibing pun terkadang ada yang kurang ataupun bahkan tidak terkontrol.

Dalam pertunjukkan langen tayub, biasanya banyak terjadi perlakuan yang tidak menyenangkan bagi waranggana. Misalnya, biasanya ada sindiran-sindiran nakal dari seorang pengibing, sikap waranggana tidak serta merta langsung marah dan menghakimi pengibing, tetapi dingatkan pelan- pelan dengan lemah lembut dan dengan senyuman.

commit to user

Gambar 4.31. Tampak SPG (Sales Promotion Girl) sibuk membawa pesanan bir dalam pertunjukkan tayub

(dokumen Ningsih, 10 0ktober 2014).

Tetapi ada sebagian waranggana, yang mengatakan bahwa perlakuan seperti itu adalah perlakuan biasa dan tidak termasuk dalam golongan perlakuan yang tidak menyenangkan. Seperti yang diungkapkan oleh Musrini, bahwa pada saat dirinya dicubit, disentuh, dijawil. Musrini merasa bahwa ia bukan pihak yang dilecehkan, karena perlakuan semacam itu adalah hal-hal yang biasa yang ditemui dalam pertunjukkan langen tayub (wawancara, Musrini 28 Desember 2014)

“Ya Begitulah Mbak konsekensi menjadi ledhek mbak, wong harus sabar, nrimo, ikhlas, dan rilo. Ncen okeh sing menggoda mbak, bukan hanya menggoda mbak, tapi mereka malah mengejar-ngejar mbak. Aku yo sering ditunggoni dari tempat rias, sampe keluar menuju rumah mbak.”

Terjemahan: “Ya begitulah mbak konsekuensi menjadi ledhek mbak. Kita harus sabar, menerima, ikhlas, dan rela. Pasti banyak yang menggoda mbak, bukan hanya menggoda mbak, tapi mereka mengejar-ngejar mbak. Aku sering ditunggu dari tempat rias, sampe keluar menuju rumah mbak”

Berbeda halnya dengan yang dialami oleh Andriyani, ia mengatakan bahwa dirinya pernah memukul pengibing akibat perkataan yang kurang sopan dari pengibing. Andriyani dengan tegas dan berani melemparkan microphone ke wajah pengibing, karena menurut

commit to user

Andriyani perkataan dari pengibing tersebut tidak bisa ditolerir lagi. Akibat dari tindakan Andriyani tersebut, dirinya dituntut untuk mengganti rugi perlakuan yang diterima oleh pengibing, pengibing tersebut menginginkan uang dua ratus ribu rupiah (Rp. 200.000,00) sebagai biaya pengobatan akibat tindakan dari Andriyani yang membuat memar wajah pengibing tersebut (Andriyani, wawancara 30 Desember 2014)

Hal ini menunjukkan bahwa antara waranggana yang satu dengan yang lain tidak memiliki pola pikir yang seragam. Memang tidak bisa mendefinisikan dan menentukan kategori ketidaknyamanan seorang waranggana di atas panggung, karena hal ini berkaitan dengan perspektif waranggana secara subjektif. Jadi, apakah mereka merasakan biasa saja dengan perlakuan tersebut, atau malah tidak sama sekali. Sehingga, sepertinya sulit untuk memformulasikan bagian-bagian sejauh mana, seorang waranggana dikategorikan mengalami tindak pelecehan seksual.