• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.5 Implikasi Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Konteks Kekinian Sosial Budaya di Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo,

4.5.1 Modal Tubuh dalam Membangun Ekonomi Keluarga

Modal tubuh merupakan sumber daya yang dimiliki manusia untuk menjadikan media interaksi sosial, menjadikan dirinya sebagai orang yang memiliki kuasa dan menggunakan kekuatan dalam dirinya untuk mencapai hasrat yang didamba. Tubuh waranggana bukan serta merta perwujudan fisik perempuan saja, tetapi, dalam tubuh tersebut terdapat kekuatan untuk membangun suatu perekonomian keluarga.

Tubuh waranggana berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan budayanya. Sehingga menghasilkan suara yang termanifestasikan di dalam kehidupannya yang berujung pada kekuatan dan kekuasaan waranggana dalam membangun ekonomi keluarganya.

Tubuh memiliki kebebasan relatif di dalam ruang pribadi, sebaliknya, ketakbebasan relatif di dalam ruang publik, karena disini tubuh harus tunduk pada aturan-aturan sosial, dengan kata lain tubuh memainkan dua peran yang terkadang kontradiktif, yaitu proses personal dan sosial (Piliang, 2014: xxi).

Proses personal yang dialami seorang waranggana adalah ia sebagai seorang istri dan ibu bagi keluarga mereka. Pahit getir yang dialami oleh waranggana untuk mempertahankan posisi mereka untuk menjadi istri dan seorang ibu yang baik bagi keluarga mereka.

Tugas menjadi seorang istri sekaligus menjadi seorang ibu tidaklah mudah, karena menjalankan dua peran tersebut secara sadar menginternalisasi nilai-nilai karakter yang baik bagi suami dan bagi anaknya.

Terkait dengan pernyataan di atas, banyak pengalaman waranggana yang mengalami nasib rumah tangga yang buruk, dalam artian disini mereka mengalami kekerasan dalam

commit to user

rumah tangga yang pelakunya tidak lain adalah suami mereka sendiri. Penghargaan dan perlindungan yang seharusnya didapat oleh waranggana malahan berbalik menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri. Sehingga dengan kesabaran dan kemantapan hati waranggana mereka harus bertahan dan mencari solusi dari masalah hidup yang menerpa mereka.

Peran personal yang diperankan oleh waranggana sebagai perempuan, istri, dan ibu memposisikan sebagai posisi yang “primer” di dalam keluarga seperti yang diungkapkan oleh Talcott Parson (2014: 44) di dalam keluarga seolah-olah mempunyai peran “ekspresif”, sebaliknya laki-laki memilih peran “instrumental”.oleh karena itu pembagian tugas seperti ini dipandang sebagai differensiasi pelbagai kepentingan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat yang memicu ketidaksetaraan.

Kondisi ketidaksetaraan yang dialami oleh waranggana disikapi secara arif, dengan membaca keahlian yang ada dalam dirinya. Waranggana melakukan modifikasi lanjutan sebagai hasil modifikasi yang telah lalu. Hal ini dapat dilihat dari pertunjukkan langen tayub yang pada zaman dahulu tidak dikenakan sistem upah untuk waranggana atau dengan nama lain uang nanggap. Pada zaman sekarang, dengan tekanan modernitas dan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, menjadikan sebuah tubuh menjadi komoditas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu di zaman sekarang sudah mengenal jasa tarif pada pertunjukkan langen tayub, dengan kata lain, waranggana melakukan modifikasi lanjutan dengan memberikan tarif atas modal tubuh yang ia miliki.

Biasanya para waranggana yang mempunyai jam terbang tinggi dan tergolong dalam waranggana sudah senior mempunyai tarif tinggi, uang nanggap yang didapat oleh waranggana berkisar ± Rp. 2.500.000 ditambah dengan keterampilan tari yang mereka miliki. Selain menembang, waranggana yang mempunyai kemampuan menari biasanya dipanggil untuk menari. Tari yang sering ditarikan adalah Tari Ngremo. Dibutuhkan kemampuan dan ketahanan tubuh yang tinggi dalam menarikan Tari Ngremo ini.

commit to user

Waranggana yang menguasai seni tari salah satu diantaranya adalah Musrini. Tarif untuk Tari Ngremo berkisar ± Rp. 600.000,00. Oleh karenanya dengan skill yang waranggana miliki, ia mampu untuk membangun ekonomi keluarga mereka sehingga bisa menjamin pendidikan anak-anak mereka.

Menjadi seorang waranggana yang laris apalagi terkenal dengan bayaran yang fantastis, tentu tidak lepas dari fitnahan tetangga. Banyak cacian dan fitnahan yang diterima oleh waranggana. Sehingga kebanyakan waranggana lebih nyaman menerima pentas dari daerah lain yang agak jauh dari lingkungan sekitarnya. Dicontohkan Andriyani seorang waranggana. Ia lebih nyaman untuk menerima pentas di luar desanya. Andriyani mengaku, biasanya ia sering ditanggap tayub di daerah Kediri, Nganjuk, sampai dengan Magetan. Lokasi yang jauh tidak membuat mereka takut, seperti yang dinyatakan oleh Andriyani , ia tidak takut menempuh perjalanan sendirian, apapun halangannya keyakinan tetap menjadi nomor satu. Biasanya Andriyani selesai pentas pukul 01.00 wib dini hari menempuh perjalanan sendiri dengan mengendarai sepeda motor, misalnya dari Kediri, ia menempuh jarak tersebut sendirian dalam waktu dua jam.

Terkait dengan pernyataan di atas, modifikasi lanjutan yang dilakukan oleh waranggana dalam menghadapi tekanan modernitas, diantaranya:

1. Kondisi zaman yang dihadapkan pada rasionalitas kapitalisme mau tidak mau menghantarkan waranggana berkenalan dengan komoditas yang dibaca lewat dirinya sendiri. Oleh karena itu proses diskursus modal tubuh sebagai modal ekonomi sudah berlangsung dan akan mengalami keberlanjutan di masa berikutnya.

2. Komoditas yang mempunyai feed back yang sesuai, tentu harus disesuaikan dengan cara kerja waranggana yang profesional, oleh karena itu selain keterampilan waranggana diatas panggung, dimulai dari persiapan, yaitu

commit to user

mempunyai kostum dan accesories sendiri, mempunyai skill untuk merias diri sendiri atau make-up mandiri. sampai pementasan mereka di atas panggung yang berkenaan dengan performa waranggana diatas panggung, yaitu respon terhadap lagu-lagu yang booming pada saat itu, artinya lagu yang dinyanyikan responsif zaman agar tidak ketinggalan zaman. ditambah dengan waranggana bisa mengendarai kendaraan pribadi sebagai akses mereka agar tidak kesukaran dalam hal akomodasi dan tidak merepotkan orang lain.

Dalam proses perjalanannya waranggana sedang membangun kesadaran bahwa ia menghargai hidupnya dengan cara bekerja. Bekerja yang membuat keberlangsungan hidupnya menjadi survive. Menjadi seorang waranggana berarti ia membangun ekonomi keluarganya mulai dari mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang sifatnya primer, lalu lebih lanjut lagi sekunder, bahkan ia mampu memenuhi kebutuhan keluarganya yang sifatnya tersier. Sebagai contoh rumah seorang waranggana bernama Musrini yang berhasil menjadi seorang waranggana yang populer (lihat gambar 4.34).

Gambar 4.34 Rumah seorang waranggana, Musrini (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).

commit to user 4.5.2 Naiknya Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga

Modal ekonomi menitikberatkan pada kekuatan material. Tubuh yang dimiliki oleh seorang waranggana adalah tubuh yang secara cerdas dibaca oleh waranggana sendiri. Dengan berbagai skill yang dimiliki waranggana tubuh diolah demi mendatangkan rupiah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.

Faucault melihat dua bentuk kekuasaan yang beroperasi pada wilayah tubuh (Suyono, 2002: 56). Pertama, kekuatan eksternal yang mengatur praktik pelarangan, pembatasan, dan pengendalian atas tubuh. Kedua, kekuasaan yang memancar dari dalam tubuh, yaitu berupa hasrat dan potensi libidonya. Kekuasaan tipe ini menentang keras kekuasaan atas tubuh lewat revolusi tubuh, sehingga tubuh terbebas dari berbagai macam kekangan, aturan, dan berbagai macam dominasi kekuasaan.

Untuk mencapai proses revolusi tubuh, maka tubuh harus mencari perantara yang mampu membantu dirinya melepaskan diri kungkungan kebisuannya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwasanya waranggana membaca tubuhnya sendiri dengan melakukan tindakan mengolah tubuhnya sesuai dengan hobi atau kesukaan (pendisiplinan tubuh) menjadi seorang waranggana. Oleh karenanya media waranggana untuk membebaskan kekangan dan hasratnya lewat tubuh yang dikuasai oleh dirinya sendiri, dengan menyalurkan lewat nyanyian dan tarian, mekanisme proses tersebut akan menguasai orang lain dengan pengolahan tubuhnya tersebut.

Diskursus modal tubuh sebagai modal ekonomi adalah sebuah formasi diskursif yang memberikan tawaran kepada waranggana sebagai bentuk transformasi mulai dari identitas, strata sosial, dan penghidupan yang lebih baik.

Waranggana yang bertransformasi dari perempuan biasa menjadi seorang waranggana menjadi aktor utama dalam pertunjukkan langen tayub mengalami perubahan-perubahan

commit to user

dalam kehidupannya, terutama dalam segi ekonomi. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan ekonomi waranggana sebagai berikut.

1. Pemasukan rupiah pada setiap pementasan, bisa dikatakan “lumayan” bagi waranggana sendiri. berkisaran mulai dari Rp. 1.500.000,00 s.d ≥ Rp. 2.500.000,00. Hal ini sangat fantastis mengingat pemasukan seorang waranggana lebih besar dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Biasanya waranggana mendapatkan tawaran menayub dalam satu minggu tiga kali atau empat kali nayub. Jika dikalkulasikan pemasukan rupiah tersebut bersihnya mencapai Rp. 6.000.000,00 hal ini menunjukkan bahwa mereka (baca: waranggana) bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.

2. Terkait dengan kalimat di atas, kebanyakan dari waranggana mempunyai rumah yang megah, kendaraan mobil, dan fasilitas rumah yang termasuk dalam highlevel. Fasilitas rumah yang termasuk dalam golongan menengah ke atas secara tidak disadari waranggana membangun identitas diri mereka yang dilihat dari segi materil. Waranggana telah melakukan mobilisasi dalam hidupnya, dari seorang wanita biasa menjadi seorang waranggana. Dari penduduk biasa menjadi penduduk yang berkecukupan. Hal ini mengindikasikan bahwa menjadi waranggana merupakan sebuah saluran mobilitas sosial menuju harapan pada pencapaian kehidupan yang lebih baik (makmur dan sejahtera).

3. Waranggana yang mempunyai keluarga, tentu mempunyai mimpi terhadap anak-anaknya. Mereka (baca:waranggana) berpengharapan yang besar kepada anaknya. Lewat saluran pendidikan mereka berpengharapan agar anak-anaknya kelak mampu menjadi seorang yang mempunyai teladan yang baik atau dengan kalimat lain menjadi manusia seutuhnya. Andriyani seorang

commit to user

waranggana yang mempunyai empat orang anak dari suami yang berbeda menginginkan agar anaknya kelak memiliki karakter yang baik, dan kehidupannya tidak seperti ibunya. Andriyani menyekolahkan anak pertamanya di STIKES (Sekolah Tinggi Kesehatan), anak keduanya di pesantren, anak ketiga di SMA Negeri, dan anak yang keempat belum bersekolah karena masih Balita. Hal ini membuktikan bahwa dengan menjadi waranggana Andriyani mampu menjamin pendidikan anak-anaknya di lembaga formal, walaupun historis perjalanan pendidikan mereka rata-rata hanya Sekolah Menengah Pertama, tetapi mereka berpengharapan dan menjamin kehidupan pendidikan anak-anaknya. Seperti yang diungkapkan oleh Andriyani (wawancara, Andriyani 30 Desember 2014).

“ Gak popo mbak kalo aku cuman tamatan SMP, sing penting anak-anakku sekolah kabeh, biarlah aku mbak yang merasakne dadhi waranggana. Anak-anakku ojo. Sing penting dadhi pikiran aku ki cuman anak-Anak-anakku mbak gak ada yang lain. Mereka iso maem karo sekolah, aku bersyukur mbak”

4. Kebanyakan waranggana yang hidup di dunia pertunjukkan memiliki usaha lain yang bisa menambah kas ekonomi mereka. Seperti Andriyani, ia membuka jual beli mobil dan membuka jasa rental mobil, selain itu ia juga bisa menawarkan jasa menjadi seorang driver atau supir dalam jasa rental mobil tersebut. Tidak hanya Andriyani, Musrini pun menggeluti usaha selain menjadi seorang waranggana. Ia berpendapat bahwa hidup di dalam seni pertunjukkan tidak selamanya menjadi primadona, Umurnya yang sudah melampaui paruh baya sekarang membuat dirinya tidak selaris dulu. Tubuh yang sintal, kemudaan, kecantikan, dan sensualitas tidak lagi dimiliki oleh Musrini, dikarenakan umur biologis yang membatasi hal-hal tersebut. Selain menggeluti menjadi waranggana senior, Musrini membuka usaha payet dan

commit to user

berjualan sampur. Pemasukan rupiah dalam kas ekonomi mereka sangat membantu kehidupan perekonomian mereka.