• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2.4 Unsur Pertunjukkan Langen Tayub di Dusun Ngrajek .1 Waranggana

4.2.5.1 Rias Busana Waranggana

commit to user

Kecantikan juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol. Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan. Karena itu maka dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138). Masing-masing budaya mempunyai standarisasi mengenai pengukuran kecantikan. Dalam ukuran kecantikan tradisional kecantikan tidaklah berdiri sendiri, tetapi ia memiliki akar budaya yang kuat dalam suatu masyarakat.

Begitupun kecantikan seorang waranggana yang menjadi primadona suatu pertunjukkan tayub. Dikatakan indah jika mempunyai bentuk tubuh yang sintal, payudara dan pinggul yang kencang, disertai dengan wajah yang cantik dan bersinar di panggung pertunjukkan langen tayub. Untuk menunjang kecantikan di atas panggung, para waranggana menggunakan make up atau riasan wajah tambahan sebagai penunjang kecantikan mereka. Pada dasarnya riasan wajah merupakan rekayasa manusia untuk memperindah dan mempercantik diri (Caturwati, 1997: 4.). Rias yang digunakan oleh waranggana adalah rias korektif (lihat gambar 4.20). Rias wajah korektif adalah rias wajah yang menekankan prinsip koreksi bentuk wajah dan bagian-bagian wajah dengan cara menyamarkan bentuk-bentuk atau bagian wajah yang kurang sempurna dan menonjolkan bagian-bagian wajah yang sudah indah dengan menerapkan teknik shading (memberi bayangan gelap) dan tinting (memberi bayangan terang) dari base make up yang diaplikasikan.

Tata rias yang baik selain mempercantik penampilan secara lahiriah juga menunjang rasa percaya diri seseorang. Tujuan rias wajah adalah menonjolkan keindahan wajah dan menyamarkan atau menutupi kekurangan wajah. Untuk merias wajah dengan baik diperlukan keterampilan khusus yaitu pemahaman tentang beragam kosmetika dekoratif, peralatan penunjang serta teknik rias wajah korektif yang tepat.

commit to user

Tata rias wajah korektif diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan untuk menyempurnakan rias wajah dan mencapai bentuk wajah mendekati wajah ideal.

Terkait dengan pernyataan di atas para waranggana nampaknya sudah lihai dalam urusan make up. Hal ini dibuktikan dengan ketika persiapan pentas mereka (baca: waranggana) merias wajah mereka sendiri. Mereka tidak menyewa jasa salon untuk merias wajah mereka. Alasan mereka menguasai tata rias wajah adalah agar profesi mereka sebagai seorang seniman lebih profesional. Tidak selalu mengandalkan jasa orang lain, sehingga mereka bisa mandiri. Dan terlebih lagi alasan yang paling mendasar adalah agar lebih irit untuk pembiayaan produksi, sebab, dengan menyewa jasa salon, otomatis mereka harus membayar jasa salon tersebut, sehingga berakibat pada berkurangnya uang pentas yang diterima oleh mereka akibat jasa pembayaran salon. Seperi dituturkan Musrini (Wawancara, 26 Desember 2014), seorang waranggana senior:

“walah mbak, yang namanya dadi waranggana itu harus bisa merias wajahnya sendiri, biar mandiri. Sing paling penting ki mbak biar ngirit, karena biaya salon maharani mbak, alias mahal”.

Waranggana yang mempunyai jam terbang yang sudah tinggi, tampak sangat lihai dalam memainkan kuas make up di wajahnya. Sebagian besar waranggana menggunakan kryolan atau alas bedak yang berwarna sesuai dengan kulit mereka ada yang kuning langsat, cokelat ataupun kuning kencana.

Pemakaian alas bedak harus benar-benar terampil, jika tidak hasil nya akan berantakan, karena alas bedak merupakan bangunan dasar dalam make up. Setelah memakai alas bedak para waranggana menaburkan bedak tabur dan bedak padat di wajah mereka. Penaburan bedak tabur dan bedak padat berfungsi untuk menghilangkan garis-garis di wajah sehingga tampak halus.

Untuk mempertegas garis dan bentuk wajah, dibutuhkan penambahan eyebrow pencil (pensil alis), Lips colour (pemerah bibir), Lips shine (pencerah bibir), eye shadow (perona

commit to user

mata), eye liner (Penghitam garis mata), bulu mata palsu, dan mascara yang berfungsi untuk menambah volume bulu mata.

Dalam hal merias wajah bagian yang paling penting dipertegas dan dipercantik adalah mata. Dengan mata, pengibing dan waranggana terjalin suatu proses komunikasi. Mata adalah bagian yang paling sensual dari tubuh, untuk itu hiasan mata harus benar-benar segar dan tajam. Penambahan eye shadow yang beraneka warna di kelopak mata seperti warna ungu, merah muda, biru, hitam disertai dengan gliter berwarna keemasan dan perak memberikan kesan segar dan tajam. Untuk merampingkan, menonjolkan, dan menambah volume tulang pipi para waranggana membubuhkan rouge (pemulas pipi) yang dipakaikan dengan kuas blush on .

Terkait dengan pernyataan di atas, setelah pembubuhan di bagian mata dan tulang pipi, bagian selanjutnya adalah shading. Teknik shading digunakan untuk menambah bayangan hidung agar kelihatan lebih mancung dan sempit. Pembubuhan shading menggunakan rouge yang berwarna gelap kecokelatan, dilakukan di bagian kanan kiri hidung, mulai dari atas sampai di cuping hidung, ditarik lurus kedua sisi. Di bagian tengah hidung diberikan highlight warna putih atau bedak padat yang warnanya lebih terang, sehingga agak lebih terang dari atas sampai ke bawah, sehingga terkesan mancung keluar .

Bagian selanjutnya adalah bibir. Bibir merupakan pusat sensualitas dari wajah. Biasanya, di bagian bibir diberikan pemerah bibir, untuk menambah kesan seksi dan segar, sehingga tidak kelihatan pucat. Para waranggana, biasanya menggunakan warna pemerah bibir atau lips colour dengan warna yang terang atau menyala, hal ini dimaksudkan agar di panggung lebih kelihatan apik.

Dengan kaca kecil di tangan kirinya dan peralatan make up di tangan kanan, mereka tampak tidak kesulitan dalam merias wajah mereka. Para waranggana dapat mengubah tampilan mereka dengan waktu yang singkat, tampak lebih segar, dan good looking.

commit to user

Gambar 4.22 Musrini, seorang waranggana senior yang merupakan primadona (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).

Selain rias panggung bagi waranggana unsur penunjang lainnya adalah busana. Busana yang digunakan waranggana memiliki trik-trik dalam penggunaan busana panggung. Ada bagian busana waranggana yang harus diwiru, dan ada yang dipakai dengan ketat, hal ini dimaksudkan agar bagian-bagian yang ditonjolkan oleh tubuh lebih kelihatan harmonis. Para waranggana lebih suka menggunakan busana kebaya. Karena dengan memakai kebaya terlihat lebih cantik, karena penggunaan kebaya ditubuh harus ketat, sehingga lebih indah dipandang.

Biasanya para waranggana lebih menyukai busana kebaya dengan warna yang cerah seperti biru, kuning, merah dan dipadukan dengan busana bagian bawah yaitu menggunakan jarik atau kain polos yang bernada sama atau lebih soft yang dipadukan dengan busana kebaya bagian atas. Jika waranggana menggunakan jarik maka penggunaan jarik pun diwiru. Proses pewiruan kain yaitu ujung kain dilipat kecil-kecil dengan ukuran perbagian yaitu dengan ukuran dua jari. Jika waranggana menggunakan kain polos maka, pemakaian pun hanya dililitkan dengan rapi, dari kiri ke kanan sehingga bentuk tonjolan-tonjolan tubuh lebih kelihatan menarik (lihat gambar 4.23)

commit to user

Performa waranggana yang menuntut tidak hanya menyanyi tetapi juga menari mengharuskan busana yang dipakai harus rapi dan aman, jangan sampai busana tersebut melotrok atau terlepas dari tubuh. Maka, pemasangan busana pun harus aman dan nyaman sehingga ketika menari pun busana yang dipakai tidak menimbulkan gangguan-gangguan yang nantinya berdampak pada pertunjukkan waranggana itu sendiri.

Sejalan dengan tujuan pemakaian busana tari adalah meningkatkan atau memberikan keserasian badan dari penekanan pada postur tubuh yang statis atau dinamis, mendukung penari untuk bisa bergerak secara leluasa, serta mendekatkan peran atau karakter yang diinginkan (Ellfeldt dan Carnes, 1971:76).

Gambar 4.23. Busana yang dipakai oleh waranggana, memakai kebaya dan jarik (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).

commit to user

Gambar 4.24. Busana yang dipakai oleh waranggana, pada saat adegan tayuban (dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).

Gambar 4.25. Busana yang dipakai oleh waranggana junior, memakai kebaya polos, tidak dengan payet dan jarik

(dokumen Dinas Pariwisata, Oktober 2009). 4.2.5.2 Tata pentas

commit to user

Panggung pertunjukkan tradisional adalah tempat yang secara turun-temurun dan telah menjadi kebiasaan pada sebuah komunitas atau masyarakat etnis tertentu dalam mengekspresikan diri. Tempat pertunjukkan dapat menjadi simbol. Tempat pertunjukkan juga bermacam-macam bentuknya, seperti : Proscenium, tapal kuda, teater arena, dan sebagainya. Tempat pertunjukkan yang biasa digunakan dalam acara langen tayub bersih desa di Desa Ngrajek yaitu bertempat di sekitar sumur Mbah Ageng yaitu di tengah-tengah Desa Ngrajek dan dekat sekali dengan pemukiman penduduk. Bentuk tempat pertunjukkan dalam acara langen tayub adalah berbentuk “U”, yaitu posisi panggung di depan dan penonton bisa menyaksikan pertunjukkan dari kiri-ke kanan.

4.2.5.3 Jimat

Dunia pertunjukkan adalah dunia dengan penuh gemerlap, seperti contohnya pertunjukkan langen tayub, unsur pertunjukkan langen tayub yang didukung oleh musik karawitan yang lengkap, sound yang menggelegar, ditambah dengan tata cahaya lampu yang berkilauan. Oleh karena itu aktor utama tayub, dalam hal ini waranggana harus memiliki kecantikan dan tubuh yang ideal, karena dengan memiliki kedua unsur tersebut maka hal tersebut berimplikasi dengan finansial yang didapat.

Kecantikan menjadi syarat mutlak, syarat religius. Cantik bukan lagi pengaruh dari alam, juga bukan pula kualitas moral sampingan, tetapi kualitas mendasar, wajib dari sifat perempuan yang memelihara wajahnya dan kelangsingan sebagai jiwanya ( Baudrillard, 2011: 170). Oleh karenanya para waranggana selalu menjaga makanan yang dimakan untuk menjaga bentuk ideal dari tubuhnya, olahraga dengan latian tari dapat menjaga performa tubuh seorang waranggana.

Terkait dengan pernyataan di atas, banyak cara yang digunakan oleh waranggana untuk menjaga agar pesona kecantikan dan tampilan tubuh yang ideal tetap stabil. Menurut penuuturan Musrini selain keterampilan skill dan bakat yang dimiliki ada beberapa tindakan

commit to user

spiritual yang dilakukan oleh seorang waranggana, hal ini berkenaan dengan peningkatan rasa percaya diri, ketika perform di depan publik dalam pertunjukkan langen tayub. Musrini menjalankan tapa brata, laku spritual yang dilakukan yaitu puasa tiron, dan laku spiritual yang lain yaitu mandi kembang.

Mandi kembang dilakukan ketika memasuki bulan sura, yaitu bulan yang penuh dengan mistik dalam kepercayaan orang Jawa, Musrini melakukan mandi kembang di Air Terjun Sedudho pada pukul 24.00 wib, hal ini berfungsi untuk menambah pesona dan kharisma dalam jiwa Musrini, selain menambah pesona dan karismatik, Air Terjun Sedudho dipercaya membuat perempuan awet muda bagi mereka yang melakukan mandi kembang setiap malam satu suro atau malam satu Muharram dalam kalender Arab. Mitos yang dipercaya di air terjun sedudho oleh masyarakat, digeneralisasikan dari orang-orang terdahulu, mitos yang digeneralisasikan bahwa Air Terjun Sedudho digunakan untuk memandikan arca yang dianggap keramat pada zaman Majapahit, yaitu arca pratistha. Dari mitos tersebut masyarakat setempat percaya bahwa air tersebut memilki kekuatan supranatural yang luar biasa.

Di dalam pelaksanaan ritual-ritual tertentu orang Jawa sudah melakukan doa dengan cara masing-masing, seperti membaca mantera, puji samadi/semedi sebagai tanda kedekatan dengan dunia batin terdalam adalah pencapaian sakral (Suyanto: 2014: 51).

Terkait dengan pernyataan di atas, Air Terjun Sedudho adalah mata air yang berasal dari perbukitan yang tidak pernah kering sampai saat ini. Sejak dahulu mitos mengenai Air Terjun Sedudho sudah dikenal dan dipercaya oleh masyarakat, bahkan sejak zaman kerajaan Majapahit. Walaupun secara rasional mandi di tengah malam akan mendatangkan kondisi yang tidak stabil bagi tubuh, yang nantinya akan berimplikasi bagi menurunnya kestabilan tubuh, tetapi karena mereka mempercayainya, maka hal tersebut tetap dijalani. Sebagaimana diungkapkan oleh Jacob Sumardjo (2010: 346). bahwa mitos berlogika spontanitas dan

commit to user

bukan kausalitas-akal sehat. Logika mitos adalah logika metakosmos (kepercayaan), yakni mereka yang mempercayai dan mengimani, semua peristiwa mitos adalah logis. Semua peristiwa dalam mitos benar-benar terjadi alias “sejarah” yang sejati-jatinya. Tidak ada mitos yang salah, tidak benar, kecuali mereka yang mempercayainya. Bagi mereka yang mempercayai betapa pun absurdnya adalah benar-benar terjadi menjadi persis seperti apa yang diceritakannya.

Gambar 4.26. Sesajen di depan Sumur Mbah Ageng, sebagai persembahan sebelum pertunjukkan langen tayub.

(dokumen Ningsih, 16 Oktober 2014).

Selain laku spiritual yang dijalankan, para waranggana mempercayai terhadap suatu barang yang dianggap magic, yang mampu memancarkan aura tersendiri yaitu kunjen. Kunjen adalah barang sakral, perlakuan terhadap barang sakral tidak sembarang, ada tahapan-tahapan proses sakralisasi. Berikut tahapan-tahapan proses sakralisasi (Suatika, 2014: 4)

1. Disucikan pada hari suci dengan adanya hari baik dan buruk (dewasa) menurut perhitungan Jawa.

2. Adanya sarana upacara dan ritual lainnya secara simbolik. 3. Dilaksanakan oleh orang-orang yang suci.

commit to user 4. Menggunakan mantra-mantra atau doa suci 5. Dilaksanakan pada harti suci (Kliwon)

Barang- barang yang dianggap sakral, biasanya tidak boleh dilangkahi, karena mereka percaya kalau barang kunjen dilangkahi kekuatan magicnya akan berkurang, sehingga barang kunjen tersebut ditutup atau dibalut dengan kain, biasanya berwarna putih, merah ataupun hitam. Barang kunjen pun tidak sembarang diletakkan, kunjen biasanya diletakkan di selipan kain, kutang, di tempat make up atau di kamar pribadi waranggana.