• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Proses Terjadinya Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana dalam Pertunjukkan Langen Tayub Di Dusun Ngrajek Jawa Timur

4.4.2 Dari Perempuan Biasa Menjadi Waranggana

Tubuh seorang waranggana adalah modal, modal yang menjadi sumber penghidupan bagi waranggana, tetapi pengertian modal disini bukan berarti waranggana “melacurkan diri”. Waranggana membaca tubuhnya sendiri sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan dan menundukkan. Semisal sebagai contoh guru mengajari anak muridnya dengan modal tubuh sebagai media penyampai pesan secara langsung antara ia (baca: guru) dan para muridnya. Guru menggunakan modal tubuhnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru. Bukan berarti dengan tubuhnya sebagai modal, lantas guru melacurkan diri tidak demikian.

commit to user

Tubuh adalah keseluruhan yang melekat pada diri manusia, mulai dari mental, jiwa, pikiran, rasa, perilaku, bahasa, penampilan, simbol, dan aktifitas sosial lainnya ( Raditya, 2014: xiii). Definisi tubuh tidak bersifat statis, tubuh selalu diperbaharui, dan dimodifikasi sesuai dengan ruang, waktu, tempat dan proses ketika menemukan pengertian tubuh tersebut. Pada abad sebelum abad-20 tubuh dianggap sesuatu yang tabu, dan tidak patut untuk dibicarakan, karena tubuh berada pada ranah domestik. Sehingga publik tidak perlu untuk mengetahui sebenarnya tubuh. Tetapi pada abad-20, tubuh adalah sistem konsensus dan partisi sosial, sehingga setiap orang menggunakan tubuh sesuai dengan bagiannya (Piliang dalam Raditya, 2014: xxiii).

Tubuh ditangkap secara inderawi sebagai materi yang berwujud, sehingga manusia dapat mendefinisikan bagian-bagian tubuh yang terjalin. Tubuh kita kini menjadi entitas yang potensial untuk menggapai kekuasaan, sehingga manusia mempunyai kebebasan untuk menggunakan tubuhnya. Kebebasan manusia menggunakan tubuh mereka dalam kehidupan merupakan cara manusia memandang tubuh mereka sebagai modal kehidupan yang potensial dapat digunakan untuk melakukan kegiatan dalam kehidupan mereka. Oleh karenanya tubuh sebagai modal mempunyai hubungan yang setara.

Seorang waranggana tampil di depan publik mematahkan mitos kepasifan perempuan yang selama ini bertahta dalam ideologi patriarki. Perempuan yang hanya bisa di belakang dan di dapur, kini menjadi mitos yang mandul. Dikarenakan pada era kekinian bukan lagi patriarki yang berkuasa, tetapi sudah berubah menjadi pasar atau kapital yang berkuasa. Oleh karenanya, setiap orang dikondisikan untuk hidup di dalam arus perubahan identitas yang tiada akhir, yang perubahan tersebut dikendalikan oleh sebuah sistem yang bersifat manipulatif “kapitalisme” ( Piliang, 2011: 212).

Sejalan dengan pendapat Azis (2007: 15) bahwa relasi kuasa didasarkan pada wacana manipulatif, didukung oleh rezim yang tidak apresiatif bagi proses perubahan dalam

commit to user

masyarakat. Dari dua pandangan tokoh di atas, dikatakan bahwa wacana manipulatif itu adalah kapitalisme. Disini terlihat jelas bahwa seorang waranggana sebagai seorang perempuan berhadapan dengan kuasa yang dominan baik yang berasal dari genuine laki-laki ataupun berasal dari penetrasi ideologi, budaya, dan politik. Kuasa dominan ini muncul dari resistensi pola pendekatan yang tidak partisipasif, bahkan cenderung tidak adil. Sehingga bagaimanapun juga posisi perempuan sebagai subordinasi dibawah kuasa yang sangat besar tersebut.

Realitas kehidupan waranggana merupakan jejaring peristiwa yang berjalan dari masa ke masa. Hal ini menempatkan apa yang dilakukan oleh seorang “perempuan keluar malam-malam”, “jarang dirumah”, dan “selalu berdandan” demi mengais rupiah dalam lorong kegelapan malam merupakan sebuah keyakinan yang dianggap benar oleh waranggana. Hal ini sesuai dengan konteks ruang, waktu dan proses yang menyertai perubahan realita waranggana dari masa ke masa. Tentu hal ini tidak dapat dilepaskan dari kuasa kapitalisme yang menundukkan kehidupan waranggana. Begitu besar kuasa kapitalisme yang menerpa, waranggana mau tidak mau harus bertahan sehingga keluarganya bisa hidup di tengah himpitan ekonomi yang melanda keluarga mereka (baca: waranggana). Kuasa kapitalisme memang tidak bisa dibantah, karena pada zaman kekinian sudah dihadapkan pada situasi yang demikian. Akhirnya waranggana melakukan negosiasi yang pada akhirnya masuk dalam wacana kapitalisme, sehingga ia merelakan tubuhnya sebagai modal pertunjukkan yang bernilai ekonomis.

Tubuh waranggana dalam pelaksanaan tayub sendiri mengkoordinasikan seluruh indera yang terdiri dari gerak, penglihatan, pendengaran. Elaborasi dari masing-masing indera tersebut menggerakkan tubuh waranggana secara sukarela untuk menari dan menyanyi melakukan tugasnya sebagai seorang waranggana. Dalam perannya menjadi

commit to user

waranggana, waranggana mengkondisikan tubuhnya sendiri menjadi ruang tunggal bagi dirinya sendiri.

Sejalan dengan pendapat Grosz bahwa citra tubuh perempuan merupakan prasyarat penting untuk melakukan tindakan sukarela karena menyatukan dan mengkoordinasikan sensasi sikap tubuh, perabaan, gerak, dan penglihatan, sehingga sensasi-sensasi ini dialami sebagai sensasi suatu objek yag dikoordinasikan menjadi ruang tunggal (Grosz dalam Ritzer dan Smart, 2012: 893).

Dalam budaya, tubuh dijadikan sebagai tontonan, untuk mendapatkan kepuasan melihat (visual pleasure) (Piliang dalam Raditya, 2014: xxii). Waranggana sebagai aktor utama dalam pertunjukkan langen tayub tampil di depan publik dengan balutan pakaian yang agak ketat membuat para penikmat tayub terutama pengibing mendapatkan kepuasan tersendiri dikarenakan melihat seorang waranggana dengan balutan pakaian dan atraksi nayub yang dilakukan ketika pertunjukkan langen tayub berlangsung.

Kepuasan melihat bagi penikmat tayub menimbulkan hasrat yang manusiawi disampaikan kepada waranggana. Hal ini biasanya diungkapkan dengan cara berinteraksi. Pemunculan hasrat tersebut berimplikasi pada kedekatan emosional yang dilakukan oleh pengibing. Biasanya pola interaksi tersebut diungkapkan dengan berpegangan tangan, kedipan mata, dan sedikit memegang bahu waranggana.

Ungkapan-ungkapan dengan tatapan mata dan respon tubuh lainnya kepada pengibing merupakan sebuah sinyal, taktik, ataupun strategi kuasa yang dilakukan oleh waranggana yang dikenal dengan istilah seksualitas. Faucault mengartikan seksualitas sebuah sistem yang didalamnya terdapat banyak entitas, strategi dan taktik, serta aparatus-aparatus sistemnya (Faucault dalam Kali, 2013: 60).

commit to user

Gambar 4.33. Waranggana dan Pihak Keamanan Polisi Tampak Akrab dengan Berpegangan Tangan sebagai Ajakan untuk Ngibing

(dokumen Ningsih, 16 0ktober 2014).

Menurut Faucault (2007) dalam memandang seksualitas sebagai sebuah entitas yang patut dikontrol dan dicurigai, setidaknya terdapat empat pandangan atau aturan kuasa wacana sebagai berikut.

1. Rule of imanence, pandangan ini melihat bahwa seks merupakan jalinan yang tidak bebas lagi, ia timbul dari berbagai mekanisme yang mampu menggunakannya sebagai sebuah objek yang dikaji sebagai teknik pengetahuan, hingga strategi kekuasaan.

2. Rule of continual variations, variasi ini memandang bahwa makna seksualitas terjalin akibat adanya distribusi kekuasaan.

3. Rule of double conditioning, transformasi nilai seks pada aras individu (mikro) maupun makna seks yang dimiliki negara (makro), merupakan lingkup tersendiri yang berdiri secara mandiri dan merupakan dua tataran yang berbeda.

commit to user

4. Rule of tactical Polyvalence of Discourse, di dalam wacanalah kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Wacana merupakan kendaraan praktis bagi terciptanya sebuah kekuasaan.

Petunjuk model:

: Hubungan Langsung Satu Arah (Garis yang mempengaruhi) Wacana Modal tubuh sebagai modal ekonomi Hegemoni Bersifat Dominasi Bersifat persuasi 1. Dipuja 2. Dilakukan 3. dibela 1. Dilawan 2. Ditentang 3. ditekan

Hegemoni tidak pernah total, selalu ada wacana alternatif atau tandingan untuk mengimbangi hegemoni yang ada

commit to user

: Hubungan langsung dua arah ( Garis yang salng mempengaruhi)

Skema 4, Wacana Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi yang menghegemoni penikmat tayub di pertunjukkan tayub (Modifikasi Tia, disadur dari pemikiran kombinasi Faucault dan

Gramsci dalam Sendratari, 2010).

Modal tubuh waranggana yang menghegemoni para pengibing menempatkan waranggana pada posisi dibela, dipuja, dan selalu dielu-elukan oleh pihak pengibing. Karena dalam panggung pertunjukkan waranggana merupakan primadona yang menguasai dan menyihir mata pengibing secara persuasi untuk melakukan sesuai dengan kode atau sinyal yang dikirimkan kepada pengibing.

Tatapan mata dan senyuman yang menggoda ditambah dengan pembungkus kostum yang ketat membuat greget siapapun yang melihat, terutama bagi kaum Adam yang melihat pertunjukkan langen tayub tersebut. Postur tubuh yang indah ditambah dengan perhiasan yang dipakai oleh waranggana melengkapi kecantikan waranggana yang merupakan daya pikat waranggana untuk menghegemoni laki-laki pengibing tersebut.

Gerak-gerak isyarat yang dikirimkan merupakan awal mula dari serangkaian proses seksual dalam pertunjukkan langen tayub tersebut. Dari gerak isyarat yang dikirimkan oleh waranggana, didalam gerak tersebut hasrat dieksplorasi oleh pengibing dengan imajinasi yang bercampur didalamnya. Eksplorasi hasrat manusia adalah praktek reimajinasi seksualitas karena memposisikan tubuh sebagai media transformasi transparansi, keterbukaan, memperbincangkan keunikan tubuh terdalam manusia dengan cara komunikasi visual (Sigel dalam Raditya, 2014: 138).

Pada tahap ini daya tarik seksual menjadi kuat, meskipun tidak selalu menuju pada sebuah perlakuan seksual yang berlebihan, bahkan sexual intercourse sebagai manifestasinya. Akan tetapi justru pada titik inilah, cinta dan seks bisa terwujud sebagai energi kreatif yang luar biasa, baik sekedar mencari kesenangan (just for fun atau sex as recreation) ataupun penyatuan rasa cinta atau rasa lainnya (sex as relation) (Gunawan, 2000: 18-19).

commit to user

Disiplin merupakan mekanisme “kontrol” yang teliti atas tubuh (Faucault dalam Hardiyanta, 1997: 76). Melalui disiplin tubuh dilatih hingga menjadi tubuh yang terampil. Namun juga terus-menerus diuji dan dikoreksi sehingga keterampilan, kecekatan, dan kesiapsediaan ini akhirnya menjadi mekanisme yang dengan begitu saja bekerja di dalam tubuh itu sendiri. Disiplin sekaligus meningkatkan keterampilan, kekuatan, dan daya guna tubuh, tetapi juga menguasai dan menempatkan tubuh ke dalam relasi tunduk dan berguna. Seperti yang diungkapkan oleh Andriyani, perempuan yang berprofesi sebagai waranggana yang lahir tahun 1978 menerangkan bahwa,

“ memang menjadi seorang waranggana banyak yang tergoda mbak, lha wong namanya di atas panggung ya sikapnya harus ramah. Tetapi, kadang pengibing suka salah mengartikan dari sikap ramah saya mbak. Malah, ada yang janjian di belakang panggung, trus ngejer-ngejer dan ada pula yang memaksa minta ditemani”.

Dari penuturan Andriyani tersebut, sebuah penegasan yang diutarakan oleh seorang waranggana. Kebanyakan dari pengibing salah mengartikan kode senyum yang disampaikan oleh Andriyani tersebut. Senyum yang diberikan oleh Andriyani kepada pengibing dikarenakan Andriyani ingin berlaku ramah, dan supel terhadap semua orang. Dikarenakan senyuman tersebut, banyak pengibing yang melanjutkan komunikasi dari atas panggung sampai ke luar panggung. Perjuangan para pengibing pun biasanya dilakukan dengan menanti Andriyani sampai berbenah kostum, hingga ia keluar dari kamar riasnya. Setelah bertemu Andriyani kembali, biasanya Andriyani ditanyakan kembali dan bahkan banyak yang meminta ia untuk menemani atau “kencan” dengan pengibing tersebut sesuai dengan tawaran yang mereka tawarkan.

Biasanya ada banyak istilah yang dilontarkan dari para pengibing, ada yang beristilah short time dan ada yang memakai istilah long time. Tidak semua waranggana yang melayani keinginan pengibing tersebut. Ada beberapa waranggana yang langsung pulang ketika sudah selesai pertunjukkan, dan ada pula yang melayani keinginan pengibing yang menawarkan

commit to user

untuk kencan bersama waranggana. Menurut wawancara dari waranggana Andriyani, biasanya para waranggana yang terlibat skandal dengan para pengibing dinikahi, walaupun dijadikan sebagai istri simpanan, atau istri kedua maupun istri ketiga.

Para waranggana yang merupakan pelaku seni, selalu melakukan sesuatu dengan hati, dan hal ini mempengaruhi hubungan pribadinya kepada para pengibing yang menawarkan cintanya. Biasanya pengibing yang mendekati para waranggana dengan niatan rasa cinta lebih ditanggapi oleh waranggana, dibandingkan dengan pengibing yang membayar mereka dengan istilah “short time” atau bisa dengan istilah “sex for fun” tanpa ada percampuran cinta di dalamnya.

Tindakan tersebut bukan lagi menitikberatkan pada faktor kebutuhan atau hasrat kenikmatan melainkan untuk mendapatkan kehormatan, prestise, status, keuntungan dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan (Kali, 2013: 100) Ada rasa kebanggaan tersendiri bagi waranggana jika dinikahi dengan ikatan yang suci tersebut. Waranggana yang dinikahi oleh pengibing dengan ikatan suci tersebut mendapatkan penghormatan. Pada kenyataannya banyak waranggana yang mengalami pernikahan siri atau pernikahan rahasia dihadapan negara, tetapi sah dalam konteks agama. Walaupun mereka dijadikan sebagai istri simpanan, istri kedua, ataupun istri ketiga. Hal yang demikian lebih terhormat dibandingkan ia tidak dinikahi tanpa ikatan.

Dalam pengalaman Andriyani, ia mengaku sudah empat kali menikah dengan lelaki. Dari pernikahannya yang ketiga ia mendapatkan luka yang benar-benar dalam. Hal ini dikarenakan suaminya yang pada saat itu memiliki showroom mobil, ternyata ada skandal dengan temannya satu profesi. Benar ketika pepatah Jawa mengatakan bahwa “ Tresno iku jalaran seko kulino”. Skandal yang terjadi antara suaminya dan teman satu profesinya dimulai dari permintaan Andriyani kepada suaminya untuk menjemput teman satu

commit to user

profesinya. Dikarenakan temannya tidak memiliki kendaraan. Akhirnya suaminya mengabulkan permintaan Andriyani untuk menjemput teman satu profesinya tersebut.

Niatan baik Andriyani yang berbuntut pada keretakan hubungan ia dengan suaminya diluar perkiraan Andriyani. Sejalan dengan seringnya suaminya menjemput teman satu profesinya dan kebersamaan mereka yang terus menerus, akhirnya menimbulkan benih-benih cinta antara teman satu profesinya tersebut dengan suaminya.

Seiring berjalannya waktu, kondisi mereka berdua yang disembunyikan dari Andriyani, lambat laun diketahui oleh Andriyani lewat message ponsel. Andriyani membaca message yang terdapat dalam ponsel suaminya. Tentu saja, keterkejutan dan rasa tidak percaya bahwa hal ini terjadi. Pertama kali, ketika mengetahui ada skandal antara suaminya dan teman satu profesinya, Andriyani merasa tidak percaya.

Tetapi dengan obrolan dan diskusi antara ketiganya, akhirnya mereka mengakui dan Andriyani memilih bercerai dengan suaminya. Skandal yang terjadi tidak hanya antara pengibing dan waranggana, tetapi suami sendiri yang ternyata “bermain” dengan teman satu profesi bisa terjadi dan harus diantisipasi dengan treatment yang diyakini oleh masing-masing pribadi.

4.5 Implikasi Diskursus Modal Tubuh sebagai Modal Ekonomi Waranggana